Mencari, Menanti, Mencari …(Peristiwa Tinombala)


Tempo. 16 April 1977. KOTA Palu masih gelap. Bukit-bukit dan lereng yang mengitari lebih dari seperdua ibukota Propinsi Sulawesi Tengah ini diliputi kabut tebal. Tapi tak lama kemudian matahari mulai menusuk celah-celah bukit itu.
Dan waktu itulah, ketika jam setempat menunjukkan pukul 05.45 hari Jum’at 1 April 1977, sebuah pesawat Twin Otter milik Merpati meninggalkan landasan lapangan terbang Mutiara, beberapa km di luar kota Palu. Pesawat itu mencoba menyusuri kembali jejak Twin Otter tipe DHC/ BWY milik Merpati yang hilang dalam penerbangan Palu-Toli-Toli 4 hari sebelumnya. Ketua SAR Nasional, Marskal Madya Dono Indarto, yang ada di dalam pesawat pencari itu bersama beberapa anggota SAR lainnya dan beberapa orang wartawan mula-mula duduk dengan tenang. Tetapi beberapa menit kemudian, ketika Gunung Sidoley (tinggi 5.800 kaki) mulai tampak, ia bangkit memasuki kokpit memberi beberapa petunjuk kepada Kapten Elly Sumarno yang mengemudikan pesawat. Sebab sampai had itu SAR Nasional masih mencurigai Gunung Sidoley (12 menit penerbangan dari Mutiara) sebagai tempat kandasnya pesawat yang dicari. Kabut tipis masih berserakan di seluruh kawasan Sidoley. Pada putaran pertama mata masih bebas menyelidik ke segenap penjuru. Bahkan sebagian penumpang masih melihat jelas runtuhan pesawat Albatros milik ALRI yang jatuh di salah satu lerengnya 4 tahun lalu. Tapi pada putaran kedua hampir seluruh kawasan glmung ini sudah berkelambu kabut tebal. Hutan yang gempal berkayu tinggi dan tak berpenghuni di bawah itu hanya sekelumit saja terlihat sesekali. Kecurigaan berikutnya adalah w,ilayah pegunungan Sojol (Ogoarnas) dengan puncak tertingginya sampai 9.800 kaki. Terasa demikian menonjol puncak ini sehingga pemt pulau Sulawesi yang penuh gunung dan bukit itu tampak seakan datar saja. Pesawat SAR berkalikali mengitari gunung Sojol dan anakanaknya. Tak sesuatupun mencuriga kan. Tapi ketika pesawat pencari mulai melayang-layang ke gugusan gunung sebelah timur dan utara, sinar matahari terasa mulai membias tajam. Dan kabut tebalpun mulai menghampar di bawah itu. Beberapa desa, persawahan transmigrasi di sepanjang pantai dan huma orang-orang suku terasing, tinggal samar belaka. Setelah dua jam lebih terbang, pesawat pencari itu membelok ke arah Palu. Pulang dengan sia-sia. Tapi pada hari itu juga, Masykur, Hasan Tawil dan Haji Salim Midu – 3 dari 23 orang penumpang Twin Otter yang hilang itu – muncul di perkampungan transmigran unit III Ongka Malino, 12 jam lebih perjalanan dengan jip dari kota Palu. Kampung ini cukup jelas terlihat dari lereng Gunung Tinombala, di mana pesawat Palu-Toli-Toli itu jatuh. Jika ditarik garis lurus, jarak antara tempat pesawat jatuh dengan desa Ongka tak lebih dari 20 km. Sebelumnya Masykur dan Hasan secara kebetulan telah bertemu dengan Salim Midu. Orang ini bersama-sama telah meninggalkan tempat pesawat jatuh dengan arah berbeda-beda. Mereka berjumpa kembali di pertemuan sungai Malino dan sungai Ongka. Ketika pertama kali berpapasan mereka saling mengangkat tangan untuk meminta pertolongan. Masing-masing pihak menyangka mereka sudah bertemu dengan orang kampung yang pertama. Mereka saling berpelukan setelah sadar bahwa ketiganya adalah bekas penumpang pesawat yang naas itu. Untunglah, beberapa jam kemudian mereka bertemu dengan Nyaman, wanita dari kampung transmigrasi Ongka Malino. Dialah manusia pertama yang mereka jumpai. Nyaman terkejut melihat kedatangan orang-orang asing itu. Ia berteriak memanggil pak Nyaman, suaminya. “Pak, ada gerombolan”, teriak sang nyonya. Tapi “gerombolan” itu tak lain adalah Hasan Tawil, yang mengenakan celana pendek dan jaket Golkar (ia anggota DPRD Sulawesi Tengah dari fraksi Golkar). Ban penolong masih tergantung di lehernya, mungkin untuk menandai dirinya sebagai salah seorang penumpang pesawat yang dicari-cari itu. Pakaian yang melekat di tubuh ko-pilot Masykur dan Haji Salim juga hampir seperti yang ada pada Hasan Tawil. Menurut anggota DPRD ini, pakaian mereka telah mereka robek-robek sendiri untuk ditempelkan pada pohon-pohon sebagai tanda jalan yang mereka lewati. Bahkan sepatu juga mereka sangkutkan di pohon-pohon secara terpisah. Susu & Blangkon Ketiganya telah payah. Tiga hari 3 malam mereka berjalan berputar-putar sebelum sampai di kampung Ongka. Hasan Tawil, meskipun ia juga pramuka, ternyata dalam keadaan paling lelah dibandingkan 2 orang temannya yang lain. Di rumah seorang penduduk bernama Prayogo di lokasi transmigrasi itu, Hasan cepat-cepat disuguhi susu panas dan didiangkan di perapian walaupun sudah diberi pakaian jas dan blangkon. Prayogo hari itu juga buru-buru berangkat melaporkan ketiga orang itu ke kota kecamatan, Tinombo, dengan perahu motor. Sang camat meneruskan kabar itu ke Palu dengan SSB (telepon radio). Sayang bahwa sampai beberapa saat setelah menerima laporan ini tim SAR yang waktu itu masih bermarkas di Palu masih menduga lembah Bainaa sebagai lokasi tempat jatuhnya pesawat. Padahal lembah Bainaa berjarak sekitar 50 km dari tempat itu. Pesawat Twin Otter Merpati bernomor penerbangan 002 itu pada pagi hari 29 Maret lalu berangkat dari Manado dengan tujuan Luwuk, Palu dan Toli-Toli. Sekitar jam 10.5 5 ia meninggalkan pelabuhan udara Mutiara di Palu menuju Toli-Toli ibukota kabupaten paling utara dari Propinsi Sulawesi Tengah. Rute dengan waktu penerbangan I jam 7 menit ini baru diresmikan Desember tahun lalu sebagai jalur penerbangan perintis. Lima menit pertama pilotnya kapten penerbang Letkol (U) Ahmad Anwar masih mengadakan hubungan ke menara kontrol Palu. Sebagaimana mestinya, 5 menit kedua ia melaporkan posisinya ke menara di Ujung Pandang. Tapi sesudah itu, hubungan terputus baik dengan Ujung Pandang maupun Manado. Diperkirakan pada sekitar 15 menit pertama itulah ia jatuh. Pesawat yang mempunyai kecepatan jelajah 160 mil per jam ini dilengkapi dengan radar dan auto pilot. Dengan kapasitas angkut 1,6 ton pada hari sial itu ia mengangkut muatan dan bahan bakar seberat 1,2 ton. Lalu apa penyebab kecelakaan itu? Meskipun ko-pilot Masykur tampaknya segar bugar saja — hanya ia jadi “lebih pendiam” — tapi sampai 2 minggu kecelakaan itu terjadi, penyebabnya masih berupa dugaan dugaan. Tapi sangkaan kuat banyak ditujukan pada keadaan cuaca yang buruk. Wilayah utara Palu memang terketial genting. Di sinilah pertemuan antara angin dari selat Sulawesi dan teluk Tomini. Akibatnya selalu terdapat kabut sementara arah angin tak menentu. Dari pihak lain perkiraan cuaca hanya dapat dilakukan oleh stasiun yang ada di Manado (homease MNA untuk penerbangan perintis di Sulawesi Utara dan Tengah) dan Ujung Pandang. Dan karena mungkin radio rusak, pilot tak dapat menghubungi menara Ujung Pandang untuk menanyakan posisi yang tidak dapat diketahuinya secara visuil karena cuaca buruk. Pesawat waktu itu pada ketinggian 9.000 kaki. Untuk menghindari awan tebal, sang pilot menurunkan ketinggiannya (karena jika menaikkan ketinggian akan mengakibatkan penumpang memerlukan oksigen tambahan). Pada saat ia merendah sambil berbelok arah itulah, diperkirakan gunung sudah ada di hadapannya (lihat peta). Pilot tentu berusaha menghindar. Namun karena kemiringan sang gunung sampai 80 derajat dan jarak sudah begitu dekat, maka pesawat tidak bisa naik lagi (stall). Ditimpa Kotak Pemilu Menurut Hasan Tawil pada saat itu pilot dan ko-pilot sempat berdiri untuk menaikkan kemudi agar pesawat dapat melampaui tebing gunung. Tanda bahaya berbunyi. Ada penumpang yang sudah sempat mengenakan pelampung penyelamat. Hasan Tawil bersama beberapa penumpang lainnya malahan berkali-kali berteriak memperingatkan pilot akan adanya gunung di depan. Menurut Hasan, ia sendiri tak sempat memasang ikat pinggang. Pada saat pesawat menginjak tanah, ia hanya berpegang pada kursi Husni Alatas, koresponden TEMPO yang bersama isterinya duduk di depannya. Ia terlempar keluar dari patahan pesawat. Dari tempatnya berbaring di rumah sakit Palu, Hasan masih ingat: mula-mula roda belakang menabrak pohon. Lalu sayap menyentuh pohon dan patah. Pesawat terbalik, perutnya di atas. Tertahan sebentar di pucuk-pucuk pepohonan. Beberapa saat kemudian pesawat melorot ke bawah, ke lereng gunung. Akibatnya sayap yang sebelah lagi patah pula. Dalam keadaan jungkir balik itu, beberapa orang penumpang ditimpa barang-barang bawaan – termasuk kotak suara pemilu. Ada pula yang tersangkut di cabang-cabang pohon dan lingkaran rumpun rotan. Pohon-pohon di sini tingginya rata-rata 30 meter. Sesaat setelah menerima laporan Prayoga, sekitar 50 orang penduduk dikerahkan menuju tempat kecelakaan melalui jalan darat. Sayang bahwa pada hari ketiga rombongan di bawah pimpinan Pelda Mathius ini kehabisan bahan makanan. Sebagian kembali. Sisanya telah menambah beban baru bagi satu-satunya helikpoter tim SAR. Mereka harus menjatuhkan makanan kepada tim penolong darat ini. Pada hari keberangkatan rombongan Mathius ini juga berangkat seorang penduduk Ongka Malino bernama Lembe. Sehari-harinya ia dipanggil “sapi hutan” karena kepintarannya akan segala seluk beluk hutan di sekitar itu. Lembe adalah juga pawang buaya, ular dan binatang-binatang berbisa lainnya. Ia sering dipakai oleh para pencari kayu hitam sebagai penunjuk jalan. Dalam rombongan tim Mathius, si sapi hutan ini ditempatkan paling depan. Ia ternyata paling cepat pula meninggalkan rombongan. Pencarian Akan Dihentikan Hingga hari ke-6 sejak Twin Otter Merpati itu hilang hanya ada sebuah pesawat dari jenis Twin Otter pula yang dipergunakan Pusat SAR Nasional untuk mencari jejak. Hampir setiap hari ketua Pusarnas, Laksamana Madya Dono Indarto — bahkan beberapa kali turut pula Dirjen Perhubungan Udara Kardono — mengitari gunung-gunung dan pantai di sekitar itu. Tapi tentu saja tim ini selalu pulang dengan hampa tangan ke Palu. Sebab di samping Twin Otter pencari itu tak dapat terbang rendah juga lajunya terlalu cepat. Di Jakarta beberapa hari sebelumnya disiarkan “beberapa buah helikopter” telah dengan sibuknya mencari pesawat itu. Tapi hari ke-6 itu Dono Indarto masih mengungkapkan janji beberapa pihak untuk meminjamkan pesawat heli untuk memperkuat timnya. “Pusat SAR Nasional sendiri tak punya pesawat, kita tergantung dari kebaikan hati para peminjam kalau kita sedang membutuhkan”, begitu kata Dono Indarto di hadapan para wartawan di Palu hari Minggu 3 April lalu. Melihat tim SAR yang hanya bolakbalik terbang dengan Twin Otter yang satu-satunya itu, tak heran jika para anggota keluarga penumpang pesawat yang hilang itu semakin gelisah. Bahkan beberapa orang di antaranya menilai kerja SAR hanya asal mencari saja. Lebih-lebih ketika Dono Indarto bilang bahwa bila sampai pada hari ke-9 atau hari ke-10 tak ada tanda-tanda, pencaharian akan dihentikan. Mendengar ini keluarga Teki Anaya (yang jadi penumpang pesawat yang hilang itu bersama 5 anggota keluarganya) berusaha mencari carteran pesawat. Sebelumnya hal ini tak mereka fikirkan, karena mendengar berita bahwa beberapa helikopter pencari telah dikerahkan. Sayang usaha pencarteran ini tak berhasil karena ketiadaan pilot. Satu-satunya pesawat heli baru ada pada hari ke-6, milik Pelita. Tapi ketika lokasi Gunung Tinombala diketahui sebagai tempat jatuhnya pesawat itu dan beberapa helikopter bantuan sudah datang, cuaca buruk. Terlambat lagi pertolongan. Kawasan gunung ini memang selalu berkabut. Jika tak ada hujan, masa cerah di sini hanya berlangsung 1 jam di sekitar jam 10 pagi dan 1 jam sekitar pukul 4 sore. Selebihnya kabut tebal yang tak mungkin ditembus mata, ditambah arah angin tak menentu. Namun dari pihak lain, keadaan kaki Gunung Tinombala yang terjal, makin mempersulit tim bantuan mencapai tempat kecelakaan itu. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta Sabtu lalu, kepada TEMPO Dono Indarto mengungkapkan bahwa ia telah memberi petunjuk kepada anggota pasukan yang akan terjun ke sana untuk bertahan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum para korban dapat diangkut keluar. Ini terutama karena landasan heli darurat harus dibuat dahulu, sebelum pesawat pengangkut dapat mendarat di sekitar tempat kecelakaan. Tapi menurut Dono Indarto pula, Pusarnas tak mungkin memiliki pesawat heli sendiri. Tenaga pilot kurang. Biaya perawatannya mahal. Apalagi karena penggunaannya sangat jarang. Jadi dalam kecelakaan seperti ini Pusarnas akan lebih banyak tergantung dari belas kasihan para pemilik heli semata-mata. 7 Hidup Hingga hari ke-14 sejak pesawat itu jatuh belum ada berita resmi mengenai nasib 20 orang yang masih tertinggal di pesawat. Tetapi Martin Aleida, wartawan TEMPO yang sedang berada di Palu, menyebutkan bahwa dua orang anggota pasukan para yang terjun hari Minggu pagi pada lokasi sekitar 100 meter dari runtuhan pesawat, telah menemukan 7 orang penumpang dalam keadaan hidup. Siapa mereka, belum diketahui. Sedangkan 13 orang penumpang lainnya dikatakan telah meninggalkan runtuhan pesawat. Masing-masing berjalan mencari bantuan terdekat. Kedua orang anggota pasukan Para itu masing-masing adalah Koptu Dominicus dan Kopda Sunardi. Keduanya turun dari pesawat heli dengan menggunakan tali sepanjang 20 meter. Mereka hinggap lebih dulu di pucuk sebuah pohon berketinggian 50 meter sebelum turun ke tanah. Sesungguhnya mereka bertugas membuat landasan darurat bagi helikopter bantuan, tapi gergaji mereka rusak. Akhirnya keduanya masih menunggu alat pemotong kayu yang lain. Karena itu, sementara tim Mathius belum diketahui jejaknya, hari Ahad lalu sebuah tim darat yang baru berangkat dari Ongka Malino untuk mencari para penumpang yang meninggalkan runtuharl pesawat. Hari berikutnya, yaitu Senen pagi, Kapten dr. Robbi Mandagie dan Serma Mugiran, juga telah diturunkan beberapa meter dari tempat runtuhan untuk memberi pengobatan. Sampai 10 April lalu pendropan makanan serta pasukan dilakukan oleh 5 pesawat, terdiri dari 1 Twin Otter dan 4 buah helikopter. Tapi memperbanyak pasukan Para untuk didrop di sekitar tempat kecelakaan tampaknya masih juga mengalami kesulitan, terutama karena cuaca. Pertolongan tim darat juga hampir serupa, karena lumpur yang tebal di kawasan itu. Tapi Ketua Pusarnas Dono Indarto hari Sabtu lalu menyebutkan rencananya menyertakan Wanadri (organisasi pendaki gunung) untuk memperkuat tim pencari. Masalahnya, katanya, tinggal bagaimana mengangkut mereka dan mengusahakan logistiknya. Soal logistik ini juga rupanya belum begitu lancar, sebab ternyata sampai saat reruntuhan pesawat itu terlihat, semua biaya tim SAR masih menjadi beban Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah.

16 April 1977
Masih ada apel ceng beng

MEMASUKI minggu kedua sejak kecelakaan pesawat Twin Otter Merpati itu terjadi, belum juga diketahui nasib para penumpang yaag sebelumnya dikabarkan cedera. Hasan Tawil mengungkapkan ketika pesawat beberapa saat tersangkut di pohon ada seorang penumpang wanita yang terlempar keluar dan menyangkut pula di pohon. Wanita itu kemudian terjatuh ke tanah dan meninggal. Penumpang yang lain, dr. Dwi, disebutkan juga mengalami nasib serupa. Tapi dokter Puskesmas di Toli-Toli yang habis mengantarkan isterinya (seorang internis) untuk melahirkan di Jawa, tak sabar melihat tubuhnya terlalu lama menyangkut di cabang pohon. Ia meloncat ke bawah, dengan ketinggian sekitar 30 meter. Dikabarkan ia termasuk di antara 2 orang penumpang yang tewas. Akan halnya Koresponden TEMPO Husni Alatas dan isterinya, menurut Hasan Tawil, “tak bisa dipastikan kecelakaan macam apa yang dideritanya”. Kata Hassan: “Husni mungkin patah tulang kaki atau mungkin juga hanya terkilir. Nyonya Husni meng alami patah lengan”. Sesaat setelah pesawat membentur tanah Hasan Tawil yang duduk di belakang Husni masih sempat menolong membukakan tali pengikat pinggang koresponden TEMPO itu. Bersamabeberapa penumpang lainnya mereka keluar dari pesawat. “Pada saat itulah Husni terjatuh”, tutur Hasan, “karena kakinya tak kuat.lagi berdiri”. Tapi adalah Husni Alatas pula bersama pilot Anwar yang menyarankan agar Hasan Tawil dan ko-pilot Masykur segera meninggalkan tempat kecelakaan dan mencari pertolongan terdekat. Husni Alatas (37 tahun) adalah putera tertua dari A. Alatas (73 tahun) seorang pengusaha di Toli-Toli. Kunjungannya ke Toli-Toli adalah dalam rangka perjalanan jurnalistik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah menjelang ulang tahun propinsi ini 13 April lalu. Isterinya, Nyonya Rosni Alatas Marunduh, turut serta dengan suaminya karena sudah kangen dengan sang mertua laki-laki. (Ibu Husni, yaitu Nyonya A. Alatas, tinggal bersama beberapa anaknya yang lain di Ujung Pandang). Husni dan Rosni menikah sejak tahun 1967 dan telah dikaruniai seorang puteri, Puteri Any Alatas (10 tahun) dan seorang putera Arif Budiman Alatas (5 tahun). Beberapa saat setelah mendengar kedua orang tuanya masih hidup dalam kecelakaan pesawat itu, Puteri Any Alatas menitipkan surat bagi ayah dan ibunya, bersama pakaian dan sejumlah makanan yang disiapkan keluarga Marunduh. Melalui heli surat dan kiriman itu dijatuhkan beberapa hari lalu di sekitar tempat kecelakaan. Dalam surat itu Any meminta ketabahan hati kedua orang tuanya agar tetap hidup dan dapat berkumpul lagi dengan keluarga. “Any dan Arif selalu menunggu papa dan mama”, tulis Any menutup suratnya. Bermain-main Beberapa saat setelah pesawat jatuh masi’n ada beberapa orang penumpang yang masih bisa berdiri. Tapi kebanyakan di antaranya hanya mampu merangkak. Memang kata Hasan ada penumpang yang mati mendadak. Tak lama setelah itu hujan deras turun, para penumpang berteduh di bawah kepingan pesawat atau di bawah pepohonan. Pada malam hari api memang tak dinyalakan karena bahan bakar terhambur ke mana-mana. Teki Angjaya bersama 5 anggota keluargnya termasuk di antara 23 penumpang pesawat itu. Teki adalah seorang pengusaha di Manado. Bersama isteri, 2 orang anaknya dan 2 orang saudara sepupunya pada waktu itu hendak merayakan pesta ceng beng (ziarah ke kuburan leluhur tiap tanggal 5 April) di Toli-Toli. Teki alias A Tek disebutkan sehat-sehat saja pada saat kecelakaan itu terjadi. Bahkan dua orang anaknya (10 dan 7 tahun) beberapa saat kemudian mulai bermain-main dan mencoba mencari kacamata-kacamataan mereka yang hilang di sela reruntuhan pesawat. Tatkala Teki melihat di kejauhan ada kampung, si suami pamit kepada isteri dan anak-anaknya untuk menuju ke tempat itu meminta bantuan. Ternyata sampai laporan ini diturunkan ia belum ditemukan oleh tim pencari. Seperti halnya A Tek, belum juga diketahui nasib Sugiono, Kepala BNI Cabang Toli-Toli. Ia salah seorang penumpang dari Palu yang menurut beberapa sumber mengawal uang tunai berjumlah Rp 300 sampai Rp 500 juta. Pesawat itu juga membawa uang Rp 50 juta milik BDN Toli-Toli kiriman BDN Palu. Diduga Sugiono memisahkan diri dari teman-teman senasibnya. Di samping untuk mencari bantuan, juga untuk mengamankan uang yang dibawanya. Adakah para penumpang yan selamat itu akan meninggal karena kelaparan? Mungkin – mudah-mudahan – tidak. Di antara muatan pesawat pada waktu itu terdapat sepeti buah apel sepeti minuman kaleng yang dibawa Teki Angjaya untuk persiapan pesta ceng beng. Di samping itu terdapat pula 3 kantong gulaula milik mertua Kakanwil P&K Sulawesi Tengah. Tentu juga masih terdapat makanan-makanan lainnya sebagai bawaan penumpang lainnya, di samping persediaan makanan pesawat itu sendiri. Diduga jika pilot Anwar membagi makanan itu secara rata dan teratur berbagai jenis makanan itu akan cukup bagi para penumpang tadi sampai 3 hari. Hari-hari selanjutnya mereka dapat mempertahadkan hidup dari minum air, yang sumbernya tak begitu sulit didapat. Lebih-lebih karena hujan sering turun. Hasan Tawil dan kopilot Masykur sendiri sepanjang perjalanan mereka sebelum bertemu dengan penduduk, hanya memakan permen dan minum air sungai.

23 April 1977
SAR: Biar Lambat, Asal …

PRESIDEN Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula, pekan lalu menyatakan kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim memuji. Dan banyak orang menunjukkan penghargaan kepada para anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang nyaris hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung Tinombala. Ini adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan lamanya, telah dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli biasa dari jenis Allouette dan Bolkow. Turut serta hampir 50 orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang didatangkan dari Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim setempat, 40 orang yang dipimpin Pelda Mathius. Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang meninggal adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta ko pilot Masykur. Menurut berita terakhir dari Palu, seorang penumpang yang masih belum diketahui nasibnya (karena meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari Gorontalo. Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat. Adanya sejumlah orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu lama tak tertolong dan kelaparan, merupakan inti tragedi kisah ini. Mungkin sadar akan kelambatan kerja SAR, keluarga Teki Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka mengadakan sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat kemudian, jadi Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk orang-orang yang suka duit. Tiap calon pencari diberi uang bekal rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang cuma berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan laporan: “belum berhasil”. Dan minta bekal lagi. Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan SAR kurang peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba berkata: “Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia harus dididik secara baik dan teliti”. Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru – meskipun tetap benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan pertama kali terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha ini dilanjutkan di tahun 1959 oleh beberapa orang pejabat penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak berkelanjutan. Tak ada biaya. Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan mendirikan Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui Keputusan Presiden organisasi ini lebih disempurnakan dengan lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI). Badan ini merupakan kerjasama antar departemen yang bertugas mengkordinir pencarian dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI, didirikan Pusat SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk tingkat wilayah dibentuk Kantor Kordinasi Rescue (KKR). Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari, administratif maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen Perhubungan. Sedangkan pembinaan unsur-unsur SAR menjadi tanggung jawab masing-masing departemen atau instansi yang bersangkutan. Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando Satuan Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di gunung Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi sebagai kordinator saja. “Belum punya pesawat satupun”, katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila Pusarnas memiliki pesawat sendiri. “Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR”, tambahnya. Sementara itu menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang Operasi Pusarnas pesawat khusus SAR itu sangat mahal dan hanya dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini dilengkapi radar pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil. Juga dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata infra merah. Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak punya pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga jumlah personil sangat tak memadai. “Jumlah personil yang minimalpun kami tak punya”, tutur Soenarto. Sementara itu, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki satu saja pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup, penanggulangan musibah itu tak akan mencapai belasan hari. Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim memuji hasil kerja tim SAR sebagai “prestasi yang gemilang”, namun saat-saat kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika berkali-kali usaha penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke tempat kecelakaan gagal. Pada saat inilah baru terlintas di kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari Wanadri, itu perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk minta bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi niat itu belum terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot Amerika, John Anderson, karyawan perusahaan minyak Arco di Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia berhasil mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan Serda Sunardi pun — dari Kopasgat – turun melalui tali di pucuk pohon yang terletak 20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari pohon sekitar 50 meter itu mereka meluncur. Mereka sampai pada 100 meter dari tempat pesawat jatuh. TAPI di tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat. Kedua anggota Kopasgat itu harus segera bekerja membuat landasan darurat heli (helipad) untuk pertolongan selanjutnya. Tapi gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama, sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter. Mendapat laporan tentang kesulitan membangun helipad ini, SAR sempat pula merancang satu usaha yang mirip usaha gila. Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang lebih banyak. Tanpa helipad para korban akan diusahakan penyelamatannya melalui kursi yang dipasang di ujung tali yang menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke kursi itulah nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke heli. Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli Allouette memang sempat latihan dengan usaha penyelamatan begini. Semangat pasukan penolong memang berkobar-kobar, sampai-sampai mereka agak lalai terhadap atasan. Anak buah Mayor Mulyono yang hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam pembuatan helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai instruktur. Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak buah Mulyono tidak sempurna. Mereka agak kesal dengan peristiwa itu. Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto sedang asyiknya menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35 waktu setempat, tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat tempat kecelakaan. Dono mendapat laporan bahwa Mayor Mulyono sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan dua malam. Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat Emil Salim. Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada Menteri Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa setahunya. Tetapi ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua. Merekalah yang menemukan Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang sudah meninggal di kaki gunung Tinombala. Merekalah yang membantu para korban itu diturunkan. Mereka membungkus dan mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti itu mayat tadi dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino. Sebelum mencecah tanah jenazah itu disambut oleh pasukan dan cepat ditampung dengan tandu. Di perkampungan ini jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik dan karung ditabur kopi untuk menghilangkan bau, dan selanjutnya di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti jenazah setelah karungnya diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat tujuan. Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru bagi rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang menemuinya berkali-kali dia mengatakan: “Akan mengusahakan sekuat mungkin jenazah dibawa turun”. Hal ini terutama dia ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua Husni Alatas. Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di tempat kecelakaan. Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian tempur, dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di lokasi. Dia mengikuti proses penyelamatan jenazah dari pesawat yang malang tersebut. Seberapa besar kecelakaan ini makan ongkos MNA, belum diketahui. Frekwensi penerbangan perintis yang 2 kali seminggu jika dulu selalu padat penumpang, sejak kecelakaan hingga sekarang tinggal sedikit. Malahan menurut seorang agen penjualan karcis, satu kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang sekarang merasa lebih aman lewat laut. Kecuali barangkali rute pesawat terbang akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah direncanakan oleh Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit lebih lama. Tentu saja pesawat harus dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya membawa Parachute Flare Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat ini dalam kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa benda bersinar merah.

23 April 1977
Di Sisinya Saya Menangis

KIRA-KIRA 20 menit lagi pesawat Twin Otter itu sudah akan mendarat di Toli-Toli. Penerbangan ini merupakan perjalanan yang amat membahagiakan bagi Rosny Husni Alatas. Kedatangannya ke kota kecil itu merupakan kesempatan pertama untuk memperkenalkan diri kepada mertuanya Abdul Rachman Alatas. Sebenarnya sudah lama niat untuk berkenalan dan beramah-tamah dengan keluarga besar Alatas itu mereka rencanakan. Tetapi 29 Maret 1977 itu mereka perhitungkan sebagai hari baik. Hari itu kebetulan suaminya akan menjalan!an tugas jurnalistik ke kota kelahirannya, Toli-Toli. Sampai di Gunung Tinombala arah perjalanan tadi ditentukan lain. Pesawat turun merendah menghindari kabut tipis dan tiba-tiba membelok dengan cepat ke arah kiri. Pesawat bergoncang keras. Karena goncangan itu Ros mau bertahan dengan memeluk suaminya yang duduk di sebelah. “Jangan begitu”, kata Husni. “Peganglah kursi depan”, sambungnya. Suara menggelegar yang sangat keras dua kali kedengaran. Semua penumpang tak ada yang tahu apa yang terjadi pada saat-saat genting itu. “Begitu saya sadarkan diri, saya sudah terduduk kira-kira empat meter dari patahan pesawat”, kisah isteri wartawan itu ketika baru saja diturunkan dari reruntuhan pesawat dan terbaring di tempat perawatan di Ongka Malino. Pesawat itu patah tiga. Ros mendengar rintihan Husni dari arah pesawat bagian dalam. “Tolong!”, teriaknya. Ros mencoba mendekat ke pesawat. Tapi dia tak kuat. Kaki kirinya tak bisa digerakkan. Patah. “Di mana kau Husni…?” dia berseru. Kemudian kedengaran lagi rintihan dan suara minta tolong dari suaminya. Hasan Tawil, yang kebetulan juga terlempar ke luar pesawat dan hanya menderita luka ringan di dekat mata sebelah kirinya, menolongnya untuk mendekat ke sisi Husni. Dia dipapah Hasan Tawil. Kaki kiri Husni Alatas terjepit dan terputar ke belakang karena ditindih kursi dari depan dan peti-peti muatan pesawat. Kepalanya mengucurkan darah, terbentur pada dinding pesawat. Kacamatanya terlepas. “Apamu yang sakit?” tanya Ros. “Kakiku. Tolong bukakan sepatuku” Ros memegangi kaki kiri suaminya. Ia hanya bisa mengurut kaki itu, sebab untuk membukakan sepatu suaminya itu dia tak bisa. Kursi depan menjepit kaki Husni. “Dekatlah ke mari”?, pinta Husni. Tetapi Ros sudah tak bisa mendekat karena kaki kirinya tetap tak bisa digerakkan. “Sudah, kakimu saja yang saya urut”, jawabnya. Dia mengurut kaki suaminya itu. Husni tak merintih lagi. Dia mengenakan kacamatanya. Tapi penderitaan tak bisa dia lepaskan. “Ya Allah Ya Karim”, dia berseru sampai dua kali. Kemudian dia diam. Husni Alatas hanya bisa bertahan melawan penderitaan itu selama 5 jam. Sore sekitar jam 4 tubuhya sudah menjadi jasad yang tak bergerak lagi. Isterinya menangis sambil memegangi kakinya yang patah terputar itu. Dia tak kuasa untuk berdiri dan memegang kepalanya yang bercucuran darah. 15 hari Ros mendampingi jenazah suaminya sambil bertahan melawan maut. Duduk dekat jenazah suaminya, Ros berjuang melawan lapar dengan memakan apel dan jeruk yang ditemukan dr Dwiwahyono setelah mengais-ngais di antara barang-barang yang berserakan dan keping-kepingan pesawat. “Jeruk dan apel itulah makanan kami pada hari pertama. Saya seperti tak sanggup makan di sisi Husni yang sudah pergi”, katanya. Hari kedua mereka yang bisa bertahan hidup hanya memakan 2 biskuit, untuk menghemat. Tetapi pada hari ketiga makanan itu sudah habis. Ham Sek Lae yang bertahan di reruntuhan itu sembari menjaga neneknya yang meninggal seketika, turut berjasa untuk para korban yang bertahan. Dokter Dwiwahyono dan anak muda itulah yang memungut makanan, seperti roti dan permen yang berserakan di sekitar pesawat yang rungsek. Pada hari ke empat Ros bersama 6 orang yang terhindar dari maut mulai memakan kol mentah. Pada hari ke lima untuk bertahah dari rasa lapar mereka terpaksa memakan dendeng mentah. “Ketika semua makanan sudah tak bersisa, pada hari ketujuh orang-orang mulai bertekad meninggalkan pesawat”, tutur Ros Husni Alatas kepada wartawan TEMPO Martin Aleida yang menjenguknya di peristirahatan di Ongka Malino. Pada hari ketujuh itulah pilot Achmad Anwar meninggalkan pesawat. Dr Dwiwahyono menolak rencana keberangkatan itu. “Jangan. Kalian tak punya persediaan makanan”, katanya, Ros dan beberapa orang lagi yang sudah berniat untuk meninggalkan pesawat dan sudah siap dengan permen di kantong akhirnya tak jadi berangkat. Hanya pilot dan juru mesin yang meninggalkan tempat. Yang tinggal bertahan dengan makanan yang hanya tinggal dendeng mentah, sedang minum ditampung dengan sepatu. “Untunglah tiap hari ada hujan. Kalau tidak saya tak tahu bagaimana nasib saya”, katanya. Kira-kira dua hari setelah rencana nekad untuk meninggalkan tempat kecelakaan itu, di langit menderulah suara pesawat helikopter. Tiga kaleng susu dijatuhkan dari udara. “Setelah droping pertama makanan itu, boleh dikatakan pesawat saban hari berada di atas kepala kami. Makanan jatuh tak jauh dari tempat kami berlindung. Dr Dwiwahyono dan Ham Sek Lae yang mengambil. Makanan kami semakin cukup. Tetapi hati amat pedih melihat Husni yang masih terduduk di samping”. Ros menyeka air matanya. “Jangan menangis lagi. Habis airmata”, sapa dr Dwiwahyono yang terbaring di dekatnya. Tegur sapa dokter yang banyak membantunya itu tak sempat dia jawab. Regu penolong dengan sebuah tandu sudah berdiri di sampingnya. Dia kemudian dibawa ke pesawat heli dan diterbanykan ke Palu. Di kota itulah dia berkenalan dengan Husni Alatas. Mereka hidup berbahagia, bersama dua putera mereka, Putriani dan Arif Budiman. Kini kedua anak itu harus berpisah dari sang bapak – tanpa mereka duga. 6 April, setelah tempat kecelakaan itu ditemukan, petugas MNA datang menemui keluarga Husni, kalau-kalau mereka hendak menitipkan makanan untuk Husni Alatas dan isterinya. Ketika petugas itu akan pergi membawa barang kiriman, Putriani, 9 tahun, tiba-tiba berkata: “Tunggu Pak, saya mau tulis surat untuk Mama dan Papa”. Dia masuk ke kamar. Menulis surat. Langsung menyerahkannya kepada petugas tadi. Isinya: Kepada yang terhormat Mama dan Papa di hutan. Dengan hormat. Bersama ini Mama dan Papa masih ada dalam hutan. Kami di sini dengan keluarga ada baik-baik. Bagaimana sampai terjadi dalam bahaya, Mama dan Papa. Kami dan keluarga bersedih bahwa Ani dengar Mama dan Papa patah kaki. Kasihan Mama dan Papa. Makanan ini dari Ani Budi dan keluarga lain. Semoga Mama dan Papa dilindungi Tuhan. Ani dengar juga Papa terjepit di kursi. Kue ini buat Mama dan Papa dan penumpang lain. Mama dan Papa selalu sembahyang supaya Mama dan Papa dan penumpang lain dapat selamat. Biar Mama Papa patah kaki pokoknya selamat. Ani dengar ada nenek umur 80 tahun bersama anak kecil berumur 6 tahun atau 6 bulan. Ani sedih mendengar kata-kata yang terjadi. Mama Papa baik-baik. Mama tidak usah ingat-ingat Budi. Budi ada baik-baik. Tante Emi menangis waktu itu helikopter datang. Ani kira Mama dan Papa ada di dalam dan penumpang yang lain. Padahal helikopter dari balikpapan. Ani selalu doakan Mama dan Papa. Ani tidak sekolah 1 minggu lebih karena ingat-ingat Mama Papa. Surat itu selamat. Juga Mama. Tapi sang Papa tidak.

23 April 1977
Dia Kopral Dominikus

JENAZAH Husni Alatas dan Harsoyo disembahyangkan di sebuah langgar di Ongka Malino Sekitar 15 orang ikut dalam upacara itu. Ketika Emil Salim, Kardono dan beberapa penduduk transmigran itu keluar dari langgar, Kopral Satu Dominikus masuk dari pintu samping. Dia melepas topinya. Membuka sepatu. Dan dalam pakaian seorang penerjun dengan sepucuk pistol dan kampak di pinggang ia berdiri di depan peti jenazah. Di langgar, tempat kaum muslimin menyembah Allah, Dominikus berdiri tegak. Ia letakkan kedua tangannya di dada dan mengucapkan doa seorang Kristen. Saat dia akan meninggalkan ruangan langgar itu, seseorang berkata kepadanya: “Husni Alatas teman saya. Terimakasih untuk doamu tadi, Dominikus”. Anggota Kopasgat kelahiran Flores itu menjawab: “Di hadapan Tuhan semua orang sama”. Dominikus Poin, 30 tahun, tak salah lagi merupakan salah seorang yang berjasa dalam menolong korban Twin Otter di Gunung Tinombala. Dialah yang 10 April bersama Kopral Dua Sunardi turun ke tempat kecelakaan. Kedua penerjun itu merupakan pasangan yang serasi dan tak pernah berpisah dalam operasi rescue. Ketika pesawat Albatros jatuh di Gunung Sidole tahun 1974, dua serangkai ini juga yang turun menolong. “Begitu turun ke atas pohon badan saya terbelit tali. Sunardi yang turun kemudian memberikan pisau kepada saya”, katanya menceritakan kisah, pertolongan itu kepada Menteri Perhubungan Emil Salim. Dengan pisau itu dia memotong tali yang membelit tubuhnya. Lepas dan tali itu, bagaikan bajing dia bergayut di dahan yang menyambutnya di bawah. Tindakan itu harus segera dia lakukan, kalau tidak heli yang menurunkannya akan tambah lama hovering. Satu keadaan yang akan membahayakan heli itu sendiri. Dengan seutas tali, panjangnya 60 meter, dia meluncur ke tanah. Kira-kira seratus meter dari tempat kecelakaan. Sudah agak siang ketika mereka berdua turun ke lokasi itu. Iam 08.35. “Karena gelap, ditutup kabut kami berhenti dulu. Begitu ada cahaya lagi, segera kami turun menuju tempat jatuhnya pesawat”, kata Dominikus. Ketika reruntuhan pesawat Twin Otter buatan Canada itu sudah terlihat dia berteriak: “Anggota SAR datang”. Seseorang, yang belakangan diketahui adalah dr Dwiwahyono, menyambut mereka dengan kata-kata: “Kami hidup!”. Kopral Sunardi tak lupa menyampaikan salam : “Assalamu Alaikum”, yang kemudian disambut dokter itu dengan seruan “Alaikum salam. Allahu Akbar”. Dominikus dan Sunardi menjenguk para korban yang bertahan hidup dan berpelukan dengan Dwi. Dokter ini yang sebelumnya dikabarkan mati, banyak jasanya menolong teman senasib. Dengan makanan, obat-obatan, dan semangat. Tak lama Dominikus dan Sunardi bersebut-sapa di hutan yang lebat dan dingin itu. Mereka minta dia untuk mempersiapkan helipad. Gergaji chainsaw yang mereka bawa ternyata macet pada hari pertama. “Hanya dengan kampak ini”, kata Dominikus, “kami bekerja pada hari pertama. Biar kecil begini 36 pohon bisa kami tumbangkan”. Kampak yang lebih kecil dari tapak tangan itu dia keluarkan dari sarangnya dan menunjukkannya kepada orang-orang yang datang berkerumun. Mereka bekerja mati-matian untuk membuka hutan lebat itu. Sampai jam 1 malam mereka masih bergulat dengan pepohonan yang tingginya kira-kira 50 meter. “Hanya kedua chain-saw sudah bisa dipakai. Kami mulai berjoget. Kami memang memerlukan helipad untuk keluar. Tapi yang paling penting adalah untuk mereka yang terus-terusan menangis dipesawat yang jatuh itu”, katanya. Pada hari ketiga, 13 April, dia turun dari lokasi untuk menurunkan peralatan. Tangan kirinya cedera sedikit. Namun dalam keadaan seperti itu dia masih bekerja terus. Mempersiapkan regu penolong. Dialah yang memacung sampai putus tali pembawa jenazah yang dibawa menggantung sepanjang 60 meter dari atas heli. Dia letakkan jenazah itu ke atas tandu. Dan regu penolong, yang terdiri dari penduduk biasa di Ongka Malino itu, membawanya pergi

07 Mei 1977
Setelah Sang Dokter Loncat Dari …

KEPINGAN cerita dari tragedi Twin Otter mungkin akan hilang satu-satu. Tapi tokoh-tokoh yang tersangkut di dalamnya barangkali akan lebih lama dikenang. Setidak-tidaknya mereka yang telah melakukan amalan baik selama musibah. Menteri Emil Salim, beberapa waktu yang lalu menyebut-nyebut lima orang yang direncanakannya untuk mendapat penghargaan. Di antara mereka adalah dr. Dwiwahyono, yang sampai kini masih tetap terbaring di RS Propinsi Sulawesi Tengah di Palu bersama empat penderita lainnya. *) Sesungguhnyalah Dwiwahyono, yang memang selayaknya sebagai seorang dokter, telah banyak membantu menghindarkan sesama korban yang masih bisa ditolong dari kemungkinan menjadi lebih parah. Atau, dengan kata lain, berikhtiar mengurangi jumlah calon jenazah — sementara ia sendiri harus merangkak-rangkak lantaran cedera berat. Membalut anggota-anggota tubuh yang luka dengan perban, menginjeksi, memberi obat atau vitamin, maupun meninggikan mental dengan hal-hal keagamaan, memang penting sekali. Tapi yang juga sangat penting adalah usahanya untuk mencegah siapa saja yang bermaksud meninggalkan lokasi kecelakaan – dengan kemungkinan malah menemui maut. Itu dilakukannya misalnya pada hari ketujuh, ketika orang-orang — termasuk Ny. Husni Alatas, yang waktu itu mengira dirinya mungkin “sudah agak baik” — beranjak pergi setelah kehabisan makanan. Juga Pilot Anwar, yang belakangan diketahui “retak tulang kepalanya di bagian belakang, sehingga semestinya tidak begitu sadar” — menurut Kepala RS Palu dr. Simorangkir yang memeriksa jenazahnya. “Saya ingat betul, “tutur Dwi, “betapa nyaring suara saya di tengah hutan itu mencegah mereka pergi”. Nah. Apa yang menyebabkan Dwi begitu yakin: bahwa lebih baik tetap tinggal di tempat? Pertama, menurut bahasanya sendiri: akal sehat. “Sedang barang yang hilang selalu kita cari. Apa lagi kalau orang yang hilang. Pasti kita sedang dicari”. Lengkapnya nama-nama yang disebut Menteri adalah: Koptu Kopasgat Dominikus Poin, Kopda Kopasgat Sunardi, Kapten helikopter Alonette IAT Arthurson dan Kapten Pilot BO 105 Pelita Air Service Antonius Suwarso, serta dr. Dwiwahyono. Lain dari itu musibah ini bukanlah yang paling besar baginya. Ia yang menyatakan “sudah 27 kali mendapat kecelakaan besar maupun kecil”, pernah mengalami tabrakan sepeda motor di Jakarta –dengan hasil yang lebih parah. Dokter ini memang punya kepercayaan diri sendiri yang ternyata menakjubkan juga besarnya. Selalu Siap Melompat Orang muda berumur 28 tahun ini bukanlah tipe dokter seperti yang umumnya dibayangkan orang: yang kalem, tersenyum-senyum, menyuntik sambil membujuk-bujuk. Dwi, lulusan UI 1974, yang mengaku dulu memimpin karate atau kempo di fakultasnya, adalah potongan anak muda yang banyak bergerak, banyak bicara, bangga terhadap diri sendiri dan selalu siap melompat. “Anak buah saya dulu saya hantam kalau berbuat salah”, katanya. Bayangkan: kepingan pesawat yang tersangkut di pohon itu, tak berapa lama kemudian bergerak ke bawah. “Secara spontan saya meloncat. Dalam keadaan setengah sadar. Saya tidak tahu dapat tenaga dari mana saya. Heran, saya meloncat begitu jauh!” Maunya ia meloncat ke tanah. Tapi pohon-pohonan di tebing yang lebih rendah menerima tubuhnya: krasak! Dwi menyangkut di situ. Sudah tentu ia berjuang mencari jalan turun. Agak lama (dan persis waktu itulah ia lihat Hasan Tawil dan Kopilot Maskur beranjak pergi). Mungkin percaya akan “tenaga dalam”nya, atau tak sabar tinggal lama di rerantingan, ia akhirnya melompat kedua kalinya ke bawah – 10 meter. Dan patahlah tulang punggungnya. Dan tinggallah ia di hutan itu, di tempat di mana pohon-pohonan meranggas akibat amukan pesawat, selama 16 hari – “dengan sama sekali tak ada problim”, katanya. Sebabnya? Selain pernah ikut latihan militer di Walawa dulu selama 800 jam — dan semasih di sekolah pernah bertugas sosial di Skodik Wala Pawamil ABRI di Rindam VI di Cileungsi, Bandung, 1974, dan bersama AURI di Kalimantan di tahun sebelumnya – ia juga punya kegemaran yang menguntungkan: berburu di hutan. Bersama kakak iparnya, dr. Utomo, ia sering bermalam-malam menginap di hutan, misalnya di Lampung. Sifatnya yang keras dan mau bergerak itu pula — dengan tubuhnya yang kecil ramping, plus kumis kecil panjang – yang mendorongnya mencari kesibukan agar ia benar-benar merasa puas selama bertugas di daerah, khususnya di RS Toli-toli. Alat-Alat Yang Belum Ada “Saya mencoba membangun di RS Toli-toli dari yang tidak ada menjadi ada. Dan rupanya Pak Bupati Edy Suroso itu responsnya baik sekali. Pak Edy selalu menerima saran-saran dan memenuhinya”. Apa yang berhasil dibangun? “Alat-alat yang belum ada, saya buat sendiri di bengkel. Dengan bantuan Pak Bupati saya bisa mendatangkan lampu operasi dan segala macam keperluan operasi”. Alat-alat apa? “Misalnya alat perentang luka, alat pengambil spiral, alat pembersih gigi, semacam tang untuk mengambil benda dari hidung, kemudian kerekan untuk menaik-turunkan lampu, kemudian . . . Dalam hal administrasi? “Administrasi saya lakukan banyak perombakan. Saya tidak suka orang yang yes man. Dan dengan itu ia merasa sangat puas bekerja di daerah. Ia bahkan merasa perlu rekan-rekannya seprofesi diberi pesan, terutama yang baru lulus. “Jangan hanya mau di kota”, katanya. “Rasakanlah hidup di desa: betapa kasihannya mereka mengharapkan perawatan seorang dokter. Tapi kalau mau senang-senang ya jangan tinggal di desa”. Dokter yang menyatakan punya kegemaran “mengumpulkan kata-kata muiara” ini sendiri sebenarnya dokter Inpres. Seperti yang lain-lainnya, ia harus bertugas tiga tahun – dan tahun depan ini selesai. Resminya ia ditugaskan di Bangkir, 25 km dari Toli-toli, sementara isterinya — dr. Dian Dharnayani — di Ogotua. Tapi lantaran Ogotua hanya bisa dicapai dengan perahu motor selama 8 jam, tempat dibalik: Dwi di Ogotua dan Nyonya di Bangkir, di mana mereka resminya tinggal sekarang. Sang isteri, bukan tenaga Inpres, sampai sekarang masih saja berstatus honorer. Ia ditugaskan di semacam poliklinik di Bangkir, selain buka praktek. Dwi sendiri tak mau buka praktek. “Habis waktu saya untuk memikirkan kemajuan rumah sakit”, katanya. Karena Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buol/Toli-toli pergi sekolah untuk dua tahun, ia pun mulai tahun kemarin diangkat sebagai penjabat pengganti kepala tersebut merangkap Penjabat Kepala Rumah Sakit Umum Toli-toli. Tercapaikah cita-citanya, dengan demikian? Anak kelahiran Purworejo ini (5 Juli 1948), berniat meneruskan studinya untuk spesialisasi bedah – setelah selesai tugasnya tahun depan. Dan sudah itu, menurut pengakuannya, sedapat-dapatnya ingin kembali lagi bertugas di kota kecil. Meski begitu cita-citanya semenjak kanak-kanak sebenarnya bukan dokter. Sebagai putera kedua dari pensiunan tentara H. Bachrulhayat Muhammad Rochsidi dan satu-satunya yang jadi dokter dari tujuh bersaudara – ia sebetulnya ingin jadi tentara. Apa lacur, orangtuanya tak mengizinkan. “Saya lalu mendaftar ITB, dan lulus testing. Tapi orangtua juga tidak memberi izin. Akhirnya ya terpaksa sekolah dokter”. Ali Moertapo Wawancara terputus. Rombongan Ali Moertopo dari Jakarta datang menengok (dan dua hari sebelumnya rombongan Amirmachmud juga datang menengok). “Saya tak apa-apa!” kata Dwi kepada Letjen Ali Moertopo. “Saya tak apa-apa kok ditengok”. Dan orang-orang keta wa. “Wah, ini ganteng sekali”, kata David Napitupulu, tokoh KNPI yang menyertai Ali Moertopo. Dan semua ketawa lagi beramah-ramah. Rombongan pergi, dan Dwi bertanya: “Siapa itu tadi?” “Itu namanya Bapak Ali Moertopo”, ada yang bilang. “Ben! Benny!’ (dan dr. Benny, yang lagi melamun-lamun, menengok). “Lu daripada ‘ terbengong-bengong ngrokok mendingan deh. Mulut lu bau kalau nggak ngrokok”. “Berapa banyak dr. Dwi merokok setiap hari?” tanya TEMPO. “Enam bungkus”. “Wah. Segala jenis rokok?” “Kretek. Hanya kretek. Tapi setelah kakak saya ini (dr. Utomo) datang, semuanya dia jatah, hanya lima batang sehari! ” Dan di meja kecil di samping tempat tidurnya, terletak stoples kecil. Di dalamnya alat suntik, tergenang dalam air. Tertulis di stoples itu kira-kira: ‘Alat inilah yang menyelamatkan para korban sebelum datangnya droping obat-obatan’. Bahkan pada perban yang membalut sekujur kaki Dwi yang kiri, bisa dibaca tulisan seperti: ‘Kenang-kenangan dari G. Tinombala’ dan semacamnya. Coret-coretan itu juga disuruhnya tulis di kaki Ny. Husni. Jadi setelah masuk kedokteran UI di Jakarta (di mana ia juga menyelesaikan SMP dan SMA-nya, dua-duanya sekolah Katolik), berkenalan dengan Dian Dhamayani, puteri Jaksa Tinggi Sumatera Selatan Sjarif I.D. SH. “Dia itu dulu saya yang mlonco”. Maka setahun setelah lulus, pemuda yang juga pernah dikenal sebagai Ketua Komisariat HMI Kedokteran ini pun kawinlah – 23 Maret 1975. Kakak perempuan Dian sendiri, juga dokter, sudah lebih dulu menikah dengan dr. Utomo, super spesialis bedah tulang. Dan tibalah saatnya untuk menantikan anak pertama. Dwi dan Nyonya berkemas-kemas di Bangkir: sang nyonya merasa lebih baik menantikan kelahiran di Jakarta saja. Dwi mengantarkannya ke sana: syukurlah, selamat, sampai tiba di rumah . . . ‘Tugas’ Agama Ketika musibah itu terjadi di perjalanan pulang, dan dikabarkan Dwi gugur lantaran meloncat dari pohon, tak terbayangkan betapa kejutan hati Nyonya dan seluruh keluarga. Tapi begitu Dwi melompat, apa yang dirasakan pertama kali dalam kesakitan itu ialah katanya: “Bagaimana bisa bertahan hidup dan meninggikan semangat kawan-kawan”. Itulah sebabnya bagian yang juga sangat penting dari ‘tugas’nya waktu itu, adalah hal-hal yang berhubungan dengan agama dan kerohanian. Dari mana mendapat pelajaran agama dahulu? “Dari kakek saya almarhum, Haji Darmosonto, asal Banyumas. Lalu dari ayah saya”. Anda disiplin? Artinya, saleh? “Saya memang tidak alim. Tapi boleh ditanyakan kepada kawan-kawan saya sembahyang lima kali sehari. Tapi saya tidak alim”. Apa yang paling mengikat jiwa anda dalam hal agama? “Yah… Saya beragama tadinya ikut-ikutan. Ikut kakek, pergi sembahyang. Ikut bapak. Lama-lama… (dan ia menarik nafas, capek), oh, inilah agama yang saya pilih. Nggak tahu deh kenapa. Anak saya juga nanti akan saya beri pendidikan bebas. Kecuali dalam hal agama”. Selamat ya, untuk puteranya yang sudah lahir. “Belum. Berita di koran itu nggak benar. Tempohari memang saya bilang kepada wartawan itu, kalau anak saya nanti lakilaki saya kasi nama Otter. Kalau perempuan Otterini, sebagai kenang-kenangan. Tapi diharapkan akan lahir minggu ketiga Mei nanti, dan memang belum lahir”. Dan sambil memikir-mikirkan nama anaknya di gunung itu, Dwi – di samping menulis buku harian, dan merokok — menganjurkan orang-orang sembahyang menurut agama masing-masing. Ia sendiri shalat terus. Membaca Do’a ‘Ukasyah, Ayat Kursi, Surah Yasin, dan zikir sedapat-dapatnya. (Ia mengantongi sebuah brosur kecil, Ayat 15, terbitan Al-Ma’arif Bandung, yang sekarang juga diletakkannya di meja di samping pembaringannya). Ia juga mengisi waktu dengan menyanyi bersama-sama. Lagu-lagunya: Kalau Nona Mau Percaya, lagu Ambon. Lalu Don’t Forget to Remember. “Itu lagu memori saya dengan isteri”. Dan lain-lainnya, umumnya lagu-lagu Ambon yang gembira, seperti Batu Bedaun atau Kantina Juga ngomong-ngomong bab agama. Apa topiknya? “Yah misalnya tentang Nabi Muhammad waktu terkurung di Gua Hira. Atau Nabi Nuh yang diejek orang-orang, atau Nabi Ismail yang rela. Yah pokoknya tentang kesabaran dan tahan mental”. Dan ia juga memarahi Suryadianto, pemuda keturunan Tionghoa dari perusahaan rokok kretek di Kudus – yang sekarang ini terbaring di sebelah kirinya. Waktu itu Suryadianto selalu mengaduh-aduh. Kata Dwi: “Kalau kesakitan jangan bilang aduh. Baca Allahu Akbar saja!” – lantas ia ajar syahadat, dan rekannya itu menurut. Ia juga menyimpan baik-baik wasiat Husni kepadanya. Apa? “Yang saya ingat empat macam. Isterinya supaya memakai baju hitam selama dua minggu. Lalu, dia menitipkan kedua anaknya kepada saya, yang bernama Ani dan Budi. Tapi nggak tahu siapa Ani dan Budi. Baru di rumah sakit ini saya tahu. Ketiga, sepertiga dari hartanya supaya diserahkan kepada anak-anak yatim. Dan keempat: sandal jepit yang berwarna kuning dan baju putih bergaris-garis, jangan dibuang. Dibungkus baik-baik dan masukkan dalam lemari”. Barang-barang itu ada di sana? Dibawa dalam penerbangan? “Mana saya tahu! Saya waktu itu juga belum tahu lusni itu siapa. Saya hanya mematuhi karena ini amanat orang yang akan meninggal”. Dokter Dwi, kawan kita yang belia ini, masih akan tinggal di RS Palu setidak-tidaknya dua bulan lagi. Mari kita kirimkan terimakasih dan doa sukses.