Tempo
20 Januari 1973. Pangdam XII/Tanjungpura, Brigjen Sumadi, mensinyalir adanya
sisa pasukan gerilya Kalimantan Utara yang masuk ke Jakarta. di Jawa Tengah
juga dikabarkan adanya penyelundupan senjata.
DUA
orang jenderal menumumkan sinyalemen mereka di awal tahun ini. Dan karena
pembesar militer itu kebetulan panglima daerah militer (Pangdam) masuk akal
jika sinyalemennya mendapat perhatian. Maka berkatalah Panglima Kodam
XII/Tanjungpura, Brigjen Soemadi: “Lebih 100 kepala keluarga sisasisa
gerombolan pasukan gerilya Kalimantan Utara yang belum tertangkap dewasa ini
berhasil lolos dari Pontianak dan melarikan diri kedaerah ibukota. Nama-nama
dan identitasnya sudah di ketahui oleh yang berwajib”. Lebih pasti lagi,
Brigjen itu malah berkata: “Sebagian besar diantara mereka kini tinggal di
wilayah Jakarta Kota.
Suapan.
Pengetahuan panglima yang bergelar doktorandus mengenai keadaan Jakarta kota
ternyata cukup baik. Ia bahkan tahu bahwa di daerah yang kebanyakan dihuni oleh
orang-orang Cina itu “ada RW dan RT dan Camat yang nakal sekali”. Menurut
Brigjen Soemadi, “Cina-cina pelarian itu menyuap pejabat-pejabat, dan dengan
suapan itu mereka mendapat kartu penduduk”.
“Akh
…. kabar semacam itu tidak benar”, bantah Lurah Glodok. Keterangan Panglima
Soemadi itu rupanya tak mengenakkannya. “Untuk memperoleh keterangan penduduk
pendatang-pendatang baru harus punya surat bebas G-30-S, herkelakuan baik dari
tempat asal”, katanya kepada reporter TMIO di Glodok. Sambungnya lagi: “Sebelum
memperoleh KTP, orang yang bersangkutan harus menyerahkan uang jaminan. Kalau
dari Pontianak sekitar Rp 5.000, di kantor urusan penduduk DKI Jaya.
Sesudah
6 bulan baru ia boleh mendapat KTP”. Belum puas dengan itu ia menambahkan lagi:
“Lagi pula kami menjalankan pengawasan yang ketat, mulai dari RT sampai RW. RW
yang berada di bawah saya berjumlah 5 buah, dan semuanya dikepalai oleh anggota
ABRI, baik dari AD, KKO maupun polisi. Tidak mungkin mereka lolos”. Tapi entah
lantaran apa, di akhir keterangannya, pak Lurah Baiki Djubaidi ini tiba-tiba
seperti orang yang mendapat ilham ia mengucapkan kalimat berikut ini dengan
nada ragu-ragu: “Tapi bagaimana nanti kalau memang benar ada yang lolos, ya?”
Letkol
Mugni dari Kodam V/Jaya juga mengaku mendapat infommasi tentang kedatangan
Cina-Cina Pontianak. “Kami mengadakan penelaahan terhadap masalah ini, mencek
dan mencek kembali”, katanya. Konon pengecekan itu dilakukan melalui
jalur-jalur administrasi RT, RW, Lurah, Camat dan polisi. Tapi bagaimana hasil
pengecekan itu, Mugni belum ikhlas memberi keterangan.
Penelaahan.
“Penelitian Cina ini memang cukup rumit”, katanya. “Tempotempo tidak bisa
dibedakan WNA dan WNI. Kita tidak bisa mengambil tindakan sejauh mereka
mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia”, katanya lagi. Dan
sebagaimana se’mua pejabat yang baik, Letkol Mugni juga tidak lupa berkata:
“Kesukaran dalam penelaahan itu bukanlah penghalang bagi dilanjutkannya usaha
tersebut. Kalau memang terbukti ada yang mencurigakan, tentulah akan diambil
tindakan atau dilakukan penangkapan. Tapi kalau nanti tidak terbukti kecurigaan
itu, pasti mereka dilepaskan”.
Dari
Jawa Tengah datang pula sinyalemen Majen Widodo, Panglima militer yang duduk di
Semarang. Ini soal penyelundupan senjata. Kapan, bagaimana dan dalam jumlah
berapa serta senjata jenis macam apa senjata itu, Widodo nampaknya belum sempat
memberi penjelasan. Dan karcna lakon itu konon di Jawa Tengah bermainnya,
pembesarpembesar di Jakarta punya alasan untuk tidak kasih penjelasan. Tapi
nampaknya Jenderal Widodo tidak sekedar melemparkan issue (apalagi ini
rmenjelang bulan Maret), sebab kabarnya penyelundupan senjata itu terjadi di
sebuah pelabuhan kecil di pantai utara Jawa. Ini bakal lebih seru dari
penyelundupan mobil.