Demonstrasi
mahasiswa & gerakan pemuda 1966 dulu dituduh ditunggangi “CIA” &
dianggap “kanan”. kini penguasa khawatir, aksi-aksi anak muda dipengaruhi “kiri
baru” dari barat. tapi kebenarannya masih diuji.
ENAM
tahun jang lalu, para mahasiswa jang berdemonstrasi dituduh penguasa
“ditunggangi CIA” dan tokoh-tokoh mahasiswa luarnegeri menganggap gerakan
pemuda 1966 sebagai “kanan”. Enam tahun kemudian, tjukup terasa kechawatiran
penguasa bahwa aksi-aksi anak muda kini dipengaruhi “Kiri Baru” dari Barat. “Djangan
berkiblat ke Barat”, demikian diserukan Djendral Sumitro awal tahun ini.
Beralasan
seruan itu nampaknja, hingga koran non-pemerintah Kompas dua minggu lalu
menulis: “Radikalisme di negara-negara Barat jang dalam bentuk lahiriahnja
seakan-akan memudja Mao, Che Guevara dan lain-lain itu adalah reaksi terhadap
sistim masjarakat dan hasil kemadjuan jang berlainan dengan sistim dan fase
perkembangan masjarakat kita. Maka meniru arus radikalisme orang-orang muda
dinegara-negara Barat tidaklah tjotjok untuk perkembangan dan kebutuhan
masjarakat”. Beberapa waktu sebelumnja, Majdjen Ali Murtopo diminggu kedua
Djanuari djuga berbitjara tentang radikalisme. “Radikalisme tidak selalu
buruk”, katanja didepan Musjawarah Nasional Mahasiswa Ekonomi Universitas-Universitas
Negeri se-Indonesia di Tugu. Bagi Aspri Presiden itu, modernisasi djuga suatu
perubahan radikal, dan “penilaian terhadap siapa jang Orba atau bukan harus
dititik beratkan pada keberanian orang itu setjara radikal meninggalkan sikap
mental pola lama”. Tapi sekaligus diandjurkannja, agar kebebasan akademis
digunakan dengan “selalu mengingat etik nasional” dalam mengemukakan pendapat.
Dan minggu lalu, achirnja Presiden Soeharto sendiri jang bitjara. Dalam
pidatonja dalam Commander’s Call (jang bahasa nasionalnja kurang-lebih berarti
Rapat Kerdja Panglima) ia memperingatkan akan “kebebasan tanpa batas”,
“faham-faham liberal” serta penggunaan morfin dan narkotika–sebagai pengaruh
asing jang “tidak tjotjok dengan kepribadian bangsa Indonesia”.
We
Shall Overcome.
Mungkin
andjuran untuk berpegang pada “kepribadian nasional” itu sekedjap mengingatkan
orang pada masa Sukarno. Masa itu bukan tjuma modal asing jang diganjang, tapi
djuga “penetrasi kebudajaan asing”, hingga rambut gondrong, film-film Amerika
dan lagu-lagu The Beatles dilarang dan bahkan penjanji Kus Bersaudara
dipendjarakan. Namun tidak berarti ditahun 1972 semangat anti-Barat jang
ekstrim dari zaman 1959–165 kemhali lagi ditengah-tengah kita. Tak ada lagu
Barat jang dilarang, meskipun konon di Djawa Tengah Asisten I Pangdam VII
Diponegoro Kol. Leo Ngali menundjukkan bahwa lagu We Shall Overcome – jang
agaknja sering dinjanjikan mahasiswa-mahasiswa Semarang atau Jogja – adalah
lagu gerakan “Kiri Baru”. Singkatnja, tahun 1972 Indonesia belum menundjukkan
kembalinja “xenophobia” lama: selain modal asing diharapkan, djuga strip-tease
tetap bebas. Rambut gondrong memang tetap tak disukai, tapi tak 100% dipaksa
hapus. Panglima Brawidjaja Willy Sudjono misalnja tjukup toleran untuk melihat
dan memakainja. Dan Presiden Soeharto sendiri, nampaknja tjukup mafhum dan
moderat dalam melihat posisi Indonesia aman ini. “Kita memang harus bergerak
kearah masjarakat, jang demokratis dan lebih terbuka”, katanja.
Tapi
toch anak-anak muda, seperti 6 tahun jang lalu, kini disorot lagi sebagai jang
terkena pengaruh asing. Meski engan begitu nampak bahwa penilaian terhadap
generasi muda selama ini tidak banjak berubah pola dasarnja, tapi bisa
dimengerti. Dalam tingkah-laku, chususnja dibanjak kota besar dan dikalangan
orang besar (sipil maupun militer), anak-anak muda kini memang “lain” dari
dulu. Kebebasan sex makin longgar, dan disamping rambut pandjang, djuga
tjutbrai serta rok mini-midi-maxi muntjul dimana-mana, jang makin memiripkan
anak-anak Indonesia dengan kawan-kawan segenerasinja di Barat. Mereka djuga tak
sesopan dulu lagi pada orang-orang tua. Disamping itu, kini ada gandja jang
sebenarnja berasal dari Timur tapi setelah diambil Barat pulang kembali ke
Timur dengan “semangat” lain. Lantas ada narkotika. Lantas ada sekian lagi
tjiri lahirijah jang di Barat sering berhubungan dengan sikap anti-generasi
tua, anti-perang, anti-teknologi, anti teknokrasi, anti-Establishment. Melihat
semua itu, melihat bahwa di Barat kini rambut pandjang hampir identik dengan
radikalisme, dan kebebasan sex hampir sedjadjar dengan pemudjaan Che Guevara,
dan kegemaran pada gandja & narkotika hampir selalu berbareng dengan
keasjikan pada Mao Tje-tung, orang-orang tua pada tjemas. Djuga orang tua dan
penguasa di Indonesia kini meskipun itu tak berarti mereka berkiblat pada
ketjemasan orang tua dan penguasa di Barat. Agaknja itulah sebabnja mereka
djadi waspada kepada apa jang disebut sebagai pengaruh “Kiri Baru” di
Indonesia…..
Malam
Tirakatan.
Tapi
benarkah pengaruh Kiri Baru sudah sampai lemari? Benarkah bahwa bersamaan
dengan rambut gondrong & gandja & lain-lainnja telah tiba djuga
radikalisme dipemikiran politik? seperti anak-anak muda di Barat, anak muda
Indonesia djuga suka ribut demonstrasi dan protes, dan tidak terlalu manis
memandang penguasa. Seperti djuga di Barat, mereka suka berbitjara tentang
hakhak azasi, keadilan, kebebasan kampus, bersimpati pada jang dianggap
“tertindas” atau jang miskin, dan lain-lain. Dan meskipun di Indonesia mereka
jang berdemonstrasi tak selamanja sama dengan mereka jang ikut-ikut mode anak
muda Barat, pengaruh gelombang protes dari Amerika atau Eropa nampaknja ada
diuga dirasakan disini. Ketika diawal Oktober 1970 mahasiswa ITB Rene Coenrad
tertembak mati oleh seorang teruna AKABRI, teman-temannja melantjarkan protes
dengan memakai nama “perdjoangan hak-hak sipil”–satu istilah jang diilhami
gerakan “civil rights” di AS. Agaknja karena itu Majdjen Witono, Pangdam VI
Siliwangi, dikutip pers menilai aksi-aksi- para mahasiswa Bandung tersebut
“kebarat-baratan”.
Meski
begitu, tak dengan sendirinja berarti bahwa hal jang membikin
mahasiswa-mahasiswa itu bergerak hanjalah masalah-masalah tjangkokan dari
Barat. Dan harus diakui memang, terkadang nampak usaha mereka buat memakai
lambang-lambang tradisionil Indonesia sendiri dalam aksi-aksi. Ditahun 1970
misalnja, para pemuda jang meneriakkan “anti-korupsi” mentjoba ber-”malam.
tirakatan” di Djakarta. Beberapa waktu jang lalu di Jogja pemuda-pemuda ada
jang melakukan pepe, berdjemur dipanas siang seperti jang konon biasa dilakukan
rakjat zaman dulu bila ada sesuatu jang hendak disampaikan kepada penguasa. Dan
ketika kepada mereka dikemukakan tjelaan bahwa tingkah laku mereka kasar dan
kurang-adjar, merekapun bisa menundjukkan bahwa tingkah laku matjam itu sama
sekali bukan barang asing bagi kebudajaan asli: bukankah tokoh punakawan dalam
wajang dan tokoh ludruk, lenong atau rejog punja kebebasan untuk tidak selalu
berhalu-halus, tanpa maksud djahat? Dalam hubungan ini pula penjair W.S.
Rendra, jang populer di kalangan generasi muda kini, mengingat kan kembali akan
peran kaum “urakan” dalam kebudajaan tradisionil Djawa, sebagai orang-orang
jang tak terlalu terikat pada azas tatakrama, dan sebab itu bisa melonggarkan
ketatnja “peradaban” kaum ningrat–suatu kelonggaran jang notabene bisa
menimbulkan pembaharuan-pembaharuan. Penafsiran tentang “urakan” disitu mungkin
kurang tepat, namun betapapun terlihat adanja usaha menggali dari
perbendaharaan asli hal-hal jang bisa menghalalkan sikap “kurang sopan”
generasi muda kepada para penguasa jang djuga merupakan genersi jang lebih tua.
Dengan
kata lain. Sebenarnja tampak ada kesediaan generasi muda untuk tak bersikap
radikal terhadap tradisi sebagai satu faktor penting dalam nilai-nilai
kehidupan politik Indonesia kini. Setidaknja, mereka menampakkan diri sebagai
golongan jang tidak hendak memutuskan hubungan dengan beberapa bagian dari
chazanah kebudajaan asli tentu sadja selama tjotjok dengan selera mereka.
Marcuse
Atau Golput.
Sadar
atau tak sadar, anak-anak muda itu sebenarnja telah mentjoba menjesuaikan diri
dengan tuntutan agar mereka tidak “kebarat-baratan” dalam protes. Dibandingkan
dengan gerakan mahasiswa di Filipina atau di India misalnja pelbagai aksi
pemuda beberapa waktu terachir ini di Indonesia memang akan tampak begitu
moderat. “Apa jang kelihatan radikal pada mereka hanjalah gajanja, bukan
semangat ataupun isinja”, komentar seorang bekas tokoh mahasiswa aktivis 1966.
Mereka turun kedjalanan, tapi bukan untuk-suatu revolusi, seperti jang misalnja
tampak pada gerakan-gerakan ala Arief Budiman. Dalam penilaian Ridwan Saidi,
tokoh PB HMI: “Gerakan Arief cs. bukan gerakan jang keras, karena ia toch tak
membawa beribu-ribu mahasiswa dan tidak mengadakan pengrusakan”. Max Willar,
mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia jang aktif dalam gerakan
“ekstra-parlementer” beberapa bulan jang lalu, (dan pernah kena pukul gagang
pistol adjudan Gubernur Worang), djuga lebih melihat kegiatannja dengan
katjamata seorang bukan-radikalis. Baginja, dalam keadaan dimana penguasa
“masih mewarisi pola masjarakat feodal”, aksi-aksi pemuda merupakan
“pendidikan” buat masjarakat untuk mengenal hak-haknja.
Kaum
Kiri Baru jang menuruti adjaran Marcuse, Marx, Mao tentu akan menganggap
aksi-aksi untuk “pendidikan” bukanlah sikap radikal dan revolusioner, melainkan
hanja ilusi kaum reformis. Kaum radikal dan rerolusioner bagi mereka harus
menarik garis permusuhan jang tegas dengan penguasa, dan tak segan menggunakan
kekerasan, sedang kaum reformis pada hakikatnja hanja sematjam kaum munafik.
Tak mengherankan bila mingguan Srikandi almarhum, suara kaum “nasionalis kiri”,
pernah menuduh aksi-aksi Arief Budiman cs, dalam Golput mendjelang Pemilu 1971
sebagai hasil “permainan tinggi” untuk mentjelakakan partai-partai dan setjara
tak langsung memenangkan Golkar. Bahkan kalangan jang sama menganggap aksi-aksi
matjam itu sebagai taktik untuk memamerkan kedunia luar bahwa masih ada
“demokrasi” di Indonesia. Diagnosa Radikal.
Memang
ironis kedengaran. Dengan segala matjam tingkah-lakunja, generasi muda jang
suka mengritik dan memprotes itu bertindak demikian djustru karena masih punja
harapan kepada apa jang belakangan ini disebut sebagai “dialog” atau
“komunikasi” dengan penguasa. “Peran kami terus terang terbatas”, Chaidir
Makarim dari IMADA mengakui. Mahasiswa Teknik UII jang berusaha mengubah peran
universitas mendjadi lebih independen itu bahkan mengatakan: “Omong-kosong
perubahan terdjadi tanpa izin penguasa”. Artinja, djuga omong kosong
konfrontasi total dengan penguasa. Maka pertemuan antara generasi muda dengan
penguasa di Tjipajungnja Djanuari jang lalu, dan akan diadakan lagi April
nanti, umumnja dianggap sebagai satu bara jang baik. “Pertemuan sepeti itu
adalah usaha untuk mengingatkan penguasa kembali”, kata Ketua PMKRI Chris Siner
Kay Timu. Bagi Chris, betapapun keras kritiknja .terhadap beberapa sikap
penguasa, “ABRI masih ada harapan”. Dalam kaata Surjadi dari GMNI, “mereka
tampaknja ada kesediaan untuk mengerti”. Dan sebagaimana Tanigor Siagian dari
GMKI menilai gerakannja sebagai “gerakan kritis dan konsultatif”, baik Ridwan
Saidi maupun Akbar Tandjung dari HMI menganggap usaha ala Tjipajung sebagai
gerakan “persuasif-konsultatif’.
Begitulah:
melihat adanja kepintjangan, tokoh-tokoh generasi muda toch tak sampai
pada-suatu diagnosa radikal tentang bangunan kekuasaan sosial-politik jang ada
di Indonesia kini. Maka merekapun tak menawarkan satu therapi jang radikal
pula. Marcuse, Marx dan Mao belum laris disini, biarpun rambut gondrong dan
gandja sudah menjebar. Meski dengan fasih sementara pemuda menggunakan istilah
“Establishment” dan “anti Establishment” jang dipindjam dari slogan terachir di
Barat, atau menjanjikan We Shall Overcome, radikalisme pemuda matjam Kiri Baru
atau matjam -Filipina sampai ke Indonesia hanja sebagai kabar jang seru.
Bagaimanapun, mereka masih punja harapan atau setengah-harapan, bahwa keadaan
masih, bisa diperbaiki tanpa revolusi, tanpa perombakan sampai keakar. Tapi
sudah tentu perkembangan waktu bisa mengubah sikap. Dan begitu djuga penguasa.
Sebab djumlah anak muda makin banjak dan lapangan kerdja serta pendidikan masih
ruwet, dan radikalisme bisa sadja tumbuh, dengan atau tanpa pengaruh Kiri Baru.
Apalagi djika penguasa menimbulkan keketjewaan-keketjewaan baru.
Enam
Tahun Yang Lalu: Generasi …
Aksi-aksi
pemuda 1966 besar perannya dalam membubarkan PKI & menjatuhkan Sukarno.
Meski bekerjasama dengan ABRI, cara yang ditempuh keduanya berbeda. pemuda tak
sabar, sedang ABRI terlalu hati-hati.
11
Maret 1966.
Ibukota
Republik. Sepasukan RPKAD tanpa tanda kesatuan mengepung Istana. Dan dalam
tjerita jang kemudian terkenal, Presiden Sukarno jang waktu itu sedang memimpin
rapat kabinet, terkedjut. Serta merta ia naik helikopter menudju Bogor, bersama
Dr. Subandrio jang hampir ketinggalan sepatu. Beberapa djam kemudian pada hari
jang sama, di Istana Bogor menjusul tiga djendral: Basuki Rachmat, A.M. Jusuf
dan Amirmachmud. Melalui utusan ini, diperolehlah dari Presiden Sukarno “Surat
Perintah 11 Maret”–jang pada hakikatnja sebuah mandat kekuasaan luarbiasa
kepada Jendral Soeharto. Arti “Surat Perintah 11 Maret” jang lazim disingkat
djadi Super Semar itu mendjadi nampak pada keesokan harinja. Pasukan-pasukan
RPKAD berkeliling Djakarta dalam suatu “penampilan kekuatan” dan disambut
meriah didjalan-djalan oleh beribu-ribu mahasiswa, peladjar dan pemuda dengan
teriakan “Hidup ABRI”. Sematjam pesta kemenangan bergemuruh di Djakarta saat
itu, setelah hari-hari penuh antjaman dan ketidak pastian menjelubungi Republik
Indonesia sedjak peristiwa berdarah 30 September 1965. Hari itu mahasiswa
berdjabat tangan dengan pradjurit-pradjurit, dengan kawan-kawan mereka,
bagaikan menjambut pasukan pembebas. “Bahkan buat seorang pengamat jang berhati
keras”, tulis koresponden harian Times London tentang peristiwa bersedjarah di
Djakarta itu, “agak sulit untuk tidak terharu melihatnja.
“Penunggangan”.
Dikenang
kembali 6 tahun kemudian peristiwa itu mungkin terlebih mengharukan sebagai
sesuatu jang hilang. Pada hari itulah manifestasi puntjak dari jang kemudian
disebut “partnership” ABRI dan generasi muda. “Tanpa aksi-aksi mahasiswa
didjalan-djalan”, seorang perwira ABRI mengingat 11 Maret 1966, “efek
psichologis dari pengepungan Istana mungkin tak ada artinja”. Sebaliknja, tanpa
bantuan ABRI demonstrasi-demonstrasi jang bermula sedjak Oktober 1965, dan
makin besar pada 10 Januari dan achir Pebruari 1966, djuga tidak akan
menghasilkan suatu perobahan politik penting. Bagi para pendukung Presiden
Sukarno dan mungkin bagi Sukarno sendiri, bantuan ABRI itu sudah tentu
merupakan “penunggangan” –meski jang disebut sebagai “penunggang” anak-anak
muda waktu itu adalah “CIA”, atau “kekuatan subversif”, Tapi bagi para
mahasiswa dan peladjar, sudah tentu soalnja tidak demikian. “Setiap gerakan
dilakukan bersama”, kata Cosmas Batubara, bekas tokoh KAMI tentang hubungan
kegiatan ABRI-mahasiswa waktu itu. “Tapi tjaranja main memang berbeda”. Fihak
ABRI memang lebih berhati-hati, mungkin karena ikatan disiplin organisasi,
mungkin karena mereka lebih berumur, dan mungkin djuga karena tahu, bahwa ABRI
belum kompak benar waktu itu. Meski begitu, waktu KAMI dibubarkan Presiden
Sukarno 25 Pebruari 1966, pimpinan mereka dilindungi beberapa kalangan ABRI,
disebuah markas Kotrad.
Itu
tak berarti perbedaan pendapat tidak terdjadi, diantara kerdjasama
kesatuan-kesatuan Kostrad, RPKAD dan Siliwangi dengan para mahasiswa serta
peladjar. “Mahasiswa sering tak sabar menunggu”, tjerita Marie Muhammad minggu
lalu tentang saat mendjelang 11 Maret 1966, sebagai bekas tokoh KAMI jang waktu
itu djuga dilindungi di Kostrad, “dan mendorong pimpinan RPKAD Pak Sarwo Edhie
dan Pak Prijo Pranoto, Ali Murtopo, Kemal Idris dan Yoga Sugama”.
Amirmachmud.
Didjalanan,
dari pelbagai sudut dan kelompok, dorong-mendorong antara kekuatan-kekuatan
ABRI dan generasi muda djuga terdjadi – meskipun tanpa koordinasi langsung.
Dalam kata-kata bekas ketua KAPPI Husnie Thamrin, “kerdjasama dengan ABRI
dimasa itu ada, tapi tidak terikat”. Seperti Marie, Husnie djuga sering
“djengkel” dan “tak sabar” melihat kehati-hatian ABRI mendjatuhkan “Orde Lama”,
bahkan kadang-kadang merasa dihambat. “Dengan Kodam V Djakarta misalnja kami
tak punja kontak”, kata Husnie pula, “lebih-lebih Amirmachmud, sebagai Panglima
Kodam, Sukarno-nja tebal sekali waktu itu”. Dalam saat-saat ketidak sabaran,
demikianlah Husnie Thamrin berkisah, “kami kemukakan bahwa kalau aksi-aksi kami
kalah, maka tak akan ada lagi generasi jang berani dimasa depan”. Sebaliknja,
kalau berhasil, “mungkin generasi mendatang lebih berani dan lebih radikal.
Kini,
6 tahun kemudian, bisa dilihat bahwa aksi-aksi 1966 tjukup berhasil. PKI
dibubarkan, Sukamo djatuh, dan pembangunan ekonomi mulai dilakukan dengan lebih
serius. Adakah generasi muda sekarang “lebih radikal”?