Tempo
20 Agustus 1977. KETIKA kembali ke Indonesia akhir Juni 1976, Alexander Andnes
Maramis sudah setengah sakit. Tinggal di Logano, Swiss, sejak 1957, bersama
isterinya Elizabeth Velthoed, Maramis pernah berkata kepada Prof.
Soenario
SH ingin pulang ke tanah air. Atas biaya Pemerintah, diaturlah kepulangannya.
Karena tidak memiliki rumah, suami-isteri Maramis tinggal di Wisma Pertamina,
Merdeka Timur, Jakarta. Lantas bulan lalu masuk rumah sakit Gatotsubroto.
Lantas Minggu 31 Juli, ia meninggal. Usianya 80 tahun. Jenazahnya dibaringkan
di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri, untuk kemudian dengan upacara
militer dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. Maramis dulu menjabat
Menteri Keuangan pertama republik ini. Lembaran ORI (Oeang Repoeblik Indonesia)
mengabadikan tandatangannya. Pernah pula merangkap jabatan Perdana Menteri,
Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan sekaligus ketika Republik membentuk
pemerintah pengasingan di New Delhi, sebelum 1950. Untuk membiayai negara baru
ini Maramis pernah pula memimpin penyelundupan opium. Almarhum kemudian
memegang jabatan-jabatan duta besar di Filipina, Jerman Barat, dan Uni Soviet.
Terakhir duduk sebagai anggota Panitia Lima untuk merumuskan Pancasila. Ketua
panitia ini adalah Dr Mohammad Hatta. Tulisannya antara lain: Belanda tidak
mempoenjai kekoeasaan sjah lagi di Indonesia – dicetak dalam tiga bahasa
(Indonesia, Inggeris dan Belanda). Di situ dikemukakan bahwa “sesoedah Mei
1940, Hindia Belanda Indonesia, Red.) menoeroet hoekoem soedah merdeka.
Goebernoer Djenderal Yan Starkenborg tidak lagi melakoekan kekoeasaan jang
sjah, hanjalah kekoeasaan jang njata (feitelij).” Hal itu dikemukakannya
berdasar WD Kerajaan Belanda pasal 21 kalimat 2, yang berbunyi: “Pemerintah
yang lari ke dan berada di luar kerajaan kehilangan kekuasaannya.” Padahal karena
serangan Jerman, Ratu Wilhelmina dan keluarga lari (mengungsi) ke London
tanggal 10 Mei 1940. Maramis juga menulis bahwa atas tindakan sendiri,
Indonesia menyatakan perang kepada Jepang, 9 Desember 1941. Sayangnya,
data-data berdasar hukum itu tergolek begitu saja dan peristiwa-peristiwa
berikutnya, yang kemudian jadi rangkaian sejarah, akhirnya yang menentukan.
Cuma satu harapan Maramis yang bisa terpenuhi: kembali ke Ibu Pertiwi dan
berbaring dengan tenteram dalam buminya. Almarhum meninggalkan seorang isteri,
tanpa keturunan.