Tempo
19 November 1977. KETIKA ia masih berumur 25 tahun, di Surabaya suaranya
mengguntur dengan Allahu Akbar. Di harihari pertempuran 1945 itu ia dikagumi
sebagai pemberi semangat.
Sekarang7
ketika perang rakyat Surabaya itu tengah diperingati, suara Bung Tomo kembali
terdengar. Ada yang kagum, ada pula yang keberatan. Sabtu pekan lalu di
IKlP-Jakarta misalnya ia mengungkapkan bahwa Konando Jihad adalah ‘bikinan’
pemerintah. Agaknya Bung Tomo ingin mengulangi kritiknya pada pemerintah, yang
dalam kampanye pemilu 1977 lalu dianggapnya menyudutkan umat Islam, dengan
melontarkan kembali soal DI/TII. Halitu senada dengan ucapan tokoI muda PPP
Husni Tharmrin yang menolak, jika peristiwa Dl/TII dilekatkan sebagai ‘dosa
turunan’ umat Islam sampai kini. Menurut Husni, tokoh Komando Jihad seperti
Haji Ismail Pranoto alias Hispran, 65, dalam masa kampanye pemilu 1977 sering
mendatangi orang-orang PPP untuk melakukan bai’at (janji prasetya). Tapi bekas
tokoh DI/TII Brebes ini ternyata juga tokoh Guppi/Golkar. Dalam pemilu 1971,
berkat pengaruhnya, kabarnya Golkar menang di Brebes. Mengumpulkan Tokoh DI
Ketika terdengar kabar bahwa Hispran ‘lari ke gunung’ mengerakkan Komando
Jihad, 1 Nopember 1976 Pangdam Siliwangi Himawan Sutanto mengumpulkan
tokoh-tokoh DI/TII Jawa Barat, mencek sejauh mana mereka terpengaruh oleh
Hispran. Tak diduga, Hispran sendiri hadir dalam pertemuan tersebut. Sejak itu
Hispran tak pernah pulang ke rumahnya di Kauman, Brebes. Dikabarkan melakukan
bisnis ke Lampung, kemudian beberapa bulan ia menetap di Jakarta. Tahun 1977
ditangkap di Surabaya. Betapa pun, bagi Bung Tomo, munculnya kembali isyu
DI/TII – apalagi selalu terdengar menjelang pemilu — dianggapnya aneh. Bertolak
dari ini pula ia lalu ternyata bisa bikin geger, dengan brosurnya, Sebuah
Himbauan. Dicetak 10.000 eksemplar, brosur 22 halaman ini (hara Rp 200)
dituiukan kepada Menhankam Jenderal M. Panggabean dan Kaskopkamtib Laksamana
Sudomo. Mereka ini oleh Bung Tomo disebut “saudara-saudara terdekat kami, dua
tokoh beragama Kristen yang sedang memegang kekusaan.” Ia menulis Himbauan itu
karena ia melihat “tekanan terhadap umat beragama di Indonesia”, baik yang
tergabung dalam PPP maupun PDI, “agar umat beragatna itu jangan sampai dapat
memperoleh jumlah suara yang lebih banyak dari pada yang diperoleh Golkar.”
Tapi karena hal-hal yang menyangkut umat beragama lain belum sempat
ditelitinya, “maka hanya yang golongan Islam saja yang dapat saya kemukakan.”
Kepada Klarawijaya dari TEMPO, misalnya, Bung Tomo menunjuk contoh. “Waktu PPP
unggul di salah satu daerah di Jawa Barat, ketua umum Golkar Amir Murtono
menyebut sebagai ‘wajar’ karena di masa laiu daerah itu merupakan basis
DI/TII,” ujar Bung Tomo. Itulah sebabnya ia tergerak menulis himbauan. Semula,
awal Juni, naskah tersebut dikirimkan kepada sebuah koran di Bandung, tapi
redaksinya menolak memuat. Kabarnya 3 koran Jakarta juga bersikap sama. Tapi
September lalu mingguan Forum Bandung dan harian Maasa Kini (d/h Mercu Suar)
Yogya memuat lengkap. Dan sebelumnya sudah beredar – antara lain di beberapa
pesantren Jawa Timur – dalam bentuk stensilan. Salah seorang yang menstensil,
menurut Bung Tomo, adalah ir. H.M. Sanusi bekas ketua Parmusi dan Menteri
Perindustrian yang katanya kemudiaIl mengirimkannya kepada beberapa pemuka
Islam. Bung Tomo sendiri mengirim fotokopinya kepada kelua Majelis Ulama Hamka,
Menteri Agama Mukti Ali, Mgr Leo Sukoto dari Keuskupan Jakarta. “Jenderal
Panggabeim dan Laksamana Sudomo juga saya kirimi, ada tanda terimanya dari
ajudan. Tapi belum ada reaksi dari mereka,” kata Bung Tomo. Meskipun sudah
dilarang beredar sejak 15 Oktober oleh Jaksa Agung, toh Pangkowilhan II Letjen
Widodo di aula Hankam Rabu pekan lalu merasa perlu ‘meluruskan’ hal-hal yang
ditulis oleh Bung Tomo tersebut. Bahkan pada kesempatan itu Pangdam Siliwangi
Mayjen Himawan Sutanto menampilkan saksi hidup: tiga tokoh bekas DI/TII Jawa
Barat pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Mereka itu Ateng Djaelani Setiawan, bekas
PETA yang akhirnya menjadi ‘gubernur militer’ DI/TII Haji Ghozin, bekas
‘komandan resimen’ DI/TII, Haji Zaenal Abidin, bekas ‘wakil komandan divisi’
DI/TII. Mereka ditampilkan, terutarna untuk membantah Himbauan: yang menyatakan
bahwa proklamasi negara Islam Kartosuwiryo itu “bukan bersumber padasuatu
ideologi”, tapi karena “sengketa senjata antara sesama bangsa.” Menurut Bung
Tomo, negara Islam itu hanya merupakan “alat berkelahi semata-mata.” Maka Ateng
Djaelani (54) yang kini tinggal di Bandung sebagai usahawan itu pun mellyebut
Bung Tomo “memutarbalikkan fakta sejarah”. Sebagai ‘saksi hidup’ ia juga
menyatakan bahwa DI/TII Kartosuwiryo memang bertujuan mendirikan negara Islam.
“Jadi bukan sebagai alat berkelahi seperti tulis Bung Tomo,” katanya seperti
dicatat oleh pembantu TEMPO Acin Yassin. Ateng Djaelani yang ditemui di Bandung
oleh Yusril Djalinus dari TEMPO bercerita lebih lanjut: kini sekitar 7.000
bekas DI/TII tersebar di Jawa Barat, yang setelah turun gunung kembali ke
kampung halaman: di Tasikmalaya, Garut, Ciamis. Banyak sudah yang bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tapi ketika 7 bekas DI/TII (Adam Djaelani
Tirtapradja, Aceng Kurnia, Ules Sudja’i, Tahmid Rahmat, Basuki dan Dodo
Kartosuwiryo) bertualang lagi, mereka “agak goncang”. Sementara itu, menurut
KoloneI WR Samallo, asisten I Kodam Siliwangi, bekas DI/TII katanya telah
mengadakan peremajaan. “Umunlnya mallasiswa dan Sumatera yang kebetulan kuliah
di Bandung. Soalnya mereka ‘kan tidak tahu kekejarnan DI/TII biasanya mereka
lekas terpikat,” kata Samallo. Ateng yang beranak 8 orang, selama ini banyak
membantu bekas anak-buahnya. “Ada yang saya kasih Rp 15 ribu ada yang Rp 75
ribu,” kata Ateng. “Tapi kan tidak setiap anak menangis dikasih permen’?”
tambahnya. Dalam pemilu 1977 Ateng memilih Golkar, meski katanya “tidak semua
DI jadi Golkar.” Itu tak berarti bahwa Ateng tak berani mengritik. “Saya pernah
mengritik pemerintah karena ada bekas tokoh DI/TII yang dibina oleh Bakin.
Ternyata tokoh yang dibina itu termasuk yang masuk hutan lagi,” katanya. Tokoh
itu adalah Danu toh. Hassan, yang kini sudah ditangkap lagi.