Tempo
28 Januari 1984. MESKI namanya tak lagi muncul tiap hari di media massa seperti
sewaktu menjadi menteri penerangan, Ali Moertopo masih sering disebut-sebut
dalam pembicaraan sehari-hari.
Terutama
bila masalahnya mengenai politik Indonesia. Mungkin ini merupakan petunjuk
bahwa bekas wakil kepala Bakin dan asisten pribadi presiden ini hingga sekarang
masih tetap diperhitungkan”. Sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ali
Moertopo, 60, masih sering muncul di depan umum. Dua pekan lalu, misalnya, ia
hadir dalam Hari Wisuda Universitas Indonesia. Bersama istrinya, ia sempat
berfoto bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto, serta
anak sulungnya, Haris Ali Moertopo, yang hari itu diwisuda sebagai insinyur.
Akhir pekan lalu, selama hampir dua jam, ia berbincang-bincang tentang berbagai
hal dengan Susanto Pudjomartono dan James R. Lapian dari TEMPO, di kantornya di
DPA. Di dinding ruang tamunya, tergantung sebuah foto: Ali Moertopo bersama
Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah. Bicaranya tetap
tegas dan lantang seperti dulu. Tak terlihat tanda-tanda kesehatannya
terganggu. Hanya sesekali suaranya terdengar bergetar. Petikan dari wawancara
itu: Bagaimana rasanya pindah dari tugas eksekulif (menteri) menjadi penasihat?
Ada beberapa dimensi yang bisa dilihat. Dari sudut kepentingan pribadi,
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab saya sekarang ini lebih ringan,
menyenangkan, dan menguntungkan. Menurut status administrasi, DPA sejajar dengan
badan legislatif. Di sini saya berhak mendapat pensiun juga. Dari profesi saya
sebagai soldaat, saya berhak mendapat pensiun. Begitu juga sebagai bekas
peJabat eksekutif. Ini sangat menyenangkan: orang kok bisa punya tiga pensiun
sekaligus (tertawa). Bagaimana dengan dimensi lainnya? Kedua, dimensi
perjuangan. Sejak Orde Baru, saya menjabat asisten pribadi presiden.
Sebelumnya, saya menjadi staf pribadi presiden. Kalau dilihat fungsinya dengan
pekerjaan saya sekarang, sama saja. Dulu, bahkan lebih rendah, karena hanya
mengajukan laporan dan terserah pemakai. Sebagai anggota DPA, kini saya
berkewajiban memberikan laporan, baik diminta maupun tidak. Dari segi ini, saya
merasa bangga. Kok saya bisa mendapat kesempatan sebaik ini (diangkat sebagai
anggota DPA). Sudah punya kesempatan begitu banyak, diberi kesempatan lagi.
Karena itu, saya menganggap DPA sebagai lahan baru. Karena itu, kalau saya tak
berhasil, memalukan sekali. Apa ukuran keberhasilan itu? Itu bisa dilihat bila
saya bisa menuangkan pemikiran saya dalam kerja DPA yang mempunyai nilai
strategis konsepsional. Menyadari DPA sebagai lembaga tinggi negara yang
mempunyai sistem kerja kolektif, ambisi perjuangan saya adalah agar saham
pemikiran yang saya berikan bisa dimengerti oleh si pemakai. Dalam hal ini
presiden. Artinya, dapat digunakan untuk mengisi kelengkapan kebijaksanaan
pimpinan negara dan bangsa. Dan tentu bermanfaat bagi bangsa dan rakyat
Indonesia. Dari berbagai jabatan yang pernah Bapak pegang, mana yang paling
cocok? Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP,
bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak
begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk
Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut
latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar
bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata
Jepang saja: sayonara. Lalu bagaimana ceritanya hingga bisa menjadi tentara? Baru
pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk
Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI
(Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat
prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi
rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintala, saya
memimpikan menjadi kapten. “Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten,”
doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak
pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada
orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya
cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps,
saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di
medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata,
“Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi
kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.” Tapi promosi
saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora.
Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama
meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa
menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak
terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman
lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa
dan negara, berarti saya telah berkhianat. Oleh sementara pengamat, Bapak
dianggap sebagai salah satu power centre di Indonesia, sebagai patron dari
suatu kelompok politik. Bagaimana tanggapan Bapak? Berdasarkan Undang-undang
Nomor 3/1975, hanya ada kekuatan politik dua parpol dan Golkar di Indonesia.
Karena itu, saya tidak setuju kalau saya dianggap sebagai powerpolitik.Kalau
saya ikut “main”, itu saya akui. Tapi itu dalam artian iktikad baik saya
mengabdi kepada bangsa dan negara menuju sistem kehidupan bangsa di bidang
politik, yang mendukung stabilitas nasional jangka panjang. Bagaimana Bapak
melihat situasi politik dalam negeri Indonesia saat ini? Dilihat dari sistem
politik, kita berada pada suatu titik di mana sistem yang formal sudah selesai,
tapi riil belum. Yan saya maksud formal adalah dua parpol dan Golkar. Yang
riil, terutama di dua parpol itu, belum selesai. Misalnya musyawarah di dalam,
menentukan kongres, masalah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Sebetulnya, kalau dilihat dari segi kepentingan nasional, kedua parpol dan
Golkar adalah milik bangsa Indonesia. Milik saya, milik mereka, milik semuanya.
Jadi, seharusnya kita tidak saling masa bodoh. Orang yang rasional mengabdi
kepada bangsa dan negara berdasarkan kesadaran penuh, (hingga) harus mengerti
pentingnya PPP dan PDI. Bila keduanya mendapat kesulitan, semua orang harus
membantu. Tapi harus tahu batas dan tidak mencampuri urusan intern mereka. Di
sinilah dulu saya sering dianggap manipulator politik, karena saya selalu
membantu. Saya beranggapan, semua organisasi politik di Indonesia milik kita
bersama. Berarti saya ikut memiliki. Jadi, kalau saya tidak blsa membantu, ya,
saya ini bukan warga negara yang baik. Yang penting, saya tahu batasnya. I know
the border. Ada anggapan Bapak sekaran berubah. Misalnya dulu menentang
peembagaan Angkatan 66, tapi sekarang menyetujui. Buat saya, yang pertama kali
harus dinilai dari Angkatan 66 adalah: mereka exist atau tidak Untuk itu,
mereka harus memenuhi tiga syarat. Pertama, telah melakukan gerakan yang
mengakibatkan perombakan menyeluruh. Ini telah mereka lakukan. Kedua, konsepsi.
Ternyata, mereka mempunyai konsepsi Tritura. Ketiga, nilai sejarah. Dalam hal
ini, perjuangan Angkatan 66 juga punya: dari Orde Lama ke Orde Baru. Berarti,
keberadaan Angkatan 66 sudah memenuhi persyaratan. Masalahnya: mau atau tidak
diadakan pelembagaan Angkatan 66? Kita ingin melanjutkan penertiban atau
strukturisasi Angkatan 66 dalam bentuk lembaga atau tidak? Saya sendiri tidak
berkeberatan dengan pelembagaan Ankatan 66. Saya menyodorkan alternatif
terbaik: pelembagaan lewat KNPI karena ia merupakan forum pemuda nasional. Bila
ada yang menginginkan tidak melalui KNPI, itu terserah. Demokrasi. Cuma apakah
cara itu nantinya bisa diterima masyarakat atau pemerintah. Benarkah pada 1981
Bapak pernah menentang pelembagaan ini? Bukan itu yang saya maksudkan. Waktu
itu ada yang tidak menginginkan KNPI, dengan alasan lembaga Angkatan 66 lebih
baik sempurna, dan relevan. Jadi, yang akan dihilangkan KNPI. Hal itu buat saya
tidak benar. Kalau memang begitu, mati pun saya lakon (jalani). Bapak kelihatan
amat fit. Bagaimana kesehatan Bapak sekarang? Kesehatan saya dipengaruhi dua
unsur. Pertama, umur. Itu Tuhan yang menentukan. Kedua, saya memang sakit
jantung dan sudah dioperasi. Secara medis, saya tidak apa-apa. Tapi sebagai
manusia yang telah mempunyai umur tua, saya ya harus eman-eman (berhati-hati)….
Apakah Bapak merencanakan menulis memoar? Saya tidak senang menulis memoar
karena di Indonesia ini yang laku emosi. Bila saya menulis memoar, nanti ada
yang tersinggung dan tidak senang. Lebih baik menulis hal yang lain, yang
bersifat historis konsepsional-strategis. Dengan begitu, ide dan gagasan saya
tidak akan mati. Saya bisa mati, tapi ide itu jalan terus.