Tempo.
16 April 1977. KOTA Palu masih gelap. Bukit-bukit dan lereng yang mengitari
lebih dari seperdua ibukota Propinsi Sulawesi Tengah ini diliputi kabut tebal.
Tapi tak lama kemudian matahari mulai menusuk celah-celah bukit itu.
Dan
waktu itulah, ketika jam setempat menunjukkan pukul 05.45 hari Jum’at 1 April
1977, sebuah pesawat Twin Otter milik Merpati meninggalkan landasan lapangan
terbang Mutiara, beberapa km di luar kota Palu. Pesawat itu mencoba menyusuri
kembali jejak Twin Otter tipe DHC/ BWY milik Merpati yang hilang dalam
penerbangan Palu-Toli-Toli 4 hari sebelumnya. Ketua SAR Nasional, Marskal Madya
Dono Indarto, yang ada di dalam pesawat pencari itu bersama beberapa anggota
SAR lainnya dan beberapa orang wartawan mula-mula duduk dengan tenang. Tetapi
beberapa menit kemudian, ketika Gunung Sidoley (tinggi 5.800 kaki) mulai
tampak, ia bangkit memasuki kokpit memberi beberapa petunjuk kepada Kapten Elly
Sumarno yang mengemudikan pesawat. Sebab sampai had itu SAR Nasional masih
mencurigai Gunung Sidoley (12 menit penerbangan dari Mutiara) sebagai tempat
kandasnya pesawat yang dicari. Kabut tipis masih berserakan di seluruh kawasan
Sidoley. Pada putaran pertama mata masih bebas menyelidik ke segenap penjuru.
Bahkan sebagian penumpang masih melihat jelas runtuhan pesawat Albatros milik
ALRI yang jatuh di salah satu lerengnya 4 tahun lalu. Tapi pada putaran kedua
hampir seluruh kawasan glmung ini sudah berkelambu kabut tebal. Hutan yang
gempal berkayu tinggi dan tak berpenghuni di bawah itu hanya sekelumit saja
terlihat sesekali. Kecurigaan berikutnya adalah w,ilayah pegunungan Sojol
(Ogoarnas) dengan puncak tertingginya sampai 9.800 kaki. Terasa demikian
menonjol puncak ini sehingga pemt pulau Sulawesi yang penuh gunung dan bukit
itu tampak seakan datar saja. Pesawat SAR berkalikali mengitari gunung Sojol
dan anakanaknya. Tak sesuatupun mencuriga kan. Tapi ketika pesawat pencari
mulai melayang-layang ke gugusan gunung sebelah timur dan utara, sinar matahari
terasa mulai membias tajam. Dan kabut tebalpun mulai menghampar di bawah itu.
Beberapa desa, persawahan transmigrasi di sepanjang pantai dan huma orang-orang
suku terasing, tinggal samar belaka. Setelah dua jam lebih terbang, pesawat
pencari itu membelok ke arah Palu. Pulang dengan sia-sia. Tapi pada hari itu
juga, Masykur, Hasan Tawil dan Haji Salim Midu – 3 dari 23 orang penumpang Twin
Otter yang hilang itu – muncul di perkampungan transmigran unit III Ongka
Malino, 12 jam lebih perjalanan dengan jip dari kota Palu. Kampung ini cukup
jelas terlihat dari lereng Gunung Tinombala, di mana pesawat Palu-Toli-Toli itu
jatuh. Jika ditarik garis lurus, jarak antara tempat pesawat jatuh dengan desa
Ongka tak lebih dari 20 km. Sebelumnya Masykur dan Hasan secara kebetulan telah
bertemu dengan Salim Midu. Orang ini bersama-sama telah meninggalkan tempat
pesawat jatuh dengan arah berbeda-beda. Mereka berjumpa kembali di pertemuan
sungai Malino dan sungai Ongka. Ketika pertama kali berpapasan mereka saling
mengangkat tangan untuk meminta pertolongan. Masing-masing pihak menyangka
mereka sudah bertemu dengan orang kampung yang pertama. Mereka saling
berpelukan setelah sadar bahwa ketiganya adalah bekas penumpang pesawat yang
naas itu. Untunglah, beberapa jam kemudian mereka bertemu dengan Nyaman, wanita
dari kampung transmigrasi Ongka Malino. Dialah manusia pertama yang mereka
jumpai. Nyaman terkejut melihat kedatangan orang-orang asing itu. Ia berteriak
memanggil pak Nyaman, suaminya. “Pak, ada gerombolan”, teriak sang nyonya. Tapi
“gerombolan” itu tak lain adalah Hasan Tawil, yang mengenakan celana pendek dan
jaket Golkar (ia anggota DPRD Sulawesi Tengah dari fraksi Golkar). Ban penolong
masih tergantung di lehernya, mungkin untuk menandai dirinya sebagai salah
seorang penumpang pesawat yang dicari-cari itu. Pakaian yang melekat di tubuh
ko-pilot Masykur dan Haji Salim juga hampir seperti yang ada pada Hasan Tawil.
Menurut anggota DPRD ini, pakaian mereka telah mereka robek-robek sendiri untuk
ditempelkan pada pohon-pohon sebagai tanda jalan yang mereka lewati. Bahkan
sepatu juga mereka sangkutkan di pohon-pohon secara terpisah. Susu & Blangkon
Ketiganya telah payah. Tiga hari 3 malam mereka berjalan berputar-putar sebelum
sampai di kampung Ongka. Hasan Tawil, meskipun ia juga pramuka, ternyata dalam
keadaan paling lelah dibandingkan 2 orang temannya yang lain. Di rumah seorang
penduduk bernama Prayogo di lokasi transmigrasi itu, Hasan cepat-cepat disuguhi
susu panas dan didiangkan di perapian walaupun sudah diberi pakaian jas dan
blangkon. Prayogo hari itu juga buru-buru berangkat melaporkan ketiga orang itu
ke kota kecamatan, Tinombo, dengan perahu motor. Sang camat meneruskan kabar
itu ke Palu dengan SSB (telepon radio). Sayang bahwa sampai beberapa saat
setelah menerima laporan ini tim SAR yang waktu itu masih bermarkas di Palu
masih menduga lembah Bainaa sebagai lokasi tempat jatuhnya pesawat. Padahal
lembah Bainaa berjarak sekitar 50 km dari tempat itu. Pesawat Twin Otter
Merpati bernomor penerbangan 002 itu pada pagi hari 29 Maret lalu berangkat
dari Manado dengan tujuan Luwuk, Palu dan Toli-Toli. Sekitar jam 10.5 5 ia
meninggalkan pelabuhan udara Mutiara di Palu menuju Toli-Toli ibukota kabupaten
paling utara dari Propinsi Sulawesi Tengah. Rute dengan waktu penerbangan I jam
7 menit ini baru diresmikan Desember tahun lalu sebagai jalur penerbangan
perintis. Lima menit pertama pilotnya kapten penerbang Letkol (U) Ahmad Anwar
masih mengadakan hubungan ke menara kontrol Palu. Sebagaimana mestinya, 5 menit
kedua ia melaporkan posisinya ke menara di Ujung Pandang. Tapi sesudah itu,
hubungan terputus baik dengan Ujung Pandang maupun Manado. Diperkirakan pada
sekitar 15 menit pertama itulah ia jatuh. Pesawat yang mempunyai kecepatan
jelajah 160 mil per jam ini dilengkapi dengan radar dan auto pilot. Dengan
kapasitas angkut 1,6 ton pada hari sial itu ia mengangkut muatan dan bahan
bakar seberat 1,2 ton. Lalu apa penyebab kecelakaan itu? Meskipun ko-pilot
Masykur tampaknya segar bugar saja — hanya ia jadi “lebih pendiam” — tapi
sampai 2 minggu kecelakaan itu terjadi, penyebabnya masih berupa dugaan dugaan.
Tapi sangkaan kuat banyak ditujukan pada keadaan cuaca yang buruk. Wilayah
utara Palu memang terketial genting. Di sinilah pertemuan antara angin dari
selat Sulawesi dan teluk Tomini. Akibatnya selalu terdapat kabut sementara arah
angin tak menentu. Dari pihak lain perkiraan cuaca hanya dapat dilakukan oleh
stasiun yang ada di Manado (homease MNA untuk penerbangan perintis di Sulawesi
Utara dan Tengah) dan Ujung Pandang. Dan karena mungkin radio rusak, pilot tak
dapat menghubungi menara Ujung Pandang untuk menanyakan posisi yang tidak dapat
diketahuinya secara visuil karena cuaca buruk. Pesawat waktu itu pada
ketinggian 9.000 kaki. Untuk menghindari awan tebal, sang pilot menurunkan
ketinggiannya (karena jika menaikkan ketinggian akan mengakibatkan penumpang
memerlukan oksigen tambahan). Pada saat ia merendah sambil berbelok arah
itulah, diperkirakan gunung sudah ada di hadapannya (lihat peta). Pilot tentu
berusaha menghindar. Namun karena kemiringan sang gunung sampai 80 derajat dan
jarak sudah begitu dekat, maka pesawat tidak bisa naik lagi (stall). Ditimpa
Kotak Pemilu Menurut Hasan Tawil pada saat itu pilot dan ko-pilot sempat
berdiri untuk menaikkan kemudi agar pesawat dapat melampaui tebing gunung.
Tanda bahaya berbunyi. Ada penumpang yang sudah sempat mengenakan pelampung
penyelamat. Hasan Tawil bersama beberapa penumpang lainnya malahan berkali-kali
berteriak memperingatkan pilot akan adanya gunung di depan. Menurut Hasan, ia
sendiri tak sempat memasang ikat pinggang. Pada saat pesawat menginjak tanah,
ia hanya berpegang pada kursi Husni Alatas, koresponden TEMPO yang bersama
isterinya duduk di depannya. Ia terlempar keluar dari patahan pesawat. Dari
tempatnya berbaring di rumah sakit Palu, Hasan masih ingat: mula-mula roda
belakang menabrak pohon. Lalu sayap menyentuh pohon dan patah. Pesawat terbalik,
perutnya di atas. Tertahan sebentar di pucuk-pucuk pepohonan. Beberapa saat
kemudian pesawat melorot ke bawah, ke lereng gunung. Akibatnya sayap yang
sebelah lagi patah pula. Dalam keadaan jungkir balik itu, beberapa orang
penumpang ditimpa barang-barang bawaan – termasuk kotak suara pemilu. Ada pula
yang tersangkut di cabang-cabang pohon dan lingkaran rumpun rotan. Pohon-pohon
di sini tingginya rata-rata 30 meter. Sesaat setelah menerima laporan Prayoga,
sekitar 50 orang penduduk dikerahkan menuju tempat kecelakaan melalui jalan
darat. Sayang bahwa pada hari ketiga rombongan di bawah pimpinan Pelda Mathius
ini kehabisan bahan makanan. Sebagian kembali. Sisanya telah menambah beban
baru bagi satu-satunya helikpoter tim SAR. Mereka harus menjatuhkan makanan
kepada tim penolong darat ini. Pada hari keberangkatan rombongan Mathius ini
juga berangkat seorang penduduk Ongka Malino bernama Lembe. Sehari-harinya ia
dipanggil “sapi hutan” karena kepintarannya akan segala seluk beluk hutan di
sekitar itu. Lembe adalah juga pawang buaya, ular dan binatang-binatang berbisa
lainnya. Ia sering dipakai oleh para pencari kayu hitam sebagai penunjuk jalan.
Dalam rombongan tim Mathius, si sapi hutan ini ditempatkan paling depan. Ia
ternyata paling cepat pula meninggalkan rombongan. Pencarian Akan Dihentikan
Hingga hari ke-6 sejak Twin Otter Merpati itu hilang hanya ada sebuah pesawat
dari jenis Twin Otter pula yang dipergunakan Pusat SAR Nasional untuk mencari
jejak. Hampir setiap hari ketua Pusarnas, Laksamana Madya Dono Indarto — bahkan
beberapa kali turut pula Dirjen Perhubungan Udara Kardono — mengitari
gunung-gunung dan pantai di sekitar itu. Tapi tentu saja tim ini selalu pulang
dengan hampa tangan ke Palu. Sebab di samping Twin Otter pencari itu tak dapat
terbang rendah juga lajunya terlalu cepat. Di Jakarta beberapa hari sebelumnya
disiarkan “beberapa buah helikopter” telah dengan sibuknya mencari pesawat itu.
Tapi hari ke-6 itu Dono Indarto masih mengungkapkan janji beberapa pihak untuk
meminjamkan pesawat heli untuk memperkuat timnya. “Pusat SAR Nasional sendiri
tak punya pesawat, kita tergantung dari kebaikan hati para peminjam kalau kita
sedang membutuhkan”, begitu kata Dono Indarto di hadapan para wartawan di Palu
hari Minggu 3 April lalu. Melihat tim SAR yang hanya bolakbalik terbang dengan
Twin Otter yang satu-satunya itu, tak heran jika para anggota keluarga
penumpang pesawat yang hilang itu semakin gelisah. Bahkan beberapa orang di
antaranya menilai kerja SAR hanya asal mencari saja. Lebih-lebih ketika Dono
Indarto bilang bahwa bila sampai pada hari ke-9 atau hari ke-10 tak ada
tanda-tanda, pencaharian akan dihentikan. Mendengar ini keluarga Teki Anaya
(yang jadi penumpang pesawat yang hilang itu bersama 5 anggota keluarganya)
berusaha mencari carteran pesawat. Sebelumnya hal ini tak mereka fikirkan,
karena mendengar berita bahwa beberapa helikopter pencari telah dikerahkan.
Sayang usaha pencarteran ini tak berhasil karena ketiadaan pilot. Satu-satunya
pesawat heli baru ada pada hari ke-6, milik Pelita. Tapi ketika lokasi Gunung
Tinombala diketahui sebagai tempat jatuhnya pesawat itu dan beberapa helikopter
bantuan sudah datang, cuaca buruk. Terlambat lagi pertolongan. Kawasan gunung
ini memang selalu berkabut. Jika tak ada hujan, masa cerah di sini hanya berlangsung
1 jam di sekitar jam 10 pagi dan 1 jam sekitar pukul 4 sore. Selebihnya kabut
tebal yang tak mungkin ditembus mata, ditambah arah angin tak menentu. Namun
dari pihak lain, keadaan kaki Gunung Tinombala yang terjal, makin mempersulit
tim bantuan mencapai tempat kecelakaan itu. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta
Sabtu lalu, kepada TEMPO Dono Indarto mengungkapkan bahwa ia telah memberi
petunjuk kepada anggota pasukan yang akan terjun ke sana untuk bertahan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum para korban dapat diangkut keluar. Ini
terutama karena landasan heli darurat harus dibuat dahulu, sebelum pesawat
pengangkut dapat mendarat di sekitar tempat kecelakaan. Tapi menurut Dono
Indarto pula, Pusarnas tak mungkin memiliki pesawat heli sendiri. Tenaga pilot
kurang. Biaya perawatannya mahal. Apalagi karena penggunaannya sangat jarang.
Jadi dalam kecelakaan seperti ini Pusarnas akan lebih banyak tergantung dari
belas kasihan para pemilik heli semata-mata. 7 Hidup Hingga hari ke-14 sejak
pesawat itu jatuh belum ada berita resmi mengenai nasib 20 orang yang masih
tertinggal di pesawat. Tetapi Martin Aleida, wartawan TEMPO yang sedang berada
di Palu, menyebutkan bahwa dua orang anggota pasukan para yang terjun hari
Minggu pagi pada lokasi sekitar 100 meter dari runtuhan pesawat, telah
menemukan 7 orang penumpang dalam keadaan hidup. Siapa mereka, belum diketahui.
Sedangkan 13 orang penumpang lainnya dikatakan telah meninggalkan runtuhan
pesawat. Masing-masing berjalan mencari bantuan terdekat. Kedua orang anggota
pasukan Para itu masing-masing adalah Koptu Dominicus dan Kopda Sunardi.
Keduanya turun dari pesawat heli dengan menggunakan tali sepanjang 20 meter.
Mereka hinggap lebih dulu di pucuk sebuah pohon berketinggian 50 meter sebelum
turun ke tanah. Sesungguhnya mereka bertugas membuat landasan darurat bagi
helikopter bantuan, tapi gergaji mereka rusak. Akhirnya keduanya masih menunggu
alat pemotong kayu yang lain. Karena itu, sementara tim Mathius belum diketahui
jejaknya, hari Ahad lalu sebuah tim darat yang baru berangkat dari Ongka Malino
untuk mencari para penumpang yang meninggalkan runtuharl pesawat. Hari
berikutnya, yaitu Senen pagi, Kapten dr. Robbi Mandagie dan Serma Mugiran, juga
telah diturunkan beberapa meter dari tempat runtuhan untuk memberi pengobatan.
Sampai 10 April lalu pendropan makanan serta pasukan dilakukan oleh 5 pesawat,
terdiri dari 1 Twin Otter dan 4 buah helikopter. Tapi memperbanyak pasukan Para
untuk didrop di sekitar tempat kecelakaan tampaknya masih juga mengalami
kesulitan, terutama karena cuaca. Pertolongan tim darat juga hampir serupa,
karena lumpur yang tebal di kawasan itu. Tapi Ketua Pusarnas Dono Indarto hari
Sabtu lalu menyebutkan rencananya menyertakan Wanadri (organisasi pendaki
gunung) untuk memperkuat tim pencari. Masalahnya, katanya, tinggal bagaimana
mengangkut mereka dan mengusahakan logistiknya. Soal logistik ini juga rupanya
belum begitu lancar, sebab ternyata sampai saat reruntuhan pesawat itu
terlihat, semua biaya tim SAR masih menjadi beban Pemerintah Daerah Sulawesi
Tengah.
16
April 1977
Masih
ada apel ceng beng
MEMASUKI
minggu kedua sejak kecelakaan pesawat Twin Otter Merpati itu terjadi, belum
juga diketahui nasib para penumpang yaag sebelumnya dikabarkan cedera. Hasan
Tawil mengungkapkan ketika pesawat beberapa saat tersangkut di pohon ada
seorang penumpang wanita yang terlempar keluar dan menyangkut pula di pohon.
Wanita itu kemudian terjatuh ke tanah dan meninggal. Penumpang yang lain, dr.
Dwi, disebutkan juga mengalami nasib serupa. Tapi dokter Puskesmas di Toli-Toli
yang habis mengantarkan isterinya (seorang internis) untuk melahirkan di Jawa,
tak sabar melihat tubuhnya terlalu lama menyangkut di cabang pohon. Ia meloncat
ke bawah, dengan ketinggian sekitar 30 meter. Dikabarkan ia termasuk di antara
2 orang penumpang yang tewas. Akan halnya Koresponden TEMPO Husni Alatas dan
isterinya, menurut Hasan Tawil, “tak bisa dipastikan kecelakaan macam apa yang
dideritanya”. Kata Hassan: “Husni mungkin patah tulang kaki atau mungkin juga
hanya terkilir. Nyonya Husni meng alami patah lengan”. Sesaat setelah pesawat
membentur tanah Hasan Tawil yang duduk di belakang Husni masih sempat menolong
membukakan tali pengikat pinggang koresponden TEMPO itu. Bersamabeberapa
penumpang lainnya mereka keluar dari pesawat. “Pada saat itulah Husni
terjatuh”, tutur Hasan, “karena kakinya tak kuat.lagi berdiri”. Tapi adalah
Husni Alatas pula bersama pilot Anwar yang menyarankan agar Hasan Tawil dan
ko-pilot Masykur segera meninggalkan tempat kecelakaan dan mencari pertolongan
terdekat. Husni Alatas (37 tahun) adalah putera tertua dari A. Alatas (73
tahun) seorang pengusaha di Toli-Toli. Kunjungannya ke Toli-Toli adalah dalam
rangka perjalanan jurnalistik yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Sulawesi
Tengah menjelang ulang tahun propinsi ini 13 April lalu. Isterinya, Nyonya
Rosni Alatas Marunduh, turut serta dengan suaminya karena sudah kangen dengan
sang mertua laki-laki. (Ibu Husni, yaitu Nyonya A. Alatas, tinggal bersama
beberapa anaknya yang lain di Ujung Pandang). Husni dan Rosni menikah sejak
tahun 1967 dan telah dikaruniai seorang puteri, Puteri Any Alatas (10 tahun)
dan seorang putera Arif Budiman Alatas (5 tahun). Beberapa saat setelah
mendengar kedua orang tuanya masih hidup dalam kecelakaan pesawat itu, Puteri
Any Alatas menitipkan surat bagi ayah dan ibunya, bersama pakaian dan sejumlah
makanan yang disiapkan keluarga Marunduh. Melalui heli surat dan kiriman itu
dijatuhkan beberapa hari lalu di sekitar tempat kecelakaan. Dalam surat itu Any
meminta ketabahan hati kedua orang tuanya agar tetap hidup dan dapat berkumpul
lagi dengan keluarga. “Any dan Arif selalu menunggu papa dan mama”, tulis Any
menutup suratnya. Bermain-main Beberapa saat setelah pesawat jatuh masi’n ada
beberapa orang penumpang yang masih bisa berdiri. Tapi kebanyakan di antaranya
hanya mampu merangkak. Memang kata Hasan ada penumpang yang mati mendadak. Tak
lama setelah itu hujan deras turun, para penumpang berteduh di bawah kepingan
pesawat atau di bawah pepohonan. Pada malam hari api memang tak dinyalakan
karena bahan bakar terhambur ke mana-mana. Teki Angjaya bersama 5 anggota
keluargnya termasuk di antara 23 penumpang pesawat itu. Teki adalah seorang
pengusaha di Manado. Bersama isteri, 2 orang anaknya dan 2 orang saudara
sepupunya pada waktu itu hendak merayakan pesta ceng beng (ziarah ke kuburan
leluhur tiap tanggal 5 April) di Toli-Toli. Teki alias A Tek disebutkan
sehat-sehat saja pada saat kecelakaan itu terjadi. Bahkan dua orang anaknya (10
dan 7 tahun) beberapa saat kemudian mulai bermain-main dan mencoba mencari
kacamata-kacamataan mereka yang hilang di sela reruntuhan pesawat. Tatkala Teki
melihat di kejauhan ada kampung, si suami pamit kepada isteri dan anak-anaknya
untuk menuju ke tempat itu meminta bantuan. Ternyata sampai laporan ini diturunkan
ia belum ditemukan oleh tim pencari. Seperti halnya A Tek, belum juga diketahui
nasib Sugiono, Kepala BNI Cabang Toli-Toli. Ia salah seorang penumpang dari
Palu yang menurut beberapa sumber mengawal uang tunai berjumlah Rp 300 sampai
Rp 500 juta. Pesawat itu juga membawa uang Rp 50 juta milik BDN Toli-Toli
kiriman BDN Palu. Diduga Sugiono memisahkan diri dari teman-teman senasibnya.
Di samping untuk mencari bantuan, juga untuk mengamankan uang yang dibawanya.
Adakah para penumpang yan selamat itu akan meninggal karena kelaparan? Mungkin
– mudah-mudahan – tidak. Di antara muatan pesawat pada waktu itu terdapat
sepeti buah apel sepeti minuman kaleng yang dibawa Teki Angjaya untuk persiapan
pesta ceng beng. Di samping itu terdapat pula 3 kantong gulaula milik mertua
Kakanwil P&K Sulawesi Tengah. Tentu juga masih terdapat makanan-makanan
lainnya sebagai bawaan penumpang lainnya, di samping persediaan makanan pesawat
itu sendiri. Diduga jika pilot Anwar membagi makanan itu secara rata dan
teratur berbagai jenis makanan itu akan cukup bagi para penumpang tadi sampai 3
hari. Hari-hari selanjutnya mereka dapat mempertahadkan hidup dari minum air,
yang sumbernya tak begitu sulit didapat. Lebih-lebih karena hujan sering turun.
Hasan Tawil dan kopilot Masykur sendiri sepanjang perjalanan mereka sebelum
bertemu dengan penduduk, hanya memakan permen dan minum air sungai.
23
April 1977
SAR:
Biar Lambat, Asal …
PRESIDEN
Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula, pekan lalu menyatakan
kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim memuji. Dan banyak orang menunjukkan
penghargaan kepada para anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang
nyaris hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung Tinombala. Ini
adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan lamanya, telah
dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli biasa dari jenis Allouette
dan Bolkow. Turut serta hampir 50 orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang
didatangkan dari Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim setempat,
40 orang yang dipimpin Pelda Mathius. Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan
29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal
dunia, 10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang meninggal
adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya
Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking,
kapten pilot Ahmad Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil,
Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya
Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta ko pilot Masykur. Menurut berita
terakhir dari Palu, seorang penumpang yang masih belum diketahui nasibnya
(karena meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari
Gorontalo. Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat. Adanya sejumlah
orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu lama tak tertolong dan
kelaparan, merupakan inti tragedi kisah ini. Mungkin sadar akan kelambatan
kerja SAR, keluarga Teki Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka
mengadakan sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi
yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat kemudian, jadi
Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk orang-orang yang suka duit. Tiap calon
pencari diberi uang bekal rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang
cuma berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan laporan: “belum
berhasil”. Dan minta bekal lagi. Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan
SAR kurang peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba
berkata: “Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia harus dididik
secara baik dan teliti”. Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru – meskipun
tetap benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan pertama kali
terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha ini dilanjutkan di tahun 1959
oleh beberapa orang pejabat penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak
berkelanjutan. Tak ada biaya. Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan
mendirikan Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor
Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui Keputusan Presiden
organisasi ini lebih disempurnakan dengan lahirnya Badan SAR Indonesia
(BASARI). Badan ini merupakan kerjasama antar departemen yang bertugas
mengkordinir pencarian dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR
internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI, didirikan Pusat
SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk tingkat wilayah dibentuk Kantor
Kordinasi Rescue (KKR). Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto
bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari, administratif
maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen Perhubungan. Sedangkan
pembinaan unsur-unsur SAR menjadi tanggung jawab masing-masing departemen atau
instansi yang bersangkutan. Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando
Satuan Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di gunung
Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi sebagai kordinator saja.
“Belum punya pesawat satupun”, katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila
Pusarnas memiliki pesawat sendiri. “Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat
mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR”, tambahnya. Sementara itu
menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang Operasi Pusarnas pesawat khusus
SAR itu sangat mahal dan hanya dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini
dilengkapi radar pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil.
Juga dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata infra
merah. Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak punya
pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga jumlah personil sangat
tak memadai. “Jumlah personil yang minimalpun kami tak punya”, tutur Soenarto.
Sementara itu, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja
waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki satu saja
pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup, penanggulangan musibah itu tak
akan mencapai belasan hari. Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim
memuji hasil kerja tim SAR sebagai “prestasi yang gemilang”, namun saat-saat
kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika berkali-kali usaha
penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke tempat kecelakaan gagal. Pada saat
inilah baru terlintas di kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari
Wanadri, itu perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk minta
bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi niat itu belum
terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot Amerika, John Anderson, karyawan
perusahaan minyak Arco di Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia
berhasil mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan Serda
Sunardi pun — dari Kopasgat – turun melalui tali di pucuk pohon yang terletak
20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari pohon sekitar 50 meter itu mereka
meluncur. Mereka sampai pada 100 meter dari tempat pesawat jatuh. TAPI di
tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat. Kedua anggota Kopasgat itu
harus segera bekerja membuat landasan darurat heli (helipad) untuk pertolongan
selanjutnya. Tapi gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama,
sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter. Mendapat laporan tentang
kesulitan membangun helipad ini, SAR sempat pula merancang satu usaha yang
mirip usaha gila. Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa
turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang lebih banyak.
Tanpa helipad para korban akan diusahakan penyelamatannya melalui kursi yang
dipasang di ujung tali yang menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke
kursi itulah nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke
heli. Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli Allouette memang
sempat latihan dengan usaha penyelamatan begini. Semangat pasukan penolong
memang berkobar-kobar, sampai-sampai mereka agak lalai terhadap atasan. Anak
buah Mayor Mulyono yang hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam
pembuatan helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai instruktur.
Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak buah Mulyono tidak sempurna.
Mereka agak kesal dengan peristiwa itu. Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto
sedang asyiknya menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para
transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35 waktu setempat,
tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat tempat kecelakaan. Dono mendapat
laporan bahwa Mayor Mulyono sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan
dua malam. Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat
Emil Salim. Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada Menteri
Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa setahunya. Tetapi
ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua. Merekalah yang menemukan
Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang sudah meninggal di kaki gunung
Tinombala. Merekalah yang membantu para korban itu diturunkan. Mereka
membungkus dan mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang
dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti itu mayat tadi
dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino. Sebelum mencecah tanah jenazah itu
disambut oleh pasukan dan cepat ditampung dengan tandu. Di perkampungan ini
jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik dan karung ditabur kopi untuk
menghilangkan bau, dan selanjutnya di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti
jenazah setelah karungnya diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat
tujuan. Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru bagi
rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang menemuinya
berkali-kali dia mengatakan: “Akan mengusahakan sekuat mungkin jenazah dibawa
turun”. Hal ini terutama dia ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua
Husni Alatas. Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di
Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di tempat
kecelakaan. Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian tempur,
dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di lokasi. Dia mengikuti proses
penyelamatan jenazah dari pesawat yang malang tersebut. Seberapa besar
kecelakaan ini makan ongkos MNA, belum diketahui. Frekwensi penerbangan
perintis yang 2 kali seminggu jika dulu selalu padat penumpang, sejak
kecelakaan hingga sekarang tinggal sedikit. Malahan menurut seorang agen
penjualan karcis, satu kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang
sekarang merasa lebih aman lewat laut. Kecuali barangkali rute pesawat terbang
akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah direncanakan oleh
Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit lebih lama. Tentu saja pesawat harus
dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya
membawa Parachute Flare Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat
ini dalam kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau
gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa benda bersinar
merah.
23
April 1977
Di
Sisinya Saya Menangis
KIRA-KIRA
20 menit lagi pesawat Twin Otter itu sudah akan mendarat di Toli-Toli.
Penerbangan ini merupakan perjalanan yang amat membahagiakan bagi Rosny Husni
Alatas. Kedatangannya ke kota kecil itu merupakan kesempatan pertama untuk
memperkenalkan diri kepada mertuanya Abdul Rachman Alatas. Sebenarnya sudah
lama niat untuk berkenalan dan beramah-tamah dengan keluarga besar Alatas itu
mereka rencanakan. Tetapi 29 Maret 1977 itu mereka perhitungkan sebagai hari
baik. Hari itu kebetulan suaminya akan menjalan!an tugas jurnalistik ke kota
kelahirannya, Toli-Toli. Sampai di Gunung Tinombala arah perjalanan tadi
ditentukan lain. Pesawat turun merendah menghindari kabut tipis dan tiba-tiba
membelok dengan cepat ke arah kiri. Pesawat bergoncang keras. Karena goncangan
itu Ros mau bertahan dengan memeluk suaminya yang duduk di sebelah. “Jangan
begitu”, kata Husni. “Peganglah kursi depan”, sambungnya. Suara menggelegar
yang sangat keras dua kali kedengaran. Semua penumpang tak ada yang tahu apa
yang terjadi pada saat-saat genting itu. “Begitu saya sadarkan diri, saya sudah
terduduk kira-kira empat meter dari patahan pesawat”, kisah isteri wartawan itu
ketika baru saja diturunkan dari reruntuhan pesawat dan terbaring di tempat
perawatan di Ongka Malino. Pesawat itu patah tiga. Ros mendengar rintihan Husni
dari arah pesawat bagian dalam. “Tolong!”, teriaknya. Ros mencoba mendekat ke
pesawat. Tapi dia tak kuat. Kaki kirinya tak bisa digerakkan. Patah. “Di mana
kau Husni…?” dia berseru. Kemudian kedengaran lagi rintihan dan suara minta
tolong dari suaminya. Hasan Tawil, yang kebetulan juga terlempar ke luar
pesawat dan hanya menderita luka ringan di dekat mata sebelah kirinya,
menolongnya untuk mendekat ke sisi Husni. Dia dipapah Hasan Tawil. Kaki kiri
Husni Alatas terjepit dan terputar ke belakang karena ditindih kursi dari depan
dan peti-peti muatan pesawat. Kepalanya mengucurkan darah, terbentur pada
dinding pesawat. Kacamatanya terlepas. “Apamu yang sakit?” tanya Ros. “Kakiku.
Tolong bukakan sepatuku” Ros memegangi kaki kiri suaminya. Ia hanya bisa
mengurut kaki itu, sebab untuk membukakan sepatu suaminya itu dia tak bisa.
Kursi depan menjepit kaki Husni. “Dekatlah ke mari”?, pinta Husni. Tetapi Ros
sudah tak bisa mendekat karena kaki kirinya tetap tak bisa digerakkan. “Sudah,
kakimu saja yang saya urut”, jawabnya. Dia mengurut kaki suaminya itu. Husni
tak merintih lagi. Dia mengenakan kacamatanya. Tapi penderitaan tak bisa dia
lepaskan. “Ya Allah Ya Karim”, dia berseru sampai dua kali. Kemudian dia diam.
Husni Alatas hanya bisa bertahan melawan penderitaan itu selama 5 jam. Sore
sekitar jam 4 tubuhya sudah menjadi jasad yang tak bergerak lagi. Isterinya
menangis sambil memegangi kakinya yang patah terputar itu. Dia tak kuasa untuk
berdiri dan memegang kepalanya yang bercucuran darah. 15 hari Ros mendampingi
jenazah suaminya sambil bertahan melawan maut. Duduk dekat jenazah suaminya,
Ros berjuang melawan lapar dengan memakan apel dan jeruk yang ditemukan dr
Dwiwahyono setelah mengais-ngais di antara barang-barang yang berserakan dan
keping-kepingan pesawat. “Jeruk dan apel itulah makanan kami pada hari pertama.
Saya seperti tak sanggup makan di sisi Husni yang sudah pergi”, katanya. Hari
kedua mereka yang bisa bertahan hidup hanya memakan 2 biskuit, untuk menghemat.
Tetapi pada hari ketiga makanan itu sudah habis. Ham Sek Lae yang bertahan di
reruntuhan itu sembari menjaga neneknya yang meninggal seketika, turut berjasa
untuk para korban yang bertahan. Dokter Dwiwahyono dan anak muda itulah yang
memungut makanan, seperti roti dan permen yang berserakan di sekitar pesawat
yang rungsek. Pada hari ke empat Ros bersama 6 orang yang terhindar dari maut
mulai memakan kol mentah. Pada hari ke lima untuk bertahah dari rasa lapar
mereka terpaksa memakan dendeng mentah. “Ketika semua makanan sudah tak
bersisa, pada hari ketujuh orang-orang mulai bertekad meninggalkan pesawat”,
tutur Ros Husni Alatas kepada wartawan TEMPO Martin Aleida yang menjenguknya di
peristirahatan di Ongka Malino. Pada hari ketujuh itulah pilot Achmad Anwar
meninggalkan pesawat. Dr Dwiwahyono menolak rencana keberangkatan itu. “Jangan.
Kalian tak punya persediaan makanan”, katanya, Ros dan beberapa orang lagi yang
sudah berniat untuk meninggalkan pesawat dan sudah siap dengan permen di
kantong akhirnya tak jadi berangkat. Hanya pilot dan juru mesin yang
meninggalkan tempat. Yang tinggal bertahan dengan makanan yang hanya tinggal
dendeng mentah, sedang minum ditampung dengan sepatu. “Untunglah tiap hari ada
hujan. Kalau tidak saya tak tahu bagaimana nasib saya”, katanya. Kira-kira dua
hari setelah rencana nekad untuk meninggalkan tempat kecelakaan itu, di langit
menderulah suara pesawat helikopter. Tiga kaleng susu dijatuhkan dari udara.
“Setelah droping pertama makanan itu, boleh dikatakan pesawat saban hari berada
di atas kepala kami. Makanan jatuh tak jauh dari tempat kami berlindung. Dr
Dwiwahyono dan Ham Sek Lae yang mengambil. Makanan kami semakin cukup. Tetapi
hati amat pedih melihat Husni yang masih terduduk di samping”. Ros menyeka air
matanya. “Jangan menangis lagi. Habis airmata”, sapa dr Dwiwahyono yang
terbaring di dekatnya. Tegur sapa dokter yang banyak membantunya itu tak sempat
dia jawab. Regu penolong dengan sebuah tandu sudah berdiri di sampingnya. Dia
kemudian dibawa ke pesawat heli dan diterbanykan ke Palu. Di kota itulah dia
berkenalan dengan Husni Alatas. Mereka hidup berbahagia, bersama dua putera
mereka, Putriani dan Arif Budiman. Kini kedua anak itu harus berpisah dari sang
bapak – tanpa mereka duga. 6 April, setelah tempat kecelakaan itu ditemukan,
petugas MNA datang menemui keluarga Husni, kalau-kalau mereka hendak menitipkan
makanan untuk Husni Alatas dan isterinya. Ketika petugas itu akan pergi membawa
barang kiriman, Putriani, 9 tahun, tiba-tiba berkata: “Tunggu Pak, saya mau
tulis surat untuk Mama dan Papa”. Dia masuk ke kamar. Menulis surat. Langsung
menyerahkannya kepada petugas tadi. Isinya: Kepada yang terhormat Mama dan Papa
di hutan. Dengan hormat. Bersama ini Mama dan Papa masih ada dalam hutan. Kami
di sini dengan keluarga ada baik-baik. Bagaimana sampai terjadi dalam bahaya,
Mama dan Papa. Kami dan keluarga bersedih bahwa Ani dengar Mama dan Papa patah
kaki. Kasihan Mama dan Papa. Makanan ini dari Ani Budi dan keluarga lain.
Semoga Mama dan Papa dilindungi Tuhan. Ani dengar juga Papa terjepit di kursi.
Kue ini buat Mama dan Papa dan penumpang lain. Mama dan Papa selalu sembahyang
supaya Mama dan Papa dan penumpang lain dapat selamat. Biar Mama Papa patah
kaki pokoknya selamat. Ani dengar ada nenek umur 80 tahun bersama anak kecil
berumur 6 tahun atau 6 bulan. Ani sedih mendengar kata-kata yang terjadi. Mama
Papa baik-baik. Mama tidak usah ingat-ingat Budi. Budi ada baik-baik. Tante Emi
menangis waktu itu helikopter datang. Ani kira Mama dan Papa ada di dalam dan
penumpang yang lain. Padahal helikopter dari balikpapan. Ani selalu doakan Mama
dan Papa. Ani tidak sekolah 1 minggu lebih karena ingat-ingat Mama Papa. Surat
itu selamat. Juga Mama. Tapi sang Papa tidak.
23
April 1977
Dia
Kopral Dominikus
JENAZAH
Husni Alatas dan Harsoyo disembahyangkan di sebuah langgar di Ongka Malino
Sekitar 15 orang ikut dalam upacara itu. Ketika Emil Salim, Kardono dan
beberapa penduduk transmigran itu keluar dari langgar, Kopral Satu Dominikus
masuk dari pintu samping. Dia melepas topinya. Membuka sepatu. Dan dalam
pakaian seorang penerjun dengan sepucuk pistol dan kampak di pinggang ia
berdiri di depan peti jenazah. Di langgar, tempat kaum muslimin menyembah
Allah, Dominikus berdiri tegak. Ia letakkan kedua tangannya di dada dan
mengucapkan doa seorang Kristen. Saat dia akan meninggalkan ruangan langgar
itu, seseorang berkata kepadanya: “Husni Alatas teman saya. Terimakasih untuk
doamu tadi, Dominikus”. Anggota Kopasgat kelahiran Flores itu menjawab: “Di
hadapan Tuhan semua orang sama”. Dominikus Poin, 30 tahun, tak salah lagi
merupakan salah seorang yang berjasa dalam menolong korban Twin Otter di Gunung
Tinombala. Dialah yang 10 April bersama Kopral Dua Sunardi turun ke tempat
kecelakaan. Kedua penerjun itu merupakan pasangan yang serasi dan tak pernah
berpisah dalam operasi rescue. Ketika pesawat Albatros jatuh di Gunung Sidole
tahun 1974, dua serangkai ini juga yang turun menolong. “Begitu turun ke atas
pohon badan saya terbelit tali. Sunardi yang turun kemudian memberikan pisau
kepada saya”, katanya menceritakan kisah, pertolongan itu kepada Menteri
Perhubungan Emil Salim. Dengan pisau itu dia memotong tali yang membelit
tubuhnya. Lepas dan tali itu, bagaikan bajing dia bergayut di dahan yang
menyambutnya di bawah. Tindakan itu harus segera dia lakukan, kalau tidak heli
yang menurunkannya akan tambah lama hovering. Satu keadaan yang akan
membahayakan heli itu sendiri. Dengan seutas tali, panjangnya 60 meter, dia
meluncur ke tanah. Kira-kira seratus meter dari tempat kecelakaan. Sudah agak
siang ketika mereka berdua turun ke lokasi itu. Iam 08.35. “Karena gelap,
ditutup kabut kami berhenti dulu. Begitu ada cahaya lagi, segera kami turun
menuju tempat jatuhnya pesawat”, kata Dominikus. Ketika reruntuhan pesawat Twin
Otter buatan Canada itu sudah terlihat dia berteriak: “Anggota SAR datang”.
Seseorang, yang belakangan diketahui adalah dr Dwiwahyono, menyambut mereka
dengan kata-kata: “Kami hidup!”. Kopral Sunardi tak lupa menyampaikan salam :
“Assalamu Alaikum”, yang kemudian disambut dokter itu dengan seruan “Alaikum
salam. Allahu Akbar”. Dominikus dan Sunardi menjenguk para korban yang bertahan
hidup dan berpelukan dengan Dwi. Dokter ini yang sebelumnya dikabarkan mati,
banyak jasanya menolong teman senasib. Dengan makanan, obat-obatan, dan
semangat. Tak lama Dominikus dan Sunardi bersebut-sapa di hutan yang lebat dan
dingin itu. Mereka minta dia untuk mempersiapkan helipad. Gergaji chainsaw yang
mereka bawa ternyata macet pada hari pertama. “Hanya dengan kampak ini”, kata
Dominikus, “kami bekerja pada hari pertama. Biar kecil begini 36 pohon bisa
kami tumbangkan”. Kampak yang lebih kecil dari tapak tangan itu dia keluarkan
dari sarangnya dan menunjukkannya kepada orang-orang yang datang berkerumun.
Mereka bekerja mati-matian untuk membuka hutan lebat itu. Sampai jam 1 malam
mereka masih bergulat dengan pepohonan yang tingginya kira-kira 50 meter.
“Hanya kedua chain-saw sudah bisa dipakai. Kami mulai berjoget. Kami memang
memerlukan helipad untuk keluar. Tapi yang paling penting adalah untuk mereka
yang terus-terusan menangis dipesawat yang jatuh itu”, katanya. Pada hari
ketiga, 13 April, dia turun dari lokasi untuk menurunkan peralatan. Tangan
kirinya cedera sedikit. Namun dalam keadaan seperti itu dia masih bekerja
terus. Mempersiapkan regu penolong. Dialah yang memacung sampai putus tali
pembawa jenazah yang dibawa menggantung sepanjang 60 meter dari atas heli. Dia
letakkan jenazah itu ke atas tandu. Dan regu penolong, yang terdiri dari
penduduk biasa di Ongka Malino itu, membawanya pergi
07
Mei 1977
Setelah
Sang Dokter Loncat Dari …
KEPINGAN
cerita dari tragedi Twin Otter mungkin akan hilang satu-satu. Tapi tokoh-tokoh
yang tersangkut di dalamnya barangkali akan lebih lama dikenang.
Setidak-tidaknya mereka yang telah melakukan amalan baik selama musibah. Menteri
Emil Salim, beberapa waktu yang lalu menyebut-nyebut lima orang yang
direncanakannya untuk mendapat penghargaan. Di antara mereka adalah dr.
Dwiwahyono, yang sampai kini masih tetap terbaring di RS Propinsi Sulawesi
Tengah di Palu bersama empat penderita lainnya. *) Sesungguhnyalah Dwiwahyono,
yang memang selayaknya sebagai seorang dokter, telah banyak membantu
menghindarkan sesama korban yang masih bisa ditolong dari kemungkinan menjadi
lebih parah. Atau, dengan kata lain, berikhtiar mengurangi jumlah calon jenazah
— sementara ia sendiri harus merangkak-rangkak lantaran cedera berat. Membalut
anggota-anggota tubuh yang luka dengan perban, menginjeksi, memberi obat atau
vitamin, maupun meninggikan mental dengan hal-hal keagamaan, memang penting
sekali. Tapi yang juga sangat penting adalah usahanya untuk mencegah siapa saja
yang bermaksud meninggalkan lokasi kecelakaan – dengan kemungkinan malah
menemui maut. Itu dilakukannya misalnya pada hari ketujuh, ketika orang-orang —
termasuk Ny. Husni Alatas, yang waktu itu mengira dirinya mungkin “sudah agak
baik” — beranjak pergi setelah kehabisan makanan. Juga Pilot Anwar, yang
belakangan diketahui “retak tulang kepalanya di bagian belakang, sehingga
semestinya tidak begitu sadar” — menurut Kepala RS Palu dr. Simorangkir yang
memeriksa jenazahnya. “Saya ingat betul, “tutur Dwi, “betapa nyaring suara saya
di tengah hutan itu mencegah mereka pergi”. Nah. Apa yang menyebabkan Dwi
begitu yakin: bahwa lebih baik tetap tinggal di tempat? Pertama, menurut
bahasanya sendiri: akal sehat. “Sedang barang yang hilang selalu kita cari. Apa
lagi kalau orang yang hilang. Pasti kita sedang dicari”. Lengkapnya nama-nama
yang disebut Menteri adalah: Koptu Kopasgat Dominikus Poin, Kopda Kopasgat
Sunardi, Kapten helikopter Alonette IAT Arthurson dan Kapten Pilot BO 105
Pelita Air Service Antonius Suwarso, serta dr. Dwiwahyono. Lain dari itu
musibah ini bukanlah yang paling besar baginya. Ia yang menyatakan “sudah 27
kali mendapat kecelakaan besar maupun kecil”, pernah mengalami tabrakan sepeda
motor di Jakarta –dengan hasil yang lebih parah. Dokter ini memang punya
kepercayaan diri sendiri yang ternyata menakjubkan juga besarnya. Selalu Siap
Melompat Orang muda berumur 28 tahun ini bukanlah tipe dokter seperti yang
umumnya dibayangkan orang: yang kalem, tersenyum-senyum, menyuntik sambil
membujuk-bujuk. Dwi, lulusan UI 1974, yang mengaku dulu memimpin karate atau
kempo di fakultasnya, adalah potongan anak muda yang banyak bergerak, banyak
bicara, bangga terhadap diri sendiri dan selalu siap melompat. “Anak buah saya
dulu saya hantam kalau berbuat salah”, katanya. Bayangkan: kepingan pesawat
yang tersangkut di pohon itu, tak berapa lama kemudian bergerak ke bawah.
“Secara spontan saya meloncat. Dalam keadaan setengah sadar. Saya tidak tahu
dapat tenaga dari mana saya. Heran, saya meloncat begitu jauh!” Maunya ia
meloncat ke tanah. Tapi pohon-pohonan di tebing yang lebih rendah menerima
tubuhnya: krasak! Dwi menyangkut di situ. Sudah tentu ia berjuang mencari jalan
turun. Agak lama (dan persis waktu itulah ia lihat Hasan Tawil dan Kopilot
Maskur beranjak pergi). Mungkin percaya akan “tenaga dalam”nya, atau tak sabar
tinggal lama di rerantingan, ia akhirnya melompat kedua kalinya ke bawah – 10
meter. Dan patahlah tulang punggungnya. Dan tinggallah ia di hutan itu, di
tempat di mana pohon-pohonan meranggas akibat amukan pesawat, selama 16 hari –
“dengan sama sekali tak ada problim”, katanya. Sebabnya? Selain pernah ikut
latihan militer di Walawa dulu selama 800 jam — dan semasih di sekolah pernah
bertugas sosial di Skodik Wala Pawamil ABRI di Rindam VI di Cileungsi, Bandung,
1974, dan bersama AURI di Kalimantan di tahun sebelumnya – ia juga punya
kegemaran yang menguntungkan: berburu di hutan. Bersama kakak iparnya, dr.
Utomo, ia sering bermalam-malam menginap di hutan, misalnya di Lampung.
Sifatnya yang keras dan mau bergerak itu pula — dengan tubuhnya yang kecil
ramping, plus kumis kecil panjang – yang mendorongnya mencari kesibukan agar ia
benar-benar merasa puas selama bertugas di daerah, khususnya di RS Toli-toli.
Alat-Alat Yang Belum Ada “Saya mencoba membangun di RS Toli-toli dari yang
tidak ada menjadi ada. Dan rupanya Pak Bupati Edy Suroso itu responsnya baik
sekali. Pak Edy selalu menerima saran-saran dan memenuhinya”. Apa yang berhasil
dibangun? “Alat-alat yang belum ada, saya buat sendiri di bengkel. Dengan
bantuan Pak Bupati saya bisa mendatangkan lampu operasi dan segala macam
keperluan operasi”. Alat-alat apa? “Misalnya alat perentang luka, alat
pengambil spiral, alat pembersih gigi, semacam tang untuk mengambil benda dari
hidung, kemudian kerekan untuk menaik-turunkan lampu, kemudian . . . Dalam hal
administrasi? “Administrasi saya lakukan banyak perombakan. Saya tidak suka
orang yang yes man. Dan dengan itu ia merasa sangat puas bekerja di daerah. Ia
bahkan merasa perlu rekan-rekannya seprofesi diberi pesan, terutama yang baru
lulus. “Jangan hanya mau di kota”, katanya. “Rasakanlah hidup di desa: betapa
kasihannya mereka mengharapkan perawatan seorang dokter. Tapi kalau mau senang-senang
ya jangan tinggal di desa”. Dokter yang menyatakan punya kegemaran
“mengumpulkan kata-kata muiara” ini sendiri sebenarnya dokter Inpres. Seperti
yang lain-lainnya, ia harus bertugas tiga tahun – dan tahun depan ini selesai.
Resminya ia ditugaskan di Bangkir, 25 km dari Toli-toli, sementara isterinya —
dr. Dian Dharnayani — di Ogotua. Tapi lantaran Ogotua hanya bisa dicapai dengan
perahu motor selama 8 jam, tempat dibalik: Dwi di Ogotua dan Nyonya di Bangkir,
di mana mereka resminya tinggal sekarang. Sang isteri, bukan tenaga Inpres,
sampai sekarang masih saja berstatus honorer. Ia ditugaskan di semacam
poliklinik di Bangkir, selain buka praktek. Dwi sendiri tak mau buka praktek.
“Habis waktu saya untuk memikirkan kemajuan rumah sakit”, katanya. Karena
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buol/Toli-toli pergi sekolah untuk dua tahun,
ia pun mulai tahun kemarin diangkat sebagai penjabat pengganti kepala tersebut
merangkap Penjabat Kepala Rumah Sakit Umum Toli-toli. Tercapaikah cita-citanya,
dengan demikian? Anak kelahiran Purworejo ini (5 Juli 1948), berniat meneruskan
studinya untuk spesialisasi bedah – setelah selesai tugasnya tahun depan. Dan
sudah itu, menurut pengakuannya, sedapat-dapatnya ingin kembali lagi bertugas
di kota kecil. Meski begitu cita-citanya semenjak kanak-kanak sebenarnya bukan
dokter. Sebagai putera kedua dari pensiunan tentara H. Bachrulhayat Muhammad
Rochsidi dan satu-satunya yang jadi dokter dari tujuh bersaudara – ia
sebetulnya ingin jadi tentara. Apa lacur, orangtuanya tak mengizinkan. “Saya
lalu mendaftar ITB, dan lulus testing. Tapi orangtua juga tidak memberi izin.
Akhirnya ya terpaksa sekolah dokter”. Ali Moertapo Wawancara terputus.
Rombongan Ali Moertopo dari Jakarta datang menengok (dan dua hari sebelumnya
rombongan Amirmachmud juga datang menengok). “Saya tak apa-apa!” kata Dwi
kepada Letjen Ali Moertopo. “Saya tak apa-apa kok ditengok”. Dan orang-orang
keta wa. “Wah, ini ganteng sekali”, kata David Napitupulu, tokoh KNPI yang
menyertai Ali Moertopo. Dan semua ketawa lagi beramah-ramah. Rombongan pergi,
dan Dwi bertanya: “Siapa itu tadi?” “Itu namanya Bapak Ali Moertopo”, ada yang
bilang. “Ben! Benny!’ (dan dr. Benny, yang lagi melamun-lamun, menengok). “Lu
daripada ‘ terbengong-bengong ngrokok mendingan deh. Mulut lu bau kalau nggak
ngrokok”. “Berapa banyak dr. Dwi merokok setiap hari?” tanya TEMPO. “Enam
bungkus”. “Wah. Segala jenis rokok?” “Kretek. Hanya kretek. Tapi setelah kakak
saya ini (dr. Utomo) datang, semuanya dia jatah, hanya lima batang sehari! ”
Dan di meja kecil di samping tempat tidurnya, terletak stoples kecil. Di
dalamnya alat suntik, tergenang dalam air. Tertulis di stoples itu kira-kira:
‘Alat inilah yang menyelamatkan para korban sebelum datangnya droping
obat-obatan’. Bahkan pada perban yang membalut sekujur kaki Dwi yang kiri, bisa
dibaca tulisan seperti: ‘Kenang-kenangan dari G. Tinombala’ dan semacamnya.
Coret-coretan itu juga disuruhnya tulis di kaki Ny. Husni. Jadi setelah masuk
kedokteran UI di Jakarta (di mana ia juga menyelesaikan SMP dan SMA-nya, dua-duanya
sekolah Katolik), berkenalan dengan Dian Dhamayani, puteri Jaksa Tinggi
Sumatera Selatan Sjarif I.D. SH. “Dia itu dulu saya yang mlonco”. Maka setahun
setelah lulus, pemuda yang juga pernah dikenal sebagai Ketua Komisariat HMI
Kedokteran ini pun kawinlah – 23 Maret 1975. Kakak perempuan Dian sendiri, juga
dokter, sudah lebih dulu menikah dengan dr. Utomo, super spesialis bedah
tulang. Dan tibalah saatnya untuk menantikan anak pertama. Dwi dan Nyonya
berkemas-kemas di Bangkir: sang nyonya merasa lebih baik menantikan kelahiran
di Jakarta saja. Dwi mengantarkannya ke sana: syukurlah, selamat, sampai tiba
di rumah . . . ‘Tugas’ Agama Ketika musibah itu terjadi di perjalanan pulang,
dan dikabarkan Dwi gugur lantaran meloncat dari pohon, tak terbayangkan betapa
kejutan hati Nyonya dan seluruh keluarga. Tapi begitu Dwi melompat, apa yang
dirasakan pertama kali dalam kesakitan itu ialah katanya: “Bagaimana bisa
bertahan hidup dan meninggikan semangat kawan-kawan”. Itulah sebabnya bagian
yang juga sangat penting dari ‘tugas’nya waktu itu, adalah hal-hal yang
berhubungan dengan agama dan kerohanian. Dari mana mendapat pelajaran agama
dahulu? “Dari kakek saya almarhum, Haji Darmosonto, asal Banyumas. Lalu dari
ayah saya”. Anda disiplin? Artinya, saleh? “Saya memang tidak alim. Tapi boleh
ditanyakan kepada kawan-kawan saya sembahyang lima kali sehari. Tapi saya tidak
alim”. Apa yang paling mengikat jiwa anda dalam hal agama? “Yah… Saya beragama
tadinya ikut-ikutan. Ikut kakek, pergi sembahyang. Ikut bapak. Lama-lama… (dan
ia menarik nafas, capek), oh, inilah agama yang saya pilih. Nggak tahu deh
kenapa. Anak saya juga nanti akan saya beri pendidikan bebas. Kecuali dalam hal
agama”. Selamat ya, untuk puteranya yang sudah lahir. “Belum. Berita di koran
itu nggak benar. Tempohari memang saya bilang kepada wartawan itu, kalau anak
saya nanti lakilaki saya kasi nama Otter. Kalau perempuan Otterini, sebagai
kenang-kenangan. Tapi diharapkan akan lahir minggu ketiga Mei nanti, dan memang
belum lahir”. Dan sambil memikir-mikirkan nama anaknya di gunung itu, Dwi – di
samping menulis buku harian, dan merokok — menganjurkan orang-orang sembahyang
menurut agama masing-masing. Ia sendiri shalat terus. Membaca Do’a ‘Ukasyah,
Ayat Kursi, Surah Yasin, dan zikir sedapat-dapatnya. (Ia mengantongi sebuah
brosur kecil, Ayat 15, terbitan Al-Ma’arif Bandung, yang sekarang juga
diletakkannya di meja di samping pembaringannya). Ia juga mengisi waktu dengan
menyanyi bersama-sama. Lagu-lagunya: Kalau Nona Mau Percaya, lagu Ambon. Lalu
Don’t Forget to Remember. “Itu lagu memori saya dengan isteri”. Dan
lain-lainnya, umumnya lagu-lagu Ambon yang gembira, seperti Batu Bedaun atau
Kantina Juga ngomong-ngomong bab agama. Apa topiknya? “Yah misalnya tentang
Nabi Muhammad waktu terkurung di Gua Hira. Atau Nabi Nuh yang diejek
orang-orang, atau Nabi Ismail yang rela. Yah pokoknya tentang kesabaran dan
tahan mental”. Dan ia juga memarahi Suryadianto, pemuda keturunan Tionghoa dari
perusahaan rokok kretek di Kudus – yang sekarang ini terbaring di sebelah kirinya.
Waktu itu Suryadianto selalu mengaduh-aduh. Kata Dwi: “Kalau kesakitan jangan
bilang aduh. Baca Allahu Akbar saja!” – lantas ia ajar syahadat, dan rekannya
itu menurut. Ia juga menyimpan baik-baik wasiat Husni kepadanya. Apa? “Yang
saya ingat empat macam. Isterinya supaya memakai baju hitam selama dua minggu.
Lalu, dia menitipkan kedua anaknya kepada saya, yang bernama Ani dan Budi. Tapi
nggak tahu siapa Ani dan Budi. Baru di rumah sakit ini saya tahu. Ketiga,
sepertiga dari hartanya supaya diserahkan kepada anak-anak yatim. Dan keempat:
sandal jepit yang berwarna kuning dan baju putih bergaris-garis, jangan
dibuang. Dibungkus baik-baik dan masukkan dalam lemari”. Barang-barang itu ada
di sana? Dibawa dalam penerbangan? “Mana saya tahu! Saya waktu itu juga belum
tahu lusni itu siapa. Saya hanya mematuhi karena ini amanat orang yang akan
meninggal”. Dokter Dwi, kawan kita yang belia ini, masih akan tinggal di RS
Palu setidak-tidaknya dua bulan lagi. Mari kita kirimkan terimakasih dan doa
sukses.