Tempo
09 April 1977. DI hari Dr. Johannes Leimena dikuburkan di Taman Pahlawan
Kalibata-Rabu, 30 Maret – Dr. Subandrio turun ke Jakarta. Keperluan: menyumban
darah untuk rekan setahanannya yan akan mengalami operasi.
Salah
seoran yang kebetulan bertemu, bergurau dan bertanya kepada bekas Menlu yang
rambutnya masih hitam ini: “Bapak enggak ngelayat Pak Leimena? Kan sama-sam
Orla”. Subandrio (pernah dia berkata “Saya kepengin naik haji. Dulu itu, cuma
ikut-ikutan”), menjawab cepat: Bagaimana sama-sama Orla. Dia di luar saya di
dalam”. Selasa pagi tanggal 29 Maret lalu Oom Jo, demikian panggilan akrab
untuk Leimena, meninggal dunia. Sejak akhir tahun lalu, Oom Jo menderita
berbagai penyakit. Tapi, dugaan, yang membuatnya fatal adalah pecahnya urat
nadi utama di perut (aneurisma aorta). Lahir di Amboina tanggal 6 Maret 1905,
Oom Jo adalah dokter lulusan Stovia — tahun 1930. Setelah menjadi pimpinan
rumahsakit-rumahsakit Bandung, Purwakarta dan Tangerang Oom Jo berhasil
mempertahankan disertasinya (tentang pelayanan medis di pedesaan dengan turut
sertanya pada bidang dan dukun beranak) di tahun 1939 untuk gelar doktor.
Setelah 1940 Oom Jo banyak berkecimpung dalam dunia pergerakan dalam politik.
Jadi ketua umum Jong Ambon (1943), salah seorang pendiri Parkindo dan turut
dalam Komite Nasional Indonesia (1946). Ketika RI mengadakan perundingan dengan
Belanda, Oom Jo ditunjuk sebagai ketua Panitia Militer. Anggotanya waktu itu
Suryadan (almarhum), Subyakto (kolonel dan sekarang laksamana laut), Daan Yah
(kemudian hari gubernur militer Jakarta Raya), dan sekretaris M.T. Haron
(letnan jenderal yang dibunuh G-30-S, 1965) serta T.B. Simatupang. Karir
Johannes Leimena sejak 1950: 6 kali jadi wakil perdana menteri, 11 kali jadi
menteri (10 kali jadi menteri kesehatan), anggota DPR hasil Pemilu 1955, wakil ketua
III Dewan Konstituante dan yang terakhir penjabat ketua Dewan Pertimbangan
Agung (1966-1968). Menikah dengan wanita Jawa Barat, ayah 8 orang anak ini
terkenal sabar, sederhana dan selalu tekun melaksanakan tugas yang dibebankan.
Orang yang beriman ini rasanya tidak pernah marah. Rekan-rekannya banyak yang
berpendapat bahwa kalau Oom Jo memimpin rapat, biasanya rapat tidak cepat
berakhir karena dia memberi kesempatan kepada setiap yang hadir untuk bicara
apa saja. Membiarkan dan menghormati pendirian orang, Oom Jo ada kalanya dicap
sebagai tokoh yang tidak punya pendirian. Sering, kalau keadaan sudah kalut,
dengan tenangnya Oom Jo mengacungkan tangan dan berkata: “Rustig, tustig!” Itu
saja. TB Simatupang menilai sikap tenang Oom Jo ini banyak gunanya. Tulis Pak
Sim dalam Sinar Hatapan: “Tanpa seorang ketua yang bersikap lebih rustig, maka
besar kemungkinan pertemuan-pertemuan dengan pihak Belanda (waktu itu) dapat
menjadi terlalu hangat”. Juga pada saat-saat kritis di sekitar tanggal 1
Oktober 1965. Sejarah mungkin akan jadi lain kalau Oom Jo waktu itu, di Halim
Perdanakusuma, tidak behasil mendorong Bung Karno masuk mobil untuk pulang saja
ke Bogor daripada terbang ke Yogya. Oom Jo turut hadir dalam rapat kabinet
Dwikora tanggal 6 Oktober yang dihadiri oleh tokoh PKI Lukman dan Nyoto, di
Bogor. Almarhum jugalah yang menyertai Sri Sultan Hamengkubuwono tanggal 12
Maret 1966 ke Bogor, dan meyakinkan Bung Karno bahwa keselamatannya akan tetap
dijamin kalau Bung Karno kembali ke Jakata. Jasadnya dari RS Gatotsubroto
dibaringkan di rumah kediamannya di Menteng. Disembahyangkan di gereja Paulus
dan dihantar oleh berbagai lapisan masyarakat ke Kalibata.