Ratmi B29 Meninggal Dunia


Tempo 14 Januari 1978. DI lapangan terbang Hasanuddin, Ujungpandang, 31 Desember 1977, serombongan anak muda minta foto bersama dengan Ratrni. “Adik-adik,” kata Ratmi dengan kenes, “fotonya nanti bisa buat nakut-nakutin tikus di rumah.” Ternyata itu guyon terakhir dari Ratmi Bomber. Sebab ketika dia berjalan mendekati pesawat yang akan ditumpanginya, persis di ujung tangga, Ratmi berkata kepada suaminya dengan suara lemah: “Pap.” “Mama …. ” sahut Didi Sugandhi, sang suami. Dan cepat dia menggapai tubuh Ratmi yang menggayut. Beberapa kata tidak jelas keluar dari mulut Ratmi, kemudian mengeluh, tubuhnya bergetar sebentar dan tidak sadarkan diri. Setelah bingung mencari kendaraan, sulit menemukan dokter, dinyatakan orang bahwa Ratmi telah tiada. Didi langsung pingsan. “Bagaimana saya tidak terkejut,” kata Didi, beberapa hari setelah isterinya meninggal. “Saya ini sudah menyerahkan diti saya buat Ratmi semua. Saya ingin membahagiakan dia. Semua nasehatnya, saya turuti.” Tahun 1973, Ratmi berjumpa Didi Sugandhi, 10 tahun lebih muda, beralis dan berkumis tebal. Waktu itu Ratmi sedang dalam pengambilan film Ketemu Jodoh di Bandung. Seorang sopir mengantar Ratmi – yang mendadak sakit ke ayah si sopir. Dasar jodoh, Ratmi yang katanya kemasukan roh jahat di Cibulan (ketika opname film Ayah, tiga hari sebelumnya)bisa sembuh. Sopir tersebut tidak lain Didi Sugandhi, suami dan ayah dari 4 orang anak. Pendek cerita, Didi bercerai dari isteria yang pertama untuk kemudian menikah dengan Ratmi. Tiga anak Didi dari isteri pertama diambil oleh Ratmi dan diasuh seperti anaknya sendiri. “Saya melawak justru setelah badan saya berubah,” Ratmi pernah berkata. ubuhnya yang subur, hidungnya “yang mancung ke dalam,” begitu olok-olok Slamet Harto di panggung, menjadi rejeki baginya. Dia mendapat nama Ratmi Bomber-29 dari Laksda TNI Wiriadinata, Wakil Gubernur DKI. Waktu itu, tahun 60-an, Ratmi sering menghibur keluarga TNI-AU di Bandung. “Kami ini melawak tanpa sutradara,” kata Bendot, 50 tahun, pensiuan AD yang jadi pasangan Ratmi. Slamet Harto, 52 tahun, pensiunan polisi, juga mengatakan yang sama. “semua lawakan berjalan dengan spontan. Dan Ratmi-lah yang selalu kami dukung karena dia yang selalu mengambil inisiatip,” kata Harto. Sambung Bendot: “Dia itu, menari bisa. Nembang (Jagu Jawa) bisa. Kroncong bisa, apa-apa bisa. Pokoknya nggak bakal kelaparan deh!”. Satu lagi keahliannya, dia bisa menyanyikan lagu sedih sambil mengeluarkan air mata sungguhan. Nama aslinya Suratmi. Ayahnya, Salimin, berasal dari Yogya. Ibunya, Sainem, asal Banyumas. Ratmi sendiri lahir di Bandung dan pernah duduk di HIS Cilacap sampai kelas 3. Masa revolusi fisik Ratmi turut ambil bagian jadi anggota Barisan Srikandi/Laswi dan anggota staf Batalyon Brigade D/X-16 di Jawa Tengah. Pangkatnya waktu itu sersan dua. Setelah penyerahan kedaulatan Ratmi mengundurkan diri. Karena memiliki tanda jasa Bintang Gerilya, SLPK I dan II, GOM I dan V, Ratmi (46 tahun) dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. “Dia tidak pernah berobah, baik ketika miskin maupun sesudah jadi kaya,” demikian rekanrekan artis memberi komentar. Pernah menikah tiga kali. Suami pertama Idris, meninggal dunia, yang kedua Surnarno, bercerai. Jenazahnya diantar oleh banyak orang. Hamid Arief (menangis terus), WD Mochtar, Benyamin S., Sofia WD, bekas Kapolri Hoegeng, Nyonya Arudji Kartawinata, Kusno Sudjarwadi, dan banyak lagi. “Masih muda kok sudah diambil Tuhan. Mudah-mudahan saya tidak dulu,” kata Poniman, pelawak tiga zaman yang ketika Ratmi dikuburkan aktif mengambil foto. Beberapa jam kemudian Poniman pingsan. Di hari yang sama ketika Ratmi dikubur, Poniman ternyata menyusul Ratmi. Jadi di awal 1978 Indonesia kehilangan dua pelawak yang sulit dicari tandingannya. Ratmi sendiri belum menyelesaikan film-film yang sedang dimainkannya: Sembilan Orang Janda, Hujan Duit dan Direktris Muda.