Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (6)
In
Historia, Politik on January 17, 2010 at 1:18 AM
“PADA
akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah
Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa
mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada
keketatan barisan pengamanan”. “…. menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu
delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi
langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan
tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya ….
menyatakan bersedia melakukan dialog”.
SELAIN
aksi ekstra parlementer KNPI, ada lagi satu tokoh demonstran yang paling banyak
‘menyedot’ perhatian, baik karena keunikannya, maupun karena keanehan dan karena ‘menjengkelkan’ sekaligus. Laksus
Pangkopkamtibda Jaya Brigjen GH Mantik sempat menumpahkan kejengkelan kepada tokoh demo yang bernama Julius Usman ini yang punya kelompok bernama ‘Angkatan Muda Oposisi’. Julius ini sangat terkenal sebagai tokoh ‘demonstran rutin’ dari tahun ke tahun. Jika gerakan-gerakan mahasiswa dan kaum muda lainnya oleh Laksus masih dilukiskan sebagai “masih dapat dimengerti”, ‘Angkatan Muda Oposisi’ sebaliknya dituduh beranggotakan oknum-oknum yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Laksus menganggap Julius dan kawan-kawannya “merupakan gerakan yang hanya latah dan ikut-ikutan saja”.
Pangkopkamtibda Jaya Brigjen GH Mantik sempat menumpahkan kejengkelan kepada tokoh demo yang bernama Julius Usman ini yang punya kelompok bernama ‘Angkatan Muda Oposisi’. Julius ini sangat terkenal sebagai tokoh ‘demonstran rutin’ dari tahun ke tahun. Jika gerakan-gerakan mahasiswa dan kaum muda lainnya oleh Laksus masih dilukiskan sebagai “masih dapat dimengerti”, ‘Angkatan Muda Oposisi’ sebaliknya dituduh beranggotakan oknum-oknum yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Laksus menganggap Julius dan kawan-kawannya “merupakan gerakan yang hanya latah dan ikut-ikutan saja”.
Tapi
sebenarnya Julius tidak hanya berada di ‘Angkatan Muda Oposisi’, ia kerap
bergabung pada berbagai gerakan lain. Dan setiap gerakan yang melibatkan Julius
Usman, umumnya dapat dikategorikan mengandung ‘suspense’ dan banyak yang
menganggapnya absurd, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan
pergerakan mahasiswa sendiri. Sejak pertengahan Desember misalnya ada beberapa
gerakan yang dilakukan Julius. Senin 10 Desember, Julius Usman dan kawan-kawan
bersama Louis Wangge yang bergabung di bawah nama ‘Komite Kebanggaan Nasional’
mendemonstrasi Gedung Wisma Nusantara. Mereka memanjati gedung 30 tingkat itu
untuk mencapai reklame Toyota dan berusaha menutupinya, tapi tak bisa. Maka
mereka hanya mengibarkan bendera merah putih di sana. Sementara itu sekitar
tiga puluh orang lainnya menyebarkan lembaran kertas pernyataan kepada para
tamu dan karyawan di gedung itu. Mereka memperingatkan bahwa gedung bertingkat
yang disebut sebagai gedung tertinggi di Indonesia –saat itu– dibangun dengan
biaya pampasan perang Jepang. Menurut mereka adalah tak pantas gedung itu jadi
benteng kebudayaan asing. Mereka memperingatkan pula bahaya terselubung dari
modal asing, yaitu bisa menjadi penjajahan bentuk baru. Pada hari itu juga
gerakan lain yang bernama ‘Generasi Pembayar Hutang Indonesia’ yang dipimpin
pemuda bernama Herman melancarkan aksi corat-coret di gedung kantor perwakilan
Toyota di Jalan Jenderal Sudirman. Semula mereka mau menurunkan reklame Toyota di
puncak gedung itu, tapi batal karena persuasi seorang Jepang yang menjadi
pimpinan harian di tempat itu, yang mengatakan bahwa sejak beberapa hari lampu
reklame itu tidak dinyalakan. Seorang pejabat pemerintah kota juga ikut
melarang reklame itu diturunkan.
Sebelum
bergabung dengan Julius Usman, Louis Wangge yang juga adalah veteran 1966,
sempat mendemonstrasi pemilihan ratu kecantikan Indonesia di Hotel Indonesia,
atas nama ‘Komite Anti Kemewahan’. Komite ini pula lah yang sempat menjadikan
night club terkenal Latin Quarter sebagai sasaran ‘anti kemewahan’. Louis
Wangge adalah satu diantara sedikit tokoh Angkatan 1966 yang ‘tersisa’
di’jalan’an, sementara banyak tokoh 1966 lainnya sudah berada dalam lingkaran
kekuasaan ataupun telah menjadi elite Golkar maupun PDI dan PPP. Ketiga
kekuatan politik ini bersama ABRI waktu itu bagaimanapun telah merupakan ‘sub
sistem’ kehidupan politik dan kekuasaan negara, meskipun dengan kelas peranan
yang berbeda.Pertamina
Mayjen Ibnu Sutowo di Jalan Tanjung. Mereka bermaksud membacakan memorandum di
sana. Tapi karena mereka datang pada pagi hari tepat pada jam kantor, Ibnu
sudah tidak ada di rumah. Maka mereka hanya bisa mengacungkan poster yang
berbunyi “Pengeluaran negara harus ada di dalam APBN” dan beberapa lainnya yang
mengutik-ngutik praktek khusus dalam pengelolaan kekayaan negara, yang mestinya
dibaca dan ‘diresponse’ Ibnu. Julius Usman dan kawan-kawan memang cerdik
memilih sasaran. Suatu
gerakan yang dibuat untuk menakuti para cukong, dilancarkan pula dengan nama
‘Desember Hitam’ oleh mereka yang menyebutkan diri ‘Generasi Angkatan 66’. Aksi
dilakukan di bundaran dekat Bank Indonesia Jalan Thamrin, mengibarkan bendera
hitam sebagai tanda berkabung atas kemelut sosial politik yang menimpa
Indonesia. Mereka membawa satu ‘daftar hitam’ yang berisi 18 nama cukong atau
tokoh non pribumi yang mereka sebut sebagai petualang-petualang politik,
penyelundup, tukang gusur tanah dan antek Jepang. Seraya itu mereka bertanya
apakah perlu revolusi sosial terjadi? Dijawab sendiri oleh mereka “Mungkin saja
terjadi revolusi sosial”. Jurus ‘Desember Hitam’ sempat juga menciutkan nyali
para cukong, sehingga mereka sibuk melobi para sobat di kalangan kekuasaan dan
keamanan. Beberapa dari mereka yang masuk daftar, diketahui sempat mengeluarkan
dan menambah pos biaya pengamanan.Gerakan-gerakan
di Jakarta ini serupa dengan yang terjadi sebelumnya di Yogya minggu ketiga
Desember, di sekitar Monumen 1 Maret, demonstrasi anti cukong, anti kemewahan
dan anti judi dengan sasaran yang tertuju jelas kepada Ong Ging Ging yang lebih
dikenal dengan nama Onggo Hartono penyelenggara Toto Koni Yogyakarta. Di
Jakarta, saat itu memang hampir setiap hari terjadi demonstrasi, mulai dari
yang masuk akal sampai kepada yang sering-sering tidak masuk akal dan
menimbulkan pertanyaan apa maksud sebenarnya. Tetapi semua gerakan ini
menyangkal anggapan bahwa gerakan-gerakan mereka sekedar latah-latahan atau
mencari popularitas, apa lagi kalau dikatakan ‘ada udang di balik batu’. Desas
desus tidak sedap tentang ekses memang juga ikut terdengar. Namun, apapun
ceritanya, aksi-aksi yang terjadi di Jakarta menjalar pula ke kota-kota seperti
Medan, Surabaya, Ujung Pandang dan berbagai kota lainnya di tanah air. Mulai
dari gerakan idealis ataukah yang bukan dan spesifik.
Adanya
gerakan-gerakan yang tidak jelas dan terlalu mengada-ada, membuka pintu bagi
penguasa militer untuk membuktikan bahwa aksi-aksi itu sudah tak bisa
dipertanggungjawabkan lagi dan menjadi batu loncatan untuk mengeluarkan larangan
berdemonstrasi bagi mahasiswa seluruhnya. Maka tak kurang kecurigaan bahwa
beberapa gerakan ekstra parlementer memang direkayasa untuk menciptakan opini
buruk bagi gerakan mahasiswa. Ini ibarat memasukkan kutu busuk dalam selimut.
Tipu daya dan permainan intelejen yang saling menyilang mulai terjadi di latar
belakang. Untuk mematahkan gerakan-gerakan mahasiswa, maupun sebaliknya untuk
memicu, bahkan ditujukan kepada sesama kalangan kekuasaan dalam rangka
penciptaan situasi sebagai akibat pertentangan internal yang sementara itu
semakin meningkat.
Namun,
bagaimana pun juga gerakan-gerakan mahasiswa tak terbendung lagi untuk segera
menjadi gerakan besar yang ditopang oleh tampak lahiriah telah
terkonsolidasinya kekuatan intra kampus, terutama antara Bandung dan Jakarta,
yang diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi dari berbagai kota lainnya.
Kendati pun masih terdapat nuansa perbedaan menyangkut ‘platform’ dan ‘tujuan’.
Isyarat itu bermula dengan menggelindingnya demonstrasi langsung ke arah
Soeharto di pekan terakhir Desember 1973 itu.
Akhirnya
demonstrasi menggelinding ke arah Soeharto
PADA
akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah
Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa
mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada
keketatan barisan pengamanan. Tetapi menjelang akhir Desember 1973, setelah
suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu
demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan
menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada
akhirnya, melalui komandan satuan pengawalan presiden, Kolonel Darsa,
menyatakan bersedia melakukan dialog. Presiden Soeharto memutuskan untuk menerima
para mahasiswa pada tanggal 11 Januari 1974.
Pertemuan
itu, yang berlangsung di kantor Presiden, Bina Graha, serba dibatasi. Ada 35
Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia yang hadir, namun
hanya tiga orang wakil dari setiap dewan yang bisa masuk ke ruang pertemuan.
Sejumlah besar mahasiswa lainnya yang datang mengantar rekan-rekan mereka hanya
diperkenankan masuk sebatas ruang pers Bina Graha. Mereka ini umumnya adalah
dari kontingen Bandung yang datang ke Jakarta dengan 5 minibus untuk mengantar
delegasi DM-DM mereka. Kontingen ini dipimpin oleh Omay Komar Wiraatmadja
bersama Iwan Abdurrahman, Hertog Saut dan Suprapto. Ketika dipersilahkan untuk
duduk, mereka memilih duduk ramai-ramai di lantai ruangan. “Kita tidak biasa
duduk di kursi enak”, ujar mereka. Sambil menunggu kawan-kawan mereka yang
mengikuti pertemuan, mereka melontarkan berbagai ucapan dan sindiran. Di
Jakarta ini, kata mereka, banyak penjara yang pagarnya sampai tiga meter, tapi
isinya Istana. Di luar, terbiasa memenjarakan kebebasan berpendapat orang lain.
Dalam
ruang pertemuan itu sendiri, para mahasiswa tidak membatasi kata-kata, tetap
melontarkan pendapat dan pertanyaan yang tajam dan cukup terang-terangan kepada
sang Presiden yang duduk di salah satu sisi meja rapat yang disusun berbentuk
O, didampingi Sudharmono SH di samping kirinya. Hariman Siregar dari UI di
kursi pertama di sudut siku-siku sisi kiri Sudharmono SH pada deretan pertama.
Sementara di seberangnya di sudut siku-siku-siku samping kanan Presiden, duduk
Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran. Presiden membuka acara
pertemuan dengan langsung memberi kesempatan para delegasi dewan-dewan
mahasiswa itu untuk berbicara. Setelah Hatta Albanik dan beberapa pimpinan DM
lainnya mengacungkan tangan meminta kesempatan bicara, lalu dialog pun dimulai.
Ada
yang bertanya, mengapa pidato-pidato Presiden banyak yang berbeda dengan fakta.
Dan kemudian dengan terlebih dahulu ‘meminta maaf’ kepada Presiden, “Maaf kalau
ada kata-kata saya yang menyinggung atau terlalu keras. Sebenarnya saya sudah
mencoba memperhalus”, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran Hatta
Albanik melontarkan pertanyaan dan pernyataan. Dan tetap saja, cukup tajam.
“Pak Harto sering menganjur-anjurkan hidup sederhana, tapi banyak dari penguasa
yang bertindak sebaliknya”, ujar Hatta. “Jadi seolah-olah wibawa pak Harto
ditantang oleh bawahan sendiri”. Katanya tidak boleh pamer kekayaan, tapi
nyatanya yang menumpuk kekayaan sangat banyak. “Ini kan membuat orang jadi
munafik?”. Hatta menggugah pula keberanian Kepala Negara untuk bertindak kepada
yang salah, betapa pun dekatnya hubungan pribadi mereka. Ia memperingatkan pula
agar dalam masalah informasi dan laporan jangan sampai terulang pengalaman masa
Soekarno.
Masih
menyangkut bawahan, Dewan Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta
bertanya kepada Soeharto, bagaimana ia sebagai pimpinan bertindak atau tidak
terhadap pembantunya yang juridis formal masih susah dibuktikan bersalah,
tetapi sementara itu masyarakat sudah merasakan kesalahan itu ? Presiden tidak
menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan berikut, dari Hariman Siregar Ketua Umum
Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, mengenai tindakan terhadap bawahan
Presiden yang menyeleweng. “Kenapa bapak tidak tegas bertindak terhadap bawahan
bapak?”. Pertanyaan ini dijawab Soeharto, “Ketegasan ada, kalau informasi
positif. Tindakan bukan dilakukan untuk menjadikan yang bersangkutan jadi
bandel, tapi bertujuan untuk mendidik”.
Tanya
jawab antara Ketua Umum Dewan Mahasiswa Udayana, Mikail Tani Wangge, dengan
Presiden, adalah satu di antara sekian tanya jawab yang menarik dalam pertemuan
11 Januari ini.
“Kenapa
dialog ini diadakan tertutup?”, tanya Tani Wangge.
“Bukan
karena tidak percaya”, jawab Presiden, “tapi untuk mencerminkan keadaan yang
lebih akrab”. Lalu Presiden menambahkan kekuatirannya bahwa pemberitaan
mengenai dialog ini –bila dilakukan terbuka– bisa simpang siur dan menjurus ke
arah negatif.
“Dalam
soal pemilihan Gubernur, kenapa DPRD belum bersidang tapi nama calon sudah
ada”, tanya Tani Wangge mengenai masalah kursi Gubernur Bali yang lalu.
“Tidak
demikian”, jawab Presiden seraya tersenyum.
“Kami
jangan ditipu pak”, ujar Tani Wangge lagi, “pemilihan Gubernur telah ditentukan
lebih dulu, bukan murni. Begitu juga penjualan tanah rakyat untuk pembangunan,
bukan dengan rela tapi lantaran takut”.
“Sampai
di mana batas-batas seseorang memiliki tanah ?”, tanya mahasiswa dari DM-IPB.
“Kalau
seseorang memiliki tanah dengan melalui prosedur hukum, tidak bisa disalahkan”,
jawab Presiden, “Yang harus kita koreksi, dari mana duitnya”.
Wakil
dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta melontarkan serangkaian pertanyaan, apakah
benar pemilihan gubernur-gubernur ditentukan oleh Opsus dan apakah pemerintah
atau DPR tidak berfungsi dengan adanya Aspri ? “Dan kenapa Jenderal Soeharto
tidak seberani zaman permulaan Orde Baru ?”.
Presiden
kurang lebih menjawab, bahwa Aspri tidak dibenarkan main cukong-cukongan. “Dan
saya akan mencari data mengenai hal itu”.
“Bagaimana
tentang lembaga-lembaga yang tidak berfungsi ?”, demikian pertanyaan dari Dewan
Mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.
“Kita
sedang usahakan untuk meluruskannya”, jawab Presiden.
Pertanyaan
lain diajukan pula oleh DM-UI, mengenai permainan beberapa kalangan penguasa di
kampus, misalnya melakukan intimidasi-intimidasi. Beberapa pertanyaan lain
terpaksa diajukan secara tertulis oleh beberapa Dewan Mahasiswa yang tidak
mendapat kesempatan berbicara karena waktu pertemuan yang dibatasi. Pertanyaan
tertulis yang diajukan oleh para mahasiswa antara lain mengenai sepak terjang
menyimpang dari beberapa tokoh, termasuk mengenai Ibu Negara Tien Soeharto.
Selain itu, beberapa dari 35 Dewan Mahasiswa yang hadir, menyerahkan dua
memorandum kepada Presiden.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (7)
In
Historia, Politik on January 18, 2010 at 10:10 AM
“Menjadi
pertanyaan pula saat itu, apakah di bulan Januari itu demonstrasi mahasiswa
secara besar-besaran akan meletus karena tak ada tanda-tanda penguasa mau
mendengar kritik dan tuntutan para mahasiswa dan akhirnya mau berbuat sesuatu
untuk kepentingan rakyat, sesuatu yang selama bertahun-tahun telah dilupakan
penguasa”.
TERHADAP
pertemuan Presiden Soeharto dengan mahasiswa itu, ada dua penilaian berbeda,
yakni dari kalangan penguasa dan dari kalangan mahasiswa. Kalangan penguasa
mendalilkan bahwa karena dalam pertemuan itu Presiden Soeharto telah menampung
protes-protes mahasiswa, maka semestinya mahasiswa sudah harus berhenti
berdemonstrasi. Suara mahasiswa berbeda. “Sejak semula sudah saya katakan bahwa
pertemuan ini bukan merupakan final dari segalanya. Di sini kita hanya sekedar
berbasa basi”, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik menegaskan
segera setelah pertemuan dengan Presiden di Bina Graha itu. “Dalam pertemuan
itu sendiri tidak ada hal yang baru. Kita tidak akan bisa mengharapkan bahwa
akan ada perbaikan dalam waktu dekat, kalau kita hanya semata-mata
menitikberatkan pada pertemuan itu”.
Catatan
mengenai pertemuan itu juga datang dari Sudharmono SH –waktu itu Menteri
Sekretaris Negara. Pertemuan berjalan cukup tertib, tulis Sudharmono SH, “para
mahasiswa menyampaikan dua deklarasi, satu dari mahasiswa Jakarta, satu lagi
dari mahasiswa luar Jakarta”. Pada pokoknya tuntutan berisi agar pemerintah
melaksanakan pembangunan yang berorientasi kerakyatan, memberantas korupsi, dan
menghapus lembaga-lembaga yang inkonstitusional. Dalam pertemuan itu, Presiden
Soeharto menjelaskan berbagai kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah yang
tidak lain sebagai pelaksanaan amanat rakyat yang dituangkan dalam GBHN 1973.
Presiden Soeharto juga meminta kepada delegasi mahasiswa agar jangan mengganggu
jalannya acara-acara tamu negara yang dapat menurunkan martabat negara sebagai
tuan rumah yang baik. “Namun, rupanya pertemuan dengan bapak Presiden tidak
menghentikan kegiatan demonstrasi mahasiswa. Malahan tampaknya makin
meningkat”.
Pada
kenyataannya memang, selama beberapa hari setelah pertemuan mahasiswa tetap
bergerak, hingga pecah suatu huru hara besar pada tanggal 15 dan 16 Januari,
yang dalam analisis beberapa kalangan, merupakan hasil suatu provokasi kalangan
kekuasaan untuk menggemboskan gerakan perlawanan mahasiswa. Usaha menghentikan
perlawanan mahasiswa ini, sudah berlangsung sejak awal, pada bulan-bulan
sebelumnya di tahun 1973. Namun pukulan balik terhadap gerakan mahasiswa ini
baru berhasil pada pertengahan Januari 1974, satu dan lain hal banyak terkait
pula dengan ‘keteledoran’ para pimpinan
mahasiswa Jakarta sendiri dalam menerima dan memanage ‘masuk’nya kekuatan non
kampus dalam gerakan-gerakan mereka. Dan akhirnya, untuk keteledoran itu,
mereka harus membayar dengan suatu harga yang mahal. Selain itu,
gerakan-gerakan mahasiswa memang terjadi dalam ruang dan waktu yang bersamaan
dengan proses perseteruan yang terjadi pada internal kekuasaan. Titik singgung
bagaimana pun tak selalu bisa dihindari.
Api
bagi ‘penjual’ bangsa
PERTEMUAN
11 Januari 1974 antara mahasiswa dengan Presiden Soeharto tidak terjadi
seketika dan begitu saja. Beberapa kali sebelumnya, di bulan Desember 1973,
para mahasiswa mencoba menerobos ke kantor Presiden Soeharto di Bina Graha dan
ke kediaman Jalan Cendana untuk bertemu langsung dengan presiden, namun gagal
terus. Percobaan terakhir terjadi Senin
24 Desember 1973.
Pada
awal pekan terakhir tahun 1973 itu, Jakarta sangat kental dengan aroma militer.
Iring-iringan panser dan berbagai kendaraan lapis baja di pusat kota menjadi
atraksi tersendiri bagi sebagian masyarakat ibukota. Hari itu, Kodam V Jaya
sedang merayakan ulang tahun yang ke-24, yang dipusatkan di Monumen Nasional.
Tapi pada saat kendaraan-kendaraan militer itu bermanuver, sekitar seratus
mahasiswa yang mewakili 12 Dewan Mahasiswa dari tiga kota –Bandung, Jakarta dan
Bogor– juga sedang bergerak tak jauh dari sana, menuju kantor Presiden, Bina
Graha, di sudut kompleks Istana Negara. Dua Dewan Mahasiswa dari Bandung adalah
dari ITB dan Universitas Padjadjaran. Dari ITB antara lain Komaruddin. Sedang
dari Universitas Padjadjaran adalah Chairuman Harahap yang adalah Wakil Ketua
Majelis Permusyawaratan Perwakilan Mahasiswa yang waktu itu datang dengan
mandat dari Ketua Umum DM selaku pimpinan rombongan mahasiswa Unpad. Dari Bogor
adalah dari IPB. Sisanya, dari Jakarta yakni Harriman Siregar dan kawan-kawan
dari UI serta DM-DM Sekolah Tinggi Olahraga, IKIP Muhammadiyah, Universitas
Kristen Indonesia, Universitas Muhammadiyah, Universitas Jayabaya dan
Universitas Katolik Atmajaya.
Di
Bina Graha delegasi 12 DM tiga kota itu disambut kurang ramah. Petugas hanya
mengizinkan 3 anggota delegasi masuk ke Bina Graha. Hariman Siregar meminta
paling kurang 12 orang karena ada 12 Dewan Mahasiswa yang datang. Setelah
bersitegang para mahasiswa mendapat jawaban, Presiden Soeharto tidak ada di
tempat. Seorang staf kepresidenan bahkan menjelaskan “Bapak Presiden jarang berkantor
di sini”. Kecuali, hari Selasa bila ada sidang Dewan Stabilisasi. Karena
jawaban ini, pukul 11.00 para mahasiswa bergerak ke Sekertariat Negara untuk
menemui Menteri Sekertaris Negara. Mereka hanya bertemu Letnan Kolonel
Sudaryono karena Menteri juga tak ada di tempat. Karena kesal, para mahasiswa
melakukan aksi duduk sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan beberapa lamanya.
Dan akhirnya memutuskan untuk bergerak ke Jalan Cendana mencari Jenderal
Soeharto.
Menumpang
bus, massa dari 12 Dewan Mahasiswa, akhirnya bergerak ke Jalan Cendana
dibayangi pasukan pengendali huru hara dari Komando Daerah Kepolisian Metro
Jaya yang bertopi helm lengkap dengan tameng dan tongkat penggebuk. Adalah
pasukan anti huru hara ini bersama Polisi Militer AD yang mengawal Istana
Cendana yang mencegah para mahasiswa masuk ke kawasan Cendana. Sempat terjadi
ejek mengejek dan dorong mendorong antara mahasiswa dengan petugas. Mahasiswa
mengultimatum, bila tidak diizinkan masuk, mereka akan datang kembali dengan
jumlah massa yang jauh lebih besar. Namun sebelum terjadi bentrokan fisik yang
sepertinya akan pecah, Kolonel Darsa dari Cendana akhirnya mengizinkan 8 utusan
mahasiswa masuk ke Cendana. Di Cendana utusan ini menyampaikan memorandum dan
mendapat janji dari sang komandan pengawal bahwa memo itu pasti akan
disampaikan langsung kepada Presiden. Para mahasiswa ini pun dijanjikan akan
diterima langsung oleh Jenderal Soeharto dalam waktu dekat. Agaknya Kolonel
Darsa mendapat konfirmasi ini langsung dari Presiden Soeharto. Tetapi di
belakang hari, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo menuduh gerakan yang dilakukan
mahasiswa ke Cendana ini sebagai sikap memaksakan kehendak kepada Presiden
Soeharto.
DI
AWAL Januari 1974, tidak menjadi hal yang terlalu penting sebenarnya bagi para
mahasiswa, khususnya untuk mahasiswa Bandung, apakah Presiden Soeharto akan
betul-betul menemui mereka atau tidak. Bagi mahasiswa Bandung, bahkan mulai
terbetik kekuatiran bahwa bertemu dengan Soeharto mungkin saja sekedar menjadi
‘tujuan akhir’ dari beberapa ‘rekan’ mereka pimpinan mahasiswa Jakarta. Dasar
kekuatiran seperti itu bukannya tanpa alasan. Sebelum pertemuan dengan
Soeharto, pada 10 Januari malam, dewan-dewan mahasiswa se Indonesia yang akan
hadir esok hari di Bina Graha mengadakan pertemuan di Cipayung. Kebetulan saat
itu sedang berlangsung Latihan Nasional Kepemimpinan Dewan Mahasiswa II di
Puncak Pass (6 hingga 11 Januari), yang diikuti 60 mahasiswa dari 12 Dewan
Mahasiswa se Indonesia. Penyelenggara adalah DM ITB, dengan Ketua OC
(Organizing Committee) Ahmad Fuad Afdhal. Maka para pimpinan mahasiswa memilih
untuk bertemu tak jauh dari sana.
Di
forum Cipayung itu, Hariman Siregar dan kawan-kawan dari Jakarta menyodorkan
agar Deklarasi Mahasiswa Jakarta lah yang dalam pertemuan dengan Soeharto esok
hari yang disampaikan sebagai pernyataan para mahasiswa se Indonesia itu. Para
mahasiswa Bandung, Yogya, Semarang (Universitas Diponegoro) dan juga dari Medan
(USU, Universitas Sumatera Utara), Universitas Syiah Kuala dari Banda Aceh, dan
dari Kalimantan tidak setuju, karena menganggap bahwa suatu pernyataan bersama
justru harus dibicarakan saat itu di forum itu.
Hatta
Albanik mengatakan, selama ini kita bersatu, tetapi makin dekat pertemuan
dengan Soeharto kenapa kini seperti harus pisah. Hatta menilai seakan-akan
mahasiswa Jakarta menganggap pertemuan dengan Soeharto sebagai puncak
perjuangan, padahal justru baru merupakan awal perjuangan dengan bisa
menyampaikan kritik langsung kepada pimpinan kekuasaan. Hariman menjawab bahwa
selama ini ia telah berjuang untuk persatuan mahasiswa Indonesia. Hatta
menjawab, bahwa justru dengan sikap mahasiswa Jakarta yang seperti ditunjukkan
malam itu, bisa memecah persatuan.
Terlihat
bahwa malam itu terjadi pembelahan atas dua kutub, antara Jakarta dengan luar
Jakarta. Akhirnya ‘sepakat untuk tidak sepakat’ malam itu membuahkan keputusan
bahwa mahasiswa Jakarta silahkan menyampaikan deklarasinya dan mahasiswa luar
Jakarta pun menyampaikan pernyataannya masing-masing di esok hari. Maka
beberapa DM luar Jakarta, antara lain dari ITB, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Diponegoro, Universitas Syiah Kuala dan lain-lain lalu merumuskan
sendiri suatu deklarasi untuk disampaikan esok hari. DM Universitas Padjadjaran
tidak turut dalam perumusan itu. Begitu pula Universitas Parahyangan. Dengan
demikian Unpad dan Unpar seperti halnya juga dengan beberapa DM luar Jakarta
lainnya yang hadir dalam pertemuan dengan Soeharto 11 Januari 1974, memilih
‘berada’ di luar dua Deklarasi –khususnya di luar Deklarasi Mahasiswa versi
Jakarta– yang disampaikan mahasiswa dalam pertemuan 11 Januari. DM-Unpad
menyampaikan sendiri aspirasinya melalui Hatta Albanik, sedang DM-Unpar melalui
Budiono Kusumohamidjojo.
Tanpa
terlalu disadari barangkali, adanya dua kutub tercermin dalam pertemuan 11
Januari 1974, yakni di deretan kiri Soeharto duduk delegasi DM-DM Jakarta dan
diseberangnya di sebelah kanan Soeharto duduk delegasi DM-DM luar Jakarta.
Sejak 10 Januari malam itulah pula muncul kecurigaan mahasiswa luar Jakarta,
Bandung khususnya, terhadap Hariman Siregar, bahwa ia mempunyai misi tertentu.
Sesuatu yang berkali-kali dibantahnya.
Sebelum
pertemuan 11 Januari, sebenarnya mahasiswa Bandung pernah mengundang Soeharto.
Secara agak jenaka dan spontan mereka mengajak Presiden Soeharto justru datang
ke kampus mereka di Bandung. Bertanggal 10 Januari 1974, Dewan Mahasiswa
Universitas Padjadjadjaran menyampaikan sajak undangan: “Pak Harto, Presiden
kami. Sudah saatnya pak, sebagai pimpinan bangsa, tidak lagi mengamati keadaan
bangsa, dari atas singgasana istana. Datanglah sendiri, lihatlah sendiri,
keadaan bangsa Indonesia kini, tidaklah cerah lagi. Keadaannya tidak seindah
yang dilaporkan orang-orang di sekitar bapak. Untuk mereka yang mengelilingi
bapak kini, bukan tak mungkin, mikroskop waspada harus bapak pergunakan; untuk
melihat kuman borok. Pengalaman Soekarno tak seharusnya terulang pada bapak.
Pemimpin yang jujur, pintar, berani membela kepentingan masyarakat luas, itulah
yang bapak harus percayai. Pak, sudah saatnya kini, untuk tidak lagi berlaku
bagaikan maharaja feodal, memanggil menghadap hamba ke singgasana. Kami
bermohon dengan rendah hati: jenguklah kami, lihatlah sendiri, bukalah timbal
balik komunikasi langsung. Kami undang bapak ke kampus kami, tak jauh, tak
mencapai 200 km dari istana. Untuk langsung mendengar keluhan kami, tanpa
perantara, pada tanggal sembilan belas bulan Januari tahun tujuh empat, di
kampus kami, jam sepuluh. Luangkan satu hari Minggu bapak untuk ke Sawangan”.
Tentu saja Presiden tidak pernah memenuhi undangan itu.
Menjadi
pertanyaan pula saat itu, apakah di bulan Januari itu demonstrasi mahasiswa
secara besar-besaran akan meletus karena tak ada tanda-tanda penguasa mau
mendengar kritik dan tuntutan para mahasiswa dan akhirnya mau berbuat sesuatu
untuk kepentingan rakyat –sesuatu yang menurut Ketua Umum DM Universitas
Padjadjaran Hatta Albanik selama bertahun-tahun telah dilupakan penguasa.
Ataukah sebaliknya, aksi mahasiswa ‘kempes’ bannya, setelah bertemu dan
berdialog dengan Jenderal Soeharto misalnya. Harriman Siregar sendiri, yang
dianggap menunjukkan keinginan kuat untuk bertemu Soeharto, menjelaskan bahwa
tujuannya mengajak mahasiswa bertemu Soeharto tak lain hanya untuk melontarkan
seluruh uneg-uneg dan kecaman –yang dalam istilah Hariman, ‘maki-maki’.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (8)
In
Historia, Politik on January 19, 2010 at 11:22 PM
Doa
yang tak lazim….“Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada
mereka yang sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di
atas penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”. “Ya Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan
bencanaMu kepada para penegak hukum, baik mereka di dalam lembaga peradilan
maupun di kalangan kemiliteran, yang dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau
yang dengan sengaja melindungi para pelaku kezaliman dan kebiadaban atas
warganegara-warganegara kecil bangsa kami yang tercinta”.
Setidaknya
masih terjadi dua pertemuan besar mahasiswa pada pekan pertama Januari 1974
itu. Satu di kampus Universitas Indonesia dalam bentuk malam tirakatan
menyambut Tahun Baru 1974. Satunya lagi, Rabu 9 Januari di kampus Universitas
Padjadjaran dalam suatu kegiatan yang disebut ‘apel berjemur diri’ hanya dua
hari sebelum pertemuan mahasiswa dengan Presiden Soeharto.
Dalam
malam tirakatan di kampus Universitas Indonesia, Salemba, para mahasiswa
menampilkan ekspresi keprihatinan dan kegelisahan yang makin mendalam. “Kami
mengajak semua yang hadir untuk merasakan keprihatinan pada malam ini”, ujar
Gurmilang Kartasasmita dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, tatkala
memulai acara sebagai tuan rumah. Ajakan ini mendapat sambutan dari DM-DM yang
hadir, dari Jakarta maupun Bandung. “Mahasiswa resah karena peka terhadap
sekitarnya. Kami resah karena ada yang tidak normal. Mudah-mudahan malam
prihatin ini bisa menggugah bapak-bapak kita”, kata Hermansyah dari Universitas
Muhammadiyah. “Saya merasa bahagia karena generasi muda sepakat untuk prihatin
akan penderitaan rakyat, yang berarti generasi muda cukup mempunyai pandangan
yang jauh ke depan”, sambung Ketua DM Universitas Trisakti yang menilai keadaan
saat itu tak sesuai lagi dengan cita-cita kemerdekaan. Namun lebih dari sekedar
keprihatinan, Ketua DM Universitas Atmajaya Jakarta, Lopez, mempertanyakan
“Kita telah melihat kegelisahan-kegelisahan dan keprihatinan, lalu apa
kelanjutan dari keprihatinan itu ? Kita menuntut perbaikan, kita bukan
menganjurkan sekedar keprihatinan karena keprihatinan memang sudah ada di dada
kita masing-masing. Dengan segala koreksi kita akan mengisi keprihatinan”.
Lalu
Hatta Albanik, Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran dari Bandung, mempertajam
pernyataan-pernyataan sebelumnya, “Segelintir manusia telah memanfaatkan
kebodohan masyarakat. Mereka tidak ingat bahwa negeri ini ditegakkan dengan
pengorbanan yang tidak sedikit. Terlalu sulit untuk mengungkapkan dengan
kata-kata bagaimana penderitaan bangsa kita, dan apa yang harus kita perbuat.
Tapi satu hal yang pasti, kita harus berbuat ! Malam ini merupakan satu
pencetusan, satu obor perjuangan yang membakar negeri ini !”. Ucapannya yang
retorik itu mendapat sambutan meriah dari hadirin.
Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi tuan rumah malam tirakatan itu
menyampaikan pidato pernyataan diri yang dibacakan oleh Ketua Umum Hariman
Siregar. “Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita
adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah
untuk membuat rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan
pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah
mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda untuk memikirkan masa kini
dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian
rakyat untuk menyuarakan diri”. Beban itu, menurut DM-UI adalah beban bersama.
“Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang
dikutuk sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan yang
ditimbulkan himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga
kebisuan akibat feodalisme yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan anti
partisipasi. Artinya, kita harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang
menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu”.
Menggambarkan
realita aktual saat itu, DM-UI menyebutkan “Ketidakadilan dan pengangguran
semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu. Ini disebabkan
bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dari sumber-sumber
ekonomi dengan kekuatan politik dalam bentuk populer berupa kerja sama antara
kelompok-kelompok cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian
rakyat yang tidak jenderal atau tidak cina, tidak menikmati pembangunan ekonomi,
seperti sekarang ini”. Alternatif pembangunan yang terbuka, adalah menyadarkan
jenderal-jenderal dan cina-cina kembali menjadi warga negara biasa seperti
sebagian terbesar rakyat. “Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus
ditempuh!”.
Seraya
menyerukan agar mahasiswa berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan
pendapat-pendapatnya, DM-UI melalui Hariman kali ini memperluas wilayah
himbauannya ke wilayah luar mahasiswa. “Kepada tukang beca, mari abang-abang,
kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur
yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan di kota-kota, untuk bergerak
menuntut kesejahteraan sosial. Kepada warga negara Indonesia yang bekerja pada
perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan
karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya kepada para koruptor penjual bangsa,
pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh
persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang”.
Seruan
yang disampaikan Hariman dan menembus ke luar batas kawasan mahasiswa ini kelak
mendapat terjemahan tersendiri dalam laporan-laporan intelejen dan analisa
kalangan kekuasaan, sebagai sesuatu ajakan konspirasi yang menuju makar.
Apalagi, dalam malam tirakatan di Salemba itu, hadir unsur-unsur luar kampus
seperti antara lain wakil buruh dari Tanjung Priok yang bernama Salim Kadar.
Dalam pertemuan itu, Salim Kadar dengan nada berapi-api menyatakan “Buruh
pelabuhan Tanjung Priok menyatakan solidaritas atas perjuangan saudara-saudara
! Saya harap agar api perjuangan tahun 1966 tetap jadi prinsip. Bagi kami tidak
ada yang lain selain mendukung perjuangan saudara-saudara !”.
Meskipun
sebelumnya telah pernah berlangsung pertemuan bersama antar Dewan Mahasiswa
beberapa kota, seperti misalnya di ITB di bulan Desember 1973, masih terdapat
kekurangyakinan akan kebersamaan dalam aspirasi yang sama antara para
mahasiswa. Masalahnya, sebelum ini gerakan-gerakan berbagai Dewan Mahasiswa
lebih banyak berjalan sendiri-sendiri. Namun bersamaan dengan berjalannya
waktu, pada akhir tahun 1973 memasuki 1974 dewan mahasiswa antar kota tampak
berusaha mendekatkan diri satu sama lain. Dalam acara tirakatan itu, Charles
Mangun dari Dewan Mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung menyatakan “Saya
hanya ingin mengemukakan pentingnya persatuan, bukan hanya satu kepentingan.
Idealisme hanya bisa dilaksanakan kalau kita mendekati rakyat”. Ketua DM
Akademi Tekstil Berdikari dari Bandung menyatakan keinginan serupa. “Kami
merasa ikut terpanggil untuk berjuang”, ujarnya. “Dulu di zaman Orde Lama
tangan kita dibelenggu oleh KOTI (Komando Operasi Tertinggi), dan sekarang di
zaman Orde Baru pikiran kita coba dibelenggu. Di sini ada yang identik antara
KOTI dengan Kopkamtib”. Di tengah tepuk tangan riuh yang menyambut ucapan itu,
ia meneruskan dengan tuntutan “Hendaknya Kopkamtib dibubarkan ! Mari, kita
tidak perlu takut kepada Kopkamtib ! Mari kita bersatu padu”. Lebih jauh ia
bahkan menggugat eksistensi Surat Perintah 11 Maret yang disebutnya sebagai “surat
yang tidak bernomor”.
Membaca
tanda-tanda kebersamaan yang membayang malam itu, Rektor UI Mahar Mardjono lalu
berkata “Saya melihat bahwa kehadiran mahasiswa luar Jakarta malam ini
menunjukkan kekompakan di kalangan mahasiswa. Hendaknya mahasiswa jangan sampai
terpecah-pecah oleh kekuatan apapun”.
Tetapi,
nyatanya pertemuan menyambut tahun 1974 di Salemba itu, merupakan pertemuan
terakhir yang dihadiri bersama oleh dewan-dewan mahasiswa antar kota, sebelum
pada akhirnya para mahasiswa dari 35 Dewan Mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi beberapa kota se Indonesia bertemu Presiden Soeharto 11 Januari di Bina
Graha.
Bersamaan
dengan malam tirakatan di UI, mahasiswa Yogyakarta –Universitas Gajah Mada,
Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri– juga
menyelenggarakan malam tirakatan menyambut 1974 dalam gerimis. Lulusan Fakultas
Sastra Gajah Mada, Mochtar Pabottingi, malam itu membacakan empat doa tidak
lazim yang berisi permohonan “kutuk dan nista’.
“Ya
Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada mereka yang
sesungguhnya merampas hak rakyat untuk hidup berlimpah kemewahan di atas
penderitaan dan kemiskinan mayoritas bangsa kami yang tercinta”.
“Ya
Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada para penegak hukum,
baik mereka di dalam lembaga peradilan maupun di kalangan kemiliteran, yang
dengan sadar berlaku zalim dan biadab atau yang dengan sengaja melindungi para
pelaku kezaliman dan kebiadaban atas warganegara-warganegara kecil bangsa kami
yang tercinta”.
“Ya
Tuhan kami, timpakanlah nista, kutuk dan bencanaMu kepada orang barbar yang
telah memperkosa Sum Kuning, yang telah mengakibatkan kematian Rene Coenraad
dan kepada semua yang sengaja menyebarkan kemaksiatan dengan kekuatan di tanah
air kami yang tercinta”.
“Tetapi
ya Tuhan kami, lindungilah dan berikanlah kekuatan abadiMu kepada para pemimpin
kami dari angkatan tua maupun angkatan muda dan kepada semua yang ikhlas, jujur
dan penuh bakti dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan”.
Dan
di Bandung, 9 Januari 1974 hanya dua hari sebelum pertemuan dengan Presiden
Soeharto di Bina Graha, mahasiswa se Bandung mengadakan apel berjemur diri di
kampus Universitas Padjadjaran di Jalan Dipati Ukur. Dalam apel tersebut
mahasiswa membakar dua boneka besar, yang satu bernama Tanaka yang
menggambarkan PM Jepang Kakuei Tanaka yang akan berkunjung ke Indonesia tanggal
14 Januari. Boneka yang lainnya dikalungi papan nama ‘Makelar Penjual Bangsa’
dengan tambahan tulisan besar “Dulu Haji Peking. Sekarang Haji Tokyo”. Meskipun
nama asli sang boneka pribumi tidak dituliskan semua orang tahu bahwa yang
dituju tak lain adalah Aspri Presiden. Apalagi beberapa poster yang terpampang
telah menyebutkan dengan jelas bahwa negara ini akan dijual segera dan
salesmannya adalah Soedjono Hoemardani
dengan salah satu pembelinya adalah Tanaka. “Tanaka tengok tanah jajahan atau
tengok kawan lama (Soejono H)”, bunyi poster lainnya memperjelas. “Pembakaran ini bukan mencerminkan kebuasan
kita, bukan pula kanibalisme”, para mahasiswa memberi penjelasan. “Kami tak
benci orangnya, tapi perbuatannya”. Dan apel di tengah siang hari yang terik
ini, menurut pengantar acara untuk menunjukkan bahwa mahasiswa juga ikut
merasakan apa yang dirasakan rakyat sekarang. “Hari ini kita berkabung mengenai
situasi negara dan penderitaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam minggu ini
‘pembeli’ negara ini akan datang”. Iwan Abdurrahman –pimpinan group pencinta
lagu dari Universitas Padjadjaran– menggambarkan pertemuan hari itu dalam lagu:
“Tuhan, ini kami berkumpul, merenungkan arti hidup kami yang terisi sedikit
niat bakti. Bagi sesama yang sedang dalam kegelapan” pada bait pertama.
Diakhiri dengan “Tabahkan hatimu. Tuhan selalu dekatmu. Sinar terang akan
datang, bagi orang yang tabah”.
Pernyataan-pernyataan
dalam apel berjemur ini termasuk paling tajam dan langsung ke sasaran tujuan.
Kritik pedas disampaikan bukan hanya kepada kalangan kekuasaan di Jakarta,
tetapi juga kepada Gubernur Jawa Barat (Solichin GP) dan Walikota Bandung (Otje
Djundjunan). Bahwa melontarkan kritik dan kecaman seperti itu mungkin saja
memberi akibat tertentu, sudah lebih awal dinyatakan oleh salah satu Ketua DM
Universitas Padjadjaran, Hidayat Wirahadikusumah. “Sekarang kita bicara di
sini, siapa tahu besok lusa kita ditangkap”, ujarnya, “namun kalau toh sampai
mati, kota Bandung akan dipenuhi orang yang mengantar mayat saya”. Pembicara
dari DM IKIP Bandung menegaskan “Generasi muda sekarang pun harus berjiwa
patriot”.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (9)
In
Historia, Politik on January 21, 2010 at 1:52 PM
“Dan
tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro
yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah
kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan.
Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena
keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono
Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri”.
“KITA
akui Angkatan 45 berjuang mencucurkan darah. Tapi harus diakui juga nama
Angkatan 45 juga sering digunakan untuk memeras rakyat”, kata Paulus Tamzil
yang adalah anggota MPPM Universitas Padjadjaran. “Meski kita lahir belakangan,
kita pun mencintai negara kita dengan cara kita sendiri”. Ia menegaskan
mahasiswa akan turun ke jalan kalau perasaan sudah tak tertahankan.
Dikatakannya, dukungan kepada pemerintah kini tidak seratus persen lagi. “Apa
gunanya mendukung seratus persen, apa gunanya jilat menjilat. Saya dukung
Presiden Soeharto kalau mengemban aspirasi rakyat. Tapi sekarang ini banyak
dukun palsu di sekitar Presiden”. Menyambung pengutaraan Paulus, Sofjan dari
IKIP Bandung menyatakan kegembiraan bahwa seluruh generasi muda dapat berjuang
untuk seluruh masyarakat, bukan hanya perjuangan oleh sekelompok pimpinan
mahasiswa atau perguruan tinggi tertentu saja.
Dengan
ditunjuknya dengan jelas Soedjono Hoemardani sebagai dukun Jepang dalam apel
ini, Rahman Abbas dari DM Akademi Geologi & Pertambangan mengusulkan
sekaligus mencari siapa dukun cukong-cukong
untuk investasi modal dalam negeri. Mereka mengingatkan juga untuk
memperhatikan fakta banyaknya pengusaha bernama tiga suku kata mendapat kredit
besar. “Dapat dikatakan omong kosong Indonesia bisa maju jika pejabat-pejabat
telah bisa dibeli dengan uang”. Wakil dari Akademi Tekstil Berdikari dalam pada
itu menyuarakan jeritan pengusaha tekstil Majalaya. Ia mengungkap bahwa tatkala
Aspri Soedjono Hoemardani berkunjung ke Majalaya sempat menjanjikan kredit bagi
mereka yang mempunyai modal 25% dari jumlah kredit yang diminta. “Tapi nyatanya
janji ini tidak pernah dipenuhi”. Penguasa boleh jadi sudah tidak punya
kepekaan lagi dan tak merasa perlu menepati janji. Tapi mahasiswa, menurut
Dewan Mahasiswa UKI Maranatha, “hendaknya memperhatikan isyarat atau jeritan
rakyat. Jangan sampai rakyat frustrasi”. Masyarakat itu seperti bayi yang
mungkin saja tidak bisa bicara, namun memberikan isyarat bila menghendaki
sesuatu. Apalagi, menurut pengamatan Dewan Mahasiswa Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (STKS), keadaan rakyat makin memprihatinkan. Di terminal
bus Kebun Kelapa misalnya, makin banyak pengemis yang menadahkan tangan.
Bergerak
membela kepentingan masyarakat sudah merupakan kewajiban mahasiswa yang tak
perlu ditawar-tawar lagi. “Dalam suatu keadaan yang sehat, mahasiswa harus bisa
menghayati tugas utamanya yaitu belajar”, ujar Budiono Ketua Umum Dewan
Mahasiswa Universitas Parahyangan. “Tetapi dalam keadaan seperti sekarang,
wajib mengalihkan perhatian dari bangku kuliah ke penyelesaian masalah bangsa
dan negara, dengan menilai, mengoreksi, mendesakkan koreksi kepada pemerintah
sebagai lembaga yang bertanggungjawab. Mahasiswa harus menyuarakan hati nurani,
ada fakta dan menggunakan akal sehat. Untuk perjuangan ini perguruan tinggi
adalah lembaga yang harus bertanggung jawab menyuarakan dan memperjuangkan
kebenaran”. Tapi mahasiswa, kata DM Institut Teknologi Tekstil (ITT), jangan
hanya berteriak-teriak, “harus berani radikal”.
Dosen
ekonomi Soeharsono Sagir SE –yang pernah menjadi dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran– menilai pergerakan mahasiswa sekarang sudah pada
tempatnya. “Kalau mereka tak bergerak, saya akan menggerakkan, karena di bumi
Indonesia belum ada keadilan sosial”. Ia mengingatkan betapa negara telah
berada dalam posisi yang begitu buruk dan membutuhkan perbaikan segera. “Negara
kita sudah onder kuratele. Dalam istilah hukum, ini berarti orang yang sudah
tidak punya hak turut serta dalam lalu lintas hukum”. Onder kuratele dikenakan
kepada antara lain orang tidak waras otak, di bawah umur. “Keadaan onder
kuratele ini sudah dimulai sejak kita menggadaikan pada luar negeri. Negara kita telah digadaikan, ikan di laut,
minyak di bumi, hasil hutan pun digadaikan. Omong kosong kalau tidak bisa
katakan negara kita onder kuratele”.
Dewan-dewan
mahasiswa dalam pertemuan 9 Januari 1974 itu menyebutkan pula rencana untuk
turun ke jalan, bertepatan dengan hari kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka pada
tanggal 14 Januari 1974. Namun aksi ini menurut mereka akan dilaksanakan dengan
tertib dan hati-hati “untuk menghindarkan terjadinya penunggangan”. Turun ke
jalan perlu dilakukan karena situasi yang ada tidak memberi kepuasan. Tahun
demi tahun lewat, namun pejabat justru makin lupa berbuat untuk rakyat dan
hanya ingat kepentingan pribadinya. Padahal menurut Ketua Umum Dewan Mahasiswa
Universitas Padjadjaran Hatta Albanik, masalahnya sederhana saja, yakni
pemerintah harus ada kemauan untuk memperhatikan keperluan rakyat. “Pejabat
harus membawakan hati dan perasaan rakyat banyak”, ujar Hatta. “Dari
pengusaha-pengusaha Jepang, kita ingin ada jaminan peningkatan usaha-usahanya
diarahkan pada usaha-usaha untuk peningkatan taraf hidup rakyat. Sampai
sekarang, pengusaha-pengusaha Jepang cenderung menggunakan mental lemah dari
pejabat-pejabat kita”.
Tapi
belakangan, ternyata mahasiswa Bandung membatalkan turun ke jalan pada hari
kedatangan Tanaka di tanggal 14 Januari, baik di Bandung maupun di Jakarta. Di
Jakarta, para mahasiswa justru menyambut Tanaka dengan gerakan besar-besaran
yang kemudian berkembang menjadi peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974. Kenapa
tidak turun ? Mahasiswa Bandung tampaknya punya alasan tersendiri dan jelas
untuk itu.
Pertarungan
internal kekuasaan
DIBANDINGKAN
dengan mahasiswa Bandung, agaknya mahasiswa-mahasiswa Jakarta menghadapi
berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Satu hal yang nyata, masih amat
kuatnya pengaruh organisasi-organisasi ekstra universiter di dalam tubuh
student government intra kampus, membuat situasi pergerakan atas nama kampus
menjadi lebih rumit. Setiap organisasi ekstra melalui perpanjangan tangannya
masing-masing bergerak sendiri-sendiri untuk memanfaatkan gerakan-gerakan atas
nama kampus untuk kepentingan induknya masing-masing –baik induk organisasi
maupun induk kelompok politik ataupun kelompok-kelompok dalam tubuh kekuasaan.
Di kampus-kampus Jakarta terlihat misalnya betapa HMI yang punya tujuan dan
agenda kepentingan atau agenda politik sendiri, begitu kuat percobaannya
mewarnai gerakan mahasiswa untuk kepentingan spesifiknya. Sementara di beberapa
kampus spesifik lainnya, dominasi organisasi ekstra lainnya juga tidak
ketinggalan melakukan hal yang sama.
Yang
paling tidak sepi masalah tak syak lagi adalah Dewan Mahasiswa Universitas
Indonesia. Terpilihnya Hariman Siregar sebagai Ketua Umum DM merupakan pertama
kalinya untuk jangka waktu panjang bahwa DM dipimpin oleh non HMI. Tapi
naiknya, Hariman Siregar tidak terlepas dari topangan kedekatannya pada awalnya
dengan kelompok politik Tanah Abang (di bawah pengawasan kelompok Ali Moertopo)
–yang oleh Hariman sendiri diakui dan disebutkan sebagai topangan Golkar. Pada
masa sebelumnya, Hariadi Darmawan yang HMI dan sekaligus seorang perwira AD,
juga memimpin DM-UI dan amat berpengaruh, satu dan lain hal juga terkait dengan
topangan kelompok Ali Moertopo.
Tapi
setelah menjadi Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar dianggap mulai melenceng dari
garis Tanah Abang, kemudian dianggap dekat dengan GDUI (Group Diskusi
Universitas Indonesia) dan kelompok PSI yang reperesentasinya di kampus antara
lain dikaitkan dengan aktivis di Fakultas Ekonomi Sjahrir dari Somal dan Drs
Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Hariman dicurigai terkait dengan kelompok
berkonotasi PSI itu, apalagi Hariman kemudian memang menjadi menantu Prof
Sarbini Somawinata yang dikenal sebagai ekonom beraliran PSI garis keras.
Selain itu Hariman dianggap melakukan pengkhianatan ketika menyerahkan posisi
Sekjen DM-UI kepada Judil Herry yang HMI dan bukannya kepada tokoh mahasiswa yang
dikehendaki Tanah Abang.
Dan
tatkala Hariman diisukan lagi menjalin hubungan baru dengan Jenderal Soemitro
yang dianggap rival Jenderal Ali Moertopo dalam kekuasaan, lengkaplah sudah
kegusaran terhadap sepak terjang Hariman dalam permainan politik dan kekuasaan.
Salah satu sebab kenapa Hariman dianggap bersatu dengan Soemitro adalah karena
keikutsertaannya dengan gerakan anti Jepang yang berarti menyerang Soedjono
Hoemardani dan dengan sendirinya berarti anti Aspri. Selain itu, sepanjang
pengetahuan kelompok Tanah Abang, Hariman beberapa kali mengatakan Soeharto
sudah perlu diganti dan penggantinya adalah Jenderal Soemitro. Hariman di
belakang hari berkali-kali menyangkal adanya hubungan khusus dengan Jenderal
Soemitro ini.
Bantahan
Hariman ini sebenarnya dalam beberapa titik tertentu sejajar dengan suatu
informasi internal di lingkungan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, bahwa di mata
Soemitro maupun Sutopo Juwono hingga saat-saat terakhir Hariman Siregar bagaimanapun disimpulkan ada
dalam pengaruh Ali Moertopo. Pertama, secara historis Hariman terpilih sebagai
Ketua Umum DM-UI karena dukungan Tanah Abang. Kedua, sikapnya yang banyak
mengeritik strategi pembangunan para teknokrat, dianggap segaris dengan Ali
Moertopo. Namun, Ali Moertopo pernah direpotkan oleh sikap dan kritik-kritik
Hariman terhadap teknokrat ini. Suatu ketika Presiden Soeharto –yang tampaknya
berdasarkan beberapa laporan yang masuk padanya juga menganggap Hariman ada
dalam pengaruh dan binaan Ali Moertopo– meminta Ali untuk menegur Hariman agar
menghentikan serangan-serangan terhadap strategi pembangunan yang dilontarkan
para teknokrat, karena bagi Soeharto menyerang strategi pembangunan sama
artinya dengan menentang GBHN. Ali diminta mempersuasi Hariman memperlunak
kritik-kritiknya, kalau memang tidak bisa menghentikannya, menjadi kritik
terhadap ‘pelaksanaan’ dan bukan terhadap ‘strategi’. Maka kelompok Tanah Abang
lalu sibuk mencari Hariman, namun gagal karena Hariman menghindari mereka.
Satu
dan lain sebab kenapa Hariman tetap dianggap dalam kawasan pengaruh Ali
Moertopo, tak lain karena beberapa ‘operator’ Ali Moertopo sendiri beberapa
kali mengklaim dalam laporan-laporannya ke atasan bahwa mereka berhasil
‘mempengaruhi’ dan ‘membina’ Hariman. Tapi sebenarnya yang berkomunikasi dengan
Hariman adalah Dr Midian Sirait yang menangani koordinasi
Pemuda-Mahasiswa-Cendekiawan (Pemacen) di DPP Golkar, dan tampaknya hubungan
itu bisa berjalan baik untuk beberapa waktu. Suatu waktu, tugas komunikasi itu
dialihkan kepada David Napitupulu, tetapi tugas itu banyak di’recok’i oleh yang
lain di lingkungan kelompok Tanah Abang. Menurut Dr Midian Sirait, Hariman
Siregar pernah menyatakan ketidak senangannya terhadap ‘peralihan’ ini.
Tanggal
28 Desember 1973, 10 fungsionaris DM-UI mengeluarkan mosi tidak percaya
terhadap Hariman Siregar. Sepuluh orang itu dengan jelas diidentifikasi
kedekatannya dan merupakan bagian dari kelompok Tanah Abang. Mereka adalah
Postdam Hutasoit, Leo Tomasoa, Togar Hutabarat, Arifin Simanjuntak, Agus
Napitupulu, Saman Sitorus, Tisnaya Irawan Kartakusuma, Ria Rumata Aritonang,
Max Rusni dan Sarwoko (Meskipun nama yang disebut terakhir ini disebutkan
sebenarnya tidak turut serta dalam mosi tidak percaya itu. Hariman sendiri
menyebutkan jumlah mereka hanya 8 orang, karena 2 lainnya tidak ikut mosi,
termasuk Sarwoko). Sebelum melancarkan mosi tidak percaya diberitakan
fungsionaris DM-UI sempat mengadakan rapat di rumah seorang Letnan Kolonel yang
kebetulan adalah ajudan Jenderal Ali Moertopo.
Dewan
Mahasiswa UI kelompok Hariman membawa persoalan mosi tidak percaya ke dalam
kategori hambatan perjuangan melawan ketidakbenaran dalam tubuh kekuasaan.
“Tentu saja, setiap perjuangan tidak luput dari risiko dan hambatan”, demikian
DM-UI menanggapi. “Setiap gerakan sosial betapapun ukurannya, di samping
melahirkan pahlawan-pahlawan, juga tak kurang banyaknya menghasilkan
pengkhianat-pengkhianat: cecunguk-cecunguk murah, kaki tangan bayaran,
oportunis-oportunis bernaluri rendah dan sebangsanya. Mahasiswa bukanlah
politikus profesional, bahkan tidak memiliki pengalaman berpolitik sama sekali.
Kita hanyalah mahasiswa dan bagian dari generasi muda Indonesia belaka. Tetapi
kita cukup sadar dan dewasa untuk memahami dan mengerti praktek-praktek kotor
cecunguk-cecunguk kaki tangan bayaran yang ingin mengacau itu. Dengan berbagai
latar belakang, antara lain uang, ambisi pribadi, dengki dan iri hati, sikap
petualangan, persaingan popularitas, beberapa gelintir anak muda dan mahasiswa
menyerahkan dirinya menjadi kaki tangan golongan-golongan yang merasa terancam
kedudukannya akibat kritik-kritik terbuka dan tajam yang diarahkan oleh
mahasiswa selama ini”.
Dalam
mosi tidak percaya, mereka mendakwa bahwa “kegiatan-kegiatan Ketua Umum DM-UI
tidak pernah dibicarakan secara formal dalam lingkungan institusi Dewan
Mahasiswa UI secara keseluruhan. Mereka menuding “Kegiatan-kegiatan Ketua Umum
DM-UI telah menjurus kepada kegiatan-kegiatan pribadi dan di luar
keputusan-keputusan rapat kerja DM-UI Nopember 1973 sehingga tidak dapat
dipertanggungjawabkan”. Kegiatan-kegiatan tersebut mereka anggap sudah
bertendensi pengkhianatan terhadap hasil-hasil perjuangan alma mater
Universitas Indonesia yang sudah dimulai sejak Oktober 1965. Mereka menuduh
seluruh perbuatan Hariman Siregar adalah perbuatan manipulasi yang dalam bahasa
plakat yang ditempelkan mengiringi mosi “didalangi dari belakang oleh partai
tertentu”. Leo Tomasoa mempertegas tuduhan terakhir ini tanpa menyebut partai
mana yang dimaksudkan. Hariman mereka sebutkan bermuka seribu, diktator kecil
yang telah menjual Universitas Indonesia. Namun tak satu pun tuduhan dari
kelompok mosi ini berani menyebutkan adanya hubungan Hariman dengan kelompok
Jenderal Soemitro. Hariman sendiri membantah hubungannya dengan partai mana pun
kecuali Golkar melalui koordinasi Pemacen yang diakuinya membantu
mengorbitkannya menjadi Ketua Umum DM-UI.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (10)
In
Historia, Politik on January 22, 2010 at 2:34 AM
“Janganlah
ada orang yang mempunyai khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan
mengganti kepemimpinan nasional –national leadership– atau kegiatan-kegiatan
lain yang bisa mengarah kepada gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian
adalah bertentangan dengan identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan
bangsa dan tidak akan pernah berhasil”. “…. menurut pengalaman sejarah
berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, Yang ingin tidak dikasih.
Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.
ADALAH
menarik bahwa bersamaan dengan radikalisasi mahasiswa Jakarta pada bulan-bulan
terakhir tahun 1973 hingga awal 1974, suhu pertarungan dalam tubuh kekuasaan di
lapisan persis di bawah Soeharto juga meningkat.
Sejak
pertengahan tahun 1973, tatkala melakukan kunjungan marathon bertemu dengan
dewan-dewan mahasiswa di berbagai kota terkemuka pulau Jawa –seperti Bandung,
Surabaya dan Yogyakarta– popularitas dan nama Pangkopkamtib Jenderal Soemitro
ibarat berada dalam satu kurva yang terus menanjak. Namanya bahkan dikaitkan
dengan pola kepemimpinan nasional baru, sehingga di kampus-kampus yang
dikunjunginya sejak Agustus 1973 mahasiswa bertanya “Apakah betul bapak
berambisi menjadi Presiden ?”. Wacana akan adanya pergantian pimpinan nasional
dalam waktu tak terlalu lama lagi segera merebak, meskipun Jenderal Soemitro
senantiasa mengelak dan pada akhirnya menegaskan “Bukan mau tak mau, kalau
saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak memikirkan sejauh itu”.
Akan
tetapi pada Rabu tanggal 2 Januari 1974, kurva yang sedang menanjak itu
bagaikan membentuk garis patah secara tiba-tiba. Dengan wajah yang digambarkan
muram bercampur keberangan, Jenderal Soemitro yang baru saja menghadap Presiden
Soeharto –bersama Ali Moertopo dan Sutopo Juwono– menyampaikan kepada para
wartawan yang mencegatnya di Cendana bahwa ada usaha adu domba antara dirinya
dengan Ali Moertopo, antara dirinya dengan Sutopo Juwono, dan antara Sutopo
Juwono dengan Ali Moertopo. “Ada isu-isu yang menyebutkan akan ada penggantian
pimpinan nasional mulai 1 April”, atau paling lambat pertengahan tahun ini. Ia
merasa dituduh berambisi menjadi pimpinan nasional baru. “Isu-isu itu disadap
dari pertemuan saya dengan mahasiswa-mahasiswa di Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Barat”, ujarnya seraya mengacungkan-acungkan telunjuknya. “Itulah yang
kemudian dikembangkan seolah-olah akan ada pergantian pimpinan nasional mulai 1
April”. Suatu isu, “yang betul-betul aneh, keterlaluan dan kejam !”. Dan
seperti Ali Moertopo yang beberapa hari sebelumnya mensitir kata-kata bersayap
dari ‘sejarah’, Jenderal Soemitro pun menyatakan bahwa menurut pengalaman
sejarah berkaitan dengan ambisi menjadi pimpinan nasional, “Yang ingin tidak
dikasih. Yang dipersiapkan, gagal. Yang merasa akan jadi, bubar”.
Ali
Moertopo, sebagaimana dikutip oleh koran berbahasa Inggeris ‘The New Standard’
pada edisi 31 Desember 1973, telah mengeluarkan pernyataan bernada peringatan
dengan juga mensitir ‘pengalaman’ sejarah. “Janganlah ada orang yang mempunyai
khayalan dapat mengabdi bangsa ini dengan jalan mengganti kepemimpinan nasional
–national leadership– atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa mengarah kepada
gagasan semacam itu. Pikiran-pikiran demikian adalah bertentangan dengan
identitas nasional, kepribadian dan kebudayaan bangsa dan tidak akan pernah
berhasil”. Ali Moertopo memberi contoh dari sejarah, “Runtuhnya banyak
kerajaan-kerajaan dalam sejarah kita sendiri adalah disebabkan oleh
kepemimpinan yang goyah. Dan dengan selalu mengingat pelajaran dari sejarah
itu, tidak ada pilihan lain selain dari memperkuat kepemimpinan nasional kita”.
Peringatan
dari dua jenderal yang tampaknya bernada sama itu, pada hakekatnya adalah
lontaran-lontaran peringatan yang bermata dua. Ali Moertopo berposisi sebagai
pihak yang memperingatkan kepada siapa pun, tapi pasti terutama kepada Jenderal
Soemitro. Tetapi sebaliknya, Jenderal Soemitro pun memberi peringatan, baik
kepada yang dianggapnya penyebar isu maupun insinuasi, maupun kepada pihak lain
yang juga pada hakekatnya punya ambisi sama, baik karena merasa dipersiapkan
atau karena merasa akan jadi. Di pintu Cendana pada tanggal 2 Januari 1974 itu
–sebagaimana yang dituturkannya sendiri kemudian hari– Jenderal Soemitro juga
menunjuk Ali Moertopo yang ada di dekatnya, “Saya dan dia diisukan akan
mengganti Presiden Soeharto…. Saya diadukan dengan Jenderal Ali Moertopo,
kemudian Jenderal Ali Moertopo diadukan dengan pak Topo. Keterlaluan”. Lalu ia
memperingatkan “Jangan sampai meluas isu yang demikian. Isu itu sama sekali
tidak benar dan sangat kotor”. Ali Moertopo pun menimpali, “itu makar”. Siapa
pembuat isu dan insinuasi ? “Nanti akan terungkap juga !”, cetus Jenderal
Soemitro.
Hari
itu, kedua jenderal itu baru saja bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman
Jalan Cendana selama kurang lebih 1 jam, bersama Letnan Jenderal Sutopo Juwono.
Akan tetapi beberapa hari sebelumnya, pada Senin pagi tanggal 31 Desember 1973,
ada pertemuan lebih luas yang diikuti oleh ketiga jenderal itu beserta Wakil
Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH,
Aspri Presiden Soedjono Hoemardani dan Aspri Presiden Tjokropranolo. Sebagian
yang hadir dalam pertemuan 31 Desember itu telah ‘dibekali’ dengan informasi
tentang peringatan yang telah dilontarkan Ali Moertopo melalui ‘The New
Standard’ edisi hari itu.
Adanya
pertemuan 31 Desember 1973 yang berlangsung di Istana Merdeka, pada satu sisi
seolah-olah dibuat samar-samar namun memang pada sisi lain dibuat sedemikian
rupa agar bisa diketahui sebagian masyarakat dan diberikan kesan ‘penting’. Apa
yang dibicarakan pada pertemuan itu tidak diperincikan kepada masyarakat. Akan
tetapi peringatan Ali Moertopo di ‘The New Standard’ –suatu koran berbahasa
Inggeris dengan oplaag atau tiras yang terbatas– telah memberikan indikasi awal
masalah yang akan menjadi pembicaraan pertemuan pagi tersebut. Segalanya lalu
menjadi jelas setelah terjadi pertemuan lanjutan tiga jenderal tersebut dua
hari kemudian di Cendana dan disampaikan kepada pers. Sejumlah wartawan yang
diberi tahu tentang pertemuan itu telah bersiaga dan mencegat Jenderal Soemitro
–terutama, dan bukan Ali Moertopo– lalu menghujani sang jenderal dengan
serentetan pertanyaan.
Dari
dua pertemuan, terlihat bahwa Jenderal Ali Moertopo ada di atas angin. Apalagi,
tanpa banyak diketahui beberapa hari sebelumnya Presiden Soeharto pun telah
mengadakan pertemuan tersendiri –tempatnya di luar Jakarta– dengan sejumlah
menteri dari kelompok teknokrat dan kelompok Aspri. Tujuan pertemuan itu adalah
untuk menjembatani ketidakserasian pandangan antara sementara Aspri –Ali
Moertopo dan Soedjono Hoemardani– dengan kelompok teknokrat dalam pemerintahan
yakni Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Teknokrat yang hadir antara lain
adalah mereka yang duduk di Bappenas, ditambah Barli Halim dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal dan Rachmat Saleh dari Bank Indonesia.
Dalam
pertemuan dengan para teknokrat ini, Presiden Soeharto –seperti halnya dalam
dua pertemuan berikutnya dengan para jenderal di Istana Merdeka dan Cendana–
telah bertindak seakan-akan ‘moderator’ untuk menyatukan pandangan-pandangan
antara satu dengan yang lainnya. Bersamaan dengan itu, Presiden Soeharto
menggariskan pula beberapa kebijaksanaan, antara lain tentang akan dibentuknya
suatu badan yang mirip Dewan Stabilisasi Ekonomi di bidang politik. Agaknya
atas dasar penggarisan itulah maka Mayor Jenderal Ali Moertopo mengutarakan
dalam ‘The New Standard’ edisi 31 Desember 1973 bahwa Presiden Soeharto berniat
untuk membentuk suatu Dewan Stabilisasi Sosial Politik dan juga akan mengadakan
pertemuan rutin sekali seminggu dengan dewan ini sebagaimana halnya dengan
Dewan Stabilisasi Ekonomi. Adalah pula dalam pertemuan dengan teknokrat dan
Aspri itu Presiden menegaskan kembali tentang hak prerogatifnya untuk
menggunakan Aspri-aspri. Dan yang terpenting dalam kaitan masalah Aspri ini,
penegasan Presiden Soeharto bahwa urusan pembinaan sosial politik tetap akan
dipercayakan kepada Aspri Bidang Politik Mayor Jenderal Ali Moertopo.
Jadi,
tatkala masuk ke ruang-ruang pertemuan di Cendana dan Istana Merdeka, Ali
Moertopo memang ada dalam posisi atas angin terhadap Jenderal Soemitro dan juga
Jenderal Sutopo Juwono. Adalah pula Ali
Moertopo yang sebelum dua pertemuan terakhir ini yang sudah terlebih dahulu
menunjukkan keunggulan informasi kebijakan tingkat tinggi –yang mengesankan ia
berada di pusat pengambilan keputusan– dengan mengungkapkan akan adanya minor
reshuffle di tubuh kekuasaan, khususnya di eselon militer tertinggi. Bahwa
Laksamana Soedomo yang menjabat Wakil Panglima Kopkamtib saat itu akan mendapat
promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi dari jabatannya saat itu. Ali tidak
mengungkap secara tepat jabatan baru itu, tapi tak ada jabatan lebih tinggi
lagi di lingkungan itu selain jabatan pimpinan Kopkamtib itu sendiri. Sementara
jabatan lebih tinggi lainnya di lingkungan Hankamnas sangat bisa dihitung
dengan jari dan terbatas, yakni jabatan Menteri Hankam Panglima Angkatan
Bersenjata yang sedang diduduki Jenderal Maraden Panggabean yang saat itu
tampaknya sedang ‘tidak dipermasalahkan’.
Suatu
laporan Badan Koordinasi Intelejen Negara, yang dikeluarkan tiga bulan kemudian
–dengan kata pengantar yang ditandatangani oleh Kepala Bakin baru Yoga Soegomo–
secara formal tidak mengakui adanya perpecahan internal di kalangan kekuasaan
tersebut. Bakin hanya menggambarkan adanya gerakan-gerakan tertentu yang ingin
memanfaatkan asumsi adanya perpecahan di kalangan kekuasaan tersebut. Lebih
tepatnya, Bakin ingin mengesankan bahwa adanya perpecahan hanya sekedar
ditiup-tiupkan dari arah eksternal. Kelompok ex PSI melalui wartawan senior
Rosihan Anwar misalnya, antara 11-13 Desember 1973 dicatat telah memberitahukan
kepada Hariman Siregar tatkala berada di Hotel Ambarukmo Yogya tentang
perpecahan antara Aspri dan Pangkopkamtib. Padahal pada bulan Agustus 1973, hal-hal
seputar rivalitas itu sudah menjadi bahan pertanyaan yang diajukan mahasiswa
Bandung misalnya kepada Pangkopkamtib maupun kepada kalangan kekuasaan lainnya.
Masih
dalam rangkaian laporan itu, dicatat pula bahwa pada 30 Desember 1973 Hariman
Siregar menghadiri rapat di tempat Mochtar Lubis yang membahas “bentuk-bentuk
gerakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto”. Tapi ini belakangan dibantah oleh
Mochtar Lubis, bahwa pertemuan itu sendiri tidak pernah terjadi. “Dalam
Peristiwa Malari itu, saya tidak ikut campur, malahan jauh sama sekali dari
ikut merencanakannya”, Mochtar Lubis menegaskan. Dan kemudian ada juga catatan
tentang pengarahan dua tokoh ex perjuangan 1966 dari Bandung, Rahman Tolleng
dan Awan Karmawan Burhan, kepada Hariman Siregar tentang tujuan-tujuan berupa
reshuffle kabinet, rehabilitasi PSI, mendorong revolusi sosial dan sinyalemen
tentang jenderal-jenderal korup di sekitar Soeharto.
Selain
itu, ada pula uraian mengenai gerakan Kolonel (purnawirawan) Ramadi, eks Jaksa
Tentara dan tokoh Guppi, yang menggalang upaya penggulingan Pimpinan Nasional
Presiden Soeharto. Gerakan Ramadi dilukiskan telah merancang hingga kepada
menyiapkan penyodoran suatu kabinet baru pada saat telah tercipta kerusuhan
atau huru hara. Dan bahkan telah disiapkan Mayjen Suadi sebagai pemimpin
gerakan yang sekaligus akan menggantikan kedudukan Jenderal Maraden Panggabean
selaku Menteri Pertahanan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata. Menurut
laporan Bakin ini, gerakan Ramadi menganggap perlu mengadakan perubahan politik
karena wibawa pemerintah makin menurun, ditambah inisiatif Jenderal Soemitro
berkunjung ke Tafaat Tapol (Tempat Pemanfaatan Tahanan Politik) di Pulau Buru
hanya akan memberi angin kepada PKI. Alasan perubahan politik lainnya adalah
terkait kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Moertopo dalam bidang politik yang
hanya menguntungkan orang-orang cina saja karena telah didikte oleh Lim Bian
Koen (Sofjan Wanandi, saudara Lim Bian Kie/Jusuf Wanandi). Alasan lainnya lagi,
dikuasainya 25% uang-uang dan pinjaman luar negeri oleh orang-orang tertentu
saja serta dominasi ekonomi orang cina, korupsi merajalela, sulitnya
penghidupan dan lapangan kerja dan tertekannya rakyat atau buruh kecil.
Meskipun
dalam rancangan Ramadi, Jenderal Soemitro disentil, namun dalam satu laporan
lain yang pernah disampaikan kepada Presiden Soeharto –disampaikan oleh
Jenderal Maraden Panggabean yang didampingi Wakil Ketua G-1 Hankam Laksamana
Kusnaedi Bagja– nama Jenderal Soemitro dikait-kaitkan dengan rencana gerakan
tersebut. Sebenarnya, adanya dokumen Ramadi ini yang menyeret nama Soemitro,
lebih dahulu pernah dilaporkan Ka Bakin Sutopo Juwono kepada Presiden.
Menanggapi laporan tersebut, menurut Letjen Sutopo Juwono, pertama kali
Presiden justru menjawab “Mereka hanya memakai nama Mitro”. Namun kelak ketika
laporan serupa disampaikan kembali kepada Presiden setelah terjadinya peristiwa
tanggal 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro dipanggil Presiden. Kepadanya,
Presiden berkata, “Mit, ada laporan mengenai dokumen Ramadi lagi, yang
dihubung-hubungkan dengan Mitro. Ini satu organisasi yang menyebut-nyebut nama
Mitro untuk tujuan yang tidak baik”.