Tempo
08 November 1975. 10 NOPEMBER 45 adalah peristiwa besar yang membutuhkan
reportase besar pula seandainya waktu itu keadaan pers kita telah memadai.
Sayang,
reportase lengkap tentang itu tak pernah ada. Maklumlah, siapa yang sempat
dalam keadaan demikian? Bersyukur kita bahwa ada potret-potret, kini tersimpan
di Ipphos meski tak lengkap, dari rentetan pertempuran heroik itu. Tapi para
wartawan tak sepenuhnya lalai. Ke Surabaya misalnya waktu itu datang Rosihan
Anwar, masih 23 tahun, bersarna Muhammad Supardi keduanya reporter Merdeka.
Reportasenya kemudian dijadikannya bahan dalam bukunya yang kecil tapi penting,
kisah-kisah Zaman Revolusi terbit tahun lalu oleh Pustaka Jaya. Tapi toh
Rosihan sendiri mengakui kekurangan dalam reportasenya itu. Penyair Chairil
pernah berkata kepadanya: “Aku sudah baca tulisanmu. Semangatnya boleh, tetapi
ada kekurangannya. Kau menunjukkan di situ kau tak kenal kota Surabaya”.
Menurut Rosihan pengamatan Chairil tepat sekali. “Memang saya barulah pertama
kali dalam hidup mengunjungi Surabaya, sehingga tidak menguasai geografi kota
tersebut. Saya tidak tahu di daerah mana saya sedang berada pada suatu ketika,
dan hal ini tercermin dalam tulisan saya di Merdeka yang sedikit sekali
menampilkan “warna setempat” Bagi Budiman S. Hartoyo, yang menuliskan laporan
utama ini, persoalannya lebih sulit lagi. Ia, termasuk generasi “penerus”,
tentu saja tak berada ditempat dan di saat pertempuran berlangs-ung. Tapi
dibantu oleh Klarawijaya di Jakarta dan Anshory Thoyib di Surabaya, ia mencoba
menceritakan kembali suasana umum hari-hari yang penuh pengorbanan dan
keberanian itu. Selain mewawancarai tokoh-tokoh 10 Nopember yang terkenal,
seperti Bung Tomo dan Dr. Mustopo, ia juga berkonsultasi dengan Brigjen. Drs.
Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI, seperti ketika menyusun laporan
untuk nomor Proklamasi tempo hari. Adapun Klarawijaya berhasil ‘menemukan’
Kusno Wibowo, penyobek si tiga warna di hotel Yamato, yang selama ini
‘bersembunyi’. Ia juga mewawancarai May jen Sungkono serta Ir. H. Roeslan
Abdulgani yang menyumbangkan tulisan tentang satu hal dari 10 Nopember yang tak
banyak disoroti, yakni segi diplomasi. Kami tak berpretensi laporan utama ini
lengkap merekonstruksi 10 Nopember 1945. Kami cuma menyusun fragmen-fragmen
yang ada seolah-olah ingin menirukan mereka yang mengalami sendiri, atau begitu
intim riwayatnya dengan adegan besar dalam sejarah perrjalanan.
Tempo
08 November 1975
Padamu
pahlawan tak seorang berniat pulang, tidur
HAWA
sangat dingin menyusup tulang. Diselubungi gelap gulita, saya dudu dalam sebuah
kereta api amunisi yang menembus malam menuju ke Wonokromo…. ajar mulai
menyingsing.
Sepur
terus menderu dalam gerimis. Muka prajurit-prajurit duduk di dekat saya yang
menjadi pengantar dinamit untuk pahlawan-pahlawan Surabaya pucat lesi
kelihatannya. Barangkali kurang tidur… Malam hari di dekat garis pertempuran.
Mortir dari laut bergegar di atas kepala.. Langit merah warnanya. Bulan purnama
raya, tulis reporter Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka, 1945. Dan subuh pagi
itu, Sabtu 10 Nopember 1945, Surabaya hanya tampaknya saja masih lelap. Namun
ketegangan sudah mencekam beberapa hari sebelumnya. Meja, kursi, lemari, ambin,
bangku panjang, batang-batang pohon, apa saja — melintang di jalanan. Di setiap
sudut kota berpasan-pasang mata siap dengan keris, senapan, bambu runcing,
geranat, golok, pistol, pedang, karabin, tombak, sumpitan, panah berbisa. Juga
beberapa tank dan meriam rampasan. Di setiap pintu orang menyediakan nasi
bungkus, pisang goreng, ubi rebus, teh, kopi. Tak seorang berniat tidur.
Beberapa menit kemudian, tepat jam 6, gemuruh kapal terbang mulai terdengar
dari arah utara. Sengaja terbang rendah menjatuhkan puluhan bom, disertai
dentuman meriam dari kapal-kapal besar di Tanjung Perak. Surabaya dibom oleh
Inggeris selama tiga hari tia malam terus-menerus. Ratusan demi ratusan jatuh.
Jalan-jalan
bermandi darah. Perempuan dan anak-anak mati tereletak di selokan-selokan.
Kampung-kampung menjadi lautan api dan rakyat berlarian kebigungan sawah-sawah
untuk menyelamatkan diri. Tapi rakyat Indonesa tidak menyerah, tulis Ktut
Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai. Sementara itu suara Bung Tomo yang nyaring
tinggi berkumandang terus lewat Radio Pemberontakan: “Ayo, maju terus! Allahu
Akbar! Selama banteng-banteng Indonesia masih berdarah merah yang dapat
membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selam itu tidak akan suka
kita membawa bendera putih untuk menyerah kepada siapa pun juga. Allahu Akbar!
Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Dan sesungguhnya, ini bukanlah revolusi arek-arek
Suroboyo saja. Sebab yang bererak adalah semua suku bangsa Indonesia di kota
itu. “Ketika itu Surabaya adalah Indonesia. Nasib Republik ditentukan di
Surabaya”, kata Bung Tomo minggu lalu di rumahnya jalan Besuki Jakarta. Dalam
usia setengah abad, nada suaranya masih keras tinggi seperti dulu. Matanya pun
masih suka melotot bundar bersemangat. Cuma tentu saja tidak lagi gondrong.
Kumis tipis dan ketawanya yang mengikik yang masih tersisa (juga masih pendek
tapi sudah gemukan). “Selamat Berjuang” Hari itu, di Yogya sedang berlangsung
Kongres Pemuda I yang diselenggarakan oleh kelompok Amir Syarifuddin, Wikana
dan Adam Malik (yang dihadiri pula oleh pimpinan tertinggi RI) yang kemudian
melahirkan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
PukuI
11 pagi diterima tilpon interlokal dari Surabaya. Berita yang dibawanya
menggemparkan. Tentara Ingeris pagi itu sudah mulai menembaki tempat-tempat
pertahanan pemuda Surabaya dari jurusan laut dan udara…. Sumarsono, seorang
pemimpin pemuda dari Jawa Timur, berlari depan mimbar dan mengmumkan hari itu
juga, bahwa pemuda-pemuda pejuang dan Jawa Timur harus segera kembali ke front
Surabaya. Maka berdirilah pemuda-pemuda tersebut dari tempat duduk mereka, dan
secara demonstratif berbaris ke luar. Di antara mereka tampak Boes Effendi yang
pakai sepatu kaplaars…. Saya duduk diatas pangung Societeit Mataram dekat pintu
keluar yang dilalui oleh Boes Effendi dan kawan-kawannya dari Jawa Timur.
“Selamat berjuang”, saya ucapkan kepada Boes. Suasana haru meliputi ruangan
tempat Kongres Pemuda bersidang. Mereka semua akan menuju ke front pertempuran
menghadapi muntahan bom dan peluru tentara Sekutu tulis Rosihan. Benar. Yang
mereka hadapi adalah Brigade 49 pimpinan Brigjen Mallaby (berkekuatan 6.000
orang) dan Divisi India ke-5 pimpinan Mayjen Manserh (berkekuatan 24.000 orang)
lengkap dengan kekuatan altileri berat, kapal perang cruiser Sussex, 4 kapal
perusak dan 12 kapal terbang Mosquito’s. Tapi berkat suara Radio Pemberontakan
(yang disiarkan pula oleh pemancar Sala pimpinan Maladi dan kemudian oleh
studio-studio seluruh Indonesia), berbondong-bondong pemuda pejuang dari
seluruh Jawa mengalir ke Surabaya.
Kalau
saja ketika itu alat transport cukup baik, pasti menggelombang pula
bala-bantuan dari luar Jawa. Di Surabaya lonceng tanda bahaya sudah dipukul
orang. Maka bagai disiram minyak tanah, api pertempuran pun menjilat-jilat,
berkobar di mana-mana. Inggeris tak begitu banyak maju. Front sebelah timur
Kali Mas sulit ditembus. Sampai 21 Nopember puluhan gedung penting – rata
dengan tanah. Beberapa kapal terbang musuh jatuh terbakar. Tak sedikit anak-anak
belasan tahun menggendong bom menabrakkan diri pada truk penuh berisi pasukan
Inggeris. Atau meloncat naik ke atas tank dan meledakkannya. Musuh mundur ke
Morokrembangan dan Tanjung Perak, menunggu bantuan. Tapi di Jakarta, tak kurang
dari 400 serdadu India dan Pakistan beragama Islam mengucap dua kalimah
syahadat dan membangkang diberangkatkan ke Surabaya. Akhirnya mereka diasingkan
ke pulau Onrust. Para pejuang sudah nyaris menguasai seluruh kota. Tapi tanggal
22 Nopember Inggeris mulai melancarkan serangan balasan, setelah bala bantuan
berupa 8 kapal terbang Thunderbolts, 4 Mosquito’s dan 21 tank Sherman
didaratkan di Surabaya. Dan sehari kemudian beberapa kota yang diduga menjadi
sumber bantuan tenaga bagi Surabaya dibombardir.
Setapak
demi setapak para pejuang mulai mengundurkan diri ke luar kota. Itupun tak
berarti melepaskan Surabaya begitu saja. “Setiap hari kami masih mengganggu
mereka. Kita yakin, sekali waktu kota itu pasti bisa kita rebut kembali”, kata
Bung Tomo. Semula Inggeris memang mengira akan berhasil menaklukkan sebuah kota
macam Surabaya dalam tiga kali 24 jam saja. Ternyata mereka harus bertempur
selama 21 hari. Itupun dengan susah payah. Dan dengan korban tak sedikit.
“Padahal persenjataan kita tidak seimbang. Barisan kita pun tak terorganisir,
tidak terlatih sama sekali. Sedang pasukan musuh memiliki persenjataan lengkap
dan kuat, berpengalaman dalam Perang Dunia II”, tambahnya. Maka gerilya pun
jalan terus: Tapi sementara itu Sekutu (yang diboncengi oleh Nica) mulai
merembes ke seluruh tanah air. “Sampai akhirnya perundingan Linggarjati
menelorkan gencatan senjata”, ujar Bung Tomo lagi. “Itulah sebabnya saya
menentang Linggarjati….” ………………. Wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi
padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu Dia masih
sangat muda * Hari itu 10 Nopember, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin
kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga Tapi yang nampak,
wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya ………………. (Pahlawan Tak Dikenal/Toto
Sudarto Bachtiar).
Tempo
08 November 1975
“inggris,
jangan mendarat!”
RAKYAT
Surabaya, dipelopori oleh Badan Keamanan Rakyat, pimpinan Dr. Mustopo bekas
Daidanco Gresik, berhasil melucuti Jepang. Gedung-gedung dan mobil-mobil ditulisi
“Milik RI”.
“Senjata-senjata Pun kita bagikan begitu saja.
Anak belasan tahun membawa senjata. Panser dan tank-tank pun menderu-deru
keluar masuk kampung dikendarai oleh supir-supir mobil atau truk”, tutur Prof.
Dr. Mustopo mingu lalu di rumahnya jalan Juanda Bandung. Dan sesungguhnya
Surabaya mulai demam sejak insiden bendera di hotel Yamato lihat: Bendera Itu
Tak Boleh Di sana lagi). Apalagi setelah Bung Tomo membentuk Barisan
Pemberontakan Rakyat (BPRI) pada tangal 12 Oktober, dan sehari kemudian
mendirikan Radio Pemberontakan. Berkumandang dari jalan Mawar sesudah mahrib
dalam berbagai bahasa (juga bahasa-bahasa daerah) radio itu hanya bermodalkan
alat-alat sederhana milik teknisi Hasan Basri ditambah sedikit peralatan Domei
dan “hasil curian” Arie Rahman. Berkat radio itulah pasukan-pasukan yang semula
sama sekali tak terkoordinir merasa punya ikatan.
BKR,
Polisi Istimewa, lasykar-lasykar rakyat, BPRI Pemuda Republik Indonesia,
organisasi-organisasi pemuda lainnya, ulama, Santri-santri, tukang becak, kusir
delman, para pedagang, pemuda-pemuda kampung yang berani mati. Meski tidak
sehebat Radio Pemberontakan, Dr. Mustopo pun memiliki pemancar sendiri. Maka
ketika Brigade Infantri 49 pimpinan Brigjen AWS Mallaby mendarat di Perak,
Mustopo berteriak-teriak: “Nica, Nica, Nica, jangan mendarat. Ingeris, jangan
mendarat, kamu tahu aturan. Inggeris, kamu pintar, sudah sekolah tinggi. Kamu
tahu aturan, jangan mendarat. Nica, Nica, Nica.. ” Dokter gigi ini membedakan
antara Ingeris dan Nica. Nica membonceng tentara Sekutu untuk kembali menjajah
kita. Maka tulis Ktut Tantri: Bagaimana cara mereka menyelundup? Dengan mencat
mukanya menjadi coklat, sehinga terlihat seperti India atau orang Nepal hal ini
diketahui setelah tiga orang prajurit yang disangka Gurkha telah tertangkap.
Dan panas terik menyebabkan cat mukanya meleleh. Orang Indonesia heran melihat
salah seorang dari tawanan itu orang kulit putih yang bermuka hitam. Dr. Mutopo
tentu saja sekarang tidak lagi berpakaian seragam hitam-hitam. Aktif di bidang
pendidikan, bapak dari 9 anak ini selalu necis. Rambutnya dicukur pendek, tidak
lagi gondrong. Selalu berdasi, sebagai ganti “perhiasan” yang ia pakai 30 tahun
lalu: 2 selempang peluru di bahu, 2 granat 2 pistol di pinggang, 2 belati
tergantung di paha, sepucuk karaben siap memberondong. Inilah seragam “jenderal
lokal ekstremis” yang pernah mengaku sebagai Menteri Pertahanan ad interim
ketika menghadapi Inggeris di Surabaya (menurut Brigjen Drs Nugroho Notosusanto
Ka Pasjarah ABRI, Menteri Keamanan Rakyat yang resmi diangkat Presiden waktu
itu adalah Sulyoadikusumo).
Dalam
pertempuran 10 Nopember yang terjadi kemudian, Dr. Mustopo tak lagi punya
peranan. Sebab menjelang Bung Karno ke Surabaya, ia ditangkap oleh para pejuang
dan ditahan oleh grup Sabaruddin yang terkenal sebagai algojo di Sidoarjo.
Alasannya tak begitu jelas. Yang pasti, 29 Oktober ia dipanggil oleh Bung Karno
untuk “dipensiun sebagai jenderal”. Dan sejak itu ia pulang ke rumahnya di
Gresik. Toh orang masih terkenang akan film dokumenter PFN: jenderal koboi ini
duduk di hidung mobil Buick hitam, keliling kota sembari melambai-lambaikan
samurai… Tak Disambut Sesungguhnya Surabaya bukannya tak mengambil jalan damai.
Tapi perundingan yang diusahakan oleh Gubernur Suryo, Residen Sudirman, Walikota
Doel Arnowo juga ketua BKR Dr. Mustopo, berkali-kali dilanggar oleh Ingeris.
Bahkan ada kesan mereka mengangap rendah martabat kita. “Pernah satu kali saya
mengulurkan tangan kepada salah seorang angota delegasi Sekutu di hotel Yamato,
tidak disambut”. tutur Dr. H. Ruslan Abdulgani yang ketika itu menjadi angota
delegasi RI (kemudian sekretaris Biro Perhubungan RI-Sekutu).
Dua
orang utusan Mallaby, kapten Donald dan letnan Gordon Smith yang mengunjungi
Gubernur Suryo pun bertindak kurang sopan. Karena Gubernur tak mungkin memenuhi
undangan Mallaby datang ke kapal perang, keduanya lansung berdiri – pulang
tanpa pamit. Untung malamnya Dr. Mustopo dapat menemui Kolonel Pugh hinga dapat
disepakati: tentara Ingeris menghentikan gerakannya sampai garis 800 meter dari
pesisir Tanjung Perak. Paginya perundingan dilanjutkan di jalan Kayoon,
menelurkan 3 keputusan: Hanya Jepang yann dilucuti, bukan TKR. Inggeris akan
membantu memelihara keamanan dan ketertiban. Tentara Jepang yang dilucuti akan
diangkut melalui laut. Sesuai dengan persetujuan, Inggeris melanjutkan
pendaratan. Tapi malamnya mereka menduduki penjara Kalisosok dan melepas semua
tawanan Belanda. Esok harinya Inggeris boleh mengunjungi tempat-tempat
interniran Belanda dan tawanan Jepang. Tapi siang harinya beberapa kapal
terbang menjatuhkan surat-surat selebaran: penduduk diperintahkan menyerahkan
senjata Jepang kepada tentara Inggeris. Ini jelas tidak sejiwa dengan
persetujuan 26 Oktober.
Mallaby
sendiri terkejut, mungkin langsung disebarkan dari Jakarta tanpa setahu dia.
Tapi sebagai prajurit, ia mentaati perintah atasan. Maka Surabaya pun bangkit
berjaga-jaga. 8 Oktober jam 11 pagi Dr. Mustopo memberi tahu lasykar rakyat,
bahwa Inggeris akan melucuti mereka. Sementara TKR mundur keluar kota menjaga
segala kemungkinan, “sekarang terserah kepada kesatuan-kesatuan pemuda dan
rakyat lainnya”, kata Dr. Mustopo. Jam 4 sore, dengan persetujuan Dr. Mustopo
lasykar rakyat melawan Inggeris. Jam 5.30 Radio Pemberontakan berkumandang
menantang perang sembari menggugah semangat perlawanan rakyat. Baik pidato Bung
Tomo (BPRI) maupun Sumarsono (PRI) selalu didahului lagu Indonesia Raya. Dan
beberapa detik kemudian Surabaya menjelma menjadi lautan api. Muncul Bung Karno
TKR pun mulai merembes ke dalam kota. Pertempuran sengit terjadi sekitar Gedung
Radio Surabaya dan jalan Kayoon, begitu pula sekitar jembatan Wonokromo. Di
sekitar Kebun Binatang, untuk pertama kalinya rakyat menyaksikan pasukan Gurkha
bertahan di atas pohon-pohon besar di tepi jalan. Bekas-bekas pegawai AL Jepang
menghantam Inggeris yang menguasai daerah pelabuhan dengan meriam pantai dari
Kedung Cowek, Surabaya timur laut. Inggeris sendiri tidak berani menggunakan AL
dan AU nya, khawatir akan mengorbankan tawanan Belanda dan Jepang.
Inggeris
mulai terjepit. Sorenya beherapa kapal terbang menjatuhkan perlengkapan yang
mereka butuhkan. Sebagian jatuh di tangan rakyat–peluru dan mitraliyur. Pos
demi pos pertahanan Inggeris pun terkepung. Kalau saja malam itu mereka tidak
minta pimpinan RI datang ke Surabaya menghentikan perang, Brigade Infantri 49
yang terkenal sebagai The Fighting Cock itu lumat menghadapi perlawanan yang
tak memperhitungkan korban. Maka Senin pagi 29 Oktober, ketika lapangan terbang
Morokrembangan dikepung, sebuah pesawat Inggeris mendarat. Hujan peluru tak
bisa lagi dicegah. Tapi ketik yang muncul Bung Karno membawa bendera merah
putih disusul Bung Hatta dan Menpen Amir Syarifuddin, hujan peluru pun mereda.
Jam 19.30 tercapai persetujuan gencatan senjata. Adapun isi surat selebaran
akan dirundingkan esok harinnya dengan Jenderal DC Hawthorn, Panglima Inggeris
untuk pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Ini persetujuan ketiga kalinya dalam
tempo beberapa hari saja. Perundingan tingkat tinggi 30 Oktober dilanjutkan di
Gubernuran. Hadir antara lain: Gubernur Suryo, Residen Sudirman, Walikota Doel
Arnowo, Sungkono (ketua BKR kota), Atmadji, Sumarsono, Bung Tomo, Presiden dan
Wakil serta Menpen. Dari fihak Inggeris: Brigjen Mallaby, Kolonel Pugh dan
Jenderal Hawthorn. Pertemuan berjalan tegang. Setiap orang bicara tanpa tedeng
aling-aling. Di luar, dentuman meriam Inggeris masih terdengar. Dan di keliling
Gubernuran, dekat ruang perundingan, beberapa tank yang dikendarai para pemuda
berputar-putar maju-mundur mengintimidasi pimpinan tentara Inggeris. Anehnya,
yang takut malah para pejabat tinggi dari Jakarta. Hasil perundingan: isi
selebaran dibatalkan dan Sekutu ditarik dari gelung-gedung pertahanannya,
dipusatkan di kamp-kamp tawanan perang Darmo dan Tanjung Perak.
Biro
Penghubung Indonesia-Inggeris dibentuk, yang siang itu juga melanjutkan
perundingan setelah Bung Karno dan Hawthorn kembali ke Jakarta. Ruslan
Abdulgani dan kapten Shaw ditunjuk sebagai sekretaris. “Karena Shaw berpangkat
kapten, maka saya pun mendapat pangkat tituler kapten pula”, kata Ruslan.
Inggeris Menyerah Saja Untuk menyiarkan isi persetujuan itu, Bung Tomo dkk
memasang radio-radio rimbu di tengah beberapa medan pertempuran, agar
pasukan-pasukan rakyat menghentikan tembak-menembak. Biro Penghubung pun
memutuskan mendatangi sendiri medan pertempuran. Jam 5 sore, 8 mobil beriringan
menuju gedung Lindeteves. Karena di sana tembak-menembak sudah berhenti, mereka
menuju ke gedung Internatio. Hari sudah mulai gelap. Tembak-menembak berhenti.
Mobil dikerumuni ratusan pemuda bersenjata, menuntut agar pembesar Inggeris
memerintahkan pasukannya menyerah saja. Residen, Walikota dan Sungkono naik ke
atas kap mobil menyatakan, tuntutan itu tak mungkin dipenuhi. Baru besok pagi
mereka akan diangkut ke pelabuhan. Biro Penghubung menuju arah Jembatan Merah.
Mendadak dari tikungan jalan antara Internatio dan gedung Telepon muncul
sekelompok pemuda dan rakyat dipimpin seorang pemuda histeris. “Dia membawa
bendera merah putih. Dengan bangga ia tunjukkan pada saya bahwa merahnya adalah
darah tentara Inggeris. Mereka menyatakan tuntutan yang sama”, kata Ruslan.
Setelah berunding dengan Mallaby, jenderal ini bersedia masuk ke dalam gedung
Internatio agar anak-buahnya tidak lagi menembaki rakyat. Tapi begitu Mallaby
keluar mobil, “segera didorong beramai-ramai oleh rakyat masuk kembali ke dalam
mobil”, tutur Mayjen Sungkono di rumahnya jalan Gereja Theresia. Ketika itu ia
sendiri berada 15 meter dari Mallaby berdiri.
Dan
karena tembakan dari Internatio terus berhamburan, ia sembunyi di kolong mobil
Mallaby Sampai jam 21.30. Ketika itulah ia mendengar Mallaby merintih. Sebelum
Mallaby gugur, 3 orang anggota Biro Penghubung masuk ke gedung Internatio:
kapten Shaw, Muhammad dan TD Kundan (warga negara India sebagai penterjemah)
untuk menyampaikan pesan penghentian tembak nenembak. Ketiganya dipesan jangan
terlalu lama di dalam. Sepuluh menit kemudian Kundan keluar. Ia berteriak,
Muhammad dan Shaw memerlukan beberapa menit lagi. Beberapa detik kemudian
sebuah granat yang jelas dilempar dari arah dalam gedung meledak. Disusul
brondongan peluru dari lantai atas dan bawah gedung, tertuju ke arah mobil Biro
Penghubung. Kecuali Brigjen Mallaby, kapten Smith dan kapten Laughland, semua
anggota Biro berada di luar mobil. Mereka meloncat ke Kali Mas mencari
perlindungan…. “Saya tak bisa menilai, siapa yang membunuh Mallaby kita ataukah
Inggeris. Apalagi ketika itu hari sudah mulai gelap. Sesungguhnyalah, Mallaby
korban pertempuran. Ia berada tepat di tengah dua pihak yang sedang tembak
menembak”, kata Brigjen Drs Nugroho Notosusanto. “Tapi saya menyaksikan sendiri
dengan jelas bahwa yang mulai melepaskan tembakan adalah pasukan Inggeris”,
kata Ruslan. Mallaby telah menjadi umpan bagi api pertempuran baru yang lebih
dahsyat. Makamnya kini bisa dilihat di Menteng Pulo.
Esok
harinya, Rabu 31 Oktober, Jenderal Christison selaku Panglima Tentara Sekutu
untuk Asia Tenggara memperingatkan bangsa Indonesia: kalau pembunuh Mallaby
tidak menyerah, AD, AL dan AU Sekutu akan bergerak. Dalam pidato radionya jam
7.30, Bung Karno pun mengutip Christison sambil memperingatkan “musuh kita
bukan Sekutu melainkan Nica”. Tapi selama pertempuran itu telah ditemukan
dokumen Operation Persil yang bertujuan menguasai seluruh Jawa Timur. Bahkan
terdapat instruksi rahasia: “if you have to shoot, then shoot to kill” Tak ayal
lagi, suhu ketegangan semakin menanjak. Selama beberapa hari telah terjadi
pertemuan antara Gubernur Suryo dengan Mayjen BC Mansergh, pengganti Mallaby.
Juga kontak surat-menyurat. Tapi nada bahasa orang Inggeris selalu congkak dan
menyalahkan fihak Indonesia. Akhirnya, Jum’at 9 Nopember, Mansergh menyampaikan
ultimatum dan instruksi: semua orang, termasuk pemimpin-pemimpin Indonesia
harus melaporkan diri di jalan Jakarta menjelang jam 18.00. Mereka harus
berbaris mendekat dan meletakkan senjata dalam jarak 100 yard dari tempat
pertemuan. Berjalan sambil mengangkat tangan, kemudian menandatangani dokumen
penyerahan tanpa syarat. Bagi orang-orang Indonesia, ini penghinaan tulen. Jam
19.30 Gubernur menghubungi Bung Karno. Presiden minta agar Surabaya menunggu
hasil perundingan Menlu Subardjo dengan Pimpinan Tentara Inggeris. Jam 22.10
Walikota Doel Arnowo kontak lagi dengan Jakarta. Menlu Subardjo menjelaskan:
kalau cukup kuat mengadakan perlawanan, terserah kepada Surabaya. Maka tepat
jam 23.00 Gubernur Suryo pun bicara di corong radio. Pokoknya: Jakarta
menyerahkan persoalan ini kepada kita. Kita menolak ultimatum Inggeris. Selamat
berjuang. Maka sejak itu setiap orang pun merasa ingan. Sudah ada ketegasan:
kita melawan! Dan malam itu di surau-surau orang berdoa dan membaca surat Yasin
dari Qur’an.
Penjagaan
gardu diperkuat. Seluruh kota diliputi ketegangan…. “Pertempuran 28, 29 dan 30
Oktober boleh dibilang hanya merupakan kemenangan taktis belaka, kemenangan
pertempuran. Dalam perang, yang penting ialah kemenangan strategis, menenangkan
perang. Bukan memenangkan pertempuran. Adapun pertempuran 10 Nopember justru
sangat menentukan kemenangan strategis kita”, kata Brigjen Nugroho minggu lalu
di Satria Mandala. “Ketika itu rakyat dan pemerintah dengan sadar melawan
kekuatan yang lebih besar. Sebab kalau tidak melawan, lalu apalah arti
kedaulatan Republik kita? Kecuali rakyat mulai percaya diri sendiri, dunia luar
pun yakin akan kekuatan kita. Karena tekad menghadapi tantangan itulah,
walaupun kemudian jatuh banyak korban, di situlah letak keberanian dan arti
kepahlawanan pejuang-pejuang kita”. Maka Idrus pun menulis dalam novelet
Surabaya: Rakyat Indonesia di Surabaya yang dikuasai bandit-bandit hidup
seperti prajurit di medan perang yang paling depan. Setiap waktu badannya dapat
dilanggar peluru kesasar, setiap waktu ia dapat ditangkap dan setiap waktu ia
dapat mengeluh berkepanjangan. Tapi sebelum itu mereka tidak mau mengeluh dan
tidak mau menyerah. Seperti orang Jerman yang kalah perang, mereka tidak
membungkuk-bungkuk seperti orang Jepang kalah perang. Dalam hatinya mereka
bangga seperti orang-orang politik dulu digiring oleh Belanda masuk penjara..
Tempo
20 Desember 1975
Bung
tomo mundur
KEPADA
Indonesi Times Bung Tomo msnyampaikan pengumuman yang paling berharga bulan
ini: “Saya ingin menyatakan kepada para wartawan bahwa inilah wawancara saya
yang terakhir mengenai 10 Nopember”. Sikap Bung Tomo ketika itu sudah ogahan,
kata koran itu. Dia merasa bahwa peranannya dalam Revolusi cuma kecil saja.
Nah, jadi mulai sekarang para kulitinta harus cari bintang-bintang baru. Sebab
masih ada jutaan lainnya. Bagi pemimpin rakyat yang sejati dan rendah hati, lama-lama
memang susah hidup dengan adat-upacara setiap 10 Nopember itu: selalu dirinya
jadi pusat perhatian dan sanjungan, selalu dirinya jadi tempat bertanya dan
sumber sejarah. Pengalaman demikian memang nikmat, suatu kemewahan yang
kebanyakan pemimpin tidak suka lepaskan begitu saja. Betapa tidak. Ini menjamin
nama harum sepanjang hidupnya, dan tinta emas sesuah mati. Dan siapa tahu,
mungkin juga monumen dan mausoleum dan harum kemenyan.
Ahli
ilmu jiwa mungkin juga melihat semacam narcissism di sini. Tapi Bung Tomo
rupanya beranggapan bahwa Revolusi Indonesia bukan cuma bikinan panglima,
gubernur dan diplomat saja. Api 10 Nopember saja terbukti tidak disundut di
meja diplomasi. Tentu saja, semua tokoh tinggi dan agung juga berkata bahwa
Revolusi kita ini ialah perjuangan seluruh rakyat. Tapi kia tinggal baca
kembali saja segala tulisan dalam media massa sekitar 10 Nopember kemarin itu.
Tidakkah mengherankan bahwa bobotnya cuma berputar-putar di sekitar diplomasi
tinggi saja? Tidakkah mengherankan bahwa ribuan kata dironce hanya untuk
membeberkan kembali perselisihan di antara pemimpin-pemimpin tinggi? Tidakkah
mengherankan bahwa “massa rakyat” di situ hanya berperan sebagai hiasan bibir
saja? Massa rakyat tinggal sebagai ‘massa kelabu’, tanpa rinci, tanpa
pribadi-pribadi. Bagaimanapun mau diputar-balik, untuk mengetahui tentang
“kerja kasarnya” Revolusi beserta “pekea-pekerja kasarnya” orang perlu terlibat
sendiri sehari-harinya di tengah cucuran darah dan desingan mesiu. Perlu berada
sendiri di dusun, di hutan, di jalanan, di parit, di pos terdepan, dapur umum,
di atas tandu, dan di dalam regu, kompi dan seksi. Kalau tidak, ya orang memang
tidak bakal mampu cerita apa-apa tentang rakyat pejuang. Revolusi Indonesia itu
sebenarnya kaya dan luar biasa. Tapi kalau hanya kaum tinggi saja yang
mendongengkannya, maka sejarah Revolusi memang jadi miskin dan kering dan
sangat berat sebelah, topzwaar. Betapa “ilmiah”nya dan bergairahnya orang itu
bila bercerita mengenai kemelut tingkat tinggi, tentunya tanpa lupa menyebutkan
peranan dirinya di situ. Tapi begitu dia beralih kepada lipstick “rakyat”, maka
terasa betul dia itu kekurangan bahan cerita. Dengan dua tiga sapuan saja
selesailah lukisan “perjuangan rakyat”.
Segala
kegairahan dan ketelitian mengenai apa-apa yang khusus dan kongkrit hilang, dan
yang terbaca jadinya hanya beberapa semboyan usang. Selama berabad-abad lamanya
sejarah Indonesia sudah dikuasai oleh kisah-kisah sang prabu dan pangeran dan
tumenggung saja. Maklumlah, namanya juga zaman feodal. Sudah itu menyusul
sejarah kaum cendekiawan. Dan sudah itu rakyat berontak dan merebut
kemerdekaan. Tapi kisahnya masih tetap kisah kaum tinggi saja. Baru-baru ini
kerangka sembilan orang pahlawan dipindahkan ke Taman Pahlawan Cikutra di
Bandung. Tak ada seorangpun yang merasa tertarik untuk mengumumkan kisah-kisah
para pahlawan itu Mungkin disangka mereka itu cuma pahlawan kelas tiga ata
kelas kambing. Sesudah sekian lama diganggu wartawan, maka ada baiknya sekarang
Bung Tomo mulai mengganggu wartawan. Misalnya memimpin wartawan dan sastrawan
dan juru sejarah dalam suatu proyek yang berencana, besar-besaran dan berjangka
Iama. Yaitu mernbuat massa kelabu itu berkelip-kelip dengan jutaan bintang. Memburu
segala pejuang kelas kambing dan menyebutkan namanya satu-satu. Memeras segala
fakta dan kisah Revolusi dari mereka. Mereka masih hidup. Ada yang sudah
menjadituan dan nyonya besar. Banyak yang terlantar, tambah miskin, tambah
gelap harapan hari esok, dan di samping itu masih terus diganggu dan disakiti
pula oleh orang-orang yang tidak pernah melihat Revolusi. Begitu besar dan
penuh pekerjaan itu, sehingga tentunya sudah tidak mungkin disediakan waktu
lagi untuk mewawancarai orang-orang yang sudah ratusan kali diwawancarai
pengarang-pengarang dalam dan luar negeri. Kaum tinggi sebaiknya menulis
memoires saja sepuas-puasnya. Waktu, biaya dan kemampuan menulis ada pada
mereka. Penerbit pasti bersedia. Tidak demikian halnya dengan bekas-bekas
pejuang tingkat murba. Bangsa Indonesia berhak mengenal Euis dan Rokayah yang
begitu setia merawat dan menghibur dan menasehati para pemuda kita di front
Ujungberung.
Kita
semua berhak membaca tentang Milly Ratulangi, gadis cerdas-berani yang
mondar-mandir menyelundupkan obat dan bacaan kepada para gerilyawan Yogya
sambil kucing-kucingan dngan serdadu-serdadu Belanda. Paling sedikit mesti bisa
dihasilkan seratus jilid buku tebal mengenal segala pekerja-kasar Revolusi kita
ini. Maka barulah Revolusi Indonesia menjadi kisah revolusi rakyat. Tahun
depan, pada Hari Proklamasi dan Hari Pahlawan, kita semua sudah berhak akan
bacaan dan tontonan jenis lain.