Potret
Keseharian Bung Karno; Kesaksian Mangil (2)
Sumber Jawa Pos
Dibentak
Pengawal, Dibalas dengan Tertawa
Bung
Karno memang tokoh yang sejuk. Di balik wajahnya yang teduh, tersimpan pribadi
yang hangat, rendah hati, dan tak mudah marah. Buktinya, meski beberapa kali
diomeli, bahkan dibentak pengawal atau ajudan, Bung Karno tidak marah. Sering,
Bung Karno yang juga akrab disapa BK ini malah tertawa melihat polah anak
buahnya itu. Berikut lanjutan kisah keseharian Bung Karno sebagaimana ditulis
Mangil Martowidjojo dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967.
ISTANA
Negara Jakarta, pagi hari di pertengahan 1950. Bung Karno terlihat
berjalan-jalan di halaman Istana. Beberapa pengawal tampak berada di belakang
presiden pertama Indonesia itu. Tak jauh dari tempat Bung Karno menikmati udara
segar pagi, terlihat Sudiyo, salah seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi
Presiden (DKP) keluar dari dapur Istana. Di tangannya terlihat sejumlah potongan roti yang rencananya akan ia bagikan kepada rekan-rekannya. Agaknya, ia ragu dengan jumlah roti yang ia bawa. Buktinya, ketika berjalan, matanya tertuju pada roti yang ia bawa sambil mulutnya komat-kamit menghitung roti itu.
Presiden (DKP) keluar dari dapur Istana. Di tangannya terlihat sejumlah potongan roti yang rencananya akan ia bagikan kepada rekan-rekannya. Agaknya, ia ragu dengan jumlah roti yang ia bawa. Buktinya, ketika berjalan, matanya tertuju pada roti yang ia bawa sambil mulutnya komat-kamit menghitung roti itu.
Ketika
sedang asyik menghitung sambil berjalan ini, Sudiyo berpapasan dengan Bung
Karno. Dengan cueknya, Sudiyo masih saja menghitung roti di tangan sambil
berkata, "Goede morgen, mijnheer (selamat pagi Tuan, Red)." Matanya
terus tertuju ke roti yang ia bawa. Mendengar ucapan berbahasa Belanda dari
pengawalnya ini, Bung Karno langsung berhenti dan menoleh ke arah Sudiyo.
"Siapa dia?" tanya Bung Karno. Pengawal menjawab bahwa orang yang
membawa roti tersebut pengawal presiden bernama Sudiyo.
Bung
Karno langsung mengajak para pengawal mengikuti Sudiyo yang berpostur gendut
ini dari belakang. Ketika Sudiyo sambil jongkok masih juga sibuk menghitung
jumlah roti, Bung Karno berdiri di belakangnya sambil berkata, "Kalau
rotinya masih saja kurang, ambil lagi." Tanpa menoleh, Sudiyo malah
membentak, "Ya, nanti saja, wong masih dihitung kok." Bung Karno
tertawa. Tetapi, para pengawal yang sedang bertugas langsung menegur Sudiyo.
"He, lihat dulu, kamu bicara dengan siapa?" kata salah seorang
pengawal. Langsung Sudiyo menoleh. Dia melihat Bung Karno berdiri di
belakangnya. Dengan gemetar, Sudiyo langsung ikut berdiri dan dengan sikap
sempurna, ia pun melapor, "Siap, Pak. Sudiyo mohon maaf." Bung Karno
tetap tersenyum dan meneruskan jalan sambil mengontrol kebersihan serta
kerapian tanaman yang ada di kompleks Istana. Dalam
sebuah kesempatan kemudian, Sudiyo mengaku menyesal dengan kejadian ini. Dia
mengira orang yang ia sapa dengan bahasa Belanda itu adalah Ven der Bijl, orang
Belanda yang kebetulan bertugas di Istana. Selain
teliti, Bung Karno dikenal tak segan-segan melakukan pekerjaan sendiri. Suatu
ketika, Bung Karno jalan-jalan di halaman Istana seperti biasa. Bung Karno
ditemani Sugandhi, ajudan presiden, dan seorang anggota polisi pengawal
pribadi. Bung Karno tampak mengamati bata merah yang terletak di pinggir jalan,
yang ternyata tidak betul. Banyak yang tidak teratur. Di salah satu jalan di
dalam kompleks Istana ini memang diletakkan bata merah supaya mobil yang lewat
tak melindas rumput. Karena
bata merah ini tak teratur, Bung Karno memerintahkan Sugandhi membetulkan letak
bata merah tersebut. Lantas Sugandhi ganti memerintah pengawal pribadi
membetulkannya. Langsung saja Bung Karno berkata, "Ya sudah, kalau kamu
tak mau, akan saya kerjakan sendiri."
Bung
Karno kemudian membetulkan letak bata merah tersebut. Dengan cepat Sugandhi dan
pengawal pribadi ikut membetulkan letak bata merah di sepanjang jalan. Hari
berikutnya, Sugandhi memberi tahu semua polisi pengawal pribadi, kalau
diperintah Bung Karno, harus dikerjakan sendiri. Tidak boleh menyuruh orang
lain. Bung
Karno yang flamboyan ini, selain pernah dibentak pengawal, juga pernah diomeli
ajudan. Suatu ketika, Bung Karno memerintahkan seorang polisi untuk memanggil
Sugandhi yang bertempat tinggal di paviliun Istana Negara. Waktu itu Sugandhi
baru saja membuka pakaian seragam dan bersiap akan beristirahat. Mendengar
panggilan ini, Sugandhi mengenakan lagi celana dan kemeja seragam militernya.
Sambil memakai sepatu, Sugandhi mengeluh, "Wong kok ora oleh istirahat
(orang koktidak boleh beristirahat, Red)." Padahal, waktu itu Bung Karno
sudah berdiri tepat di belakang Sugandhi dan tentu saja mendengar jelas keluhan
ini. Bung Karno pun bertanya, "Ada apa, Di?"
Mendengar
suara Bung Karno, Sugandhi terperanjat. Sesaat kemudian ia mengambil sikap
sempurna. Sambil tertawa, Sugandhi menjawab, "Mboten kok, Pak (tidak
apa-apa kok, Pak, Red)." Dalam buku soal kesaksian Bung Karno ini, Mangil
menulis, Sugandhi memang salah satu ajudan Bung Karno yang senang melucu, gemar
bercanda dan melawak. Masih
soal peristiwa kecil yang terkait dengan kehidupan sehari-hari Bung Karno,
suatu pagi Bung Karno jalan kaki mengelilingi Istana dengan dikawal seorang
pengawal pribadi. Ketika melewati kamar ajudan presiden, terdengar suara radio
yang disetel keras. Bung Karno lantas bertanya, "Siapa yang nyetel radio
keras-keras?" Pengawal
menjawab bahwa radio tersebut berada di dalam kamar ajudan. Dalam kamar
tersebut ada Sugandhi bersama seorang tamu yang sering datang ke Istana.
Namanya Kapten Andi Jusuf. Selain dua orang ini, Mangil berada di dalam kamar
tersebut. Begitu melihat kedatangan Bung Karno dan pengawal, Sugandhi bersama
Mangil langsung berlari ke kamar mandi. Kebetulan keduanya belum mandi pagi. Tak
berapa lama, Bung Karno sampai di depan kamar ajudan dan langsung masuk.
"Kunnen jullie niet leven zonder radio (tidak dapatkah kalian hidup tanpa
radio)?" kata Bung Karno. Setelah mengatakan hal ini, Bung Karno melanjutkan
jalan-jalan. Lalu, Sugandhi dan Mangil keluar dari kamar mandi. "Terlalu,
masak saya dijadikan umpan," kata Jusuf begitu melihat Sugandhi dan Mangil
muncul. Apa jawaban mereka? Sugandhi dan Mangil langsung tertawa. Memang, Bung
Karno waktu itu hanya menemukan Jusuf. Kelak, Kapten Jusuf ini mempunyai peran
penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Dia bersama Amir Machmud dan Basuki
Rachmat menjadi salah satu tokoh kunci di balik peristiwa penandatanganan Surat
Perintah 11 Maret yang menandai peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Andi Jusuf ini kelak menyandang bintang empat dan menjadi Menhankam/Pangab.
Namanya lebih dikenal sebagai M. Jusuf. (moh.susilo)