Tempo
23 Desember 1978. MEREKA yang biasa berjalan pagi di sekitar jalan Cikini Raya,
Jakarta, tidak akan melihat pemandangan ini lagi: Seorang tua pendek berjenggot
putih memakai mantel, tiap pagi (bila tidak hujan) berjalan-jalan dari rumahnya
di Cikini Raya sesudah sembahyang subuh. Mereka mungkin tidak tahu siapa kakek
yang usianya sudah melewati 80 tahun itu. Mungkin mereka tidak tahu juga
berjalan kaki tiap pagi adalah caranya untuk bisa awet muda dan lancar berpikir
berdasar resep: “Jangan cemas dan jalan kaki banyak-banyak.” Hari Jum’at pekan
lalu, orang tua itu Prof. Mr. Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, meninggal dunia di
Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, dalam usia 82 tahun karena flu yang
menimbulkan komplikasi. Upacara pemakaman secara militer dipimpin Menko Polkam
M. Panggabean. Jenasahnya dimakamkan di halaman depan rumah istirahatnya di
Cipayung, Bogor. Begitu memang permintaan almarhum untuk dimakamkan “dekat
gunung, sawah dan rakyat dengan desanya yang sedang membangun.” Untuk jasanya,
pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional.Ahmad Subardjo memang
patut menerima gelar itu. Ia diangkat sebagai Menteri Luar Negeri pertama RI 19
Agustus 1945 selama 4 bulan sampai terbentuknya Kabinet Sjahrir. Kembali ia
menjabat Menlu antara 1951-1952. Sering ia memimpin delegasi Indonesia ke
konperensi internasional, menjabat Dubes untuk Republik Federal Swiss, anggota
DPA (1961-1965), Profesor laiam Sejarah Konstitusi dan Diplomasi RI. Fakultas
Sastera jurusan sejarah UI (1968) dan pada 1975 bersama Hatta Sunario, A.G.
Pringgodigdo dan A.A. Maramis merupakan Panitia Lima yang bertugas menjabarkan
Pancasila. Ahmad Subardjo memainkan peranan penting menjelang Proklamasi
Kemerdekaan, bersama Bung Karno dan Bung Hatta merumuskan teks proklamasi,
anggota Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan sering menjembatani
pertentangan antara kelompok pemuda dan kelompok tua. Tapi sebetulnya
perjuangan Ahmad Subardjo telah dimulainya sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Leiden tahun 1919. Nama aslinya Teuku Abdul Manaf lahir di
Karawang 23 Maret 1896. Anak bungsu mantri polisi desa ini kemudian dirubah
namanya menjadi Subardjo berkat usul seorang sahabat ayahnya. Subardjo konon
berasal dari kata Sanskerta “subraj” yang berarti cemerlang. Tambahan “Ahmad”
berkat usul kakeknya. Nama Djojohadisuro yang dipakainya menurut almarhum pada
TEMPO akhir tahun lalu ada ceritanya waktu itu ia ditahan di penjara Ponorogo
karena tersangkut “Peristiwa 3 Juli 1946″. Ketika sedang buang air kecil di
tengah malam didengarnya suara lirih dalam bahasa Jawa: “Sudah waktunya engkau
punya nama keluarga.” Suara itu menunjuk nama Djoyoadisuryo yang sejak itu
dipakainya. Ahmad Subardjo pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia,
organisasi mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda dan pemrakarsa dipakainya
merah putih sebagai lambang perhimpunan itu (1921-1922). Pada 1922 setelah
lulus Sarjana Muda ia pulang ke Indonesia. Tapi beberapa bulan kemudian ia
“terpaksa” melanjutkan kuliahnya sebab “Embah saya bilang malu punya cucu tidak
bertitel.” Pada 1933, 11 tahun kemudian barulah ia berhasil mencapai gelar Mr.
Lamanya studi itu karena Subardjo sangat aktif dalam kegiatan politik. Subud Ia
menguasai 9 bahasa termasuk Perancis, Jerman, Latin dan Yunani. Senang menulis
sejak masih mahasiswa. Hal ini terus dilakukannya sampai saat akhirnya — sambil
mendengarkan musik Barat klasik. Sering juga di hari libur ia memainkan
biolanya. Bapak dari 2 puteri dan 3 putera ini sempat menulis 2 buku: Lahirnya
Republik Indonesia (1972) dan Kesadaran Nasional (1978) sebuah otobiografi.
Sebagai ketua kehormatan “Susila Budidarma” (Subud), Subardjo biasa
mengosongkan pikirannya selama 30 menit sebelum tidur yang “rasanya sama dengan
5 hari di Puncak.” Hidup buat dia adalah “gerakan dan aktivitas.” Dan itu
dilakukannya sampai saat-saat terakhirnya, memimpin Lembaga Masalah
Internasional dan Himpunan PBB untuk Indonesia. Tulisnya tentang 17 Agustus
1945: (Saya masih tidur sewaktu kurang lebih pukul 10.00 pagi pada tanggal I7
Agustus datang dua utusan dari Soekarno dan Hatta untuk membangunkan saya.
Mereka mengatakan saya harus segera berpakaian untuk menyaksikan upacara
pengibaran bendera nasional sang Merah Putih dan Pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan. Saya merasa begitu lelah dari kejadian yang menegangkan syaraf
yang baru saya alami sepanjang hari dan malam sebelumnya, sehingga saya
memutuskan untuk meneruskan istirahat saja. Apalagi yang aya ingini Mimpi
Indonesia Merdeka telah menjadi kenyataan. Apa bedanya saya hadir dan tidak?
Hal yang paling penting adalah bahwa kita sendiri dan generasi berikutnya dari
rakyat saya telah menjadi warganegara yang bebas dari sebuah Negara Merdeka:
REPUBLIK INDONESIA. Saya mengirim sebuah pesan kepada Bung Karno dan Bung Hatta
meminta mereka untuk memaafkan ketidak hadiran saya dan supaya mereka segera
saja memulai upacara Proklamasi Kemerdekaan. Subardjo tidak sempat menyaksikan
Proklamasi Kemerdekaan yang bersejarah itu. Tapi namanya akan tetap tercatat
dalam sejarah Indonesia, mungkin sebagai tokoh kontroversil. Ia pernah dianggap
sebagai “kolaborator Jepang” karena peranannya sebagai Kepala Biro Riset di
Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang di Indonesia antara 1943-1945. Pernah
juga ia dianggap “pro Amerika” ketika ia menyetujui Mutual Security Act (MSA)
yang menyebabkan kejatuhannya sebagai Menlu (1952). Tokoh-tokoh sejarah
Indonesia ternyata memang tidak luput dari pertentangan, mungkin juga
kesalahan. Tapi perkembangan menunjukkan bahwa kekeliruan dan perbedaan
bersifat nisbi. Pada aknirnya, seperti Subardjo, semua diterima sebagai bakti.