Kenangan Manis, Sebuah Sejarah (KAA 1955)


Tempo 28 April 1979. RUANG pameran Gedung Kebangkitan Nasional di jalan Abdurrachman Saleh, Jakarta, Senin pagi lalu tampak sepi. Hampir tidak ada pengunjung yang menonton Pameran Foto dan Dokumentasi Konperensi Asia-Afrika yang diselenggarakan Panitia Peringatan Tri-Windu Konperensi Asia-Afrika 18-24 April lalu. Kurang dari 200 nama tertulis di buku tamu pameran. Suasana ceramah yang berlangsung di ruang pertemuan tidak jauh berbeda. Hanya 18 orang yang hadir dalam ceramah yang diberikan oleh Ubani, bekas Dubes Indonesia untuk Siria. Walau yang hadir sedikit, penceramah sendiri kelihatan bersungguh-sungguh. Beberapa pemuda yang hadir tampak membawa buku pinjaman dari perpustakaan Idayu yang bertempat di kompleks yang sama. Tertarikkah mereka pada peringatan Konperensi AA? “Iseng saja, mas, habis dari perpustakaan Idayu. Daripada bengong di rumah,” tutur salah satu dari mereka. Suasana pembukaan pekan peringatan yang dilangsungkan di bawah tenda di halaman Gedung Pola 18 April lalu cukup meriah. Sekitar 250 orang termasuk para diplomat Asia-Afrika hadir pada upacara yang dibuka Wapres Adam Malik. Dalam rangkaian pekan peringatan ini, termasuk juga diskusi panel dengan pemrasaran Menpen Ali Moertopo serta suatu pekan film A-A. Peringatan Tri-Windu Konperensi AA tahun ini dilakukan oleh sebuah panitia yang didukung Angkatan 45, Lembaga Penelitian Masalah Hubungan Internasional Universitas 17 Agustus, Yayasan 17-8-1945, Yayasan Idayu, Yayasan Studi Pembangunan dan Pengembangan Nasional serta DPP KNPI. Pada 1971, Dwi-Windu Konperensi AA diperingati pemerintah dengan suatu upacara disertai pidato Presiden di TMII Jakarta. Alasan peringatan, seperti disebutkau dalam salah satu selebaran panitia, karena melihat kecenderungan masyarakat untuk tak acuh terhadap peranan yang telah dimainkan prinsip-prinsip Bandung bagi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Hingga “sepantasnyalah bila kita melihat kembali pada sejarah kita sendiri dan berusaha menghidupkan kembali prinsip-prinsip besar yang telah dicetuskan di Bandung.” Sasaran peringatan ini, menurut Karna Radjasa, salah satu ketua panitia, adalah untuk menarik perhatian masyarakat terutama kaum mudanya, bahwa kalau ada kemauan politik yang cukup besar, bangsa Indonesia mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. “Saya lihat kebanggaan nasional kita mulai pudar hingga kita harus berdaya upaya untuk menggunakan apa yang ada untuk memupuk kebanggaan nasional ini,” kata Karna Radjasa, putera Ali Sastroamidjojo Ketua Konperensi AA. Betulkah Konperensi AA suatu prestasi yang luar biasa yang bisa dibanggakan? Mengapa generasi muda tampaknya kurang memahami atau tertarik pada peristiwa sejarah besar itu? Pertanyaan berikutnya: tidakkah peringatan ini sekedar nostalgia dari generasi yang mengalami peristiwa itu? Atau seperti yang ditanyakan Wapres Adam Malik: “Sebagai lamunan keberhasilan dan kebesaran suatu kejadian 24 tahun yang silam?” Terus terang, setelah Konperensi AA selesai, kita terkejut girang bahwa konperensi ini telah berhasil mendobrak banyak hal. Afrika terbakar oleh semangat Bandung.” kata Roeslan Addulgani yang pada konperensi itu menjabat Sekjen. Proses kemerdekaan negara-negara jajahan Inggeris dan Perancis, terutama di Afrika dipercepat. Jumlah anggota PBB meningkat. Akibatnya di badan dunia ini muncul kekuatan baru kelompok Asia-Afrika dan berakhirnya dominasi kelompok AS di PBB. Suatu solidaritas baru tumbuh: solidaritas Asia-Afrika. Kemudian kelompok ini berkembang lagi menjadi kelompok Dunia Ketiga. Konperensi AA, kata Adam Malik, telah melahirkan kekuatan moral yang luar biasa besarnya bagi kebangkitan bangsa-bangsa di dunia dan suatu momentum sejarah yang sangat penting artinya bagi penentuan nasib bangsabangsa yang masih atau pernah hidup dalam alam penjajahan dan penindasan kaum imperialis dan kolonialis. Pengakuan bahwa Konperensi AA yang menghasilkan Dasaila Bandung ,tampaknya memang lebih terasa di luar negeri terutama di Afrika daripada di Indonesia sendiri. Sepinya perhatian generasi muda pada peringatan tahun ini membuktikan hal ini. “Saya menghadiri ceramah ini karena undangan. Kalau tidak, juga tidak akan datang,” kata Jeffrey Baso, Ketua Ikosis DKI di Gedung Juang 45 Senin lalu waktu menghadiri panel diskusi peringatan Konperensi AA. Konperensi A-A memang dipelajarinya dalam pelajaran sekolah dan itu dia akui “sebagai hasil orang tua.” Kurangnya perhatian dan pengetahuan sebagian besar generasi muda itu diakui juga oleh Ketua Umum KNPI Akbar Tanjung. “Kecuali tidak mengalami atau terlibat langsung, banyak generasi muda merasa kurang melihat relevansi konperensi itu,” katanya. Berdasar kecenderungan tersebut KNPI berusaha membangkitkan semangat kepeloporan bangsa Indonesia dalam Konperensi A-A ini di kalangan generasi muda. KNPI semula merencanakan memperingati konperensi ini dengan ceramah Roeslan Abdulgani, tapi setelah mengetahui sudah adanya panitia lain, mereka menggabungkan diri dengan panitia Karna Radjasa dkk. Lalu seberapa jauh nostalgia berperanan dalam peringatan tahun ini. Karna Radjasa dan juga Roeslan mengakui nostalgia ini memang ada. Tapi berhasilnya Konperensi A-A menurut Roeslan membuktikan bahwa daya kreatifitas bangsa Indonesia ada dan bisa dibuktikan kalau menghadapi tugas besar. Roeslan, yang pada Konperensi A-A berusia 41 tahun dan terpilih sebagai sekjen bercerita tentang salah satu nostalgia pribadinya. “Waktu itu 18 April 1955, hari pertama Konperensi A-A. Pembukaan telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dan siang itu sekitar jam 13.00 saya ditelepon di tempat penginapan saya. Hujan deras disertai guntur yang jatuh siang itu ternyata telah membuat bocor Gedung Merdeka dan air tergenang di ruang konperensi. Untung sidang siang itu sudah selesai tapi akan dilanjutkan sore itu juga. Buru-buru kami semua pergi ke Gedung Merdeka. Tanpa terkecuali kita semua, para pekerja, para mahasiswa Akademi Dinas Luar Negeri yang membantu panitia, Kepala Dinas PU Ja-Bar, ir. Srigati Santoso, Kepala CPM Ja-Bar Kolonel Rusli, Gubernur Ja-Bar Sanusi Hardjadinata dan saya sendiri mencopot baju dan celana dan mengepel serta mengeringkan ruang konperensi. Untung sekitar jam 14.30 hujan berhenti. Begitu sidang dimulai jam 15.30, ruang konperensi bersih dan kering, tak setetespun air bekas bocoran tinggal.” Konperensi A-A memang betul timbul atas prakarsa murni Indonesia. Di Konperensi Kolombo pada April 1954 yang dihadiri 5 PM Asia, Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Birma, Mohammed Ali dari Pakistan, Ali Sastroamidjojo dari Indonesia serta tuan rumah PM Sir John Kotelawala, usul Indonesia untuk menyelenggarakan konperensi antara negara-negara Asia-Afrika disambut dengan dingin. Keempat negara tidak yakin gagasan Indonesia itu bisa terlaksana. Tapi perkembangan situasi dunia terutama ketegangan akibat perang dingin antara blok AS dan blok Uni Soviet yang muncul di Indocina makin “mematangkan” perlunya konperensi semacam itu. Usaha AS di bawah Menlu Dulles untuk membendung pengaruh komunis melahirkan SEATO pada September 1954. Sementara itu, RRC mulai menembaki pulau Quemoy yang diakui sebagai wilayahnya, hingga Armada VII AS digerakkan ke kawasan ini. Gagasan Konperensi A-A ini kemudian makin dimatangkan dengan kunjungan Ali Sastroamidjojo dan Menlu Sunario ke India dan Birma. Konperensi Bogor yang dilangsungkan akhir Desember 1954 dan dihadiri 5 negara sponsor menetapkan jumlah negara yang diundang serta tujuan konperensi. Persiapan dan penyelenggaraan konperensi dipercayakan pada Pemerintah Indonesia. Ali Sastroamidjojo kemudian menetapkan Bandung sebagai tempat konperensi. Dari 25 negara yang diundang (di luar 5 negara sponsor) hanya satu yang menolak hadir Federasi Afrika Tengah yang walaupun sudah merdeka bekas penguasa kolonialnya masih berkuasa. (Di Afrika, waktu itu hanya ada 4 negara yang merdeka penuh). Konperensi A-A adalah konperensi internasional penting pertama yang diselenggarakan Indonesia. Persiapannya amat pendek 3 bulan. Mengetahui kesulitan-kesulitan tehnis yang dihadapi, PM India Nehru lewat utusan khususnya mengusulkan untuk mengatasi kekurangan fasilitas konperensi dengan mengadakan perkemahan besar-besaran di suatu lapangan di Bandung. Partai Kongres India, katanya, sudah berpengalaman dalam hal itu. Usul ini ditolak karena alasan keamanan. Semua fasilitas yang diperlukan akhirnya berhasil diatasi pemerintah. Masalah keamanan memang yang paling rumit. Di Jawa Barat waktu itu DI/TII masih kuat. Dan akibat sabotase, pesawat Kashmir Princess yang antara lain membawa delegasi RRC meledak di atas Kepulauan Natuna. Sekitar 600 orang dari 29 negara mewakili hampir 1,5 milyar manusia yang merupakan 3/5 dari penduduk dunia hadir dalam Konperensi ini. Sekitar 700 wartawan termasuk 300 wartawan Indonesia mengkovernya. Pidato pembukaan oleh Bung Karno memperoleh penghargaan tinggi dari semua delegasi hingga atas prakarsa PM Nehru, konperensi secara aklamasi menyampaikan terima kasih atas pidato pembukaan yang begitu mengesankan. “Kolonialisme belum mati,” kata Bung Karno. Kolonialisme bisa memakai rupa baru, dalam bentuk penguasaan ekonomi, kebudayaan dan politik. Kolonialisme adalah musuh yang lihai yang bisa berubah dalam berbagai bentuk. Bangsa-bangsa Asia-Afrika karenanya harus membentuk suatu front anti kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika. Sudah waktunya bagi bangsa-bangsa A-A untuk memperdengarkan suaranya dalam percaturan politik dunia. Konperensi Bandung hendaknya mencari jalan ke arah perdamaian, tidak saja untuk bangsabangsa A-A, tapi bagi seluruh umat manusia.” Diselingi beberapa pertentangan sengit, terutama menyangkut rumusan kolonialisme, penutupan konperensi dapat dilakukan setelah 2 jam terlambat dengan pernyataan terakhir yang memuat 10 pasal yang kemudian terkenal sebagai Dasasila Bandung. Antara lain: prinsip menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara, tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain dan menyelesaikan segala perselisihan internasional secara damai sesuai dengan Piagam PBB. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini kemudian dikenal sebagai prinsip hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence). Bahwa Semangat Bandung kemudian membakar dan merangsang banyak bangsa-bangsa terjajah terutama di Afrika untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme diakui dunia. Keberhasilan Konperensi A-A telah mengangkat tinggi kedudukan Indonesia di mana pun. Ini kemudian mendorong semangat “anti nekolim” yang kemudian melahirkan berbagai pertemuan yang serba Asia Afrika, seperti Konperensi Mahasiswa A-A, Konperensi Wartawan A-A, Konperensi Pengarang A-A serta Konperensi Islam A-A. Lahirnya pemerintah Orde Baru, situasi dunia yang berubah serta tantangan-tantangan jaman yang berubah pula menyebabkan makin memudarnya Dasasila Bandung serta kenangan pada Konperensi A-A yang diakui telah merubah sejarah. Hingga tema diskusi panel yang dipilih Panitia Tri-Windu Konperensi A-A tahun ini: “Masih Perlukah Dihidupkannya Semangat Bandung” menjadi amat aktuil. Semua pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Senin lalu mengakui masih relevannya Semangat Bandung. “Yang kita perlukan sekarang ialah Semangat Bandung sebagai prinsip Dunia Ketiga atau negara berkembang. Prinsip dan Semangat Bandung tidak akan hilang relevansinya. Kita tetap memerlukannya selama orang di Indonesia ini tidak ganti. Masalahnya, dasar negara kita adalah Pancasila dan itu tercermin pula dalam semangat dan prinsip Bandung,” kata Menteri Penerangan Ali Moertopo dalam diskusi itu. Bekas Menlu pada jaman Konperensi A-A, Sunario (76 tahun) merasa gundah kalau Pemerintah tampaknya “adem ayem” dalam peringatan sekarang. Ia menghimbau pemerintah untuk mengkampanyekan Semangat Bandung ini. Bukan saja karena semangat ini memang masih relc!an, tapi juga karena tantangan-tantangan yang dihadapi justru lebih besar. “Dunia sekarang malah lebih keruh daripada dulu,” tuturnya pada TEMPO. Menurut Roeslan Abdul gani, Dasasila Bandung dapat digunakan sebagai pedoman dan pegangan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional yang non-militer. Dunia mungkin memang lebih keruh. Kolonialisme dalam bentuk penjajahan politik tidak menonjol lagi. Negara-negara baru memasuki tahap pembangunan ekonomi. Perbedaan ideologi tidak lagi menjadi penghalang hubungan antar negara. Kepentingan nasional terutama kepentingan ekonomi makin menonjol dan mengalahkan solidaritas ideologi. Konflik antar negara lebih banyak diakibatkan pertentangan nasional ini. Peta bumi dunia sudah berubah. AS berbaik dengan RRC sedang RRC dan Vietnam yang sama-sama komunis bersengketa. Lalu beberapa negara Afrika saling memusuhi. Solidaritas Asia-Afrika tampaknya tinggal kenangan indah belaka. Dalam situasi demikian bisakah Indonesia kembali “menghidupkan” dan menggalakkan Semangat Bandung? “Adanya bantuan dari negara-negara barat yang cukup besar telah merusak citra Indonesia di negara-negara Asia Afrika dan non-blok,” ujar Dr. Juwono Sudarsono dari Universitas Indonesia. Indonesia dituduh lebih banyak condong ke Barat. Dan mereka tidak bisa disalahkan karena itu memang wujud dari perasaan mereka terhadap situasi pragmatis dari politik luar negeri Indonesia yang lebih mementingkan bantuan ekonomi Barat, tanpa melihat perwujudan idealisme. Indonesia, menurut Juwono, harus bisa meyakinkan negara A-A bahwa perjuangan itu tidak bisa lepas dari mencoba menyusun Tata Ekonomi Internasional Baru. Usaha ini diakuinya susah karena negara-negara itu sudah terlanjur mempunyai pandangan negatif pada Indonesia. Jadi? Menurut dosen UI ini, yang paling penting adalah bagaimana menata kembali sistim perekonomian kita dan jangan terlalu bergantung pada bantuan negara Barat. “Seribu kali kita keluarkan pernyataan bahwa Indonesia tetap non-blok, tidak akan ada gunanya selama kita masih tetap seperti sekarang ini, dan negara-negara non-blok tidak akan berubah pandangannya pada kita.” Kemerdekaan dan kedaulatan telah dicapai sebagian besar bangsa-bangsa Asia-Afrika. Solidaritas yag tumbuh telah pudar antara lain karena tantangan-tantangan baru yang tumbuh. Suatu prinsip bisa lestari relevansinya, tapi mengetrapkannya kembali dalam suatu jaman yang lain tampaknya merupakan soal yang rumit. Apalagi jika hal itu harus disodorkan pada negara lain. Jadi apakah Dasasila Bandung hanya akan merupakan dokumen sejarah saja yang sesekali akan disinggung? Ataukah prinsip-prinsipnya telah diterima sebagai kebenaran umum tanpa perlu menyebutkan sumber aslinya? Sebab tidakkah Deklarasi Shanghai misalnya, yang membuka kembali hubungan AS-RRC, samasekali tidak menyebut Bandung sekalipun prinsip koeksistensi damai menjadi dasar utama? Yang jelas saat ini tampaknya keberhasilan Konperensi A-A- atau Dasasila Bandung tidak bergema di antara generasi muda Indonesia. Mungkin bisa didalihkan, prestasi bersejarah Konperensi A-A- kurang dikenal generasi muda karena itu dianggap “hasil karya Orla.” Kalaupun emosi telah mendingin dan akal sehat kembali, yang bisa dicapai paI ing-paling suatu pengakuan rasionil pada suatu prestasi besar yang pernah menjadi sumber ilham banyak negara. Jadi apakah Konperensi A-A itu perlu diperingati? “Tiap peringatan ada perlunya, terutama untuk mengingatkan kembali adanya sumbangan Indonesia bersama negara-negara A-A pada pemikiran yang mendobrak situasi internasional 24 tahun lalu,” kata Roeslan Abdulgani. Menurut Roeslan di banyak negara A-A, konperensi Bandung masih dikenang. Ini dibuktikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya antara lain oleh Organisasi Kesetiakawanan Asia-Afrika (OSRAA) tentang kemungkinan peringatan 25 tahun Konperensi A.A. Pemerintah Indonesia sendiri kabarnya merencanakan suatu peringatan Seperempat Abad Konperensi A-A tahun depan. Mungkin bukan untuk sekedar nostalgia, tapi kiranya akan bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesungguhnya.

28 April 1979
Gedungnya Laris Tapi Turis Kecewa

BEBERAPA foto, peta dunia dari kayu dan dinding bertuliskan Dasasila Bandung mengisi ruangan berukuran 22 kali 8 meter itu: Ruang Asia-Afrika. Hampir tidak ada bukti lain bahwa gedung Merdeka di Bandung ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya Konperensi Asia-Afrika yang termashur itu. Bisa dimengerti bila banyak turis asing yang khusus datang ke Bandung untuk melihat gedung bersejarah ini kecewa. Jelas terlihat kurangnya perhatian untuk memelihara keaslian gedung bersejarah ini. Kursi yang dulu pernah dipakai dalam konperensi kini tinggal tersisa 400 buah, itupun joknya sudah diganti dengan karet busa. Lalu masih ada 30 meja serta sejumlah tiang bendera kecil. Yang lainnya? “Wah, itu tidak diketahui,” kata R. Aksan Oleredja, pengelola Gedung Merdeka pada TEMPO. Gedung yang dibeli pemerintah pada 1955 ini sekarang statusnya di bawah Sekretariat Negara, tapi pengelolaan dan penggunaannya oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Sekneg sendiri tidak menyediakan dana untuk perawatan gedung ini sedang biaya pemeliharaannya memerlukan sekitar Rp 20 juta setahun. Rekening listrik dan air saja per bulan berjumlah Rp 230 ribu. Lalu dari mana biaya pemeliharaan didapat? “Daripada jadi rusak, gedung ini terpaksa dikomersilkan,” ujar Aksan. Maksudnya disewakan pada umum. Begitulah, berbagai pihak kemudian memanfaatkan gedung ini: instansi pemerintah, swasta sampai untuk tempat resepsi perkawinan warga non pribumi. Yang terakhir ini kemudian mengundang reaksi masyarakat menentangnya, hingga sejak 2 tahun lalu gedung ini tidak lagi dipakai untuk tempat resepsi perkawinan itu. Gedung Merdeka ini cukup laris karena taripnya memang miring. Aula Hotel Homan misalnya memasang tarip Rp 150 ribu sedang Gedung Merdeka hanya sepertiganya. Sesudah Kenop 15 tarip ini memang naik, tapi masih di bawah Rp 100 ribu hingga gedung ini paling populer di sewa berbagai panitia pencari dana. Dibangun pada 1879 oleh 2 arsitek Belanda Van Galenlast dan Wolf Schoemaker, gedung ini didirikan oleh Societeit Concordia, perkumpulan opsir Belanda untuk tempat hiburan mereka. Dan di zaman itu, ketika Bandung dikenal sebagai Parijs van Java, gedung tersebut pernah merupakan bangunan paling ternama di kawasan Priangan, ramai dikunjungi para pemilik perkebunan teh, kina dan karet. Lantai dansa dan ruangan umum terbuat dari marmer Italia, sedang lantai ruangan minum dan duduk memakai eikenhout, kwalitas kayu yang melebihi jati. Lampu-lampu hias kristal menerangi ruangan tempat berkumpulnya cabang atas Belanda waktu itu. Kini, lampu kristal sudah berganti dengan lampu neon, sedang eikenhout telah diganti tegel buatan Cimindi. Tentara penduduk Jepang tetap menggunakan gedung ini sebagai tempat pertemuan dengan nama Dai Toa Kaikan. Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemuda kita menggunakannya sebagai markas perjuangan, dan pemerintah Kotapraja Bandung kemudian sempat memanfaatkan sebagian gedung ini. Beberapa pertemuan, misalnya Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia 1952 diselenggarakan di sini. Societeit Concordia semula menolak waktu pemerintah ingin membeli gedung ini untuk tempat penyelenggaraan Konperensi Asia-Afrika. Tapi setelah mereka dihadapkan dengan kemungkinan pengambilalihan demi kepentingan negara, mereka setuju. Dalam waktu 3 bulan, Dinas Pekerjaan Umum Jawa Barat di bawah Srigati Santoso merubah ruangan-ruangan gedung ini supaya sesuai dengan keperluan konperensi. Dinas Pos dan Telekomunikasi melengkpinya dengan cabang kantor pos dan hubungan telepon langsung ke kota-kota penting Eropa dan Amerika serta memasang sistim pengeras suara. Presiden Soekarno kemudian memutuskan nama Gedung Merdeka mengganti Concordia serta Jalan Raya Timur — di mana gedung itu terletak menjadi Jalan Asia-Afrika. Untuk melengkapinya, gedung Dana Pensiun milik Departemen Keuangan dipakai juga untuk keperluan konperensi dengan nama baru Gedung Dwiwarna. Sekitar 10 hari menjelang Konperensi, Roeslan Abdulgani yang menjabat Ketua Sekretariat Bersama negara sponsor konperensi mendadak melapor pada PM Ali Sastroamidjojo ada persoalan yang hanya bisa diatasi oleh PM. Ternyata setelah meninjau persiapan konperensi pada 7 April 1955, Presiden Soekarno tidak setuju dengan bentuk tempat duduk para delegasi di ruangan utama dan minta supaya dibongkar dan dirubah. Kabarnya karena arsitek Silaban yang mendampingi kunjungan Presiden menganggap bentuk itu salah. Terpaksa PM Ali menghadap Presiden dan menjelaskan hal itu tidak mungkin terlaksana karena waktu yang mendesak. Bung Karno bisa mengerti tapi minta agar proyek restoran Asia-Afrika yang telah dimulai Silaban hendaknya diteruskan. Ali Sastroamidjojo berkeberatan karena tiadanya dana serta terbatasnya waktu. Semua perubahan yang diusulkan Bung Karno akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Seusai Pemilu, pada Desember 1955 Gedung Merdeka menjadi Gedung Konstituante. Setelah Konstituante gagal menyusun UUD dan kemudian dibubarkan Presiden, bangunan ini sempat dijadikan gedung Dewan Perancang Nasional sebelum akhirnya menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sampai MPRS menempati gedung baru di Jakarta. Setelah peristiwa Gestapu/PKI Gedung Merdeka berada dalam penguasaan militer dan ruangan belakang dan bawah sampai 1978 dipakai sebagai tempat tahanan Gestapu/PKI. Kini ruang belakang ini direncanakan akan dijadikan ruang perpustakaan oleh Kanwil P&K Jawa Barat. Departemen P&K pernah minta agar gedung ini dijadikan Gedung Budaya sedang Departemen Luar Negeri minta menjadikannya Museum. Pemerintah kabarnya telah memutuskan untuk memugar gedung ini dan menjadikan sebagian darinya museum. Tahun depan, dalam rangka peringatan Seperempat Abad Konperensi Asia Afrika, Gedung Merdeka akan dipergunakan untuk Konperensi Asian-African Legal Council. Rupanya, kesadaran untuk mengabadikan konperensi bersejarah ini akan terlaksana juga.