Tempo
16 Agustus 1975. Saudara Waidan B. Palenewen di zaman pendudukan Jeang adalah
kepala Bagian Radio Kantor Berita Domei di Jakarta.
Ia
bersama-sama marconis F. Wua adalah orang yang menyelenggarakan penyiaran teks
Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 pagi Teks itu diterimanya dari seorang
vartawan yang bernama Syachruddin – sekarang almarhum. Berikutt ini adalah
kisah penyiaran teks Proklamasi itu, yang kami petik dari karangan lebih
panjang yang ditulis saudara Waidan B. Palenewen khusus untuk TEMPO: TIGA PULUH
tahun lamanya saya membungkem, mengira bahwa sumbangan saya terhadap Nusa dan
Bangsa Indonesia itu soal biasa saja selaku kewajiban manusia Indonesia
terhadap bangsanya. Tetapi lama kelamaan terfikirkan oleh saya akan kemurnian
sejarah yang harus kita wariskan kepada generasi muda, yang akan menjadi
jembatan pula antar generasi mendatang. Lahirlah ketetapan hati nurani saya
untuk membeberkan peranan saya pada detik-detik Proklamasi itu. Saya katakan di
atas tadi kemurnian sejarah karena ternyata ada oknum-oknum tertentu yang ingin
mengaburkan sejarah tersebut untuk kepentingan pribadi. Sekali lagi saya
tekankan, bahwa saya menulis karangan ini bukan untuk mencari keuntungan
pribadi akan tetapi semata-mata untuk pemurnian sejarah. Syukur dan terima
kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. kami sampai pada saat menulis ini masih
dilindungi olehNya. Demikian juga halnya dengan marconis F. Wua yang puluhan
tahun terpisah dari saya masih dilindungi olehNya sehingga bertemu dengan saya
kira-kira tiga minggu yang lalu. Kami berdua mengucapkan syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa karena kami berdua dapat menyelenggarakan dan
melaksanakan penyiaran “Proklamasi” itu tiga puluh tahun yang lalu, yang sangat
penting, karena detik-detik Proklamasi itu, adalah awal dari pada kemerdekaan bangsa
Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945 jatuhlah bom atom di Hiroshima yang
mengakibatkan jatuhnya korban puluhan ribu manusia. Pada keesokan harinya
tanggal 10 Agustus 1945 datanglah dua orang pembesar Jepang bersama-sama dengan
saudara Mochtar Lubis di ruangan kerja saya, minta empat marconis untuk
ditempatkan di Jl. Kebonsirih, yang akan ditugaskan beberapa hari, dengan
ketentuan tidak diperbolehkan pulang ke rumahnya selama bertugas.
Marconis-marconis yang saya tunjuk adalah: saudara-saudara Samola,
Tunyluhulima, Sayadi dan Limahelu. Pada tanggal 15 Agustus 1945 mereka
dibebaskan dari tugasnya dan melapor pada saya. Betul saja apa yang saya sudah
duga semula. Mereka ditugaskan untuk menerima berita-berita rahasia melalui
saluran lain dari pada saluran brita-berita Domei. Pada hari itu juga kami
mengetahui, bahwa Kaisar Hirohito telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945 saya tiba di kantor seperti biasa dan
suasana di kantor pun seperti biasa. Sdr. Rinto Alwi, kepala desa penyiaran
berita melalui bagian radio/ morsecast seperti biasa mengirimkan
berita-beritanya kepada saya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 datanglah seorang
wartawan bernama Syachruddin (almarhum) ke ruangan kerja saya dengan secarik
kertas di tangan. Ia berkata: “Bung siarkan ini”. Perkataan pertama yang saya
baca adalah “Proklamasi” . Dengan tidak berkata sesuatu lagi saya meninggalkan
wartawan Syachruddin menuju ke ruangan pemancar lalu menyetop berita yang
sedang disiarkan dan perintahkan F. Wua untuk mendahulukan berita “Proklamasi”
yang sangat penting itu dan menyiarkannya tiga kali berturut-turut. Dalam waktu
kurang lebih dua menit F. Wua telah menyelesaikan tugasnya. Setelah
mengulanginya dan hendak menyiarkannya untuk ketiga kali, masuklah di ruangan
kami tiga orang Jepang. Dua di antaranya saya cegah di pintu akan tetapi
seorang Jepang lainnya sudah berada di ruangan dan menyentuh tangan F. Wua
tetapi dengan nada keras saya katakan kepada F. Wua, “Siarkan terus”. Mendengar
perintah saya yang agak keras itu mereka perlahan-lahan sambil marah dan
menggerutu dalam bahasa Jepang meninggalkan ruangan. Saya mengikuti mereka
sampai di pintu ruangan depan, menutup pintu lalu kembali menemui F. Wua yang
sementara itu telah selesai dengan tugasnya. Saya katakan kepada F. Wua, bahwa
berita Proklamasi yang keramat itu agar diulangi setiap setengah jam sampai
penutupan penyiaran, jam enambelas sore. Setelah itu saya bersiap-siap dan
berjagajaga menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi karena bagaimana
pun juga saya bertanggungjawab atas segala berita-berita yang disiarkan melalui
bagian radio (morse-cast). Sekiranya pada waktu itu wartawan Syachruddin dengan
saya berdialoog dan membaca dahulu isi berita Proklamasi itu, akan gagallah
penyiarannya oleh kedatangan tiga orang Jepang tadi. Kira-kira satu jam
kemudian saudara Pandu Kartawiguna (almarhum) naik ke tingkat atas dan
menanyakan pada saya: “Bagaimana Bung?”. Saya jawab, “sudah beres Bung”, lalu
ia turun ke bawah. Penyiaran berita-berita melalui bagian radio dimulai jam
sembilan pagi sampai jam enambelas tiap hari. F. Wua sedang menyiarkan berita
pertama yang saya hentikan untuk mendahulukan penyiaran Proklamasi itu. Dengan
demikian, maka penyiarannya adalah kira-kira pada jam sembilan lewat duapuluh
menit pagi. Kalau Gadis Rasyid, wartawan di Semarang, pada waktu itu menerima
telepon dari Kantor Cabang Domei Semarang pada jam sepuluh pagi bahwa bangsa
Indonesia sudah merdeka, maka ini adalah logikanya dengan jam yang saya
sebutkan di atas tadi. Pada keesokan harinya, Sabtu tanggal 18 Agustus 1945,
saya tiba di kantor seperti biasa pada jam sembilan pagi. Kira-kira jam sepuluh
pagi tanggal 18 Agustus 1945 Bung Adam Malik (sekarang Menteri Luar Negeri)
mendatangi saya dan sebelum beliau berkata sesuatu saya ceritakan padanya bahwa
Proklamasi telah disiarkan kemarin dan saya usulkan untuk memproklamirkan
“Kantor Berita Indonesia”, karena berita-berita yang kita akan siarkan tidak
bersumber lagi pada Domei Beliau terdiam sebentar, lalu berkata”besok Saja Bung”.
Saya katakan, “kalau begitu saya kirimkan nota sekarang supaya mereka stand by
besok jam dua belas, karena besok hari Minggu”. “Ya” kata Adam Malik lalu
pergi. Pada tanggal 19 Agustus 1945 jam sebelas tiga puluh menit saya tiba di
kantor bersiap-siap menunggu, tetapi sampai pada jam tiga-belas beliau tidak
kunjung datang sehingga saya tutup pemancar lalu pulang. Esoknya tanggal 20
Agustus 1945 saya tiba di kantor jam sembilan pagi tetapi apa mau dikata:
pemancar sudah disegel Kenpeitai (Polisi rahasia Jepang), sehingga kami lak
dapat lagi menyiarkan sesuatu berita. Kira-kira pada jam sepuluh pagi Adam
Malik datang di ruangan kerja saya dan bertanya, “bagaimana Bung?”. Saya
menjawab, “pemancar sudah disegel dan kita tidak dapat menyiarkan berita lagi. Kemarin
saya menunggu tetapi Bung tidak datang”. “Tetapi kita harus berbuat sesuatu”,
katanya. Saya berkata, “Bung, katakan saja apa yang kita harus buat”. Dialoog
kami ini didengar oleh saudara Sukarman (sekarang kepala telekomunikasi Kantor
Berita Antara), Sutamtoro (almarhum), Susilardjo dan lain-lain. Tanpa diminta
saya keluarkan kunci gudang alat-alat radio dari kantong saya dan mengatakan
kepada saudara Sukarman dan saudara Sutamtoro, “ambil alat-alat untuk dirikan
satu pemancar”. Sebagian alat-alat pemancar itu dibawa ke rumah saya
Oude-Tamarinda-laan No. 178 (Kyai Haji Wahid Hasyim) lian sebagian lagi ke
Menteng 31 (gedung Juang ’4$). Yang menghambat sedikit pembangunan pemancar itu
adalah antenne yang tidak boleh kelihatan oleh Jepang dari luar. Tetapi berkat
semangat yang meluap-luap dari saudara Sukarman, saudara Sutamtoro, saudara
Susilardjo, saudara Suhandar (almarhum) dan lain-lain, dalam waktu seminggu
kami mencoba pemancar itu dan memintakan laporan di mana saja pemancar itu
dapat didengar. Saya beri nama pemancar itu DJK I (Djakarta 1) dengan maksud
kalau perlu menyusul DJK II. Pada keesokan harinya kami mendapat laporan dari
Surabaya, bahwa pemancar DJK I dapat diterima lebih baik daripada pemancar yang
disegel Jepang. Dengan demikian berita-berita disiarkan melalui pemancar
tersebut. Tetapi hanya beberapa hari kemudian Menteng 31 diserbu oleh Jepang
sehingga semuanya hancur. Setelah itu kami terpencar tidak tahu menahu lagi
satu dengan yang lain.