Tempo
03 Juni 1978. SUARANYA yang menggelora memang tidak terdengar lagi. Tapi
kehadirannya kembali terasa, hampir satu windu setelah ia meninggal. Duabelas
tahun yang lalu orang seakan berlomba mengecamnya. Kini, hampir tiap hari
koran-koran memberitakannya — banyak di antaranya dengan nada memuji. Bung
Karno populer kembali? “Dari dulu Bung Karno tetap populer. Hanya kalau dulu
yang populer jeleknya, sekarang yang populer baiknya,” kata Guntur Sukarno,
anak sulung almarhum, pekan lalu. Paling tidak, popularius itu dibukti kan oleh
orang kecil Jurnalis Harahap (38 tahun). Dia mengaku sejak Januari yang lalu
telah berhasil menjual gambar Bung Karno ukuran 50 x 60 cm tanpa bingkai
sebanyak 3000 lembar. Naluri dagang jebolan SMA Negeri Medan ini rupanya boleh
juga. Begitu membaca berita adanya rencana memugar makam Bung Karno, ia lalu
mengumpulkan gambar Bung Karno dari tukang-tukang loak. Lalu digelarnya
dagangannya ini di sudut Lapangan Banteng. Harga gambar Bung Karno per lembar
Rp 2.750. Tapi kalau pembeli pintar menawar, Rp 500 pun oke. Jurnalis rupanya
tidak sendirian. Di pusat penjualan buku bekas seperti sepanjang jalan Kramat
Raya, buku-buku karya Bung Karno seperti Di Bawah Bendera Revolusi banyak
digelarkan dan dibeli orang. Buku tulisan Guntur: Bung Karno, Bapakku, Kawanku,
Guruku bahkan menurut Guntur si penulis “habis terjual”. (lihat Buku). Mungkin
karena tahu hukum penawaran dan permintaan, Guntur merencanakan untuk menerbitkan
seri buku tentang Bung Karno. Di samping tulisannya sendiri, juga tulisan Ny.
Fatmawati (Catatan Kecil Bersama Bung Karno), Rachmawati Sukarno (Hari-hari
Terakhir Bapak) dan kumpulan sajak Sukmawati Sukarno (Kalbu Patriot). “Semua
itu untuk menjelaskan pada masyarakat bagaimana sebenarnya manusia Sukarno,
baik dan jeleknya,” kata Guntur. Mengapa Bung Karno belakangan ini begitu
menarik perhatian. Mungkin, orang sedang mencari tokoh yang menonjol pribadinya
di antara tokoh-tokoh lain yangsudah “rutin”. Hasil penelitian Sarlito Wirawan,
yang dijadikannya thesis untuk memperoleh gelar Doctor dalam ilmu Psikologi
bulan April yang lalu memperkuat dugaan ini. Dari 1490 mahasiswa berbagai
perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang ditanyai tokoh ideal mereka, sekitar
70% memilih tokoh yang sudah meninggal. Bung Karno menempati urutan pertama
dengan jumlah pemilih 13,89%. Tokoh-tokoh yang sudah meninggal yang juga
terpilih antara lain: J.F Kennedy (13,29%), Nabi Muhammad s.a.w. (7,85%),
Mahatma Gandhi (2,95%), Kartini (2,48%), K.H. Dewantoro (2,21%) dan Napoleon
Bonaparte (2,01%). Apa yang membuat mereka-mereka ini mengagumi Bung Karno?
Sigit Edi Sutomo (21 tahun) mengaguminya karena sebagai pemimpin, pengetahuan
Bung Karno luas sekali dan pintar menyusun gagasan yang orisinil seperti
Nasakom dan Nefo. “Tulisan-tulisan Bung Karno nasionalismenya kuat, cinta tanah
airnya sangat tinggi dan mampu menggelorakan semangat kita,” kata mahasiswa
fakultas Psikologi UI itu pada TEMPO pekan lalu. Ia mengagumi Bung Karno dari
tulisan-tulisannya yang dibacanya dari buku-buku ayahnya, yang sempat
“diselamatkannya” dari pemusnahan secara sembunyi-sembunyi di waktu ia masih
sekolah dasar dulu. Arsani (26 tahun), mahasiswa fakultas Ilmu Sosial UI, punya
pendapat yang serupa. “Bung Karno bisa merubah dunia yang tergabung dalam Nefo,
padahal waktu itu bangsa kita masih muda.” Ia juga mengenal Bung Karno dari
kararigan-karangannya. Yang tidak bisa diterimanya dari Bung Karno ialah
caranya menyingkirkan lawan-lawan politiknya — dan isterinya yang banyak.
Berbagai alasan lain bisa dikemukakan mengapa tokoh Bung Karno kembali muncul
dan populer. Mungkin bandul jam yang tadinya tergeser ke sebelah sana sekarang
mulai bergerak ke tengah. Ada pula yang berpendapat bahwa sebagai tokoh yang
berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia, mungkin ia bisa tenggelam sementara,
tapi setelah melalui proses waktu ia akan timbul kembali untuk menempati tempat
yang semustinya dalam sejarah Indonesia. Setelah lebih dari satu dasa warsa,
bisa pula emosi akan mendingin, akal sehat akan kembali atau pun orang juga
akan lebih gampang memaafkan suatu kesalahan. Dan mungkin juga gagasan dan
teori-teori politiknya kembali dianggap relevan. Yang mula-mula menggugah
perhatian umum adalah pernyataan Letjen Ali Murtopo, waktu itu masih Waka
Bakin, pada HUT PDI ke V di Sala tanggal 24 Januari 1978. Ia mengungkapkan
bahwa Pak Harto, baik sebagai pribadi maupun sebagai Presiden, telah memutuskan
untuk memugar makam Bung Karno di Blitar. Beberapa minggu sebelumnya, niat Pak
Harto itu disampaikan secara resmi pada keluarga Bung Karno, disertai
penjelasan dan denah rencana makam setelah dipugar. Alasan pemugaran ialah
mengingat jasa-jasa Bung Karno terutama sebagai proklamator. Rencana pemugaran
inilah yang kemudian “menghangatkan” suasana. Rencana ini menghidupkan lagi
isyu “Amanat” atau ‘sSurat Wasiat Bung Karno”. Susahnya Bung Karno sudah lama
dimakamkan diBlitar, sedang wasiat Bung Karno ternyata tidak hanya satu dan
isinya tidak sama. Dalam keluarga Bung Karno sendiri terdapat perbedaan
pendapat antara “keluarga Blitar” yang terdiri dari Ny. Wardoyo (kakak kandung
Bung Karno) dengan “keluarga Jakarta” yang terdiri dari 8 putera-puteri kandung
dan para janda almarhum Ny Wardoyo sepenuhnya setuju dengan rencana pemugaran. Sedang
Guntur dan adik-adiknya setuju dengan rencana pemugaran, tapi mengemukakan juga
bahwa almarhum sebetulnya sudah membuat rencana bagi dirinya sendiri yang
dipesankan pada semua ahli waris (TEMPO, 29 April 1978). Seorang pejabat tinggl
pemerintah kepada TEMPO menjelaskan: surat Guntur pada Pak Harto menyatakan
bahwa kalau pihak keluarga ditanya apakah mereka setuju dengan rencana
pemugaran, mereka akan keberatan. Tapi kalau Pak Harto dan pemerintah
menganggap Bung Karno sebagai proklamator dan sudah memutuskan untuk memugar
makamnya, mereka tidak akan, menghalang-halangi. Rencananya, pemugaran ini akan
dimulai 21 J uni 1978 tepat pada hari wafat Bung Karno. Pangdam VIII Brawijaya,
Gubernur Jawa Timur dan Bupati Blitar telah ditunjuk sebagai pelaksana pemugaran
ini. Hanya akan ada 3 makam di kompleks pemakaman ini. Makam Bung Karno di
tengah, diapit makam ayah ibunya. 226 makam pahlawan yang semula ada di
kompleks ini sekarang sudah selesai dipindah ke tempat baru di TMP Raden
Wijaya. Makam R.S. Puguh, keponakan Bung Karno, yang sekarang terletak di
samping makam Bung Karno 9 Juni ini, akan dipindah ke TMP Kalibata, Jakarta.
Sedang makam Sukemi Sastrodihardjo, ayah Bung Karno, yang sekarang ada di
pemakaman Karet, Jakarta, akan dipindah ke Blitar. Mengapa makam keponakan
dipindah sedang makam ayah didekatkan? “Karena itu adalah makam, proklamator,
bukan makam keluarga. Pak Harto berpendapat bahwa proklamator Bung Karno ada
karena dilahirkan oleh kedua orang tuanya. Lagipula Bung Karno dikenal sebagai
orang yang sangat mencintai ibunya,” pejabat tinggi pemerintah yang sama
menjelaskan pada TEMPO. Ia juga menjelaskan bahwa Pak Harto tidak mau gegabah
dalam soal pemugaran makam ini. “Kalau misalnya Guntur cs bilang tidak, tentu
Pak Harto tidak akan meneruskan rencana ini,” ujarnya pula. Asal mula dari
semua masalah ini adalah dimakamkannya Bung Karno di Blitar. Mengapa dipilih
Blitar? Suatu sumber TEMPO menjelaskan bahwa mengingat situasi politik tahun
1970 jelas pemerintah tidak akan mengijinkan ung Karno dimakamkan di Jakarta
atau sekitarnya. Karena akan menimbulkan “komplikasi politik”. “Bung Karno
jelas tidak bisa dimakamkan di makam Pahlawan karena menurut persyaratan yang
ada, hanya mereka yang bergerilya terus-menerus atau yang mempunyai Bintang
Gerilya yang bisa.” Sedang Bung Karno, di samping tidak pernah bergerilya, juga
pernah tertangkap Belanda. Seorang jenderal pun bila ia pernah berpihak atau
tertangkap Belanda, lepas dari sebab mengapa sampai tertangkap, tidak mungkin
bisa dimakamkan di makam Pahlawan. Sedang seorang sipil seperti Ratmi B-29,
karena memiliki Bintang Gerilya, bisa dimakamkan di makam Pahlawan. Karena itu,
Presiden Soeharto setelah mengadakan pertemuan dengan anggota kabinet, pimpinan
MPRS, pimpinan DP RGR dan pimpinan partai-partai, mengeluarkan Keputusan
Presiden RI no. 44 tahun 1970 tanggal 21 Juni 1970. Antara lain ditetapkan
bahwa Dr. ir. Sukarno sebagai Proklamator Kemerdekaan Negara RI dimakamkan di
Blitar di samping makam ibunya. Tapi mengapa kemudian Bung Karno ternyata dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan? “Soalnya waktu itu kita tidak tahu bahwa ternyata
ibunda Bung Karno dimakamka di makam Pahlawan,” sumber TEMPO menjelaskan.
Pemugaran makam direncanakan bisa selesai dalam satu tahun, hingga bisa
diresmikan 21 Juni 1979. Selama pemugaran kabarnya makam ini tidak bisa
diiarahi karena dikhawatirkan akan mengganggu pemugaran. Makam kedua orang tua
Bung Karno akan dikijing, sedang makam Bung Karno hanya akan diberi batu yang
bertuliskan kata-kata yang diminta almarhum. Di sekeliling makam akan diberi
lantai batu marmar. Akan dibangun juga sebuah musholla dan sebuah paseban dalam
kompleks ini, di samping ditanam pohon-pohon yang rindang serta aliran air
(buatan yang gemercik, yang kabarnya diminta almarhum dalam wasiatnya. Perkara
wasiat itu sendiri cukup kisruh sebenarnya. Yang terakhir menyangkut rencana PT
Gunung Agung untuk menerbitkan buku dengan judul Wasiat Bung Karno yang akan
diedarkan mulai 6 Juni, hari kelahiran Bung Karno. Iklan buku yang berisi
sebagian dari surat wasiat Bung Karno itu telah dimuat di banyak suratkabar
beberapa minggu sebelumnya. Rencana penerbitan buku ini ternyata sempat
dibicarakan dalam sidang Dewan Stabilisasi Polkam pekan lalu. Dibacakan juga
dalam sidang itu surat Guntur Sukarno, mewakili keluarga, yang menyatakan
keberatan atas rencana penerbitan buku itu. TANGGAL 20 April yang lalu memang
Masagung mengirim surat. Isinya meminta saran saya untuk rencananya menerbitkan
buku Wasiat Bung Karno,” Guntur menjelaskan. Surat Masagung yang tembusannya
juga ditujukan pada Ny. Hartini dan Ny. Dewi itu menjelaskan juga rencana
Masagung untuk menerbitkan buku kedua yang berjudul Cita-cita Masagung.
(Kemudian diubah menjadi Imajinasi Menjadi Cita-cita). Rencana isinya usul
Masagung semoga tempat yang ditunjuk Bung Karno untuk pemakamannya juga
diperuntukkan bagi Dwitunggal dan keluarganya. Begitu menerima surat, Guntur
segera berunding dengan semua keluarga, pengacara Tjiam Djoe Kiam dan juga
meminta nasehat Bung Hatta. Hasilnya, Guntur mengirim surat pada Masagung bahwa
keluarga Bung Karno belum bisa setuju rencana penerbitan buku itu. Alasannya:
“Kurang pada tempatnyalah masalah-masalah yang bersifat keluarga diutarakan
pihak-pihak yang tidak kompeten,” kata Guntur. Kamis pekan lalu Kejaksaan Agung
mengeluarkan keputusan melarang beredarnya buku Wasiat Bung Karno. “Buku itu
melihat isinya akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat yang
akhirnya menimbulkan keresahan,” kata Jaksa Agung Ali Said. Mencetak buku
memang tidak perlu ijin, tapi pengedarannya perlu ijin. “Yang menjadi masalah,”
tutur Ali Said, “bagaimana dokumen-dokumen yang tersimpan di Balai Harta
Peninggalan bisa jatuh ke tangan yang tidak berhak.” “Tidak benar Balai Harta
Peninggalan (BHP) membocorkan surat wasiat Bung Karno. BHP tidak menyimpan
surat wasiat tersebut,” kata J.R. Soekandar, ketua BHP pekan lalu. Menurut
Soekandar, berdasarkan ketentuan perundang-undanan yan boleh menyimpan surat
wasiat hanya notaris. BHP hanya mendaftarkan dan mencatatnya saja. Menurut
Soeroto, Sekretaris BHP, surat wasiat yang tercatat oleh BHP hanya satu, yaitu
surat wasiat untuk Ny. Dewi yang isinya persis sebagaimana yang akan dimuat
dalam buku Wasiat Bung Karno (lihat: Sebuah Buku yang Gagal). Surat wasiat ini
dibuka notaris di BHP tahun 1970 dan dibuatkan berita acaranya. Syahdan,
setelah Bung Karno meninggal, Guntur datang ke Tjiam Djoe Kiam. Berdua mereka
pergi ke BHP untuk menanyakan apakah ada testamen untuk keluarga Bung Karno.
Ternyata ada satu. Tjiam meminjam dan memfotokopi kemudian mengembalikan aslinya.
Fotokopi diserahkannya pada Guntur. “Testamen itu sebetulnya bukan testamen.
Tapi itu codicil yang isinya tidak mengenai harta peninggalan,” kata Tjiam.
Sebab harta peninggalan dibagi menurut hukum adat. Tanggal 10 Mei yang lalu
memang Guntur menemuinya, memberitahu ada yang mau menerbitkan surat wasiat
Bung Karno. Tjiam menjelaskan bahwa surat wasiat itu bukan untuk umum, hanya
untuk keluarga. Itu juga bukan testamen dari Sukarno sebagai Presiden, tapi
dari pribadi Bung Karno. Kalau penerbit yang mau menerbitkannya tidak minta
ijin, ahli warisnya bisa menuntut. Bagaimana pelaksanaan testamen Bung Karno
untuk Ny. Dewi? Menurut Tjiam itu tergantung pada Ny. Dewi. Tjiam menolak untuk
menjawab apakah testamen Bung Karno untuk Ny. Dewi itu sah atau tidak. Beberapa
ahli hukum lain juga agak ragu-ragu untuk menjawab. Adnan Buyung Nasution
mengatakan surat wasiat Bung Karno ini “unik” karena tidak menyangkut harta
benda, tapi menyangkut tempat pemakaman, jadi menyangkut moral. Dengan demikian
berlaku tidaknya surat wasiat ini tergantung kepada yang diberi amanat, apakah
akan menerima keputusan pemberi wasiat atau tidak. Sepanjang pengetahuan
Buyung, belum ada jurisprudensi kasus ini, sehingga sah atau tidaknya surat
wasiat Bung Karno sulit untuk dijawab. Bagaimana tentang surat wasiat untuk Ny.
Hartini? “Pada suatu sore ketika saya masih tinggal di pavilyun Istana Bogor,
Bapak memberikan selembar surat kepada saya. Di atasnya ada tulisan ‘surat
wasiat’. Saya tercengang dan bertanya: ‘Ini apa-apaan sih mas?” Bapak tidak
menjawab panjang dan cuma berkata: ‘Tidak apa-apa. Itu karena ik houd veen van
jouw’ Surat itu kemudian saya simpan. Saya tidak tanya apakah isteri yang lain
mendapat surat yang sama. Besoknya, hari Senin, seperti biasa Bapak terus ke
Jakarta,” kata Ny. Hartini pada TEMPO pekan lalu. Lalu bagaimana Masagung bisa
memperoleh surat itu? “Ketika Bapak meninggal, Masagung datang pada saya dan
minta salinan surat itu. Saya berikan tanpa rasa curiga. Juga karena perusahaan
penerbit dialah yang akan menerbitkan memoar saya. Dan saya tidak menyangka
surat itu akan diterbitkan dalam bukunya yang baru.” Bagaimana yang untuk Dewi?
Ditemui koresponden TEMPO di rumahnya di Avenue Montaigne pekan lalu, Ny. Dewi
didampingi puterinya Kartika. Juga putera Bung Karno dari Ny. Fatmawati, Guruh,
yang kebetulan ada di Paris. Dewi membenarkan bahwa dia pernah menerima
testamen dari Bung Karno. Testamen ini malahan sudah direproduksi dalam buku
Den Vaderland Getrouwe yang ditulis wartawan Belanda Willem L. Oltmans. “Saya tidak
tahu apa yang telah diamanatkan pada ibu Fat dan yang lainnya. Di dalam
testamen untuk saya memang tidak disebutkan suatu tempat. Tapi menurut berbagai
pernyataannya di dalam pidato, otobiografi, percakapan dan sebagainya, Bapak
memang ingin dikuburkan di daerah Priangan, di mana Bapak pernah bertemu dengan
petani Marhaen yang sangat menggugah jiwanya,” kata Ny. Dewi. Dikatakannya
bahwa ia sendiri belum pernah menerima pemberitahuan secara resmi mengenai
rencana pemerintah untuk memugar makam Bung Karno. Menunjukkan sikap kurang
setuju kepada pemugaran di Blitar, Dewi mengutarakan niatnya untuk mengunjungi
Indonesia Agustus atau September tahun ini. Dalam hal tidak setuju ia sama
dengan Guruh yang baru naik haji itu, tapi Dewipun sadar bahwa tak banyak yang
bisa dilakukannya. Mungkin soalnya bisa lebih nampak positif bila Dewi melihat
masalah Bung Karno kini tanpa disertai amarah: bahwa akhirnya bangsa Indonesia
mulai menilai bekas pemimpin besarnya kembali, praktis tanpa niat menjilat atau
memaki-maki. Senin pagi pekan lalu Menteri Sosial Sapardjo turut “meramaikan”
suasana dengan mengatakan bahwa penetapan Presiden pertama RI Sukarno sebagai
pahlawan nasional masih dalam proses. Tidak ada kesulitan dalam proses itu.
Diisyaratkannya bahwa ketetapan yang harus ditandatangani Presiden itu bisa
selesai dalam tahun ini juga. Ucapan Mensos ini segera mendapat banyak
sambutan. Sebagian besar menyambutnya dengan gembira sebagai suatu keputusan
yang selayaknya. Bung Karno direhabilitir? “Bukan”, bantah seorang pejabat
tinggi. “Rehabilitasi itu kan kalau sudah ada capnya. Sedang Bung Karno belum
pernah resmi dicap salah.” Ternyata kemudian Mensos Sapardjo hanya “terlanjur”
ketika mengatakan bahwa penetapan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional sedang
dalam proses. Menurut suatu sumber, dalam sidang Dewan Stabilisasi Politik dan
Keamanan Rabu pekan lalu, Presiden — sebagai orang yang harus menandatangani
ketetapan itu –mengatakan bahwa dia sendiri belum pernah mendengar rencana itu
sebelumnya. Presiden berpendapat bahwa proklamator lebih tinggi dan lebih
berharga daripada pahlawan nasional. Menteri Penerangan Ali Murtopo Kamis
esoknya mengembangkan sikap Presiden itu dengan mengatakan: “Saya tidak rela
Bung Karno hanya dianggap sebagai pahlawan nasional.” Tentang pengertian
proklamator, Ali Murtopo menjelaskan bahwa di samping sebagai pahlawan, ia juga
seorang yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan bangsanya, sehingga
tingkatnya lebih tinggi. “Di Indonesia hanya ada dua proklamator, Bung Karno
dan Bung Hatta. Sedang pahlawan nasional jumlahnya ratusan ribu,” ujarnya.
Mungkin yang dimaksud Ali Murtopo ialah mereka yang dimakamkan di
berpuluh-puluh makam pahlawan di Indonesia. Menurut catatan Departemen Sosial,
yang bertugas menangani masalah ini, gelar resmi “pahlawan nasional” sampai
saat ini hanya dimiliki 87 orang. Menurut Mensos Sapardjo kepada TEMPO, khusus
mengenai kasus Bung Karno ini bukan urusan departemennya, tapi menjadi tugas
dari Menpen sebagai project officer. Secara pribadi ia cocok dengan pendapat
bahwa proklamator lebih tinggi dari pahlawan nasional. Dengan alasan agar
masalahnya tidak jadi lebih semrawut dan simpang siur, ia meminta agar
pertanyaan mengenai Bung Karno ditanyakan saja langsung pada Menpen. Yang tak
akan simpang siur agaknya ialah kenyataan ini sendiri: bahwa peran Bung Karno
sebagai proklamator, penggali Pancasila, dan pemersatu bangsa tak akan mudah
terhapus — walaupun yang berkuasa bisa berubah tokoh atau pendapatnya. Dan kini
agaknya tahap sejarah untuk menilai dan “mengadili” Sukarno sudah mulai.
Mungkin ia sendiri menyadari sepenuhnya hal ini ketika di awal 1967, di saat
kejatuhannya dari dunia politik sudah jelas, ia memutuskan untuk diam. Akhir
Januari itu, dipanggilnya seorang “gurunya” untuk mengembalikan semacam “ilmu
selamat” yang bertahun-tahun telah dimilikinya. Ia mengembalikan juga keris
kecil yang konon selalu dibawanya ke mana-mana. Waktu ditanya apa alasan
keputusannya itu, Bung Karno menjawab: “Sudahlah, mulai sekarang aku akap
berdiam diri.” Dan ketika diminta satu kenang-kenangan daripadanya, di atas
sehelai kain putih ditulisnya kata-kata: “Pertahankan Revolusi di atas relnya
yang asli.” Revolusi memang sesuatu yang selalu menjiwai kalbu semangatnya
sejak ia masih seorang pemuda yang ingin membebaskan bangsanya dari belenggu
penjajahan. Bangsanya kemudian bebas, tapi ia bukan seorang yang bebas di
saat-saat terakhirnya. “Tapi ada satu keyakinan dan keinginannya waktu itu.
Bapak percaya bahwa pada suatu waktu akan dibebaskan. Tidak jadi Presiden lagi,
tidak mau campur urusan politik, dan bisa disamakan seperti lurah dongkol
(bekas lurah) kalau di desa. Ia akan jadi tempat orang minta advis tentang
politik, tentang kenegaraan. Dia juga ingin sekali bisa menerima tamu-tamu yang
dia senangi,” kata Ny. Hartini. Apa yang diinginkannya itu ternyata tidak
terkabul. Memang tidak semua keinginan manusia dalam hidupnya bisa terlaksana.
Jangan dibuat monumen yang menggemparkan buatku, tulisnya dalam otobiografinya.
Tapi mungkin sudah tersurat dalam nasib seorang besar seperti dia: menggemparkan.