Tempo
19 Juni 1976. ORANG tua itu duduk agak melonjor di kantornya siang itu,
berlatar belakang lukisan kapal perang Karel Doorman. Dalam usia 66 tahun dan
kepala penuh uban, Wilopo SW kembal di disebut-sebut akhir-akhir ini. Ia bicara
tentang trio persekongkolan jahat di Indonesia.
Sebelumnya
bekas tokoh PNI yang pernah jadi Perdana Menteri itu memberi rekomendasi
tentang penyehatan Pertamina. Dan berikut ini adalah petikan wawancara Zen Umar
Purba dan Harun Musawa dari TEMPO dengan Ketua DPA ih akhir Mei lalu:
Tanya:
Bagaimana dengan pernyataan bapak mengenai trio petualang, cukong dan okum
pejabat, dihubungkan denngan sidang DPA 10 Mei yang lalu ?
Jawab:
Hal itu saya tempatkan dalam acara sidang yang temanya Kesadaran dan Disiplin
Nasional. Dari segi psikologis, identitas bangsa umumnya dirasakan mengendor.
Terlihat dari sikap orang selama ini yang mau cari selamat sendiri. Yang kalau
perlu mau nrabas hukum atau pemerataan keuangan negara. Tapi akhir-akhir ini
kemajuan juga ada. Dulu penyelesaian proyek lamban. Sekarang memang masih
lamban, tapi berbeda dengan dulu, sekarang hanya karena kita kurang trampil dan
daya serap masyarakat yang masih kurang. Itu sebab yang biasa. Tekad pemerintah
membasmi penyelewengan, karena itu sudah menyangkut soal mati dan hidup.
Apalagi setelah ada kesulitan Pertamina. Tanya: Apa yang menyebabkan banyak
terjadinya penyelewengan? Jawab: Ada yang bikin analisa gaji kurang. Tapi dapat
kita tanyakan: justru yang menyelundup (dan yang terlibat) itu sudah berpenghasilan
besar. Lihat penyelundupan tekstil satu juta meter melalui pos paket di
Surabaya itu. T: Bagaimana tentang penindakannya? J: Saya pinjam kata-kata
pemerintah saja: sudah ada penindakan aktif. Soal public morality dan faktor
psikologis memang perlu. tapi itu jangka panjang. Yang riil dan konkrit:
tindakan. T: Dengan adanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi
yang baru, bagaimana penilaian bapak terhadap tindakan yang sudah dilakukan ?
J: Undang-Undang itu sudah cukup kuat, cukup baik, soalnya bagaimana
menindaknya. Ya, mestinya dengan undang-undang itu harus dapat dilakukan
penindakan lebih keras, seperti terhadap masalah uang suap dan uang hangus. Ini
sudah menyangkut soal mati atau hidup negara. T: Sementara kalangan masyarakat
beranggapan korupsi sukar diberantas karena pembuktiannya yang pelik. Karena
itu ada yang menginginkan ditrapkannya azas pembuktian terbalik. J: Bagaimana
pun peliknya dapat ditrabas. Kan kita tak boleh permisif. Bukankah pemerintah
sudah punya tekad untuk menindak semua penyelewengan? Pembuktian terbalik, saya
tak setuju dari dulu. Saya tak mau tiru-tiru Malaysia. Jangan sampai rakyat
miskin yang kebetulan mempunyai cangkir yang bagus, diharuskan membuktikan dari
mana barang itu didapatnya. Apalagi kalau penegak hukumnya sewenang-wenang
sehingga akan terjadi begini: “Kalau tak bisa membuktikan, kasih saya uang”.
Itu lebih jelek lagi. Jadi, cukup saja dengan sedikit petunjuk, maka penegak
hukum harus segera menyidik. Tugas mereka mencari bukti-bukti. T: Bapak
menyinggung Malaysia. Bagaimana pandangan Bapak atas kasus Datuk Harun bekas
Menteri Besar Selangor yang kena hukuman 5 tahun akibat korupsi? J: Saya tak
punya komentar. T:Di antara salah satu kesimpulan Diskusi Panel Korupsi dan
Pembangunan oleh Dewan Mahasiswa UI tahun 1970 antara lain dikatakan bahwa
Jaksa Agung hanya dapat menggunakan azas ini dengan seizin Presiden, setelah
Presiden meminta pertimbangan DPA. J: Tidak bisa begitu. Itu sepenuhnya hak
prerogatif Presiden untuk menentukan sesuatu itu menyangkut kepentingan umum
atau tidak. T: Sewaktu hangatnya suasana anti krupsi sekitar 1970, Pak Harto
bahkan membuka “praktek” tiap Sabtu di Cendana dengan menerima langsung laporan
dari masyarakat. Kemudian tahun lalu Menteri Sumarlin menjalankan praktek “Sidik”nya
sehingga ada beberapa yang kena. Adakah upaya tersebut bisa efektif? J: Ya
semacam cara Harun Al Rasyid. Itu baik juga. Tapi zaman Harun Al Rasyid
penduduknya berapa? Dan dia (pejabat yang pakai cara Al Rasyid ini – Red) tentu
sibuk. Jadi Harun Al Rasyid terus-terusan juga bosan. T: Bagaimana pandangan
bapak tentang suara-suara yang meminta agar Ibnu Sutowo dimintai pertanggunan
jawab pidana, dihubungkan dengan tugas Komisi IV dalam masalah Pertamina
beberapa waktu yang lalu? J: Komisi IV sudah pernah membeberkan. Soal
pidananya, itu bidang lain, tidak penting sama sekali bagi saya. Saya setuju
cara pemerintah mengatasi kesulitan Pertamina, tapi bukan soal personalnya. Itu
bukan tema sidang DPA. T: Lembaga mana saja yang sebenarnya dapat mengontrol
korupsi? J: Penegak hukum seperti jaksa, polisi dan hakim. Juga BPK. Sedang DPR
tugasnya meng-appeal dan mencerminkan keadaan masyarakat. Kita menginginkan DPR
yang juga kuat seperti Pemerintah. Dulu pernah DPR terlalu kuat sehingga dapat
mempermainkan Pemerintah. Kemudian datang DPR terpimpin. Sekarang Pemerintah
sudah kuat, karena itu memang perlu bagi negara yang sedang berkembang. Tapi
DPR juga harus kuat dan bebas agar dapat menguji dan mengawasi Pemerintah. T:
Bagaimana dengan lembaga Yudikatif? J: Hakim juga sudah banyak aparatnya. Sudah
harus dimulai mengambil langkah-langkah baru, misalnya dengan melepaskan
pengaruh-pengaruh luar. Saya ingin memperjuangkan adanya kolom bagi hakim
(maksudnya kolom jabatan hakim dalam sistim PGPS -Red). Sampai kini hakim masih
saja berstatus pegawai negeri, tidak ada kolom gaji hakim tersendiri. Sebagai
yuris, saya menghendaki hakim yang betul-betul hakim. T: Pada pengamatan
bapak,– apakah sudah ada pengaruh anjuran hidup sederhana yang berali-kali
diserukan oleh pimpinan Negara? J: Harus lebih dari anjuran, dan haus
dilaksanakan. Misalnya bagi pengusaha real-estate, harus ditegaskan: kalau mau
membangun rumah mewah kelas 1, mereka harus membangun 3 rumah kelas menengah
dan 6 rumah murah. Tapi kontraktor mengeluh. yatanya mereka cuma mau membuat
rumah mewah semua sekarang. Tapi kenapa kita mesti mikirkan kontraktor?