Tempo
31 Juli 1976. GEMPA bumi di Irian Jaya telah menewaskan lebih dari 400 orang di
samping paling sedikit 5000 orang yang hilang tertimbun runtuhan. luga penyakit
berjangkit.
Terjadi
di Kawasan pegunungan Jayawijaya akhir bulan lalu gempa bumi itu menimpa
wilayah 150 x 50 km persegi dan sekitar 90 x 32 km persegi di antaranya
mengalami bencana amat parah. Malapetaka itu telah menggoncangkan 3 buah
kecamatan, yaitu Kecamatan Kurima, Okbibab dan Oksibil dengan jumlah penduduk
lebih dari 85.000 jiwa. Pembantu TEMPO di Jayapura, Abdul Bari TS, sayang
sekali tak sempat turut meninjau langsung tempat kejadian itu. Hambatan utama
tentu pada sulitnya alat perhubungan karena satu-satunya cara menuju sana hanya
dengan pesawat udara. “Sedangkan berat badan saya 80 kg”, tulis Abdul Bari.
“Ini berarti kalau saya turut juga jadi penumpang pesawat yang jumlahnya
terbatas itu, akan mengurangi jumlah angkutan bahan makanan yang seharusnya
didrop untuk para korban yang sangat membutuhkannya”. Tetapi Abdul Bari
berhasil mengumpulkan data-data dan mewawancarai Agus Karetji, seorang juru
foto amatir yang sempat turut terjun dan membagi-bagikan makanan untuk para
korban di desa Bime — sebuah desa yang menjadi pusat gempa dan tentu saja
mengalami bencana paling parah. Berikut ini laporannya. Hari itu 3 Juli 1976,
hari ke delapan setelah gempa berlangsung. Pesawat Cessna PK-MPD diterbangkan
pilot Jerry dari lapangan terbang Sentani jam 06. 30. Pesawat yang punya daya
angkut cuma 450 kg ini membawa seorang penumpang selain pilot dan co-pilot, 1
drum bahan bakar untuk helikopter, sejumlah beras dan obat-obatan. Tujuan
pertama adalah desa Nalca di Kecamatan Kurima. Desa yang dijadikan pos terdepan
untuk menyebarkan bantuan ke tempat-tempat lainnya ini terletak pada ketinggian
1750 meter, mempunyai 50 buah kampung. Di sini 58 orang tercatat meninggal
(langsung) dan 642 orang dinyatakan hilang, berikut 2 buah kampung tenggelam
dalam timbunan tanah. Putih Bak Salju Setelah terbang 45 menit, desa Nalca mulai
tampak dari udara. Tapi yang terlihat jelas hanya sisa-sisa gunung yang
terbelah, timbunan tanah longsor, pohon tumbang malang melintang dan sungai
kecil — anak sungai Memberamo — yang berwarna hitam coklat. Pesawat merendah
menyela celah bukil, lalu melandas di lembah di mana tampak sebuah helikopter
sedang parkir. Begitu pesawat berhenti penduduk segera berkerumun. Adapun
pesawat helikopter itu segera tinggal landas setelah diisi bahan bakar untuk
membawa keladi, ubi jalar dan beras dan dijatuhkan di kampung-kampung sekitar
Nalca, atau ke kerumunan orang yang menyelamatkan diri di atas bukit-bukit.
Ketika kemudian pesawat Cessna itu terbang kembali, tujuannya adalah Bime,
pusat gempa yang lapangan terbangnya untuk beberapa hari lamanya tak dapat
dipakai karena ditimbuni batu-batu yang dilemparkan gempa. Hampir sepanjang
perjalanan pesawat berada di celah-celah tebing gunung yang telah terkelupas
dan putih bagai salju. Sungai-sungai kecil tertimbun longsoran berubah jadi
arus lumpur. Bahkan di beberapa tempat sungai itu terbendung dan terbentuklah
danau-danau. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Sejauh mata memandang: gersang di
mana-mana. Ketika hampir mencapai landasan terdengar pesan radio dari rumah
seorang pendeta yang telah roboh. “Jangan mendarat dulu, kami akan memeriksa
lapangan apakah masih utuh setelah diperbaiki setelah ada gempa-gempa .
susulan”, begitu pesan radio tadi. Tak lama kemudian Cessna mendarat di
lapangan yang bergelombang itu. Ini adalah pendaratan pesawat pertama di Bime
setelah lapangan itu retak-retak dan tertimbun batu selama bencana terjadi. Di
Bime Seperti di Nalca, penduduk mengerumuni pesawat. Tapi yang tampak di wajah
mereka adalah kelesuan, suram dan tanpa semangat. Pendeta Cole (dari missi
zending UFM) dan isterinya berada di antara mereka. Lebih dari itu pemandangan
di sekitar lapangan cukup merisaukan: sisa-sisa kampung yang hilang, tebing
curam dan ganas. Dan di atas bukit itu bergerombol orang-orang yang terkurung
karena tak ada jalan untuk turun. Sesaat setelah pesawat Cessna tinggal landas
lagi — untuk kembali ke Wamena mengambil bahan makanan dan obat-obatan — bahan
makanan yang ada dimasak. Isteri pendeta Cole juga mulai mengobati mereka yang
luka. Tapi sulit dibayangkan sebelumnya, bahwa begitu nasi dan ubi mulai mendidih
di dalam belanga, tangan-tangan yang lapar mulai berjuluran untuk meraih busa
makanan itu. Dan ketika makanan itu mulai dibagikan, yang terjadi adalah
kerumunan yang saling berdesak-desakan: dengan seluruh pandangan mata yang
ganas oleh rasa lapar. Ketika malam, desa Bime rupanya belum sepi benar. Di
sela-sela dengkur mereka yang tidur di tenda-tenda, suara batu dan tanah
longsor masih terdengar juga. Bime berpenduduk 6000 jiwa, terletak pada
ketinggian 1800 meter. Dalam bencana ini tercatat 108 jiwa tewas langsung
sementara 3892 orang hilang tertimbun bersama 4 buah kampung. Kebun penduduk
90% hancur.Hampir semua pohon-pohon yang pernah tumbuh turut hilang ditelan
bumi, berikut akar-akar dan daunnya. Saat gempa berlangsung di Okbibab dapat
ditempuh 6-8 hari berjalan kaki dari Nalea diceritakan pendeta UFM Gerd Stanzus
(30 tahun, kelahiran Jerman Barat) kepada TEMPO di Guest House MAF Sentani.
Sang pendeta berkisah begini: Malam itu saya bersama keluarga tidur di kamar
sebagaimana biasa, ketika tiba-tiba tempat tidur dan rumah bergoyang bagai
kapal dihembus topan. Lampu mati tiba-tiba. Saya dan isteri serta anak-anak tak
bisa keluar dari kamar. Di kamar lain pendeta Def Schovel berteriak karena ia
terlempar dari tempat tidur”. Selesai gempa pertama pendeta Gerd dan seisi
rumah keluar tanpa berani masuk lagi karena gempa-gempa berikutnya menyusul
terus. Malang bagi penduduk Kecamatan Okbibab, karena seminggu setelah bencana
itu terjadi hujan lebat turun terus menerus. Di tengah perut yang lapar dan
udara dingin, serangan influenza pun mulai melumpuhkan penduduk. Bahkan
beberapa orang dikabarkan meninggal karena penyakit ini.
Tempo
31 Juli 1976
Hancurnya
desa saya
KETIKA gempa terjadi tepat pukul 14.10 WIB
Rabu pekan lalu saya sedang membaca koran di muka kios Corsika Denpasar. Saya
masih sempat berteriak bersama rekan-rekan wartawan, agar buruh-buruh proyek
pertokoan turun dari tingkat atas untuk menghindari diri dari hal-hal yang tak
diinginkan. Lalu lintas macet. Kemudian, saya berkeliling kota Denpasar, ingin
mencari kisah unik dari gempa tadi. Maklum bayangan bencana alam nasional di
Irian Jaya mencekam penduduk dunia ini. Dan saya mendapatkan hal yang
lucu-lucu. Sore itu saya masih aktif mengumpulkan bahan-bahan. Di mana saja
gempa itu terjadi. Tiba-tiba ada laporan bahwa gempa yang hebat terjadi di
Tabanan, di Kecamatan Penebel. Rumah-rumah hancur, bahkan seorang dikabarkan
telah meninggal di RSU Tabanan. Seorang teman yang baru datang dari Tabanan
mendengar kabar, bahwa Desa Apuan hancur. Saya mencoba untuk mengumpul bahan
lebih banyak, dan ternyata di RSUP Sanglah saya ketahui, yang hancur adalah
Desa Pupuan. Rupanya Apuan yang dimaksud teman tadi adalah Pupuan. Belum juga
tersentuh hati saya. Belum terbayang bagaimana hebatnya gempa di hari suci,
Buda Keliwon Pahang itu. Barangkali dibesar-besarkan saja, maklum berita dari
mulut ke mulut. “Desa Pujungan juga hancur. Balai banjar Pujungan yang indah
itu rata dengan tanah”. kata seorang di RSUP. Pada saat saya mendengar kabar
itu, saya bagaikan tak percaya, bagaimana mungkin balai banjar yang kokoh itu
rata dengan tanah. Jadi bagaimana dengan rumah saya yang tak jauh dari bangunan
kokoh itu. Ketika saya meninggalkan RSUP menjelang malam, memang terjadi
sesuatu yang lain. Dikabarkan korban-korban gempa ramai-ramai dikirim ke
Denpasar, dari Negara juga dari Buleleng. Dan spontan hati saya terlonjak,
bagaimana dengan desa Pujungan, desa saya? Bagaimana dengan ibu dan 2 adik saya
yang kecil? Malam itu pula saya langsung meminjam jeep Toyota untuk dibawa
pulang. Barangkali ada yang perlu pertolongan mendesak, fikir saya. 3 Kali
Benar. Kabupaten Tabanan tak ubahnya seperti negeri kalah berperang. Orang
ramai berkerumun di muka rumah, di tanah lapang. Mobil-mobil patroli hilir
mudik. Rabu malam itu ada instruksi dari Bupati Tabanan, agar penduduk jangan
tidur di dalam rumah. Barangkali untuk menghindari adanya gempa susulan, yang
tentu tak diingini. Sampai di Bajera, memang belum ada tanda-tanda bahwa
terjadi gempa yang dahsyat, kecuali melihat kerumunan orang di jalan. Juga
emper-emper toko dipenuhi oleh anak-anak yang tertidur, sementara orang tuanya
(terutama ibu-ibu) terpaku dengan mata melongo. Berjalan melewati Desa Antosari
ke utara, suasana lebih menakutkan. Bukan rumah yang roboh, tetapi mobil
pickup, bemo, truck mengalir dari kaki gunung membawa orang-orang. Ada
pengungsian besar-besaran? tanya saya di hati. Dan belum juga terbayang,
bagaimana besarnya gempa itu. Sampai di Belimbing, baru terasa ada bencana
alam. Balai banjar dan beberapa rumah penduduk retak-retak dan roboh
sebagian-sebagian. Desa Belimbing jaraknya 15 km dari Desa Pupuan, yang
dikatakan hancur itu. Suasana di sini masih agak biasa penduduk ramai-ramai
keluar rumah, ke tempat lapang. Dan di Desa Sanda, mulai kesedihan mengguncang
hati saya. Rumah-rumah bata hancur. Pinggir jalan dipenuhi tenda-tenda untuk
tidur darurat. Hansip siap mengawasi jalan dan berjaga-jaga. Setiap mobil yang
lewat, mata mereka nanar menatap. Jika mobil berhenti, mereka berkerumun, dan
tanpa ditanya, penduduk ini sudah menjelaskan: “terjadi lebih dari 3 kali
gempa”. Di Desa Batungsel mobil yang saya bawa berhenti sejenak. Di desa yang
jalannya lurus ini pemandangannya seperti agak lain. Beberapa rumah kelihatan
hancur, namun pinggir jalan dipenuhi mobil penumpang “Manis”. Mereka rupanya
bersiap-siap untuk “lari” kalau ada gempa lagi. Yang dikuatirkan adalah senasib
dengan Irian Jaya, terjadi tanah longsor. “Syukur di sini belum ada korban
jiwa. Kita selamat. Dan ini belum seberapa parahnya”, kata orang ramai di
Batungsel, 6 km dari Pupuan. Kalau di Batungsel, di mana tenda-tenda berjajar
di pinggir jalan belum parah, bagaimana dengan Pupuan dan desa saya Pujungan?
Bak Perang Bratayudha Pernahkah saudara membaca cerita wayang tentang perang
Bratayudha? Tenda-tenda prajurit di medan Kurusetra pindah ke desa Pujungan.
Jalan raya penuh dengan tenda-tenda darurat, di mana anak-anak, bayi-bayi,
nenek-nenek duduk-duduk tercenung menatap bulan yang bersinar terang. Duhai
sedihnya. Sedihnya. Jalan raya, sawah-sawah (di mana padi baru diketam), tanah
lapang, dipenuhi anak-anak kecil, wanita-wanita yang membisu, sementara
orang-orang laki menyalakan api mengusir dinginnya malam. Saya melupakan
sejenak kesedihan itu. Saya ingin cepat-cepat melihat rumah saya, ingin tahu
nasib ibu dan adik-adik yang kecil, tanpa ada orang laki lain. Ternyata rumah
saya, sudah tak bisa dikenal identitasnya lagi. Yang ada hanya tumpukan bata
dan genteng yang pecah. Syukur keluarga saya selamat, dan saya temui dalam
“pengungsian” di tengah sawah setelah cukup payah mencari atas bantuan Kelihan
Dinas setempat. Anda ingin tahu kerusakan di Desa Pujungan yang dikatakan
“belum separah Pupuan atau Seririt?” Desa Pujungan dulunya berstatus Banjar.
Karena besar menjadi Desa Dinas, melepaskan diri dari Pupuan. Garis tengah desa
ini 1,25 km, dan bukan saya sombong, kebanyakan rumah bata. Untuk mencari rumah
yang utuh seperti sebelum gempa, sangat sulit. Tetapi untuk mencari rumah yang
hancur total, yang rata tanah (seperti rumah saya) ada di mana-mana. Jika kita
ada di jalan raya, katakanlah di muka Balai banjar yang hancur 99,99O itu,
menoleh ke selatan roboh, ke utara rumah roboh. Di mana-mana roboh. Malam itu
pula saya ikut berkeliling ke Desa, bukan untuk mencari bahan berita saja,
tetapi lebih banyak tugas kemanusiaan untuk desa saya. Siapa tahu ada penduduk
yang luka berat dan segan untuk melaporkan. Sedihnya, lampu petromak yang ada
sangat terbatas, padahal setiap rumah di desa ini gampang ditemui lampu
petromak. Ternyata, lampu petromak adalah satu di antara barang-barang yang tak
sempat diselamatkan. Rupanya gempa yang paling dahsyat adalah yang pertama (jam
14.08 wib di Pupuan. Catatan di Meteorologi jam 14.10 wib. Kalau catatan ini
benar semua, gempa dahsyat itu terjadi 2 menit. Begitu gempa begitu ada tanda-tanda
rumah roboh. Orang berlarian keluar, tak ingat lampu petromak, baju-baju,
barang-barang berharga atau selimut. Sekejap mata saja kehancuran total telah
terjadi. Begitu penduduk tersadar dari bencana ini, mereka ramai-ramai menangis
tersedu. Sambil menangis yang dikerjakan adalah mencari anggqta keluarga.
Setelah kumpul, merenungi nasibnya di depan rumah yang roboh. Baru kemudian
mencoba mengangkat reruntuhan ingin mencari barang-barang yang tertindih.
Tetapi, gempa kedua menyusul sekitar jam 15, ada yang mengatakan sekitar jam
16. (Di Denpasar tidak terasa). Pendudukpun mulai panik. Akhirnya semua
berkesimpulan, gempa akan terus susul menyusul. Ditinggalkanlah barang-barang
yang tertindih itu. Nyawa harus dipentingkan dengan pergi ke tengah sawah, ke tanah
lapang atau ke jalan raya. Yang dibawa hanya pakaian yang melekat di badan.
Kalau desa Pujungan sudah demikian sedihnya, bagaimana dengan Pupuan? Atau
Seririt? Atau Negara? Atau desa-desa antara Seririt dan Pupuan? Atau
pondok-pondok di pinggir tebing? Barangkali saya bisa laporkan di lain
kesempatan. Yang jelas gempa ini termasuk luar biasa. Malam itu semua pejabat
daerah dan Kabupaten turun ke lapangan, meninjau.