Tempo
14 Juli 1979. SEPOTONG papan putih terpasang pagi 5 Juli lalu, di depan gapura
makam Bung Karno di Blitar. Tertulis dengan spidol hitam pengumuman Walikota
Blitar. Isinya: Makam sedang dibersihkan hingga untuk sementara ditutup untuk
umum. Rupanya pengumuman itu dianggap belum cukup, hingga pintu makam juga
diblokir dengan beberapa drum. Beberapa polisi juga tampak menjaga di samping
regu Hansip yang biasanya bertugas. Karuan saja penutupan itu mengecewakan
pengunjung, termasuk suatu rombongan dari Jakarta. “Padahal pagi harinya masih
terbuka,” ujar Yusuf Hasyim, salah satu ketua PB NU pada Dahlan Iskan dari
TEMPO. Yusuf Hasyim datang dalam suatu rombongan 25 orang dari Jakarta yang
diatur oleh biro perjalanan Tambora Pariwisata. Yang turut serta antara lain:
bekas Menlu Prof. Soenario, bekas Jaksa Agung Letjen Sugiharto, Mayjen
Soekendro, Brigjen (Purn.) Tjandra Hassan, bekas Komandan Kohanudnas Marsdya
Soejitno Soekirno, Sekjen PB NU Moenasir, Dr. Wahyu Kusumanegara Sekjen
Organisasi Islam Internasional, Brigjen Pol. Jassin, Ny. Soepeni dan Manai
Sophian. Yang sedianya ikut tapi urung berangkat antara lain bekas Kapolri
Hugeng dan Mayjen Mokoginta. “Wah, kalau begini caranya saya tidak mau
berbicara,” ujar bekas Jaksa Agung Letjen Sugiharto setelah melihat situasi di
depan makam itu. Maksudnya, ia urung mengucapkan ikrar yang telah disetujui
malam sebelumnya. Menurut ketua rombongan Surowo Abdulmanap dari DHD Angkatan
45 DKI Jaya dan juga ketua Himpunan Pengusaha Kecil Indonesia, tujuan rombongan
ini selain untuk berziarah juga untuk memperingati 20 tahun Dekrit 5 Juli 1959
yang diucapkan Bung Karno yang memutuskan kembali berlakunya UUD 1945. Trisakti
Tavip Ikrar ini dirumuskan 4 Juli malam dalam suatu pertemuan di Hotel Pelangi,
Malang, tempat sebagian besar anggota rombongan menginap. Isinya kesepakatan
untuk meneruskan cinta dan cita-cita Bung Karno Berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Semboyan
ini pernah terkenal sebagai Trisakti Tavip yang disarikan dari pidato Bung
Karno pada 17 Agustus 1964. Kemungkinan tidak diizinkannya rombongan memasuki
makam Bung Karno memang telah diperhitungkan dalam pertemuan di Hotel Pelangi
itu. Rencananya, rombongan ini akan menyelenggarakan semacam mimbar bebas,
dengan pembicara antara lain Letjen Sugiharto dan Yusuf Hasyim. Tapi penutupan
makam mendadak dengan alasan “pembersihan” itu agaknya mengurungkan semua acara
yang direncanakan. Usaha menghubungi Walikota Blitar oleh seorang anggota
rombongan gagal karena Walikota “tidak berada di tempat.” Di Jakarta sendiri, 5
Juli berlalu tanpa peringatan resmi apapun juga. Mengapa ada kelompok yang
menganggap perlu memperingatinya secara khusus, di tempat yang khusus juga?
“Ini salah satu bentuk ekspresi dari keresahan,” komentar Dr. Yusuf Ismail,
Direktur Leppenas dan Dubes RI di Jerman Barat. Ia dikabarkan termasuk dalam
rombongan Yusuf Hasyim dkk “tapi sebetulnya saya pergi ke Malang untuk menengok
ibu dan hanya kebetulan menginap di hotel yang sama dengan rombongan itu.”
Menurut pendapatnya, keresahan di kalangan “elite.” ini bertolak dari kurangnya
kebebasan menyampaikan pendapat. “Kurang merasa boleh ikut serta
bertanggungjawab untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya pekan lalu pada
A. Muthalib dari TEMPO. Dan kalangan elite biasanya merasa risih untuk datang
mengadu ke DPR. Bertele-tele 5 Juli pernah dianggap sebagai salah satu peristiwa
sejarah terpenting di Indonesia. Setelah 9 tahun mempraktekkan UUD Sementara
1950, RI memutuskan kembali ke UUD 1945 yang oleh Bung Karno dirumuskan sebagai
“Penemuan Kembali Revolusi Kita.” “Konstituante hasil Pemilu 1955 macet setelah
bersidang hampir 3 tahun antara 1956-1959,” kata Roeslan Abdulgani yang waktu
itu menjabat Sekretaris Dewan Nasional. Sedang di luar tempat sidang
Konstituante di Bandung, terjadi keresahan dan pergolakan, seperti
pemberontakan PRRI/Permesta dan subversi luar negeri, yang cukup menggoncangkan
kelangsungan hidup negara. Tambah lagi, persaingan di antara partai yang
jumlahnya hampir 30 buah sangat besar Sementara keadaan ekonomi menambah
kesulitan dan keresahan masyarakat. Melihat kemacetan itu, kabinet Juanda,
Dewan Nasional dan ABRI berusaha mencari jalan keluar. Ketiganya sepakat untuk
mengadakan intervensi. “Cuma yang dimasalahkan waktu itu adalah caranya. Lewat
pintu depan atau pintu belakang. Akhirnya diputuskan untuk memanfaatkan karisma
Bung Karno mendobrak kemacetan lewat pintu depan,” ujar Roeslan. Pendobrakan
dilakukan 22 April 1959. Bung Karno selaku Presiden dan Ketua Dewan Nasional,
seluruh anggota Kabinet dan pimpinan ABRI, datang ke Bandung. Dihadiri 464 dari
532 anggota Konstituante, Bung Karno mengucapkan pidatonya: Res Publica, Sekali
Lagi Res Publica yang mengajak Konstituante untuk tidak bertele-tele
merencanakan UUD baru dan kembali saja pada UUD 1945. Jalan konstitusionil ini
diambil setelah sebelumnya, pada 19 Februari 1959 Pemerintah resmi mengajukan
permintaan yang sama. Guna meredakan tantangan kelompok Islam, Pemerintah dalam
usul itu meyatakan Piagam Jakarta “menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” Di Konstituante terdapat dua
pendapat. Kelompok Islam yang menuntut masukkannya secara lengkap Piagam
Jakarta dalam UUD 1945 dan bukan sekadar pengakuan akan dokumen historis dan
kelompok lain yang mendukung sepenuhnya usul pemerintah itu. Angkatan Darat,
yang saat itu makin penting peranannya, merupakan pendorong utama di belakang
gerakan ini. Pada gustus 1958 KSAD secara resmi usulkan pada Presiden untuk
kembali ke UUD 1945. Front Pembebasan Sebelumnya kelompok Islam menganggap usul
kembali ke UUD 1945 sebagai usaha “percobaan baru”. UUD 45 dianggap terlalu
sederhana. Tindakan ketatanegaraan yang menurut UUDS 1950 dianggap
penyelewengan dalam UUD 1945 tidak dianggap penyelewengan. “UUDS 1950 lebih
sempurna dan lebih terperinci daripada UUD 1945,” kata SM Abidin dari fraksi
Masyumi dalam salah satu sidang Konstituante. UUDS 1950, kata Abidin, disusun
dalam suasana di mana orang lebih bebas berbuat dan berpikir dan dibuat juga
setelah 5 tahun berpengalaman dalam menjalankan UUD 1945. Hak asasi dan
kebebasan warganegara lebih terjamin dalam UUDS 1950. Ini berarti pengorbanan
yang sangat besar di pihak rakyat dan keleluasaan yang sangat besar di pihak
penguasa. “Nanti rakyat harus memperjuangkan hak-hak itu kembali dari tangan
pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Memperjuangkan hak-hak asasi dari tangan
bangsa sendiri lebih sukar dan lebih berat daripada memperjuangkannya dari
tangan bangsa asing,” kata Abidin. Awal Juli 1959 Konstituante macet total. Dua
kali pemungutan suara tidak ada yang berhasil memperoleh 2/3 suara yang
diperlukan. Karena waktu itu Presiden sedang di luar negeri, KSAD sebagai
penguasa darurat dengan persetujuan Perdana Menteri, menghentikan sementara
kegiatan politik. Sekembali Presiden, Minggu 5 Juli diadakan sidang kabinet di
Bogor, dihadiri KSAD dan Ketua Mahkamah Agung yang merumuskan Dekrit berdasar
hukum darurat negara. Sorenya, pukul 17.00 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit
itu di serambi Istana Merdeka di depan massa rakyat yang dikerahkan Front
Nasional Pembebasan Irian Barat. Betulkah tidak ada yang memperingati 5 Juli
itu? Bekas Ketua Konstituante Wilopo, ternyata mengadakan semacam selamatan
secara kekeluargaan — khusus di kalangan bekas anggota PNI — di rumahnya. “Bung
Karno salah satu guru saya, jadi saya perlu memperingatinya,” katanya. Yang
belum jelas ialah apakah Dekrit 5 Juli juga diperingati dengan mencatat juga
pertentangan di sekitarnya — termasuk suara seperti yang diutarakan Abidin. Sumber, http://peristiwanasional.wordpress.com/