Tempo
06 Desember 1975 JUMAT sore, 2 Nopember 1975 jam 14.15 WIB (atau jam 7.15 GMT)
Fretilin telah memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur.
Reuter
dari Dili memberitakan, proklamasi sefihak itu ditandai dengan penurunan
bendera Portugal di alun-alun Dili disusul dengan pengibaran bendera
hitam-merah-kuning Fretilin, hening cipta semenit dan pembacaan teks proklamasi
oleh ketua Fretilin FX do Amaral. Portugal, tidak menunggu lama untuk memberi
reaksi. Hari itu juga, seperti dilaporkan oleh Dubes RI di Lisabon Ben Mang
Reng Say kepada pemerintah Pusat di Jakarta, Portugal menyatakan turut
mendukung proklamasi Fretilin. Alasan Lisabon konon karena “tidak tercapai kata
sepakat soal tempat perundingan”. Sebaliknya alasan Fretilin memproklamirkan kemerdekaannya
secara sefihak karena “Portugal terus bersikap enggan mengadakan perundingan
perdamaian” dan didorong oleh “pergolakan di perbatasan”. Demikian dikemukakan
oleh komandan militer Fretilin di Dili, Rogerio Lobato. Selimut Roma Begitu
dukungan Portugal sampai ke Jakarta, pemerintah Indonesia kontan menyatakan
sikap. Sabtu pagi lalu, pertemuan Kabinet terbatas antara Presiden Soeharto,
Menlu Adam Malik, Menteri Sekneg Soedarmono dan Menpen Mashuri menghasilkan
pernyataan sikap: “Indonesia sangat menyesalkan proklamasi sefihak fihak
Fretilin. Ini jelas-jelas bertentangan dengan usaha yang terus-menerus
dilakukan oleh fihak Indonesia ke arahnnya perdamaian dan penentuan nasib
sendiri rakyat Timor Portugis”, kata Menpen Mashuri selesai rapat Kabinet terbatas
di Bina Graha. “Indonesia juga sangat menyesalkan dukungan pemerintah Portugal
bagi proklamasi Fretilin”. Dengan demikian “Portugal telah menggunakan
perundingan Roma sebagai selimut untuk menutupi politik mereka yang
sebenarnya”, kata Menpen Mashuri. Penyesalan Indonesia itu memang dapat
dimaklumi. Sebab justru untuk meyakinkan pemimpin-pemimpin UDT dan Apodeti agar
mau menerima tempat perundingan mana pun yang diusulkan oleh Portugal–asal di
wilayah Portugis, sesuai dengan perjanjian Roma — Menlu Adam Malik ada niat
berkunjung ke Atambua. Tahu-tahu Fretelin mengumumkan kemerdekaan sefihak, –
yang dapat memancing fihak-fihak lain untuk melakukan tindakan yang serupa.
Karena itu, “pemerintah RI tetap berpendirian bahwa masa depan Timor Portugis
mesti ditetapkan oleh seluruh rakyat Timor Portugis sendiri. Dan Indonesia
tetap tidak bisa mentolerir situasi di Timport yang dapat membahayakan
stabilitas di kawasan ini”. Begitu penegasan Pemerintah R.I. sebagaimana
disampaikan Sabtu lalu. Sipil-Militer Berita yang mengejutkan dari Dili itu
sampai di Jakarta, setelah hampir seminggu lamanya pers Australia ramai lagi
dengan berita “penyerbuan tentara Indonesia di Timport”. Menanggapi pers
Australia, sumber diplomatik di Canberra menyatakan bahwa “belum ada konfirmasi
tentang invasi Indonesia itu”. Pada waktu yang sama, selama minggu menjelang
proklamasi sefihak Fretilin itu, Sekjen Fretilin Alarico Jorge Fernandes serta
Ketua Birpol & Luar Negeri Ramos Horta berkunjung ke Kedubes Brasilia,
Swedia. Uni Soviet dan Amerika Serikat di Canberra. Nah, kepergian kedua
Fretilin itu – yang di dalam tubuh Fretilin sendiri konon tergolong moderat –
rupanya telah dimanfaatkan oleh sayap militer yang tinggal di Dili untuk
mendesak Ketua Fretilin agar segera saja memproklamirkan kemerdekaan dan
menjadi Presiden Timor Timur. Seperti dikemukakan oleh orang-orang Australia
yang terakhir mengunjungi Timor, perbedaan pendapat antara sayap sipil yang
ditokohi oleh Alarico Fernandes & Ramos Horta dengan kelompok Tropaz yang
dipimpin oleh Regerio Lobato belakangan ini makin menajam. Kelompok sipil masih
menghendaki perjuangan lewat meja diplomasi–terbukti dari kawat Ramos Horta
kepada pemerintah Indonesia (TEMPO, 29 Nopember). Kesediaan ini mungkin juga
didasari adanya kartu truf Fretilin berupa penahanan Wakil Ketua UDT Monsinho
dan Sekjen Apodeti Osorio Soares sebagai sandera. Namun kelompok Tro paz yang
cukup resah menghadapi serbuan laskar UDT/Apodeti, tampaknya sudah tidak sabar
lagi menunggu datangnya “legalitas” untuk bertempur mempertahankan kedudukan
mereka. Maka diputuskanlah untuk memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur di
bawah panji-panji Fretilin.
Tempo
13 Desember 1975
Setelah
Dili, Pepera
PROKLAMASI
kemerdekaan Timor Timur oleh Fretilin ternyata hanya 10 hari umurnya. Hari
Minggu 7 Desember, matahari tegak terpancang di atas alun-alun kota Dili ketika
pasukan rakyat Timor yang anti-Fretilin menyerbu masuk ke bekas ibukota koloni
Portugis.
Mereka
dibantu oleh sukarelawan-sukarelawan Indonesia, yang menurut keterangan pemerintah
Indonesia sudah “sulit ditahan untuk melindungi para penungsi kembali ke
kampung halamannya, serta membantu saudara-saudaranya membebaskan diri dari
penindasan dan teror Fretilin”. Sedang menurut Menlu Adam Malik, kehadiran
pasukan Indonesia di sana adalah atas permintaan UDT/Apodeti “untuk mencegah
pertumpahan darah lebih lanjut”. Jatuhnya Dili agaknya bukan surprise lagi.
Makanya sebelum hari Minggu 7 Desember itu, 3 pemimpin Fretilin sudah lari ke
Lisabon via Sydney, untuk selanjutnya mengadukan perkara mereka ke PBB.
Ketiganya itu adalah komandan militer Fretilin Rogerio Lobato, kepala biro
luar-negeri Ramos Horta dan kepala biro politik Mar’i Alkatiri. Belum diketahui
bagaimana nasib “Presiden” Republik Demokrasi Rakyat Timor Xavier do Amaral
serta PM-nya, Nicolao dos Reos Lobato, saudara kandung Rogerio. Juga nasib
sandera-sandera Fretilin seperti Sekjen Apodeti Osorio Soares dan wakil ketua
UDT Monsinho, yang pernah diancam mau dibunuh oleh Fretilin kalau Indonesia
menyerbu Dili. Suara Kissinger Berita pembebasan ibukota Timor Timur dari
tangan Fretilin itu, memang sudah dinanti-nanti di Jakarta. Hari Jumat
sebelumnya, Menlu Adam Malik masih mengundang 8 Dubes negara sahabat untuk
menjelaskan “gawatnya” situasi di Timor itu bagi Indonesia. Jadi diharapkan
supaya mereka “tidak kaget” apabila Indonesia melangkah setapak lebih maju
dalam krisis itu. Dubes-Dubes yang diundang antara lain dari AS, Soviet,
Australia dan Selandia Baru di samping negara-negara ASEAN. Pada saat yang
sama, Menlu AS Henry Kissinger di Istana Negara menjelang pergi, menyatakan
belum pernah menerima kawat Fretilin yang meminta jasa-jasa baik AS agar
Indonesia tidak campur tangan di Timor Timur. Kawat serupa telah dilayangkan
pula ke Peking. Tapi sebaliknya dari pada memenuhi – permintaan Fretilin, “AS
tidak mengakui pernyataan kemerdekaan secara sefihak oleh Fretilin”, ujar
Kissinger pada para wartawan yang mengerumuninya. Soal Timor, adalah soal
domestik Indonesia, begitu si juru pendamai memberikan penegasan politik
negaranya. Sedang pernyataan politik terakhir dari fihak Indonesia menjelang
pendudukan Dili, datang dari Senayan. Menguatkan pernyataan pendapat Oka
Mahendra SH dan 103 kawan-kawannya, sidang pleno DPR-RI hari Sabtu 6 Desember
kemarin mendesak pemerintah RI agar segera mengambil langkah untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban di Timor Timur. Itu merupakan “syarat mutlak” bagi
penyelengaraan langkah-langkah positif, untuk mengetahui kehendak rakyat Timor
Timur dalam penentuan nasibnya sen diri secara bebas, tertib, aman dan damai.
Seperti dalam kejadian”proklamasi” Fretilin (TEMPO, 6 Desember), maka negara
pertama yang menangapi perkembangan baru di Dili itu adalah Portugal. Kali ini
dengan mengunci pintu Kedubes Portugal di lantai 23 Wisma Nusantara. Portugal
yang baru saja mempererat tali diplomatiknya dengan mengangkat status kantor
konsulatnya menjadi Kedutaan, hari Senin yang lalu memutuskan sama sekali
hubungan diplomatiknya dengan Indonesia. Itu berarti Dubes Indonesia di
Lisabon, Ben Mang Reng Say juga segera harus angkat kaki dari ibukota Portugal
yang belakangan ini selalu panas. Menyusul pula kecaman Radio Peking – corong
resmi pemerintah RRT — ke alamat pemerintah RI, sebagaimana dikemukakan siaran
radio VOA Senin lalu. Mau Gerilya “Kita sangat menyayangkan tindakan Portugal
itu”, kata Menlu Adam Malik di Pejambon. “Mungkin mereka mendapatkan informasi,
dan menyangka kita yang masuk”. Lantas soal bantuan sukarelawan Indonesia itu?
“Di sana kan juga ada bantuan”, katanya menuding ke alamat Fretilin dan pendukung-pendukungnya
dari Australia. Tambahnya pula: “kita sudah menyampaikan pada PBB, bahwa
Indonesia tidak akan melakukan invasi. Kita tidak ingin mencampuri urusan sana,
tapi rakyat di sana itu yang mau integrasi dan minta bantuan kita”. Alasan
peniriman bantuan: dengan adanya dua proklamasi (Fretilin dan yang
anti-Fretilin) sudah tidak ada lagi itu program dekolonisasi dan Memorandum
Roma. Menteri Malik juga tidak dapat menerima pernyataan sikap RRT. Katanya:
“sebagaimana kita dulu tidak mengutuk RRT waktu mereka mengambil pulau Paracel,
kita minta pengertian bahwa di Timor itu ada rakyatnya yang ingin bergabung
dengan Indonesia. Dunia boleh protes, tapi kalau rakyat sana mau menerima,
tidak ada hak dunia untuk memprotes”. Dan untuk memperoleh legalisasi dari keinginan
rakyat di sana, Indonesia segera akan mengadakan penentuan pendapat rakyat di
sana. Lantas baaimana dengan Fretilin dan pendukung-pendukungnya yang katanya
mau gerilya? Seperti yang dikabarkan oleh Radio Australia, Senin lalu ketiga
pemimpin Fretilin yang sudah berangkat ke Lisabon membatalkan rencananya untuk
terus ke markas PBB di Lake Success, New York. Kata Ramos Horta pada wartawan
di Lisabon: “kami akan langsung puang ke Timor memimpin perang gerilya”. Namun
Menlu Adam Malik cukup optimis bahwa pasukan anti-Fretilin mampu mengatasi
babakan baru dalam perang merebut Timor Timur itu. Katanya: “kita ini lahir
dari perang gerilya. Perang gerilya itu, seperti ikan dan air. Gerilyawan itu
ikannya, rakyat airnya. Bagaimana mereka mau bergerilya, kalau rakyatnya sudah
mau bergabung dengan Indonesia?”