Fakta Sejarah

Fakta Sejarah Pahit Indonesia yang Tidak Ada di Buku Sejarah
AGRESI MILITER BELANDA S/D G30S (1945-1967)
Tidak banyak literatur yang mengulas tentang partisipasi Amerika Serikat pada salah satu masa paling kelam dalam sejarah Indonesia, yakni pada medio 1945-1949 saat Agresi Belanda. Pentingnya peran Paman Sam dalam terselenggaranya invasi militer yang dilakukan kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, telah banyak disertakan dalam jurnal dan tesis sejarawan, salah satunya H.W. van den Doel, sejarawan Belanda mumpuni yang menyertakan kebijakan luar negeri AS sebagai salah satu variabel signifikan dalam dinamika invasi militer Belanda di tanah air.

Dukungan Whasington Untuk Kolonialisme Belanda
Dalam studinya, H.W. van den Doel juga menyebutkan bahwa dukungan Washington terhadap praktek kolonialisme Belanda di kepulauan Indonesia telah jauh dicanangkan dari awal tahun 1920, dan masih belum berubah pada pasca PDII, tak tergoyahkan oleh sentimen anti-kolonialisme yang mulai menjadi wacana mengemuka di peradaban barat. Prinsip paling fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika yang lebih tinggi dari ‘Sepuluh Perintah Tuhan’, adalah perjuangan suci untuk melindungi kepentingan AS dan kroni-kroninya di muka bumi. Adalah absurd untuk mengasumsikan proses kolonialisasi Belanda di Indonesia dapat berlangsung dengan lancar apabila bertolak-belakang dengan visi geopolitik Washington. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda pra dan pasca kemerdekaan di tanah air sudah sejalan dan harmoni dengan kebijakan luar negeri Paman Sam.

Situasi pasca PDII, memasuki era Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet adalah faktor utama yang melebarkan jurang perbedaan visi kebijakan luar negeri Amerika dengan gerakan anti-kolonial di Asia Tenggara. Setelah Presiden Sukarno memohonkan dukungan ke Washington pada Oktober 1945, Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia bertemu dengan Harry Truman pada bulan Desember tahun yang sama untuk kembali memohon bantuan.

Keadaan yang belum disadari para pemimpin muda Republik Indonesia pada saat itu adalah situasi politik di arena Eropa pasca PDII yang mulai direpotkan oleh kehadiran musuh baru, yakni partai-partai komunis yang mulai merebak di Prancis, Itali, Inggris dan Belanda, yang mengancam kepentingan para pemodal dan pertumbuhan kapitalisme di Eropa. Karena ini, kebijakan luar negeri administrasi Truman tidak mungkin mendukung gerakan nasionalis anti-kolonialisme di wilayah koloni Eropa, yang beresiko untuk memiliki dampak langsung terhadap dinamika politik dan ekonomi di Eropa. Analisa geopolitik dari Departemen Perencanaan Kebijakan AS saat itu menilai, bahwa lebih ‘aman’ untuk mendukung kolonialis Belanda daripada mendukung revolusi politik dan gerakan nasionalis anti-kolonialisme yang sulit ditebak arahnya (1). Paman Sam memutuskan untuk mendukung penuh agresi militer sekutunya Belanda meskipun telah mengumumkan posisi netral dalam konflik tersebut.

Usaha Pemulihan Ekonomi Eropa Setelah PD II
Belanda sendiri, sebagai sekutu yang telah membuktikan kesetiannya kepada Amerika selama PDII, diberikan dukungan penuh atas legitimasi kolonialisasi di Hindia Belanda(2), melalui bantuan finansial Marshall Plan (semacam IMF untuk negara-negara Eropa yang terkena imbas PDII), salah-satu butirnya menyebutkan agar Belanda menggunakan pinjaman Marshall Plan untuk membangun kembali perdagangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia). Indonesia menjadi satu-satunya negara koloni Eropa yang tercantum sebagai butir dalam perjanjian bantuan Marshall Plan, dan dengan ini Belanda menjadi satu-satunya negara yang mendapat dukungan tertulis dari Amerika sehubungan dengan klaim atas koloninya di wilayah Asia Afrika. Adalah penyertaan Indonesia dalam Marshall Plan ini yang melegitimasi Den Haag untuk melakukan embargo ekonomi terhadap negara kedaulatan Republik Indonesia.

Amerika Mempersenjatai Belanda Untuk Agresi militer
Washington juga memberikan restu kepada militer Belanda untuk menggunakan peralatan tempur AS dalam status pinjaman, yang menambah secara signifikan ranpur Belanda pada agresi militer pasca kemerdekaan. Pada musim gugur 1945, Sekretaris Negara AS George C. Marshall memerintahkan untuk mencabut seluruh identitas militer AS yang menempel pada peralatan dan kendaraan tempur (termasuk pesawat P-47 Thunderbolt, tank Sherman dan Stuart) yang akan digunakan oleh pasukan SEAC (South East Asia Command) Lord Louis Mountbatten untuk membantu Belanda membombardir Surabaya pada 10 November 1945. Pada 30 November 1946, pemerintah AS secara gratis meminjamkan kepada militer Belanda (melalui melalui program pinjaman ranpur) 118 pesawat terdiri dari pembom B-25, pesawat tempur P-40 dan P-51 Mustang, 45 unit tank Stuart, 459 jip militer, 170 unit artileri, dan persenjataan infantri dalam jumlah yang sangat besar untuk digunakan untuk ‘menjinakan’ Hindia Belanda. Truk pengangkut militer dalam jumlah besar, dan logistik dari arena perang pasifik pun diserahkan oleh Paman Sam kepada Belanda. Militer Belanda juga diberikan fasilitas untuk melakukan pembelian 65.000 ton logistik militer non-amunisi (3).

Amerika juga memberikan restu kepada Pemerintah Belanda untuk mengalokasikan pinjaman sebesar US$ 26.000.000 yang diberikan oleh Dinas Administrasi Aset Perang AS (WAA) pada Oktober 1947 untuk membeli senjata dan amunisi demi mendukung kelangsungan kampanye militernya di Hindia Belanda. Sampai Desember 1948, Amerika masih memboikot keanggotaan Republik Indonesia dalam Komisi Ekonomi PBB untuk Asia Timur Jauh (ECAFE), hal yang kemudian menjadi “lampu hijau” bagi Belanda untuk melancarkan Agresi Militer Jilid II dengan melakukan serangan kejutan ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948 (4). Boleh dibilang, agresi militer Belanda pasca kemerdekaan tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan langsung dan restu dari Washington (5).

Pada 17 Desember 1948, Direktur dari Departemen Perencanaan Kebijakan George F. Kennan berkata, “Salah satu variabel krusial dalam perjuangan Washington melawan Kremlin adalah masalah Indonesia.” Kennan memberikan masukan kepada Sekretaris Negara George C. Marshall, bahwa salah satu elemen vital bagi upaya pelestarian kepentingan AS di Asia dalam situasi Perang Dingin, adalah penciptaan “Indonesia yang ramah kepada Amerika” secepat mungkin. Siapapun yang menguasai kepulauan Indonesia, apakah itu pemerintahan kolonial Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia, tidak boleh dibiarkan untuk membuka pintunya kepada komunisme (6).

Kiprah Komunis Yang Semakin Menguat
Eskalasi situasi politik antara Washington dan Kremlin mulai memasuki babak baru sejak akhir tahun 1947 dengan tingkat ketegangan yang berpotensi berkembang dari Perang Dingin menjadi Perang Panas. Namun baru pada pertengahan tahun 1949, Washington dipaksa untuk meninjau ulang seluruh kebijakan luar negeri termasuk masalah kolonialisme di Indonesia dan Vietnam, dipicu oleh keberhasilan Uni Soviet dalam uji coba peledakan bom atom pertamanya. Kemenangan revolusi komunis Mao Zedong yang mengalahkan pasukan nasonalis Chiang Kai Sek makin membuat Washington seperti kebakaran jenggot, yang berpuncak pada perumusan ulang seluruh kebijakan luar negeri AS di Asia, dan penerbitan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.68 (NSC 68), yang diciptakan untuk menselaraskan sikap PBB menyesuaikan dengan strategi global baru dari Washington (7).

Namun yang tak diduga memiliki imbas positif dan berdampak langsung pada perjuangan anti-kolonialisme, adalah kegagalan Belanda menaklukan Indonesia pada agresi militer jilid II-nya yang dieksekusi dengan kekuatan penuh. Kegagalan serangan militer Belanda ke pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta ini, membuat Washington mulai hilang kesabaran, dan kehilangan kepercayaan pada kemampuan Belanda untuk menyelesaikan ‘pekerjaan’nya di Indonesia. Para analis dan pengambil keputusan di Washington mulai berhitung dan mengkaji ulang dukungan Paman Sam pada kampanye militer Belanda yang mahal di Timur Jauh.

Momen yang juga menjadi titik balik krusial yang mempengaruhi dukungan Washington kepada agresi militer Belanda yang dinilai bertele-tele, adalah kejadian pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di kota Madiun pada 18 September 1948. Soekarno yang dengan segera mengutuk percobaan coup d’état (kudeta) tersebut, serta merta memberikan pernyataan yang sangat keras melalui radio, “Bangsa Indonesia harus memilih! Saya, atau Musso??” (pemimpin pemberontakan PKI di Madiun). Di mata para pengambil kebijakan di Washington, ini adalah suatu bentuk demonstrasi keberpihakan dari para pemimpin Republik Indonesia, dan berpotensi merobah orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap konflik Belanda-Indonesia (8). Di pihak lain, rengekan Den Haag yang terus-menerus meminta dukungan tanpa disertai progres yang signifikan mulai menyebalkan terdengar di telinga.

Amerika Serikat Melakukan “Penghianatan” Pada Belanda
Kegagalan agresi militer Belanda jilid II, dan posisi Soekarno terhadap komunisme, sudah cukup bagi George Kennan dan Departemen Perencanaan Kebijakan AS untuk memberikan penilaian akhir yang akan mengakhiri keruwetan di Hindia Belanda, yakni: adalah lebih murah dan ekonomis bagi Amerika untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, daripada memberikan dukungan finansial dan ranpur kepada militer Belanda yang ‘memble’ (9). Dan konsekuensi dari keputusan ini adalah perubahan sikap Amerika yang drastis di forum Dewan Keamanan PBB pada 27 Desember 1949, ketika delegasi Amerika dengan terbuka meminta Belanda untuk menyerahkan kepulauan Indonesia kepada pemerintahan Soekarno (10). Kennan yakin bahwa Perang Dingin akan lebih mudah dimenangkan menggunakan senjata ekonomi dari pada militer. Maka, konflik yang berkepanjangan akan mengganggu hegemoni Kubu Barat di wilayah Timur Jauh, dan proses perdamaian harus segera di-instalasi untuk segera menciptakan “Indonesia yang ramah kepada Amerika”, dan memulai proses eksploitasi sumber daya alam dan manusia (11).

Gelombang demi gelombang kritik, protes, dan ratapan dilayangkan oleh Belanda dalam kefrustrasian oleh pengkhianatan sang ‘abang’, namun kesempatan tidak akan diberikan Amerika untuk ketiga kalinya. Keputusan bulat Paman Sam dibuktikan ketika Duta Besar Amerika untuk PBB Phillip Jessup bersama delegasi AS memberikan suara untuk sanksi kepada Belanda oleh Dewan Keamanan PBB (12). Pemberian sanksi ini telah membuat Belanda menjadi lelucon di Komite Bangsa-Bangsa Dunia di PBB. Bahkan budayawan Belanda Cees Fasseur mengilustrasikan upaya militer untuk memperpanjang gelar ‘induk semang’ di Hindia Belanda sebagai suatu dagelan, dan hanya Amerika yang bisa menarik mereka keluar dari tragedi yang memalukan ini (13).

Non-Blok Mengecewakan Amerika

Namun apa daya, dukungan Paman Sam kepada kemerdekaan Indonesia dengan harapan dapat mendirikan pos kekuatan baru yang akan membantu meredam gelombang komunisme di Asia, punah sudah dengan kebijakan luar negeri revolusioner ‘non blok’ Soekarno-Hatta yang mengejar posisi netral di peta politik dunia. Sedikit mereka sadari, bahwa fundamen prinsip dari Washington adalah “Siapapun yang tidak bersama kita, berarti mereka lawan kita”. Kekecewaan semakin memuncak ketika Soekarno menerbitkan kebijakan yang merangkul komunisme pada September 1950, dengan alasan harmoni sosial dan stabilitas politik. Diperparah dengan semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia di kancah politik yang dibiarkan oleh Soekarno. Ini diterjemahkan sebagai tindak pengkhianatan oleh Washington, dan memposisikan Indonesia sebagai target dari kebijakan politik agresif (14).

Black Ops Cikal Bakal Gerakan G30S PKI
Pada sebuah dokumentasi yang berjudul FRUS (Foreign Relations of the United States) Jilid ke-26 yang diterbitkan pada Juli 2001, sebuah pembahasan mendetail mengenai hubungan politik Amerika dengan Indonesia, Malaysia, Singapur dan Filipina pada medio tahun 1964-1968. Administrasi Lyndon Johnson memberikan perintah kepada CIA untuk melancarkan operasi rahasia dengan kode sandi ‘Black Ops’, yang juga dikenal dengan sebutan ‘Operasi Hitam’. Black Ops adalah Joint Operation (operasi gabungan) antara Pentagon dan CIA, yang memiliki tugas paling vital dan strategis dalam hierarki intelijen di Amerika, dengan misi-misi yang diembankan antara lain: pembunuhan kepala negara, mengorkestrasi kudeta, mengatur pemilihan umum, propaganda dan perang intelijen, semua dengan satu tujuan: yakni untuk pelestarian kepentingan Amerika dan kroni-kroninya di dalam maupun luar negeri.

Tugas yang diemban Black Ops kali ini adalah untuk menggulingkan Soekarno melalui kudeta militer yang dieksekusi pada 30 September 1965 yang diberi kode ‘GESTAPU’ (Gerakan September Tiga Puluh). Washington disebutkan melakukan transfer dana sebesar 1.100.000 dollar Amerika ke beberapa petinggi militer TNI AD untuk mengkoordinir operasi paramiliter melakukan eksekusi berdarah, yang belakangan disebut sebagai “pasukan penjagal” oleh surat kabar International Herald Tribune (15). Pada 2 Desember 1965, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green memberikan daftar seluruh anggota aktif PKI yang dikompilasi oleh CIA kepada koordinator keamanan darurat militer. Alhasil, 100.000 sampai 1.000.000 orang diperkirakan tewas oleh kudeta berdarah yang menjelma menjadi propaganda rezim Orde Baru untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Pada 15 April 1966, sebuah kawat diplomatik Duta Besar Marshall ke Washington, “keterlibatan kita sangatlah minimal sebagaimana layaknya operasi Black Ops yang sudah-sudah.”

Dimulainya Cengkraman Amerika Atas Kekayaan Pertiwi
Agenda pertama yang dilakukan oleh Soeharto sebagai PJS Presiden Republik Indonesia adalah menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 yang secara praktis menggelar karpet merah dengan memberikan kuasa pertambangan kepada Freeport yang akan mengangkut kandungan emas terbesar di dunia keluar dari Indonesia menyisakan sedikit saja bagi anak bangsa, perusahaan minyak Mobil Oil, Exxon dan Chevron (dulu masih bernama Stanvac dan Vico yang merupakan anak-anak perusahaan Standard Oil milik Rockefeller) untuk menguasai blok-blok minyak Cepu, Natuna, Aceh, Papua (secara praktis seluruh ladang minyak di tanah air), dengan kontrak mati yang selalu diperbaharui setiap tahun. Agenda politik dari kedatangan Obama ke tanah air baru-baru ini adalah untuk menekan administrasi SBY untuk melancarkan re-negosiasi di Blok minyak Cepu yang sempat alot karena kehadiran rival RRC, dan oleh beberapa nasionalis tanah air yang tobat nasuha.

SUMBER:
“Foreign Relations of the United States (Sutan Sjahrir to Harry Truman 1945) FRUS volume 6; “Shared Hopes – Separate Fears. 50 Years of US – Indonesian Relations” (Boulder CO), Paul F. Gardner
“Robert Lovett to Frank Graham 31 December 1947″ FRUS volume 6
“Army Surplus Property Disposal” (Lacey to Graham) 13 October 1947, RG59, PSA, Box No.4,NARA; “American Military Assistance to the Netherlands during Indonesian Struggle for Independence 1945-1949″ (Mededelingen van de Sectie Militaire Geschiedenis) volume 8, Gerlof D. Homan
“Australia and Indonesia’s Independence” volume 2; “The Renville Agreement Documents 1948″ (Canberra), Phillip Dorling and David Lee
“Marshall Aid as a Catalyst in the Decolonization of Indonesia 1947-1949″; “Journal of Southeast Asian Studies No.2″, Pierre van der Eng; “The United States and the Anti-Colonial Revolutions in Southeast Asia”, George McTuman Kahinl “The Origins of the Cold War in Asia” (New York), Yonosuke Nagai and Akira Iriye
“Oral Communication from Kennan to Marshall and Lovett on 17 December 1948″ (Records of the Policy Planning Staff 1947-1953), labelled “Indonesia” RG59, Box no.18, NARA
“The Cold War on the Periphery. The United States, India and Pakistan” (New York), Robert J. McMahon
“American Diplomacy”, Schulzinger
“Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower, and Dulles Debacle in Indonesia” (New York) Audrey R. Kahin
“The United States and the Struggle for Southeast Asia 1945-1975″ (Westport, London), Alan J. Levine
“Den Haag Antwoordt Niet”, Van Vredenburch
“Acheson, His Advisors, and China 1949-1950″, Cohen
“Afscheid van Indie: de val van het Nederlandse imperium in Azie” (Amsterdam), H.W. van den Doel
“US Tries to Call Black Account on Indonesian Killings” (International Herald Tribune 30 July 2001), George Lardner Jr.; “Role of CIA in the coup of 30 September 1965″ FRUS volume 26 (2001)
http://www.indowebster.web.id/archive/index.php/t-173049.html?s=0cb4db167b8a408d747dcbb44e2c28b1

* rangkuman dari buku “American Visions of the Netherlands East Indies (Indonesia): US Foreign Policy and Indonesian Nationalism 1920-1949″ (Amsterdam Univ.Press), Frances Gouda.

Kodam, Banyak Operasi bisa Digelar

MENDESAKNYA keberadaan Komando Daerah Militer (KODAM) di Kalbar mendapat dukungan banyak pihak.Tak kurang kalangan DPRD berencana akan membahasnya secara khusus dengan pihak Pemda berkait dengan keinginan dan usulan perubahan status Korem menjadi Kodam di Kalbar.

Menarik untuk dicermati sejauh mana pentingnya keberadaan sebuah Kodam didaerah ini,perlu kiranya diketahui sejarah Kodam. Dimana sebelumnya di daerah ini telah ada sebuah Kodam yakni Kodam XII Tanjungpura yang kemudian tahun 1985 dilikuidasi menjadi Korem 121/ABW seperti sekarang.

Berikut ini catatan AP Post yang diambil dari berbagai sumber dan album sejarah seperempat abad Kodam XII Tanjungpura,17 Juli 1958-17 Juli 1983.

KEMERDEKAAN 17 Agustus 1945 disambut gembira pula pejuang Kalbar dan September 1945 sudah membentuk wadah perjuangan dengan nama PPRI (Pemuda Penyongsong Republik Indonesia) pimpinan Muzani A Rani, dr Sudarso, Hamdi Moursal dan beberapa pejuang lainnya.

Dalam perkembangannya timbul sejumlah kelompok pejuang lainnya, yang semuanya berjuang melawan penjajah. Diantaranya Persatuan Bangsa Indonesia Sambas pimpinan H Sirajd Saat, Ikatan Pejuang Kalimantan di Ketapang pimpinan Rahadi Oesman dan sebagainya.

Seluruh kekuatan dan badan perjuangan tersebut merupakan wadah dan cikal bakal perintis kekuatan TNI di Kalbar, sampai diresmikannya TNI di Kalbar awal Januari 1950 oleh Panglima TT.VI/Kalimantan Letkol Sukanda Bratamanggala.

Dalam perkembangannya teritorium VI Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin, 2 Februari 1950 telah membentuk sub teritorium militer I Kalbar berkedudukan di Pontianak dibawah pimpinan Mayor Firmansyah.

Kemudian menjadi Brigade A dan kemudian berubah lagi menjadi brigade G sub teritorium militer I/ Kalbar. Kemudian 1 September 1952 Brigade G diubah lagi menjadi Resimen Infanteri 20 Teritorium VI/Tanjungpura.

Sejarah mencatat, mulai 17 Juli 1958 Resimen Infanteri 20 teritorium VI/Tanjungpura ditingkatkan menjadi Kodam Kalbar dengan panglima pertama Letkol Inf Suharto.Kemudian 12 Desember 1960 Kodam Kalbar diubah menjadi Kodam XII/Tanjungpura.

***

Banyak sejarah yang telah diukir Kodam XII Tanjungpura dalam rangka pemulihan keamanan dalam negeri terutama di Kalbar, melalui operasi-operasi khusus. Misalnya operasi pertahanan daerah (Dwikora) tahun 1963-1966. Operasi penumpasan G 30 S/PKI 1965-1966. Operasi sapu bersih menumpas gerombolan PGRS/Paraku tahun 1967, operasi sapu bersih II menumpas sisa-sisa gerombolan PGRS/Paraku dan dilanjutkan lagi dengan operasi sapu bersih III menghancurkan sisa-sisa gerombolan PGRS.

Operasi-operasi lainnya terus digelar, dengan sandi yang berbeda-beda mulai dari sisa-sisa PGRS/Paraku, penangkapan gembong PKI Kalbar SA Sofyan hingga berbagai operasi lainnya.

Tak hanya melakukan operasi sendiri yang melibatkan seluruh unsur dan kekuatan Kodam, mengantisipasi perembesan PKI/PGRS dari negeri jiran dilakukan operasi bekerjasama dengan 3-BIM dan RASKOM (Malaysia).

Disamping operasi di daerah sendiri, satuan tempur-satuan tempur yang dimiliki Kodam XII/Tanjungpura juga melakukan penugasan operasi ke luar Kalbar, diantaranya operasi penumpasan DI/TII di Jabar, Permesta di Toli-Toli Sulawesi Tengah, operasi Seroja Tim-tim sejak tahun 1979.

Kodam XII/Tanjungpura juga melakukan operasi bakti sosial ke masyarakat diantaranya operasi ABRI Masuk Desa, dan operasi manunggal sejahtera. Ketika masih menjadi Kodam pula, Kodam XII/Tanjungpura pernah mendapatkan penghargaan berupa Sam Karya Nugraha, 15 April 1974.

Dilihat dari sejarah dan keberadaan Kodam XII/Tanjungpura nyata terlihat betapa sebuah Kodam sangat dibutuhkan lagi di daerah ini.

Kolom IBRAHIM ISA

RAbu, 28 Maret 2007
------------------------------
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)
KLARIFIKASI SEJARAH  BONNIE TRIYANA
<SEKITAR USAHA PELURUSAN SEJARAH BANGSA>

Berikut ini adalah bagian ke-dua; sambungan  dan bagian terakhir dari
makalah sejarawan muda Bonnie Triyana,  berjudul MELURUSKAN SEJARAH
BERDAMAI DENGAN MASA LALU.
Kami ulangi paragraf terakhir dari bagian pertama  (Kolom Ibrahim Isa,
27 Maret 2007), makalah Bonnie Triyana:
*   *   *
MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU (Bagian 2))
Oleh Bonnie Triyana
Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk
penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya
diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang
urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu
sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan
begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai
Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain
juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu
Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus
"Serangan Oemoem 1 Maret 1949" adalah Soeharto, bukan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.  

Selain melakukan penyeragaman ingatan, sejarah Orde Baru juga sangat
bercorak militeristik. Sejarah versi Orde Baru banyak menuliskan
tentang keberhasilan tentara memadamkan pemberontakan di daerah-daerah
yang terjadi pada kurun tahun 1950-an – 1960-an. Sehingga sejarah yang
ditulis Orde Baru lebih tepat disebut sebagai sejarah operasi militer.

Sejarah G.30.S. 1965: Dari Monoversi ke Multiversi

Pada masa Orde Baru, peristiwa Gestok 1965 (Orde Baru menggunakan
istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang
menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan
Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk
media doktriner, antara lain film "Penghianatan G.30.S/PKI" arahan
Arifin C. Noor dan materi penataran P4 yang diberikan kepada murid
sekolah hingga pejabat pemerintahan. Fungsinya hanya satu: legitimasi
kekuasaan Soeharto.

Beberapa versi lain juga muncul, misalnya keterlibatan Soeharto (Ben
Anderson), keterlibatan klik Soekarno dan PKI (Arnold C. Brackman),
konflik internal Angkatan Darat (Harold Crouch) dan keterlibatan CIA
(Peter Dale Scott). Bung Karno memiliki versinya sendiri, yakni
kelihaian unsur Nekolim, oknum-oknum yang "tidak benar,"dan para
pimpinan PKI yang /keblinger/. Versi Bung Karno ini disampaikan dalam
pidato Pelengkap Nawaksara, kemudian kembali dikutip oleh Manai
Sopiaan dalam bukunya "Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak
Terlibat G.30.S/PKI."

Kini telah banyak korban yang menuliskan kisahnya masing-masing.
Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra menulis "Memoar Pulau Buru",
Haji Ahmadi Moestahal "Dari Gontor ke Pulau Buru," Hasan Raid
"Pergulatan Muslim-Komunis," Kresno Saroso "Dari Salemba ke Pulau
Buru", dan Abdul Latief almarhum "Pledoi Latief: Soeharto Terlibat
G.30.S". Baru-baru ini Djoko Sri Moelyono, seorang korban dari Banten
telah menulis kisahnya dalam "Banten Seabad Setelah Multatuli," naskah
tersebut belum diterbitkan. Sejumlah karya ilmiah, baik skripsi maupun
makalah turut mewarnai versi sejarah peristiwa Gestok 1965. Seluruh
kisah tersebut secara otomatis menjawab sekaligus memertanyakan
kembali keabsahan sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru.

Sejarah G.30.S 1965: Ditulis ulang atau diluruskan?
Ada perdebatan teoritis di kalangan sejarawan menyangkut bagaimana
memandang sejarah versi Orde Baru, khususnya sejarah G.30.S. 1965.
Istilah "pelurusan sejarah" sendiri sebenarnya masih diperdebatkan
antara Asvi Warman Adam versus Taufik Abdullah. Asvi Warman Adam
cenderung berpendapat bahwa sejarah produk Orde Baru harus
"diluruskan," karena ada beberapa hal yang diputarbalikan oleh
penguasa Orde Baru. Sementara itu Taufik Abdullah berpendapat bahwa
apa yang diyakini oleh Asvi salah adanya, karena fakta sejarah tak ada
yang perlu diluruskan. Menurut Taufik yang perlu dilakukan dalam
sejarah Indonesia adalah "penulisan ulang."

"Penulisan ulang" sejarah dapat bermakna: /pertama/, yakni penulisan
ulang terhadap suatu peristiwa atas dasar fakta yang sama sekali baru
dan berbeda dari versi sebelumnya. /Kedua/, melakukan tafsir ulang
atas fakta yang sama untuk kemudian menuliskannya dalam versi yang
berbeda dari sebelumnya. Dalam "penulisan ulang," versi baru tidak
menggantikan versi sebelumnya, akan tetapi lebih bersifat
menyandingkannya. Argumentasi ini bersandar pada adagium bahwa setiap
individu atau kelompok, tiada peduli siapa mereka, memiliki hak yang
sama untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak
memutuskan sendiri apa yang harus dibacanya.

Sedangkan "pelurusan sejarah" adalah penulisan yang bersifat
mengoreksi versi sejarah sebelumnya. Pelurusan sejarah didasarkan pada
fakta baru yang telah diuji, baik intern maupun ekstern, yang kemudian
pada kenyataannya lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
daripada fakta dalam versi sejarah sebelumnya. Sejarah versi
"pelurusan" ini menggantikan versi sebelumnya, yang telah terbukti
memanipulasi fakta sejarah yang sesungguhnya terjadi.

Berkaitan dengan perdebatan itu, agaknya perlu dicermati beberapa buku
sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru yang selama 32 tahun dijadikan
acuan bahan ajar sekolah. Dalam buku "Kesaktian Pancasila di Bumi
Pertiwi" terbitan BP.Alda/Penerbit Almanak R.I. misalnya, di halaman
150 terdapat sebuah foto mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan
terikat di tepi Bengawan Solo. Dalam keterangan tertera bahwa mereka
adalah korban keganasan PKI. Padahal, fakta sesungguhnya adalah
sebaliknya: mayat-mayat itu justru anggota PKI yang dibantai dan
mayatnya dibiarkan begitu saja di tepian Bengawan Solo. Perihal yang
sama juga terdapat dalam buku Alex Dinuth, "Dokumen Terpilih Sekitar
G.30.S/ PKI" (Penerbit Intermasa, 1997) hal. 510-511. Tentu
pemutarbalikan fakta dalam caption foto itu menyesatkan, sehingga
perlu dikoreksi atau "diluruskan." Bukan ditulis ulang.

Rekonsiliasi di Indonesia, mungkinkah?
Masyarakat yang traumatik terhadap Kekerasan, konflik-konflik
kekerasan horisontal dan pelanggaran HAM adalah warisan yang hampir
mesti ditinggalkan oleh rezim-rezim otoriter. Pada umumnya
pemerintahan transisi mengalami kesulitan ekonomi, sehingga untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak azasi manusia serta
penghentian konflik yang disertai kekerasan menjadi sebuah hal yang
amat sulit.

Para korban memerlukan pengakuan atas apa yang terjadi pada diri
mereka di masa yang lalu. Di saat yang bersamaan, masyarakat warisan
rezim otoriter – baik yang menjadi korban atau bukan – cenderung bisu
dan tak mau tahu dengan masa lalu. Mereka pada umumnya masih
dihinggapi perasaan takut yang mencekam, dendam dan marah. Di lain
pihak, sisa-sisa penguasa politik rezim otoriter masih memegang
kekuatan yang sewaktu-waktu masih bisa digunakan untuk kembali
melakukan intimidasi kepada korban pelanggaran HAM di masa lalu.
Mereka sangat berkepentingan untuk membuat masyarakat tetap dalam
kebisuannya.
Lalu bagaimanakah pemerintah yang demokratis menanggapi
tuduhan-tuduhan mengenai pelanggaran besar HAM – pembunuhan,
penculikan, penahanan tanpa pengadilan – yang dilakukan oleh para
pejabat rezim otoriter? Apakah tindakan yang tepat adalah mengajukan
mereka ke pengadilan dan menghukum, atau memaafkan dan melupakan?[4]

Ada empat konsep dalam penyelesaian tindak pelanggarah HAM yang selama
ini dipraktekan di berbagai negara./ Pertama/, /never forget/, /never
forgive/, jangan pernah lupakan, jangan pernah maafkan; ada semacam
/trial/ and /punishment/. Jerman menggunakan pendekatan ini tatkala
menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Nazi. Pelakunya
dicari untuk diadili, sebagian yang lolos hingga kini terus dikejar.
/Kedua/, /forget and forgive/, lupakan dan maafkan. Spanyol mengambil
pola ini ketika mengakhiri rezim Franco. Tak satupun pengadilan
digelar. /Ketiga/, bentuk non-pengadilan /forget but never forgive/,
lupakan namun jangan pernah maafkan. Hal ini dilakukan oleh banyak
bangsa Eropa ketika ingin mengakhiri /inquisition/ (penyaliban) bagi
mereka yang oleh Gereja dianggap musyrik selama 300-400 tahun. Mereka
berusaha melupakan, namun tidak pernah memaafkan betapa kejamnya
"agama" melakukan itu pada manusia. /Keempat/, bentuk non-pengadilan
lainnya: /never forget but then forgive/, jangan pernah lupakan,
tetapi setelah melalui proses hukum tertentu, maafkan. Korea Selatan
mengambil cara ini untuk kasus korupsi; diadili, dihukum kemudian
diberi amnesti.[5]
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan varian terakhir dari
keempat model di atas. Namun amat disayangkan, banyak elit politik
Indonesia yang lebih cenderung berkampanye: /mari kita lupakan dan
maafkan, masa depan lebih penting./

Pada saat rezim /apartheid/ berkuasa, warga kulit putih menutup mata
terhadap kekerasan yang dilakukan /apartheid /kepada warga kulit
hitam. Ketika Nelson Mandela dibebaskan, kemudian menjadi presiden
Afrika Selatan, ia mendorong proses rekonsiliasi berjalan di negerinya.
Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk
menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia dan konflik
meluas yang terjadi semasa pemerintahan /apartheid/ berkuasa. Di dalam
proses yang berjalan, berlangsung penyelidikan serta pengakuan pelaku
di hadapan publik, penghukuman dan pengampunan, reparasi untuk korban
baik /real/ maupun simbolik, serta reformasi institusi yang selama ini
mendukung rezim /apartheid/.[6]Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa
dikatakan lebih berhasil karena kelompok anti-/apartheid/ yang
sebelumnya ditindas, keluar jadi pemenang. /Political will/ yang kuat
dan rasa kebersamaan untuk menuntaskan kekerasan menjadikan
rekonsiliasi di Afrika Selatan contoh yang baik untuk ditiru.

Lain lagi dengan Chile pasca pemerintahan diktator Augusto Pinochet
pada 1990. Presiden Ptaricio Aylwin membentuk sebuah komisi kebenaran
yang menerima laporan pelanggaran dan melaksanakan pertemuan dengar
pendapat. Kurangnya kemauan politik dan masih kuatnya pengaruh
sisa-sisa pejabat rezim Pinochet menyebabkan proses hukum terhadap
pelaku kekerasan urung dilakukan. Benar Aylwin menyampaikan permintaan
maaf kepada keluarga korban penculikan dan membentuk sebuah badan
untuk menelusuri nasib korban penculikan, namun apa yang ia lakukan
tersebut tak lebih dari sebuah usaha penegakan keadilan ala kadarnya.
Hubungan yang terjalin di antara pemerintahan baru dengan beberapa
pemimpin diktator rezim lama menyebabkan dipilihnya jalan kompromi
ketimbang mengadili pelaku kejahatan HAM secara tegas.

Sementara itu di argentina, usaha untuk menyelesaikan kasus-kasus
kejahatan HAM menjadi lebih mudah ketika ada kemauan politik yang kuat
dari pemerintah. Hal ini bukannya tanpa resiko, pengadilan kejahatan
HAM secara tegas dan tanpa pandang bulu menyebabkan ketegangan politik
yang cukup menggoyahkan stabilitas politik dalam negeri argentina.

Pelaku kejahatan HAM di Argentina terdiri dari kelompok militer dari
rezim terdahulu. Mereka masih memiliki pengaruh politik yang kuat
untuk menekan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Raoul Alfonsin.
Ketegangan dengan pimpinan junta militer terjadi karena mereka
dituntut untuk bertanggungjawab atas ribuan kasus penghilangan paksa
di Argentina.[7] Hal tersebut mendorong Alfonsin memberlakukan sebuah
undang-undang yang mengatur penyelenggaraan peradilan hak asasi
manusia di mahkamah militer, bukan di pengadilan HAM. Undang-undang
yang sama juga berlaku bagi para pelaku yang melaksanakan kejahatan
atas perintah maupun yang mematuhi perintah.

Hampir sama dengan beberapa negara di atas yang saya tulis sebagai
contoh, Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, berbagai pelanggaran
berat HAM berserak di berbagai daerah. Untuk sekedar mengingatkan,
beberapa kasus pelanggarah HAM berat di masa Orde Baru di antaranya
pembunuhan massal 1965-1969, pembunuhan dan penghilangan paksa dalam
operasi militer di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), Petrus
(1983-1986), pembantaian kaum Muslim Tanjung Priok (1984), DOM Aceh II
(1989-1998) dan seterusnya.

Kejahatan HAM di Indonesia tidak hanya mendera sektor politik, juga
terjadi hampir di setiap bidang: ekonomi, sosial dan budaya. Inilah
yang menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia cukup
pelik dan rumit. Masih kuatnya pengaruh sisa-sisa kekuatan Orba
menjadi faktor penghalang utama dalam penyelesaian kasus-kasus
kejahatan kemanusiaan. Tentu kita tidak berharap apa yang terjadi di
Argentina terjadi di Republik ini.

Dalam kasus pembantaian massal PKI 1965-1969 misalnya, baik korban dan
keluarga korban menghadapi tindak diskriminasi yang didukung oleh
negara. Masih berlakunya berbagai aturan hukum produk Orde Baru[8]
yang membatasi ruang gerak korban membuat proses rekonsiliasi kasus
1965 masih tampak /jauh panggang dari api/. Artinya, seharusnya proses
rekonsiliasi didukung dengan adanya prinsip-prinsip fundamen dalam
rekonsiliasi itu sendiri, semisal salah satunya prinsip kesetaraan.
Selama ini korban peristiwa tahun 1965 diposisikan sebagai warga
negara kelas dua. Dalam KTP tertera simbol ET atau Eks Tapol, sebuah
klasifikasi identitas yang sangat diskriminatif. Belum lagi pandangan
masyarakat terhadap stigma negatif komunis yang terlebih dahulu
disebarluaskan melalui berbagai media, salah satunya buku-buku sejarah.

Menurut hemat saya, dalam kasus 1965, agenda utama yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah pelurusan sejarah peristiwa itu
sendiri. Pelurusan sejarah diharapkan dapat mematahkan pewarisan
ingatan Orde Baru yang menancap di dalam benak sebagian besar
masyarakat bahwa segala hal yang menyangkut PKI adalah negatif.
Penting juga dilakukan pencabutan semua peraturan hukum produk Orde
Baru yang bersifat diskriminatif terhadap korban peristiwa G.30.S
1965. Sehingga pada saatnya KKR bekerja, masyarakat telah sepenuhnya
memahfumi bahwa apa yang terjadi pada perisiwa G.30.S 1965 adalah
rekayasa Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto.
Jakarta, 28 Juli 2005.
------------------------------------------------------------------------
[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi "Prinsip-Prinsip Penegakan
HAM Dan Pelurusan Sejarah Dalam Pembentukan Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi" yang diselenggarakan oleh LBH Semarang, 1 Agustus 2005.

[2] Peneliti sejarah di Lembaga Nirlaba Masyarakat Indonesia Sadar
Sejarah (Mesiass). Sedang menulis buku "Padamnya Lentera Merah:
Pembunuhan Massal Anggota dan Simpatisan PKI di Kabupaten Grobogan
1965-1969."

[3] Bahkan di beberapa daerah pembunuhan massal masih terjadi hingga
tahun 1969, Purwodadi salah satunya.

[4] Samuel P. Huntington, 2001, /Gelombang Demokratisasi Ketiga/,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 275

[5] Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, /Kebenaran versus Keadilan,
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu/, 2003, Jakarta:
ELSAM, hal. 14.

[6] Karlina Leksono Supeli, /Berdamai Dengan Masa Lampau: Antara
Penghukuman dan Pengampunan/, makalah pada workshop KKR yang
diselenggarakan oleh ELSAM, Cimacan, 25-28 September 2000. Makalah
tidak diterbitkan.

[7]  *National Commision on Disappeared Persons* adalah komisi
kebenaran yang didirikan di Argentina pada masa pemerintahan Raoul
Alfonsin. Komisi ini berhasil mengumpulkan 50.000 lembar bukti-bukti
yang disampaikan dalam sebuah laporan yang berjudul /Nunca Más/ (Never
Again). Di dalam laporan itu tercantum 9.000 kasus penghilangan paksa
(jumlah sesungguhnya mencapai 30.000 orang; lihat Marguerite Guzman
Bouvard, 1994, Revolutionizing Motherhood, The Mothers of the Plaza de
Mayo, Wilmington: SR Books) dikutip dari Karlina Leksono Supeli dalam
/ibid/ hal. 5

[8] Di antaranya TAP MPRS NO. XXV/1966 tentang pembubaran Partai
Komunis Indonesia sekaligus dinyatakan sebagai organisasi terlarang
serta pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme, dan peraturan
pemerintah tentang pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa yang
melarang eks tapol 1965 ikut dalam keanggotaan BPD.
Sumber, http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Kolom-IBRAHIM-ISA----MASALAH-SEJARAH-HARUS-JADI---AGENDA-TETAP-BANGSA-(2)-td9709636.html