Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11
Maret (1)
In
Historia, Politik on January 5, 2010 at 2:15 AM
”10
Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap
kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang
kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI,
ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum
10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung tinggi.
Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen”.
Antara
konsolidasi dan akrobat politik
DALAM
bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30
September,
beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah yang menghimpun organisasi mahasiswa ekstra universiter di masa Orde Lama Soekarno –yang didominasi oleh organisasi-organisasi seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI Asu (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman), Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia)– untuk segera mengadakan kongres. Desakan para mahasiswa ‘garis seberang’ itu ditolak oleh GMNI yang dipimpin oleh Bambang Kusnohadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan alasan masih menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30 September 1965.
beberapa organisasi mahasiswa antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal), dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah yang menghimpun organisasi mahasiswa ekstra universiter di masa Orde Lama Soekarno –yang didominasi oleh organisasi-organisasi seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), GMNI Asu (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang pro PNI Ali Surachman), Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia)– untuk segera mengadakan kongres. Desakan para mahasiswa ‘garis seberang’ itu ditolak oleh GMNI yang dipimpin oleh Bambang Kusnohadi dan organisasi mahasiswa ideologi kiri lainnya, dengan alasan masih menunggu solusi politik dari Presiden Soekarno pasca Peristiwa 30 September 1965.
Beberapa
organisasi pengusul kongres akhirnya mengultimatum akan menyelenggarakan
sendiri kongres bilamana pimpinan PPMI tidak mau melaksanakan kongres tersebut.
Mendapat ultimatum, pimpinan PPMI melaporkan hal tersebut kepada Menteri PTIP
(Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) Dr Sjarif Thajeb, dengan menambahkan
bumbu insinuasi bahwa Somal merencanakan membuat huru-hara dalam kongres pada
saat kongres itu berlangsung. Pada awalnya Sjarif Thajeb percaya kepada
insinuasi ini, lalu memanggil pimpinan Somal dan meminta mereka jangan dulu
memaksakan kongres. Setelah menerima penjelasan dari Somal, Sjarif Thajeb lalu
menyarankan pertemuan antara seluruh organisasi mahasiswa, pada 25 Oktober 1965
di kediamannya. Namun, pertemuan itu ternyata berlangsung tanpa kehadiran CGMI,
Germindo dan Perhimi yang adalah organisasi mahasiswa onderbouw PKI dan partai
serta organisasi ideologi kiri lainnya. Hanya GMNI yang hadir berhadapan dengan
organisasi-organisasi pengusul Kongres.
Pertemuan
di rumah kediaman Sjarif Thajeb ini berlangsung alot. Para pemimpin organisasi
mahasiswa menyepakati membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia disingkat
KAMI, dengan program utama ‘mengganyang’ Gerakan 30 September dan PKI. Dalam
pertemuan itu, Sjarif Thajeb memperlihatkan kebimbangan-kebimbangan, antara
lain terkait dengan kedekatannya saat itu dengan Soekarno karena bagaimanapun
ia adalah menteri Soekarno. Namun di sisi lain terjadi arus perkembangan baru
yang sebenarnya memiliki perspektif perubahan yang menggoda sebagai ‘investasi’
masa depan namun pada tahap itu mengarah kepada penentangan terhadap Soekarno
sebagaimana yang ditunjukkan oleh para mahasiswa. Maka, agaknya seakan satu
jalan tengah, Sjarif Thajeb lalu ‘bersikeras’ agar GMNI duduk sebagai pimpinan
dalam wadah baru kemahasiswaan, KAMI, yang akan dibentuk itu dan memadukannya
dengan organisasi-organisasi lainnya.
Saat
itu, seperti diungkapkan Marsillam Simanjuntak, Sjarif Thajeb mempunyai jalan
pikiran atau patron yang menilai satu organisasi berdasarkan ranking urutan
partai yang menjadi induk organisasi tersebut. Karena PNI formal adalah partai
yang terbesar, maka GMNI pun ditempatkannya di urutan teratas. Sebaliknya, HMI
yang sebenarnya justru adalah organisasi mahasiswa yang terbesar massanya,
diabaikan Sjarif Thajeb, karena HMI memang tidak punya induk politik. PMII yang
anggotanya amat sedikit, apalagi dibandingkan HMI, mendapat posisi karena
‘anak’ Partai NU. Somal yang merupakan ‘federasi’ nasional dengan
anggota-anggota berbagai organisasi mahasiswa lokal, dianggap memenuhi syarat, seperti
PMKRI yang adalah anak Partai Katolik dan Mapantjas karena adalah organisasi
sayap IPKI. Kelima organisasi mahasiswa itu ditunjuk untuk duduk dalam
Presidium KAMI, yakni GMNI, PMKRI, Somal, PMII dan Mapantjas. Tetapi GMNI
sendiri akhirnya menyatakan tidak bersedia ikut duduk dalam Presidium KAMI dan
bahkan tidak ikut bergabung sama sekali dengan KAMI, karena berpendapat PPMI
masih harus dipertahankan. Pilihan Bambang Kusnohadi ini, akan tercatat
kemudian sebagai awal tersisih dan rontoknya GMNI sebagai suatu organisasi
mahasiswa dengan massa terbesar saat itu.
Belakangan,
ketidaksertaan GMNI Asu di bawah Bambang Kusnohadi digantikan oleh GMNI
pimpinan Surjadi yang berseberangan dengan PNI pimpinan Ali Sastroamidjojo SH
dan Ir Surachman. Dr Sjarif Thajeb yang awalnya bimbang, karena tak punya
pendirian yang jelas, akhirnya ikut arus dan menyetujui lahirnya KAMI dan
namanya pun lalu tercatat sebagai tokoh yang ikut membidani lahirnya KAMI.
Posisinya terhadap Soekarno pada mulanya tentu saja menjadi dilematis dan
sulit, ketika ternyata KAMI kemudian menjadi penentang kuat yang akhirnya ikut
menjatuhkan Soekarno dari kekuasaannya. Sampai-sampai ia pernah membekukan
‘organisasi’ yang kelahirannya dibidani olehnya itu. Namun tatkala pada
akhirnya kejatuhan Soekarno terjadi, hal itu mengakhiri pula dilema Sjarif
Thajeb dan dilema pun berubah menjadi semacam berkah bagi tokoh ini serta
menjadi tiket baginya turut dalam kekuasaan baru pada masa berikutnya.
Masalahnya, walau Sjarif Thajeb memang dianggap berjasa dalam berdirinya KAMI,
tetapi sekaligus juga kerap tidak disukai mahasiswa karena sejumlah tindakannya
merugikan mahasiswa. Pada masa awal pemerintahan Soeharto, sebagai Menteri
PTIP, beberapa kali ia melakukan tindakan represif di kampus-kampus.
KAMI
terbentuk di Bandung tanggal 1 Nopember 1965, hanya selang beberapa hari dengan
terbentuknya KAMI di Jakarta. Rapat pembentukannya mengambil tempat di
Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9 Bandung. Mengikuti pola KAMI Pusat, organisasi
ini juga dipimpin oleh satu Presidium. Pertama kali, Presidium terdiri dari
Majedi Sjah (PMII), RAF Mully (PMKRI), Rohali Sani (Somal), Daim A. Rachim
(Mapantjas), yang didampingi para sekertaris Ta’lam Tachja (HMI) dan Mansur
Tuakia (IMM). Pembentukan KAMI Bandung diikuti oleh pembentukan KAMI di ITB.
Tetapi dalam perjalanan kegiatannya, seperti yang digambarkan Hasjrul Moechtar,
aksi-aksi KAMI Bandung sampai Desember 1965 tidak mampu menggambarkan potensi
yang sebenarnya dari mahasiswa Bandung.
Para
pimpinan KAMI Bandung, sejalan dengan pikiran Menteri PTIP Sjarif Thajeb,
berpikir terlalu formal organisatoris, bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa
organisasi ekstra, terutama yang punya induk politik, yang mampu menggerakkan
mahasiswa –sesuai kepentingan politik faktual saat itu– untuk menghadapi PKI.
Padahal pada beberapa perguruan tinggi terkemuka di Bandung, khususnya di ITB, merupakan fakta
bahwa organisasi intra lebih populer dan lebih mewakili keseluruhan mahasiswa
dibandingkan dengan organisasi ekstra universiter. Faktanya, “walaupun
sama-sama anti PKI, Dewan-dewan Mahasiswa tidak merasa perlu untuk menggerakkan
mahasiswa di kampusnya mengikuti aksi-aksi KAMI”. Di mata Dewan-dewan
Mahasiswa, kehadiran KAMI tak lebih dari sekedar perubahan wajah saja dari PPMI
minus CGMI, GMNI-Asu, Perhimi dan Germindo.
Dengan
penilaian atas KAMI seperti itu, maka 24 Nopember 1965, Dewan-dewan Mahasiswa
maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se Bandung sepakat
membentuk Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra Universiter Indonesia (KOMII), yang
sekaligus juga menjadi pengganti MMI yang mereka tak percayai lagi. Ketua Umum
pertama KOMII adalah Rachmat Witoelar dari ITB. Rachmat yang saat itu adalah
Ketua Umum DM-ITB dianggap mewakili wajah kampus ITB yang betul-betul a
politis. Ketua-ketua KOMII yang lain adalah Soegeng Sarjadi dari Universitas
Padjadjaran yang waktu itu belum bergabung sebagai anggota HMI, Asmawi Zainul
dari IKIP dan AP Sugiarto dari Universitas Parahyangan. Sekertaris Umum
Hermanto Hs dari ITB dengan Sekertaris-sekertaris Anis Afif (Akademi Tekstil)
dan Sadan Sapari dari Universitas Pasundan. Tiga bendahara adalah R. Hasoni
dari AKMI, I Gede Artika (APN) dan Tatang Haris dari Universitas Pantjasila.
Untuk
beberapa bulan, hingga Pebruari 1996, aksi-aksi kedua organisasi ini berjalan
terpisah. Tapi tatkala aksi-aksi mahasiswa makin meningkat, 24 Pebruari,
terjadi kesepakatan untuk berintegrasi dalam artian unsur-unsur KOMII masuk ke
dalam Presidium. Dalam Presidium duduk 4 unsur ekstra universiter dan 4 unsur
intra universiter. Terjadi perubahan signifikan. Masuknya unsur intra membuat
gerakan-gerakan KAMI Bandung lebih impresif dan selalu diikuti dengan massa
yang jauh lebih besar. Sebenarnya, sebelum terjadi penggabungan, sejumlah
aktifis mahasiswa yang menjadi penggerak Pernyataan 1 Oktober –menolak Dewan
Revolusi– berinisiatif mengkoordinasi suatu gerakan bersama antara KAMI dan
KOMII pada 13 Januari 1966 di Bandung, tiga hari setelah aksi Tritura di
Jakarta. Hasilnya menakjubkan, sehingga membuka mata semua aktivis mahasiswa untuk
memikirkan suatu kebersamaan yang lebih baik. Pola memasukkan unsur intra ke
dalam Presidium ini akhirnya diikuti pula oleh KAMI konsulat Jakarta, dan juga
menghasilkan peningkatan efektifitas gerakan. Tetapi KAMI Pusat dan KAMI
daerah-daerah lainnya, tidak mengikuti pola itu. Masalahnya memang, di
kampus-kampus perguruan tinggi kota lainnya, adalah merupakan fakta bahwa
organisasi ekstra universiter memang lebih dominan dalam kehidupan kampus.
Pasca Peristiwa 30 September 1965 organisasi ekstra yang paling dominan di
kampus-kampus berbagai kota selain Bandung, adalah HMI, terutama di luar Jawa.
Tanggal
10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi
terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat
yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan
PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat
sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung
tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen. Di satu pihak mereka
menganjurkan dan bahkan melarang kenaikan harga-harga, tetapi pada pihak lain
pemerintah sendiri menaikkan tarif dan menaikkan harga sejumlah kebutuhan
pokok. Pada tanggal 3 Januari 1966, pemerintah menaikkan harga bensin menjadi
Rp. 1000 per liter. Padahal harga bensin itu baru saja dinaikan harganya pada
26 Nopember menjadi Rp. 250 per liter. Harga beras sementara itu tak
terkendali. Di Jakarta, harga beras yang semula Rp. 1000 per kilogram mendadak
melonjak menjadi Rp. 3500 per kilogram.
Waperdam
III Chairul Saleh yang sebenarnya cukup dihormati masyarakat, dengan nada
arogan mengatakan bahwa pemerintah takkan meninjau kembali kenaikan tarif dan
harga-harga. Ini katanya untuk mencegah jangan sampai terjadi defisit anggaran
belanja negara, sehingga pemerintah terpaksa untuk mencetak uang. Alasan yang
tampaknya rasional ini dibantah oleh mahasiswa sebagai alasan yang dicari-cari,
karena mahasiswa melihat bahwa penyebab utama defisit adalah ketidakbecusan para
menteri dan tidak memahami tanggungjawabnya. Mereka mengatasi keadaan dengan
bertindak asal-asalan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan rakyat
banyak. Dalam pada itu, menteri-menteri lainnya, terutama Waperdam I Soebandrio
lebih menyibukkan diri melontarkan provokasi-provokasi politik.
Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11
Maret (2)
In
Historia, Politik on January 7, 2010 at 1:36 AM
”Untuk
beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan
antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama.
Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan
yell-yell ’Hidup Bung Karno’, ’Kami tetap mendukung Bung Karno’ seraya
meneriakkan hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang
menjadi sasaran favorit. Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa
Bandung, sikap anti Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang amat
tinggi”.
KEADAAN
ekonomi akibat kenaikan harga-harga yang menghimpit kehidupan rakyat ini lah
sebenarnya yang menjadi concern utama mahasiswa Jakarta saat itu. Dan itulah
sebabnya mereka merancang suatu demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
penurunan harga. Untuk ‘memenuhi’ ketentuan keamanan, sejumlah anggota KAMI
dari Jakarta, Marsillam Simanjuntak dan kawan-kawan datang ke Kodam untuk
menyampaikan pemberitahuan akan diselenggarakannya demonstrasi pada 10 Januari.
Di Kodam, mereka bertemu Kepala Staf Kodam Jaya Kolonel A.J. Witono. Perwira
itu menanyakan, apa yang menjadi tujuan demonstrasi, dijawab untuk menuntut
penurunan harga. “Masa hanya itu saja ? Itu tidak cukup”, kurang lebih demikian
dikatakan Witono. Apa lagi ? Ia mengusulkan, ajukan tuntutan lain juga. Saat
itulah, muncul usulan tuntutan pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora.
Bagi mahasiswa saat itu, kepentingan utama hanyalah bagaimana harga bisa turun.
Setelah dipertimbangkan, saran Witono itu dianggap tidak akan merugikan. Maka
Tritura pun terumuskan dan menjadi tema tuntutan dalam demonstrasi 10 Januari
1966. Marsillam mengakui, Tritura itu tidak lahir dari suatu proses perumusan
yang muluk-muluk, tetapi adalah sesederhana seperti apa yang dituturkannya.
Tentang
lahirnya rumusan Tritura ini, Cosmas Barubara, memberikan gambaran yang tidak
sesederhana penuturan Marsillam. Menurut Cosmas, ”Sehari sebelum tanggal 10
Januari 1966 di kantor Sekretariat Presidium KAMI Pusat, di Jalan Sam Ratulangi
No.1, diadakan rapat lengkap”. Dalam rapat itu berkembang berbagai pandangan
yang bermuara kepada masalah harga-harga, masalah unsur PKI di kabinet, dan
masalah komunis. Setelah rapat berlangsung cukup lama mendengar pandangan
peserta rapat, maka rapat memutuskan menugaskan tiga orang menjadi perumus
hasil rapat. Ketiga orang itu adalah Nazar Nasution, Savrinus Suardi dan Ismid
Hadad. “Ketiga anggota Presidium tersebut merumuskan suatu pernyataan
berdasarkan masukan-masukan yang ada dan menghasilkan apa yang kemudian terkenal
dengan sebutan Tritura yaitu: 1 – Turunkan Harga, 2 – Rombak kabinet dan 3 –
Bubarkan PKI”. Apa yang sebenarnya terjadi? Salah satu kemungkinan adalah bahwa
masukan dalam pertemuan Marsillam cs di Kodam Jaya itu juga sampai ke tim
perumus di Jalan Sam Ratulangi 1, atau sebaliknya. Atau, pada waktu bersamaan,
gagasan itu memang sudah terpikirkan dan dimiliki banyak aktivis dan perwira
militer sehaluan karena pembacaan yang sama terhadap situasi.
Keresahan
terhadap keadaan ekonomi yang makin memburuk dan menghimpit kehidupan rakyat
sehari-hari, sebenarnya dirasakan pula oleh sejumlah aktivis mahasiswa di
Bandung.Sebagian dari mereka termasuk di antara yang memprakarsai pernyataan
penolakan terhadap Dewan Revolusi 1 Oktober dan appel serta gerakan anti PKI 5 Oktober.
Keresahan mereka bukan hanya kepada perkembangan ekonomi, tetapi juga
perkembangan politik pada umumnya, terutama yang terkait dengan sederetan
tindak-tanduk politik Soekarno, yang tetap membela PKI dan menolak
membubarkannya.
Sehari
sebelum Natal di tahun 1965 itu, Alex Rumondor yang bertemu seorang aktivis
Gemsos, Bonar Siagian, menyampaikan ajakan untuk mengorganisir suatu pertemuan
di antara para aktivis mahasiswa Bandung, karena menurut Alex sudah saatnya
untuk mengambil tindakan-tindakan menghadapi perkembangan situasi. Ajakan
serupa disampaikan Alex kepada Adi Sasono. Untuk itu, Alex menyiapkan suatu
draft Petisi Amanat Rakyat, yang isinya menggugat langsung Soekarno, sikap
politik maupun kebijakan ekonominya. Pertemuan tak dapat segera dilakukan
karena berimpitnya libur-libur natal dan akhir tahun, yang bersamaan pula
dengan bulan puasa.
Pertemuan
yang direncanakan segera setelah perayaan akhir tahun, ternyata baru bisa
berlangsung 8 Januari 1966. Di antara yang hadir tercatat nama-nama seperti
Rahman Tolleng dan Muslimin Nasution, dua orang yang dulu terkait Peristiwa 10
Mei 1963. Lalu ada Rachmat Witoelar yang adalah Ketua KOMII. Hadir pula
sejumlah aktifis yang berlatar belakang HMI seperti Bagir Manan dan Iwan
Sjarif. Nama-nama lain adalah Soegeng Sarjadi yang belakangan diajak bergabung
sebagai anggota HMI, Erna Walinono, Fred Hehuwat, Rohali Sani, Jakob Tobing,
Robby Sutrisno, Rudianto Ramelan, Aswar Aly, Hasjroel Moechtar dan Mangaradja
Odjak Edward Siagian yang juga adalah seorang perwira cadangan jalur wajib
militer. Mereka ini semua berlatar belakang campuran, mulai dari
organisasi-organisasi mahasiswa lokal yang menjadi cikal bakal Somal, Pelmasi,
Mahasiswa Pantjasila sampai yang berhaluan independen. Dan tentu saja hadir
tiga pencetus awal, yakni Alex Rumondor, Bonar Siagian dan Adi Sasono, yang
ketiganya kebetulan punya latar belakang berbeda. Alex adalah tokoh IPMI yang
berlatar belakang Kristen, Bonar berlatar belakang sosialis anggota Gemsos,
serta Adi Sasono seorang tokoh HMI namun dikenal punya kecenderungan pemikiran
sosialistis. Adi adalah cucu seorang tokoh Masjumi yang termasyhur, Mohammad
Roem. Tetapi yang terbanyak sebenarnya adalah mahasiswa-mahasiswa tanpa latar
belakang pemikiran politis samasekali seperti misalnya Erna Walinono
–belakangan dikenal sebagai Erna Witoelar– mahasiswi yang terselip di antara
aktivis yang umumnya mahasiswa putera.
Pada
masa berikutnya, gerakan-gerakan mahasiswa di Bandung diikuti oleh mayoritas
mahasiswa seperti Erna sehingga gerakan-gerakan itu lebih menonjol sebagai
gerakan moral dan gerakan masyarakat. Motivasi yang menggerakkan mereka adalah
pertama sikap yang dari semula tidak menyenangi PKI sebagai partai yang
berpenampilan otoriter dan provokatif, serta realitas ekonomi rakyat yang makin
memburuk di bawah rezim Soekarno. Pada akhirnya pula, karena Soekarno
memperlihatkan ciri-ciri otoriter dan terlalu dekat dengan PKI, rasa tidak
senang mahasiswa juga mengarah kepada dirinya, ditambah lagi sikapnya yang
mengabaikan perbaikan bidang ekonomi.
Pertemuan
pertama berlangsung di salah satu ruangan Berita-berita ITB, sebuah buletin
harian yang diterbitkan para mahasiswa di kampus Ganeca, yang entah bagaimana
bisa bocor ke pihak intelijen, sehingga pada waktu pertemuan berlangsung
sejumlah intel berseliweran di kampus ITB mencari tepatnya di mana pertemuan
berlangsung. Pertemuan yang tadinya diperkirakan bisa cepat mengambil
keputusan-keputusan, baik mengenai petisi yang akan dicetuskan maupun aksi-aksi
yang akan segera dilakukan, ternyata berlangsung berlarut-larut.
Persoalan
yang paling menyita waktu adalah mengenai Soekarno. Beberapa rumusan mengenai
Soekarno tak dapat diterima oleh sejumlah di antara yang hadir dengan berbagai
argumentasi. Ada yang menghendaki agar predikat-predikat yang ditujukan kepada
Soekarno jangan terlalu keras, seperti misalnya terminologi ‘the top of the
ruling class’. Begitu pula, ada yang menghendaki agar kritikan yang akan
dilontarkan kepada Soekarno lebih diperlunak. Hasjroel mengutip pemaparan Alex
bahwa meskipun dalam soal anti komunis semua yang hadir bersatu, tetapi rasa
ketimuran yang negatif seperti bapakisme, rasa takut kepada yang berkuasa,
takut ditangkap dan rasa tidak aman telah berpadu menjadi penyebab
berlarut-larutnya diskusi. Selain itu, wadah-wadah organisasi yang ada ternyata
kurang siap, sehingga harus didesak-desak untuk bertindak. “Banyak dari yang
hadir merupakan fungsionaris dan pimpinan organisasi mahasiswa, seperti Dewan
Mahasiswa, KAMI Komisariat Universitas dan sebagainya. Mereka merasa harus
mengadakan rapat dan konsultasi dulu dengan pengurus lainnya. Bahkan, beberapa
diantaranya mengatakan, bahwa mereka ‘punya massa’, jadi harus
mempertanggungjawabkan keselamatan dan keamanan massanya terhadap risiko yang
mungkin terjadi. Berbeda dengan pribadi-pribadi yang mengambil prakarsa, mereka
hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri karena tidak punya massa”. Alhasil,
berkepanjangan.
Tapi
akhirnya dengan sejumlah perubahan, petisi ditandatangani juga oleh duapuluh
delapan mahasiswa. Tetapi karena sudah terlalu sore dan waktu berbuka puasa
sudah tiba, diputuskan pertemuan akan dilanjutkan esok malam, 9 Januari 1966,
di kediaman Alex Rumondor di Jalan Merak 4 Bandung. Pertemuan berikut itu untuk
persiapan rencana aksi dan finalisasi Petisi Amanat Rakyat. Untuk persiapan
awal sudah dilakukan pembagian tugas. Tanggal 8 Januari malam itu, beberapa
mahasiswa melanjutkan pertemuan untuk persiapan rencana demonstrasi. Mereka
adalah sejumlah mahasiswa ITB, yakni Rudianto Ramelan, Thojib Iskandar, Fred Hehuwat,
Pande Lubis dan Zainal Arifin (Iping), bersama sejumlah mahasiswa dari suatu
kelompok yang dikenal sebagai group Bangbayang.
Pertemuan-pertemuan
lanjutan ternyata tetap saja tidak mudah. Malah masih berkepanjangan sampai
dengan 12 Januari. Sementara itu, mahasiswa Jakarta sudah berhasil bergerak
pada tanggal 10 Januari 1966 dan mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat. Mahasiswa
Jakarta berhasil lebih ‘menyederhanakan’ persoalan dengan tidak menyentuh lebih
dulu mengenai Soekarno dan membatasi diri terutama pada masalah kenaikan harga,
dan mencukupkan diri dengan sedikit muatan tambahan bersifat politis, mengenai
pembubaran PKI dan rituling kabinet, seperti yang dituturkan Marsillam
Simanjuntak.
Untuk
beberapa lama, soal Soekarno ini menjadi salah satu perbedaan strategi gerakan
antara mahasiswa Bandung dengan Jakarta. Perbedaan ini berlangsung cukup lama.
Dalam demonstrasi-demonstrasinya, mahasiswa Jakarta masih kerap meneriakkan
yell-yell “Hidup Bung Karno”, “Kami tetap mendukung Bung Karno” seraya meneriakkan
hujatan-hujatan terhadap tokoh lainnya, seperti Soebandrio yang menjadi sasaran
favorit. Sementara itu, dalam gerakan-gerakan mahasiswa Bandung, sikap anti
Soekarno sudah tampil sejak dini dalam kadar yang amat tinggi. “Pada tanggal 12
Januari 1966 itu, kami berkesimpulan, jika debat-debat terlalu lama, tindakan
aksi harus dijalankan saja”, demikian Alex Rumondor mencatat. Maka Alex
mengusahakan agar pressure group berkumpul lagi di Jalan Merak 4 untuk membahas
rencana gerakan secara lebih rinci. “Biarpun malam itu masih terjadi debat yang
seru, tetapi akhirnya konsep dapat diterima. Yang hadir saat itu adalah Rahman
Tolleng, Bonar Siagian, Rudianto Ramelan, Fred Hehuwat, Zainal Arifin, Thojib
Iskandar, Robert Sutrisno, Awan Karmawan Burhan dan beberapa orang lainnya
lagi”. Termasuk Alex sendiri.
“Setelah
konsep disetujui, timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaan demonstrasi besoknya?
Apakah aksi akan berjalan tanpa dipertangggungjawabkan secara organisatoris?
Jika ada apa-apa, siapa yang akan bertanggungjawab?”. Alex lalu mengusulkan
agar KAMI dan KOMII dikerahkan. Untuk itu harus dicari orang-orangnya. Rachmat
Witoelar Ketua KOMII datang menjelang pukul 23.00. Daim A. Rahim Ketua KAMI
Bandung, tak berhasil ditemukan, tetapi sebagai gantinya, Robby Sutrisno
berhasil membawa datang Sekertaris KAMI
Mohammad Ta’lam Tachja. Bersamaan dengan itu, Adi Sasono juga datang. KOMII dan
KAMI setuju bergerak bersama-sama. Pengerahan mahasiswa dari kampus Universitas
Parahyangan dijamin oleh Awan Karmawan Burhan. Sedang pengerahan mahasiswa
Universitas Padjadjaran diserahkan kepada Iwan Sjarif, yang untuk itu merasa
perlu untuk meminta izin rektor lebih dulu. ’Beruntung’ bahwa Rektor Sanusi
Hardjadinata, tidak berkeberatan. Pengerahan di ITB sudah terlebih dahulu disiapkan
oleh Group Bangbayang.
Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11
Maret (3)
In
Historia, Politik on January 8, 2010 at 12:41 AM
”Tetapi
sikap mendua seperti itu, bukan hanya milik Sjarif Thajeb seorang, karena
faktanya hampir kebanyakan tokoh, baik yang berada dalam pemerintahan maupun
dalam kehidupan politik kepartaian, pada masa ‘tak menentu’ itu memang memilih
sikap opportunistik sebagai ‘prinsip’. Sikap dan perilaku yang menimbulkan
tanda tanya di kalangan mahasiswa, kerap kali ditunjukkan pula oleh Brigjen
Amirmahmud yang saat itu menjadi Panglima Kodam Jaya menggantikan posisi Mayjen
Umar Wirahadikusumah”.
SEJAK
pagi-pagi tanggal 10 Januari 1966 mahasiswa Jakarta berkumpul di kampus
Universitas Indonesia Salemba mengadakan appel. Massa mahasiswa selain dari
Universitas Indonesia sendiri, juga berasal dari berbagai perguruan tinggi
lainnya di Jakarta, dengan beberapa pengecualian. Setelah itu mereka bergerak
menuju Sekretariat Negara Jalan Veteran untuk menyampaikan resolusi mereka.
Tetapi di Sekretariat Negara para mahasiswa hanya ditemui oleh Wakil Sekertaris
Negara, sehingga mahasiswa tak mau menyerahkan resolusi mereka dan tak bersedia
membubarkan diri. Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok mahasiswa lainnya
berkeliling ke beberapa penjuru kota untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan
kepada masyarakat mengenai tiga tuntutan mereka. Simpang-simpang jalan yang
strategis diduduki mahasiswa dan di tempat itu mahasiswa memancangkan
spanduk-spanduk yang berisi tiga tuntutan mahasiswa.
Baru
pada sore hari, sekitar 16.00 Waperdam III Chairul Saleh muncul dan menemui
mahasiswa. Ketua Presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara lalu menyampaikan
pernyataan mahasiswa yang berisi Tri Tuntutan Rakyat. Chairul Saleh menerima
pernyataan itu dan menanggapi bahwa “segalanya tergantung pada kemauan Presiden
Soekarno”. Kabinet bisa dirubah, harga-harga bisa diturunkan, kata Chairul
Saleh, asal Presiden Soekarno memerintahkannya, maka semuanya akan
dilaksanakan. Demonstrasi di Sekretariat Negara berakhir sekitar 17.00. Dalam
perjalanan pulang mahasiswa meneriakkan yell-yell mengumandangkan tiga tuntutan
mereka. Mahasiswa menyerukan agar para penumpang bus hanya membayar tarif
Rp.200 dan tidak Rp.1000 seperti keputusan pemerintah.
Demonstrasi
hari pertama ini, keesokan harinya diikuti dengan aksi mogok kuliah oleh
mahasiswa Jakarta. Aksi mahasiswa Jakarta ini disusul oleh demonstrasi besar
ribuan massa mahasiswa Bandung, 13 Januari 1966, melibatkan KOMII dan KAMI
dalam satu gerakan bersama, hasil rancangan Alex Rumondor dan kawan-kawan. Para
mahasiswa Bandung ini mencetuskan “Resolusi Amanat Penderitaan Rakyat”, yang
antara lain menyatakan solidaritas mahasiswa Bandung terhadap aksi-aksi yang
dilancarkan mahasiswa Jakarta dan memperkuat tuntutan-tuntutan 10 Januari 1966
itu. Bersamaan dengan resolusi tersebut, dicetuskan pula “Petisi Amanat
Penderitaan Rakyat” yang disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Mashudi untuk
diteruskan kepada Presiden Soekarno. Sejak 10 Januari dan 13 Januari itu,
aksi-aksi mahasiswa lalu marak dan berlangsung terus menerus di kedua kota itu
yang kemudian disusul oleh mahasiswa di kota-kota besar lainnya.
Akhir
Januari, Menteri PTIP Brigjen Dr Sjarif Thajeb, mengeluarkan instruksi agar
mahasiswa menghentikan mogok kuliah. Presidium KAMI Pusat ikut mengeluarkan
anjuran agar mahasiswa mematuhi instruksi Menteri PTIP itu. Akan tetapi KAMI
Bandung menolak instruksi itu, sehingga KAMI Pusat pun menyatakan bahwa
penghentian mogok kuliah hanya berlaku di lingkungan KAMI Jakarta Raya. Namun
hanya 4 hari setelahnya, 4 Februari, mahasiswa Jakarta melakukan mogok kuliah
tahap kedua. Sebelumnya, 2 Februari, di depan kampusnya, mahasiswa ITB berikrar
akan terus melakukan aksi-aksi dan mogok kuliah sampai tuntutan dalam Tritura
dipenuhi. Mereka tak mau mematuhi instruksi Menteri PTIP. Ikrar serupa
dilakukan pula mahasiswa Jakarta pada tanggal 10 Februari. Langsung pada
tanggal yang sama, Menteri PTIP mengulangi instruksinya agar mogok kuliah
dihentikan. Meskipun tercatat peranannya dalam membidani kehadiran KAMI, Sjarif
Thajeb kerapkali menunjukkan sikap mendua bila itu menyangkut Soekarno. Tetapi
sikap mendua seperti itu, bukan hanya milik Sjarif Thajeb seorang, karena
faktanya hampir kebanyakan tokoh, baik yang berada dalam pemerintahan maupun
dalam kehidupan politik kepartaian, pada masa ‘tak menentu’ itu memang memilih
sikap opportunistik sebagai ‘prinsip’.
Sikap
dan perilaku yang menimbulkan tanda tanya di kalangan mahasiswa, kerap kali
ditunjukkan pula oleh Brigjen Amirmahmud yang saat itu menjadi Panglima Kodam
Jaya menggantikan posisi Mayjen Umar Wirahadikusumah. Pada pertengahan Januari,
segera setelah Soekarno memberi komando untuk pembentukan Barisan Soekarno,
maka terjadi konsolidasi yang berlangsung cepat di kalangan pendukung Soekarno.
Menteri Penerangan Achmadi misalnya, 17 Januari 1966, untuk sebagian berhasil
mewujudkan perintah Soekarno itu. Cikal bakal Barisan Soekarno segera terbentuk
dan mulai bergerak antara lain dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang
menyerang KAMI dan bahkan memprovokasi sejumlah benturan fisik. Justru pada
saat itu Panglima Kodam Jaya Amirmahmud mengeluarkan pengumuman yang melarang
penyelenggaraan demonstrasi dalam bentuk apapun di Jakarta. “Demi menjaga dan
terpeliharanya suasana tenang dan tertib dalam rangka pengamanan guna tercapai
tujuan revolusi”. Karena yang melakukan demonstrasi hanyalah mahasiswa yang
tergabung dalam KAMI, maka dengan sendirinya KAMI lah yang terpojok. Larangan
ini memecah konsentrasi mahasiswa Jakarta yang tergabung dalam KAMI, sekaligus
cenderung melemahkan kekuatan mereka. Sjarif Thajeb kemudian melengkapkan
tekanan dengan larangan terhadap mogok kuliah yang dijalankan mahasiswa.
Meskipun
ada larangan demonstrasi, mahasiswa Jakarta tetap saja melakukan
gerakan-gerakan. Mereka mengganti istilah demonstrasi dengan “berkunjung
ramai-ramai”. Salah satu sasaran kunjungan ramai-ramai itu adalah Departemen
Luar Negeri yang dipimpin Soebandrio, Selasa 18 Januari. Gagal bertemu
Soebandrio di sana para mahasiswa menuju kediaman resmi Menlu di Jalan Merdeka
Selatan, dan bisa bertemu Soebandrio. Mulanya Soebandrio hanya mau menemui
delegasi mahasiswa, dan menjelaskan tentang ucapan-ucapannya sebelumnya yang
menuduh mahasiswa ditunggangi Nekolim dan menyatakan aksi-aksi mahasiswa tidak
sopan. Ketika diminta untuk berbicara langsung di depan massa mahasiswa, ia
malah mengatakan “Saya juga punya massa”. Spontan delegasi mahasiswa balik
bertanya “Apakah bapak bermaksud mengadu domba antara massa bapak dengan massa
kami?”. ”Bukan… bukan itu maksud saya”, ujarnya pada akhirnya, ”Baiklah, saya
akan bicara…..”. Begitu muncul di depan massa mahasiswa, ia disambut teriakan
“Ganyang Haji Peking!”, “Kami tidak memusuhi Bung Karno”, “Kami memusuhi
Durno”. Jadi, seperti tentara yang taktis terhadap Soekarno, hingga sebegitu
jauh, mahasiswa pun masih bersikap taktis pula terhadap Soekarno. Dan adalah
pada hari itu pula, delegasi KAMI bertemu dengan Soekarno. Ini adalah yang
kedua kalinya. Delegasi KAMI terdiri antara lain dari Cosmas Batubara, David
Napitupulu, Zamroni, Mar’ie Muhammad, Elyas, Lim Bian Koen, Firdaus Wajdi,
Abdul Gafur dan Djoni Sunarja. Tentang pertemuan ini, David Napitupulu pernah
mengisahkan betapa Soekarno masih berhasil menunjukkan wibawa dan membuat
beberapa tokoh mahasiswa ‘melipatkan’ dan merapatkan tangan di depan perut
dengan santun. Salah satu anggota delegasi menjelaskan kepada Soekarno bahwa
kalau ada ekses-ekses yang terjadi dalam aksi-aksi KAMI, semisal corat-coret
dengan kata-kata kotor, itu “adalah pekerjaan tangan-tangan kotor” yang
menyusup ke dalam “barisan mahasiswa progressif revolusioner”. Delegasi KAMI
lalu menyampaikan tiga tuntutan rakyat. Dan Soekarno menjawab “Saya mengerti
sepenuhnya segala isi hati dan tuntutan para mahasiswa”, dan tidak menyangsikan
maksud-maksud baik mahasiswa. Tetapi dengan keras Soekarno menyatakan tidak
setuju cara-cara mahasiswa yang menjurus ke arah vandalisme materil dan
vandalisme mental, yang menurut sang Presiden bisa ditunggangi golongan
tertentu dan Nekolim, yang tidak menghendaki persatuan Bung Karno dan
mahasiswa. Tentang pembubaran PKI, kembali Soekarno tidak memberikan jawaban
memenuhi tuntutan pembubaran, dan hanya menyuruh mahasiswa menunggu keputusan
politik yang akan diambilnya.
Awal
Pebruari, sekali lagi Amirmahmud melakukan semacam akrobatik politik, yang
menyenangkan Soekarno. Selasa 1 Pebruari di lapangan Banteng berlangsung suatu
rapat umum yang difasilitasi oleh Amirmahmud dan ‘berhasil’ menelurkan suatu
ikrar dari 120 organisasi politik dan organisasi massa se Jakarta Raya yang
menyatakan “sanggup untuk melaksanakan komando Presiden”, sesuai amanat
Presiden 15 Januari mengenai pembentukan Barisan Soekarno. Keesokan harinya, Amirmahmud
menghadap Soekarno di istana menyampaikan ikrar itu. Usai menghadap, kepada
pers, Amirmahmud dengan bersemangat menyampaikan pernyataan “120 orpol dan
ormas itu otomatis menjadi Barisan Soekarno”. Mungkin saja, peran yang
dijalankan oleh Amirmahmud ini masih termasuk dalam kawasan taktis, seperti
pendapat beberapa tokoh mahasiswa yang direkam Hasjroel Moechtar. Dengan
melihat kedua tindakan Amirmahmud itu sebagai sesuatu yang tak terlepas dari
sikap Angkatan Darat, menurut pendapat yang disimpulkan Hasjroel, maka tindakan
itu tak boleh tidak dimaksudkan sebagai upaya taktis Angkatan Darat mencoba
mengambilalih situasi dari Soebandrio dan pendukung-pendukung fanatik Bung
Karno. Dan masih cukup banyak aktivis yang mempercayai itu sebagai tindakan taktis,
yang menyelamatkan mahasiswa dari benturan-benturan fisik yang berbahaya dengan
para pendukung Soekarno. Namun tak bisa dihindari bahwa kedua tindakan itu
memberi hasil akhir yang membingungkan masyarakat dan terutama para mahasiswa
yang merasa dipojokkan.
Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11
Maret (4)
In
Historia, Politik on January 9, 2010 at 1:13 PM
“Presiden
tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut
mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala….”. “Maka pada
saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di
Jakarta turun ke jalan….. Pada hari itu,
barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara
hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan
Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan
mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka
berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya
meninggal beberapa waktu kemudian…”.
CATATAN
Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno ini menarik untuk dipinjam di
sini, terutama karena memiliki nuansa penilaian yang berbeda. Apakah tindakan
Amirmahmud saat itu masih termasuk tindakan taktis, ataukah murni akrobatik
politik? Kalau ternyata Amirmahmud melakukannya dengan kesepakatan para
pimpinan Angkatan Darat, apakah itu sekaligus menunjukkan bahwa para jenderal
memang telah melakukan akrobatik politik, mengutamakan ‘permainan’ dan tak segan
menempatkan mahasiswa sekalipun dalam posisi pion yang sewaktu-waktu bisa saja
dikorbankan untuk meraih kemenangan? Apalagi, dalam persepsi tokoh kesatuan
aksi, RAF Mully, Angkatan Darat memang hanya menempatkan mahasiswa dalam posisi
untuk dimanfaatkan. “Tidak sepenuhnya Angkatan Darat bisa diharapkan sebagai
pelindung bagi mahasiswa”. Adalah suatu fakta di lapangan, bahwa
pasukan-pasukan Kodam Jaya kala itu tak selalu menunjukkan sikap bersahabat
dengan para mahasiswa. Adakalanya mereka begitu garang dalam menghadapi
demonstrasi mahasiswa. Ini berbeda dengan pasukan-pasukan yang ada di bawah
garis komando Mayjen Kemal Idris yang menggantikan Soeharto sebagai Panglima
Kostrad, atau pasukan-pasukan RPKAD, yang oleh para mahasiswa bisa dirasakan
memiliki sikap melindungi, setidaknya tak bermusuhan.
Adanya
dua jenis perilaku tentara ini sangat terasa oleh kelompok mahasiswa. Bila
sikap tidak bersahabat itu ditunjukkan oleh kalangan militer yang dekat dengan
Soekarno, tentu tidak mengherankan. Tetapi bagaimana kalau kasat mata ia
memiliki kedekatan dengan Soeharto, tetapi ketika berhadapan dengan mahasiswa
menunjukkan permusuhan ? Tak lain hal itu berarti, sejak mula Soeharto pun
sudah mulai memelihara sejumlah perwira berperilaku otoriter di dekatnya. Dengan
demikian, sikap berbeda-beda di kalangan tentara bukanlah semata-mata soal pro
atau kontra Soekarno.
Jenderal
Abdul Harris Nasution menggambarkan “Barisan Soekarno mulai menjadi kenyataan
fisik. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke
istana dan bekerja untuk itu”. Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan
memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei –yang dikenal sebagai ‘raja’
para copet Jakarta– sebagai Komandan. “Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra
demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik”. Bahkan Soeharto, tutur
Nasution, menampung persoalan gerakan baru ini berupa perlombaan atau jor-joran
menyatakan setia kepada Presiden, dengan menginstruksikan “appel-appel
kesetiaan”, melalui Pengumuman O1/Koti/1966.
“Panglima
Kodam Jaya Jenderal Amirmahmud melakukannya secara besar-besaran, 120 utusan
parpol dan ormas Jakarta bersama panglima menyampaikan kesetiaan kepada
Presiden. Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie menyatakan bahwa Sam
Karya yang diterima Siliwangi adalah identik dengan Soekarno dan dibela oleh
Siliwangi. Bung Karno telah dimasukkan dalam catur laksana Korps Siliwangi”.
Tapi,
fakta yang paling tak dapat diabaikan, seperti juga dikatakan Nasution, adalah
bahwa para Panglima di Jawa dewasa itu, di Jakarta, Bandung, Semarang dan
Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga
secara pribadi kuat mendukung Soekarno. Bagaimanapun, “isu pembentukan Barisan
Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan
dapat membingungkan”. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang
pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya. Panglima
Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan instruksi yang
mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya. Sementara itu,
Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan
Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.
Waperdam
I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk
mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga ia menekankan aspek fisik. Dalam
suasana yang menghangat, 15 Pebruari 1966, Presiden Soekarno didampingi
Waperdam I Soebandrio mengadakan pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu,
Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana
Merdeka. Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan
Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan
Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung
yang berdiri di belakangnya. “Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga”, ujar
Soebandrio. Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut membentuk
Barisan Soekarno itu, “biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet”.
Barisan
dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai
dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela
Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung.
Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan
gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung
di Jalan Lembong. Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa,
Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Ia tewas di depan kampusnya
Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.
Setelah
terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan
massa Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Pebruari hingga awal
Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‘jalan
tengah’ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia, 7 Maret. Gagasan ini sebenarnya
berasal dari ide pembentukan National Union of Student (NUS) yang dilontarkan
sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari setelah mendengarkan saran dan laporan
Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang Sosial
Politik, Ruslan Abdulgani. Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan
oleh Soekarno dan Ruslan, muncul penolakan yang keras dari mahasiswa Bandung
dalam sebuah pernyataan 2 Pebruari 1966. Mahasiswa Bandung mencurigai
pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI
dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet dan berbagai lembaga negara.
Mahasiswa Bandung curiga bahwa pembentukan NUS dimaksudkan untuk mendegradasi
setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsur-unsur Front Marhaenis Ali
Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja berbahaya terhadap
upaya pembubaran PKI. Front Marhaenis per saat itu dalam anggapan
mahasiswa-mahasiswa Bandung tersebut adalah partner terdekat PKI di zaman pra
G30S.
Dalam
suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor,
kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan “Gerwani Agung”. Julukan
‘Gerwani Agung’ yang ditujukan kepada Hartini ini membuat Soekarno amat marah.
Di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang
ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan “Soekarno, No” serta
berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa mahasiswa tak lagi menginginkan
Soekarno sebagai pemimpin negara. Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia
Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan “Gedung Komidi
Stambul”. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir “MPRS…. Yes, yes, yes”
yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi ‘perwakilan rakyat’ itu berisi
dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan “yes” kepada Soekarno. Soekarno
yang marah, bersama Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa
itu ditunggangi oleh Nekolim. Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat
itu tudingan semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat
gentar mereka yang dituding.
Presiden
tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut
mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya
membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24
Pebruari ia memasukkan sejumlah tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI
seperti Oei Tjoe Tat SH dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora
yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu
lintas. Mobil-mobil dikempeskan bannya sehingga menteri-menteri yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada
hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan
tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan
Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap
barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan
luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini
akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian dan jenazahnya dikirim kepada
orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, telah pula jatuh
korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat karena peluru pasukan Cakrabirawa.
Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11
Maret (5)
In
Historia, Politik on January 11, 2010 at 1:32 AM
“Tanggal
10 Maret, wakil-wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan
di sana partai-partai tersebut untuk
kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno,
lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan
tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda”.
”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun yang diinginkannya. Dengan
Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”.
Setelah
insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25
Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan
Keputusan Kogam tentang pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga
diberlakukan jam malam, yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan
berkumpul lebih dari lima orang.
Pembubaran
KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam setelah
pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yakni jam 24.00 tanggal 25
Februari, mahasiswa Bandung telah mengeluarkan penegasan penolakan tersebut.
Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota
untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI tersebut. Adalah pula tengah
malam menjelang tanggal 25 Pebruari itu, mahasiswa-mahasiswa Bandung yang
menilai bahwa rekan-rekannya di Jakarta sedang mengalami tekanan berat dari
penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke Jakarta, jumlahnya ratusan
namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam-diam. Mahasiswa Bandung,
telah berpengalaman ketika long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966 sebagai
suatu gerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun karena terjadinya
pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno –Siswono Judohusodo dan kawan-kawan
dari GMNI.
Rombongan
pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta –belakangan akan dikenal
sebagai Kontingen Bandung– terdiri dari empat puluh orang dengan menggunakan
dua bus umum. Selama perjalanan, empat puluh mahasiswa yang seluruhnya dari
mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto
Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura-pura untuk tidak saling kenal.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong,
menggunakan kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota.
Sedang rombongan ketiga yang juga menggunakan kereta api pukul sepuluh pagi,
turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini pada umumnya anggota
Batalion I Resimen Mahawarman. Sedangkan rombongan terbesar dan terakhir, yang
terdiri dari kurang lebih 150 mahasiswa menggunakan kereta api pukul tiga sore,
dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak
Bandung-Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam.
Selain
mahasiswa yang datang berombongan ini, terdapat pula sejumlah mahasiswa yang
datang dengan berbagai cara secara berangsur-angsur selama beberapa hari, belum
lagi yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk
mahasiswa-mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan-kawan dari
kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan
400-an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung,
namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebenarnya tidak terlalu besar di tengah
ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung
ini membuatnya berperan. Pada malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas
Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus –artinya
tak ada mahasiswa yang boleh menginap– dengan alasan ada kemungkinan serangan
dari pasukan-pasukan yang pro Soekarno. Terutama setelah terjadinya serangan
bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa.
Hanya
satu malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba,
karena keesokan harinya berangsur-angsur mereka kembali ke sana. Mereka
bertahan seterusnya di sana, sementara sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta yang
tertekan karena teror dan ancaman, menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad
untuk keselamatan mereka. “Kontingen Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di
Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan atau Soekarno dilumpuhkan”,
ujar Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen –bersama dengan antara
lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen Bandung itu
sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, mempunyai arti tersendiri
untuk menaikkan spirit rekan-rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota-anggota
Kontingen ini juga berinisiatif melakukan gerakan-gerakan mengejutkan ke
sasaran-sasaran strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan,
mahasiswa-mahasiswa seni rupa ITB –Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan
kawan-kawan– yang ada di Kontingen itu menciptakan kreasi-kreasi seperti patung
besar Soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna Peking. Patung ini
ikut dibawa ketika Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta dan pelajar
KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak-abrik ruang kerja Soebandrio di
Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari-cari untuk disita oleh aparat
Kodam Jaya, dan akhirnya ‘terpaksa’ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan
pelajar setelah diarak, dalam suatu acara simbolik di kampus Salemba.
Pada
hari-hari berikutnya, tak henti-hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa
KAMI dengan anggota-anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini adalah buah dari
pengerahan yang diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung
Soekarno, terutama dengan pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan
dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen
Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa juga melakukan penyerbuan ke
Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret, wakil-wakil partai
politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai-partai
tersebut untuk kesekian kalinya
menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti
perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan
tindakan-tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar serta pemuda.
Pada
11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak
pagi-pagi, mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi
pengempesan ban mobil untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan
tekanan yang terjadi akibat demonstrasi besar-besaran mahasiswa ini memperkuat
bargaining position Mayjen Soeharto terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek
kejut yang ditimbulkan oleh kemunculan pasukan tanpa pengenal lengkap –yang
sebenarnya digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris– yang diisukan sebagai pasukan
tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi
psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno
dengan tergesa-gesa meninggalkan istana menggunakan helikopter menuju Istana
Bogor.
Tentang
peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr Soebandrio mempunyai versi
sendiri. Ia menulis “di beberapa buku disebutkan bahwa setelah Presiden
Soekarno membuka sidang, beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen
Saboer, menyodorkan secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar
banyak pasukan tak dikenal. Beberapa saat kemudian presiden keluar meninggalkan
ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul
keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot karena terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu,
mungkin karena kegerahan duduk lama menunggu, tetapi sepatu yang dicopot itu
tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga biasa
melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga presiden meninggalkan
ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru sehingga tidak sempat
lagi memakai sepatu”.
Lebih
jauh, Soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah
dituliskan siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana? “Saya mendapat
informasi, pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya.
Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan
lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik siapa.
Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil
semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk
di sekitar istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang tahu bahwa
saya adalah Soebandrio yang sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda
melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan
segala macam kecaman terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya
selalu menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan”. Soebandrio
mengaku sepedanya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia.
Tetapi ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia
ragu apakah bisa lolos. Maka ia kembali
mengayuh sepeda kembali ke istana dan “hebatnya” dia sampai di istana tanpa
diketahui para demonstran.
“Begitu
tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak tahu apakah sejak
tadi heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik, saya
tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan adalah
bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno didampingi para ajudan
berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya geletakkan dan saya berlari menuju
heli. Mungkin saat itulah, ketika berlari menuju heli tanpa sepatu, saya
dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran-koran: Dr Soebandrio berlari
menyusul Bung Karno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam
heli dan terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor”.
Apapun
yang terjadi dengan Soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu,
malamnya lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat ‘bersama’ tiga jenderal
yang sebenarnya dekat dengan Soeharto, yakni Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen
Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud. Dan atas dasar Surat Perintah itu,
Soeharto kemudian membubarkan PKI pada 12 Maret 1966. Beberapa hari kemudian,
18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk ‘mengamankan’ 15 Menteri Kabinet
Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan ‘apa’pun
yang diinginkannya.
Dengan
Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam fase
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.
(Dari:Rum
Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 – Mitos dan Dilema, Mahasiswa
Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).