Sejarah PKI Di Banyuwangi dan Pembantaian Cemethuk 18 Oktober 1965

Sejarah PKI Di Banyuwangi dan Pembantaian Cemethuk 18 Oktober 1965

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang pemilihan judul

Monumen Pancasila Untuk Mengenang Tragedi Pembantaian 18 Oktober 1965 Di Dusun CemethukDusun Cemethuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring Banyuwangi adalah saksi berdarah peristiwa pembantaian 62 orang-orang Anshor oleh anggota PKI. Di bekas 3 sumur tempat penguburan massal para korban pembantaian ini, telah dibangun sebuah Monumen Pancasila untuk mengenang peristiwa yang cukup penting dalam sejarah Banyuwangi.

Tragedi Cemethuk sekaligus menjadi penanda bahwa kabupaten paling timur dari pulau jawa ini tidak luput dari pengembangan jaringan Partai berlambang palu dan arit ini. Tragedi ini terjadi setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September. Tragedi Cemethuk juga menunjukkan bahwa tingkat konflik di akar rumput antara pengikut PKI dan non-PKI setelah peristiwa G 30 S berlangsung dalam tingkat tinggi.

Namun Sejarah Nasional hanya sedikit sekali menyediakan ruang untuk mengungkap sejarah PKI di Dusun Cemethuk. Itu bisa dibuktikan dengan minimnya buku-buku sejarah yang bisa menjelaskan tragedi di Cemethuk secara komprehensif.

Padahal bila melihat pada banyaknya korban dan juga saling keterkaitan dengan perkembangan PKI di Nusantara, seharusnya Tragedi Cemethuk sangat relevan untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari Sejarah Nasional.

Menurut penulis hal ini disebabkan beberapa hal:
letak geografis Kabupaten Banyuwangi yang cukup jauh dari pusat Jakarta menjadikan tragedi Cemethuk tidak terkover maksimal
Pemerintah terlalu memfokuskan penulisan sejarah PKI dalam Gerakan 30 September
Penelitian sejarah yang dimotori pemerintah mengabaikan sejarah di tingkat lokal

Dari latarbelakang inilah tim penulis tertarik untuk meneliti Tragedi Cemethuk dengan memfokuskan penelitian pada Sejarah Tumbuh Kembangnya PKI di Banyuwangi sebelum Peristiwa Pembantaian di Cemethuk. Sehingga dari sini kita dapat menelusuri bagaimana pengembangan jaringan PKI hingga mencapai Kabupaten Banyuwangi.

* 1.2 Rumusan Masalah

Setiap kegiatan penelitian, selalu bertolak dari permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan timbul akibat dari suatu kesangsian yang akhirnya mendorong suatu keinginan untuk memecahkannya.

Penulis merumuskan masalah-masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah:

1.2.1. Apa itu komunisme?

1.2.2. Apa itu Partai Komunisme Indonesia?

1.2.3. Bagaimana sejarah dan keterlibatan PKI dalam politik Indonesia?

1.2.4. Bagaimana PKI memasuki Banyuwangi?

1.2.5. Bagaimana kondisi masyarakat di Dusun Cemethuk sebelum peristiwa pembantaian terjadi?

* 1.3 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian (research) khususnya dalam ilmu-ilmu pengetahuan empiris, pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji suatu pengetahuan (Sutrisno Hadi, 1982:3).

Dalam penelitian ini tim penulis memiliki tujuan :

* a. Menjelaskan bagaimana Komunisme bisa masuk Indonesia yang kemudian menjelma menjadi PKI
 * b. Menjelaskan bagaimana keterlibatan PKI secara politik dalam sejarah Indonesia
 * c. Mendeksripsikan bagaimana sejarah dan tumbuh kembangnya PKI di Banyuwangi
 * d. Mendeskripsikan tentang kondisi Dusun Cemethuk sebelum peristiwa pembantaian 18 Oktober 1966 terjadi

Dengan penjelasan-penjelesan ini tim penulis meyakini bahwa Tragedi Cemethuk berkorelasi erat dengan konstelasi PKI dalam merebut kekuasaan di Indonesia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sejarah kelahiran ideologi komunis

Bagaimana ideology Komunis lahir bisa ditelusuri di kamus Online Wikipedia, yang menyebutkan Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai.

2.2 Masuknya Komunisme di Indonesia

Pada tahun 1913, menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda dari negeri Belanda. Sebelumnya, ia memimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula-mula ia bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelsblad, sebuah surat kabar milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai Sekretaris pada Semarangsche Handels Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di Semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, Vereniging van Spooren Tramsweg Personeel atau VSTP (Sekretariat Negara RI, 1994:7).

Di kemudian hari Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya kedalam organisasi VSTP tersebut dan membawa VSTP ke aktivitas-aktivitas yang radikal, atau setidak-tidaknya menjadikan VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di Hindi Belanda, antara lain melalui surat kabar VSTP, de Volharding (Keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah Het Vrije Woord, ISDV juga menerbitkan surat kabar Soeara Mardika dan kemudian Soeara Rakjat. Tulisan-tulisan yang menyebarluaskan Marxisme itu tidak terlalu berpengaruh pada pemerintahan Hindia Belanda sehingga tidak begitu mendapat perhatian. Pemerintah Hindia menilai bahwa tulisan-tulisan tersebut muncul sebagai akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. (Sekretariat Negara RI, 1994:7-8)

Sedangkan dapat ditelusuri di situs In Defence of Marxism, berjudul Periode pertama Partai Komunis Indonesia (8 Marert 2000), sebelum 1914 tidak ada tanda apapun bahwa dalam beberapa tahun saja di Indonesia akan ada partai komunis berbasis massa yang pertama di dunia kolonial. Kelas buruh tidak mempunyai organisasi politik dan hanya ada beberapa serikat buruh yang semuanya lemah. Gerakan “nasionalis” masih berupa jabang bayi; dan sebetulnya, imbauan nasionalisme belum terdengar di kalangan rakyat. Aslinya gerakan nasionalis dikuasai pemimpin kolot dari kelas menengah yang berdasarkan agama. Jurang yang dalam memisahkan para pemimpin nasionalis ini dengan kondisi sosial yang begitu buruk di kalangan rakyat. Pada era itu juga belum mulai berkembang sayap kiri apapun yang secara potensial bersifat Bolshevik.

2.3 Berkembangnya PKI di Banyuwangi

Tidak ada satu pun pustaka yang menjelaskan secara pasti kapan PKI mulai masuk Banyuwangi. Dalam buku Selayang Pandang Perang Kemerdekaan di Bumi Blambangan (Sri Adi Oetomo, 1996:77) disebutkan, bahwa yang pasti, tahun 1947 PKI sudah tumbuh di Banyuwangi selatan, seperti di daerah Kalipait, Tegaldlimo. Tokoh-tokoh PKI saat itu dipimpin Prayitno dan Suntoyo, dan dibantu Sunyoto, Ikhwan, Kusno, Samud, Karto dan Kabul.

Disebutkan dalam buku itu, bahwa di saat-saat hebatnya Pasukan COG IV/C (singkatan dari Commando Offensif Gerilya, hasil fusi Pasukan Yon Macan Putih yang diperintahkan Resimen 40 Damarwulan Jember) menumpas tentara-tentara Belanda, PKI justru melakukan aksi terror di daerah Kalipait, Tegaldlimo. PKI melakukan aksi dengan membunuh perwira COG IV/C.. PKI membentuk Komando Markas Pertahanan Daerah (KMD) dipimpin Prayitno dan Sutoyo. COG IV/C yang terbunuh adalah Lts. Art. Sarpan, Lts. Art Samoed Asmoe’I, Ltn. Art Basoeki dan Ltn. Art. Soetedjo (1996:78)

Namun kekuatan PKI ini bisa ditaklukan COG IV/C pada 4 November 1947 jam 24.00 WIB. Saat itu, markas KMD mendapat serangan musuh dengan kekuatan besar. PKI kalah karena tidak dapat memakai senjata hasil rampasan dari COG IV/C.. Sehingga senjata rampasan PKI itu akhirnya jatuh lagi ke COG IV/C.

Dalam gerakan operasi pembersihan yang dilakukan Pasukan COG IV/C, sejumlah tokoh PKI di daerah Banyuwangi selatan seperti Suntoyo, Soenyoto, Slamet, karto dan Kabul, ditangkap dan diadili dengan hukuman mati. Sedangkan Prayitno, Ikhwan, dan Kusno dapat melarikan diri (1996:80).

Setahun berikutnya, COG IV/C yang berhasil menumpas gerakan PKI di Banyuwangi ini dikirim untuk menangani pemberontakan PKI di Madiun.

BAB III

METODE PENDEKATAN PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Ilmu penetahuan sejarah mempunyai sifat yang berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, dimana tatanan ilmu bersifat partikularistik atau hanya mengutamakan kepentingan khusus daripada kepentingan umum. Maka dirasa perlu tim peneliti menggunakan metode khusus yang disebut metode sejarah atau metode penelitian sejarah.

Metode penelitian sejarah adalah menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau (Louis Gottschalk, 1986:32). Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto metode prosedur kerja sejarwan dapat dikelompokkan menjadi : Heuristik, kritik, Interpretasi dan Historiografi (1978:17)

3.1.1 Heuristik

Prosedur kerja heuristic adalah pengumpulan data atau sumber-sumber atau bahan-bahan serta jejak masa lampau yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Tim mengumpulkan sumber-sumber tulisan kesaksian narasumber dari kakak kelas yang sebelumnya pernah meneliti peristiwa Cemethuk ini; mengumpulkan buku-buku terkait sejarah Komunis dan Partai Komunis Indonesia; buku-buku sejarah Banyuwangi; dan menginventarisasi pelaku atau saksi sejarah yang masih hidup.

3.1.2 Kritik

Menurut Nugroho Notosusanto (1798:10-12) langkah kedua berupa kritik memiliki pengertian yakni kegiatan menganalisa dan meneliti terhadap tata atau sumber-sumber yang didapat. Disinilah peneliti dituntut sikap kritis, jujur dan berpegang teguh pada prinsip keadilan.

Dari langkah pertama yang dilakukan, sumber-sumber pustaka yang peneliti dapatkan masih sebagian besar versi pemerintah. Sehingga penjelasan mengenai bagaimana sejarah PKI di Indonesia pada umumnya dan peristiwa pembantaian di Cemethuk Banyuwangi ini tidak obyektif. Penulisan buku sejarah yang dimaksud di satu pihak masih memberikan stigma negative terhadap PKI dan organisasi-organisasi underbow-nya serta melebih-lebihkan pemerintah (rezim orde baru) dan Angkatan Darat di pihak lainnya.

Begitu juga pelaku sejarah peristiwa Cemethuk bernama Soemardji Djamal. Sebagai seorang anggota PNI, keterangan-keterangan yang diberikan belum mampu menjawab secara jernih bagaimana akar persoalan meletusnya peristiwa Cemethuk. Sementara pelaku-pelaku sejarah Cemethuk lainnya telah mangkat. Minimnya sumber lisan inilah yang menjadi salah satu kesulitan peneliti.

Untungnya masih ada beberapa keterangan dua saksi sejarah lainnya yang bisa menambal sulam informasi yang dibutuhkan. Yakni Hasnan Singodimayan (mantan wartawan Terompet Masyarakat 1960-1965 dan mantan Ketua Himpunan Seni dan Budaya Indonesia,HSBI, organisasi kebudayaan onderbow Masyumi) serta Andang CY (mantan anggota LEKRA). Sehingga sejarah PKI di Banyuwangi dan peristiwa pembantaian Cemethuk menjadi terang benderang.

3.1.3 Interpretasi

Interpretasi adalah menetapkan makna yang saling berhubungan antara factor-faktor yang telah dihimpun. Dari berbagai yang lepas satu sama lain itu harus dirangkai dan dihubung-hubungkan sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan logis. Kesemuanya itu untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam memahami kenyataan-kenyataan sejarah (Notosusanto, 1978:17-23).

Dalam penelitian ini peneliti menginterpretasi bahwa Banyuwangi adalah salah satu daerah tujuan pengembangan jaringan PKI, yang dalam perkembangannya Banyuwangi menjadi daerah basis. Gerakan politik PKI bersama organisasi-organisasi Underbow-nya yang langsung berinteraksi dengan akar rumput, menjadikan PKI bisa merebut 3 besar perolehan suara dalam pemilu 1955. Konstelasi politik yang begitu cepatnya ini tentu menimbulkan ketidakpuasan di parpol-parpol atau lembaga yang menjadi lawan politiknya, bukan saja di Banyuwangi namun juga skala nasional.

Akan tetapi peristiwa 30 September 1965 merubah peta politik di Indonesia dan berakhir pada pemberangusan PKI hingga keakar-akarnya (isi Supersemar). Stigma PKI sebagai organisasi terlarang berlaku juga pada organisasi-organisasi underbownya. Kebijakan ini dijadikan kesempatan oleh kelompok-kelompok yang anti-PKI melakukan pemberangusan sepihak tanpa kordinasi dengan Angkatan Darat dimasa itu.

Peristiwa Cemethuk adalah salah satu upaya pemberangusan secara sporadic dan sepihak yang dilakukan kelompok-kelompok Anshor (Badan Otonom NU) terhadap orang-orang PKI di dusun itu. Meski di desa-desa lain di Banyuwangi aksi pemberangusan juga terjadi, namun peristiwa Cemethuk lebih terkenal karena jumlah korban yang berjatuhan cukup banyak, yakni, 62 orang.

* 3.1.4 Historiografi

Kegiatan terakhir ini adalah merekonstruksi secara imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh (Louis Gittschalk, 1983: 32). Fakta sejarah yang terkumpul kemudian disusun secara sistematis menjadi cerita sejarah yang logis.

Dari data-data yang berhasil dihimpun oleh peneliti maka penulisan sejarah terkait penelitian ini akan disusun dengan urutan-urutan:

* 1. Sejarah Komunisme Di Dunia
 * 2. Sejarah Masuknya PKI di Indonesia
 * 3. Sejarah pergolakan PKI di Madiun tahun 1948
 * 4. Sejarah masuknya PKI di Banyuwangi
 * 5. Sejarah peristiwa pembantaian di Cemethuk, Desa Cluring Banyuwangi

* 3.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data yang penulis gunakan :

3.2.1 Metode Dokumenter

Menurut Sartono Kartodirdjo (1982:92), metode documenter mempunyai pengertian dokumen merupakan sumber tertulis yang dapat digunakan untuk mengungkap peristiwa masa lampau. Dokumen disini memiliki 2 arti yakni Dokumen dala arti sempit yakni kumpulan data-data verbal berbentuk tulisan dan dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya.

Sedangkan menurut Louis Gottschalk (1986:38), dokumen bisa berarti sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai kebalikan dari pada kesaksiaan lisan, artefak, peninggalan-peninggalan tertulis dan petilasan-petilasan, arkeologis. Dokumen juga bisa berupa surat-surat resmi dan surat-surat Negara seperti surat perjanjian; undang-undang; hibah konsensi dan lain-lain. Dokumen juga bisa setiap proses pembuktiaan setiap jenis sumber apapun baik yang bersifat tulisan, lisan, gambar, atau arkeologis.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tulisan Soemardji Djamal, pelaku sejarah, berjudul Pembantaian di Cemethuk. Tulisan ini dibuat tanggal 25 April 1982, berisi kronologis pembantaian Cemethuk yang dilakukan orang-orang PKI di dusun tersebut kepada 62 orang-orang Anshor NU.

3.2.2 Metode Observasi/Pengamatan

Metode ini, menurut Bimo Walgito merupakan suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan menggunakan alat indera (terutama mata) terhadap kejadian-kejadian yang langsung ditangkap pada waktu peristiwa itu terjadi (1985:54)

Menurut Bimo Walgito, jenis-jenis observasi adalah :

3.2.2.1 Observasi Partisipasi, artinya, observer turut ambil bagian dalam perikehidupan atau situasi dari orang-orang yang diobservasinya

3.2.2.2 Observasi Non Partisipan, yakni, kebalikan dari teknik partisipan. Observasi tidak ambil bagian secara langsung di dalam situasi kehidupan yang diobservasi, tetapi dapat dikatakan sebagai penonton, tidak sebagai pemain.

3.2.2.3 Kuasai Partisipasi, yakni, apabila dalam observasi itu seolah-olah observer turut berpartisipasi. Jadi sebenarnya hanya pura-pura saja turut ambil bagian di dalam situasi kehidupan yang diobservasi.

Adapun klasifikasi dalam observasi ini adalah

3.2.2.3.1 Observasi Sistematik : ini dilakukan dengan menggunakan rencana kerangka terlebih dahulu

3.2.2.3.2 Observasi Non Sistematik : ini observasi yang belum di sistematikan mengenai hal-hal yang akan di observasi, tetapi bukan berarti bahwa observasi ini tidak terencana, hanya materi atau hal-hal yang akan diobservasi belum disistematikakan seperti system observasi yang sistematis (1985:55).

Berdasarkan teori tersebut maka peneliti memakai system observasi non partisipan dan observasi sistematik.

Peneliti melakukan obeservasi ke Dusun Cemethuk -tempat terjadinya pembantaian dan ke Monumen Pancasila -letak 3 sumur untuk mengkubur mayat-mayat korban pembantaian, di hari Minggu tanggal 16 Desember 2007. Sebelum melakukan observasi, peneliti bersama dosen pembimbing menentukan kerangka observasi, target dan obyek tujuan.

* 3.2.4 Metode Interview / wawancara

Metode ini menurut Winarno Surahmad menghendaki komunikasi langsung antara penyelidik dengan obyek (1971:56). Sedangkan menurut J. Supranto, metode interview/wawancara adalah Tanya jawab antara petugas dengan responden, biasanya membawa daftar pertanyaan untuk diisi dengan keterangan-keterangan yang diperoleh dengan wawancara (2003:85).

Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai 3 orang narasumber, yakni,:

* 1. Soemardi Djamal

Peneliti menanyakan sekitar 30 pertanyaan, berkaitan tentang bagaimana kondisi Dukuh Cemethuk sebelum adanya peristiwa pembantaian; mengapa pembantaian bisa terjadi; siapa yang melakukan pembantaian; dan bagaimana situasi Dukuh Cemethuk setelah peristiwa pembantaian

* 2. Hasnan Singodimayan

Peneliti menanyakan sekitar 26 pertanyaan tentang bagaimana PKI masuk Banyuwangi; bagaimana situasi dan komposisi Parpol; mengapa PKI bisa menjadi partai yang besar; dan apa yang menyebabkan pembantaian di Cemethuk

* 3. Andang Chatif Yusuf

Peneliti menanyakan sekitar 26 pertanyaan pada mantan Kordinator Sastra LEKRA ini, seputar aktivis LEKRA dalam mendukung tumbuh kembangnya PKI di Banyuwangi

* 3.2.5 Metode Analisa Data

Dalam tahapan yang terakhir dalam metode pengumpulan data adalah metode analisa data. Didalamnya ada aktivitas meneliti, berupaya merangkai-rangkai, menghubung-hubungkan, membanding-bandingkan, mensistesiskan berbagai fakta yang di dapat sehingga menjadi satu kesatuan yang harmonis, sistesis, dan rasional, sehingga muncul apa yang dikenal dengan analisis sejarah (Kuntowijoyo, 1995).

Analisis peneliti, bahwa, sejarah pembantaian PKI di Dusun Cemethuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Banyuwangi sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi secara nasional, utamanya peristiwa 30 September 1965. Peristiwa di nasional ini merebak hingga menimbulkan gejolak-gejolak di daerah antar kalangan akar rumput yang berbeda ideology.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian Sejarah

Di dalam penelitian sejarah yang telah direncanakan sesuai tujuan penelitian dan metode penggalian data menganai tumbuh kembangnya PKI di Banyuwangi, maka aspek-aspek yang perlu dilakukan pendekatan adalah :

* 4.1.1 Sejarah Munculnya Komunisme di Dunia
 * 4.1.2 Masuknya Komunisme dan PKI di Indonesia
 * 4.1.3 Aspek Historis Munculnya PKI Di banyuwangi
 * 4.1.4 Tumbuhkembangnya PKI di Banyuwangi Pasca Pemilu 1955 dan menjelang 1965
 * 4.1.5 Pengaruh Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Banyuwangi
 * 4.1.6 Peristiwa Pembantaian di Dusun Cemethuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring Banyuwangi
 * 4.1.7 Akhir perioede PKI di Banyuwangi

* 4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
 * 4.2.1. Sejarah Munculnya Komunisme di Dunia

Menurut kamus Wikipedia Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh.

Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”.

Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai.

Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme.

Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama adalah racun yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata.

Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos.

* 4.2.2 Masuknya Komunisme dan PKI di Indonesia

Perkembangan Komunisme di Indonesia tidak dapat dielakkan dari situasi Internasional saat itu. Puncaknya komunisme ini ditandai dengan didirikannya partai ber ideology komunis.

Menurut situs In defence of Marxisme, 8 Maret 2000, Kepulauan Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda sejak 1596 sampai 1903. Sekarang jumlah penduduknya adalah 200 juta – di urutan keempat negara yang berpenduduk paling padat – tersebar tersebar di banyak pulau dan terbagi dalam berberapa suku bangsa. Jawa ialah pulau yang paling penting, 75% dari penduduk hidup di pulau ini. Ibukota Jakarta (di jaman penjajahan dikenal dg sebutan Batavia), pusat perindustrian tertua Surabaya, dan pusat tradisional dari politik radikal di Semarang, dan berberapa kota lain yang penting, semuanya berada di Jawa

Sejak dulu, dan hingga sekarang, Indonesia terutama terdiri dari petani. Padi ditanam para petani untuk makanan pokok. Penjajahan Belanda mendirikan pekebunan, dimiliki kapital besar, untuk memproduksi barang ekspor [gula, kopi, teh, kakao, tembakao, karet, dll.). Kemudian minyak diexploitir Royal Dutch Shell, suatu perusahaan kapital Inggris dan Belanda

Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda yang terpenting, dan penjajahan atasnya menjadi kunci pembangunan negeri Belanda modern. Perdagangan komoditas Indonesi menjadi sumber untung yang besar bagi kaum kapitalis di Belanda, dan berberapa industri di Belanda (contohnya, pembuatan cerutu, coklat, dll.) berdasar impor dari tanah Indonesia.

Bagaimanakah Belanda, yang jumlah penduduknya hanya seperpuluh Indonesia, berhasil mendirikan rezim yang berkuasa selama tiga abad? Tentulah, alasan yang paling fundamental bagi hal itu ialah perkembangan kekuatan produktif yang jauh lebih tinggi, dengan pemerintah dengan kontrol politik dan militer yang sesuai dengan kemajuan industri. Kekuasaan Belanda tergantung pada tidak adanya persatuan di antara suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia. Penjajah Belanda menerapkan sistem kekuasaan yang tidak langsung, dengan menggabungkan pemerintahan dengan kaum priyayi pribumi, aristokrasi pra-Islam. "Regen" pribumi menjalankan pemerintahan daerah besama "saudara muda" mereka, wakil regen asal Belanda.

Sekolah administrasi dan kedokteran didirikan oleh Belanda untuk mendidik anak priyayi kecil, dan melibatkannya dalam pemerintahan penjajahan. Meskipun demikian, sekolah-sekolah ini juga menghasilkan banyak pemimpin awal yang nasionalis dan radikal.

Kaum petani menderita akibat penjajahan Belanda dalam banyak segi, yang pertama dan paling berat adalah mereka menedita akibat diterapkannya bentuk perpajakan. Ironisnya, beban pajak menjadi lebih berat pada zaman diterapkannya kebijakan "etis" (liberal), yang diadopsi oleh administrasi kolonial pada pergantian abad ke-20, ketika dibangun infrastruktur yang dibiayi pajak. Kebijakan tanam paksa yang mengharuskan petani menanam tanaman keras merupakan beban lain yang ditanggung petani dan memusnahkan kebebasan petani (kebijakan ini kemudian dihapuskan). Sewaktu itu petani terpaksa menjadikan sepertiga sampai setengah tanah mereka tersedia untuk dipakai perkebunan gula. Karena dipaksa bayar pajak, makin banyak tanah dipakai, dan petani makin terpuruk dalam kemiskinan dan makin tergantung pada sistem kapitalis.

Borjuasi kecil pribumi di perkotaan sangat lemah, sebagian besarnya pedagang (banyak keturunan Tionghoa), dan bagian kecil pegawai. Tanpa industri yang berkembang, kaum buruh kecil sekali. Buruh terpusat di sektor pemerintahan dan transportasi yang dimiliki oleh swasta, yaitu kereta api dan trem.

Dengan tidak adanya oposisi politik yang berarti sebelum perang dunia pertama, kekuasaan Belanda sempat bertindak agak liberal, tetapi bersifat paternalistik, meskipun kebebasan pers dan berorganisasi senantiasa tidak mutlak. Ketika perjuangan mulai timbul di kaum petani, buruh dan kelas menengah, segala kebebasan ini langsung dicabut.

Kemelaratan dan represi politik, hanya dibungkus oleh tabir toleransi liberal yang tipis, merupakan ciri utama rakyat Indonesia pada tahun-tahun awal abad ini. Hampir seluruh rakyat buta huruf, dan berbagai penyakit tersebar luas mayoritas rakyat berada di bawah pengaruh kuat agama (Islam) dan kebudayaan tradisionil. Feodalisme yang ada sebelum penjajahan diidolakan. Bersamaan dengan itu kapitalisme dan pengalaman pejuangan kelas mulai merubah sikap kaum muda, dan khususnya kaum buruh. Pendidikan modern mengajarkan kelas menengah untuk mempersoalkan kekuasaan Belanda

Perang antara Rusia dan Jepang di tahun 1904-05, terlihat sebagai kekalahan satu kekuatan bangsa Eropa oleh suatu negara timur, dan akibatnya memengaruhi suasana politik seluruh kawasan Timur Jauh. Di Indonesia hal itu terutama mempengaruhi kalangan muda yang terpelajar. Kemudian terjadi Perang Dunia Pertama yang mengakibatkan kekurangan pangan, kekacauan, inflasi, dan meningkatnya penderitaan massa, yang pada giliran berikutnya hal itu menyebabkan berberapa gelombang kerusuhan dan militansi di kalangan kaum tani dan buruh. Sejarah gerakan nasionalis modern, termasuk PKI, dimulai pada periode itu.

Pada tahun 1913, menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda dari negeri Belanda. Sebelumnya, ia memimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula-mula ia bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelsblad, sebuah surat kabar milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai Sekretaris pada Semarangsche Handels Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di Semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, Vereniging van Spooren Tramsweg Personeel atau VSTP (Sekretariat Negara RI, 1994:7).

Di kemudian hari Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya kedalam organisasi VSTP tersebut dan membawa VSTP ke aktivitas-aktivitas yang radikal, atau setidak-tidaknya menjadikan VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di Hindi Belanda, antara lain melalui surat kabar VSTP, de Volharding (Keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914 bersama J.A Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme. Selain majalah Het Vrije Woord, ISDV juga menerbitkan surat kabar Soeara Mardika dan kemudian Soeara Rakjat. Tulisan-tulisan yang menyebarluaskan Marxisme itu tidak terlalu berpengaruh pada pemerintahan Hindia Belanda sehingga tidak begitu mendapat perhatian. Pemerintah Hindia menilai bahwa tulisan-tulisan tersebut muncul sebagai akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. (Sekretariat Negara RI, 1994:7-8)

Menurut artikel di situs In Defence of Marxism, berjudul Periode pertama Partai Komunis Indonesia (8 Marert 2000), sebelum 1914 tidak ada tanda apapun bahwa dalam beberapa tahun saja di Indonesia akan ada partai komunis berbasis massa yang pertama di dunia kolonial. Kelas buruh tidak mempunyai organisasi politik dan hanya ada beberapa serikat buruh yang semuanya lemah. Gerakan "nasionalis" masih berupa jabang bayi; dan sebetulnya, imbauan nasionalisme belum terdengar di kalangan rakyat. Aslinya gerakan nasionalis dikuasai pemimpin kolot dari kelas menengah yang berdasarkan agama. Jurang yang dalam memisahkan para pemimpin nasionalis ini dengan kondisi sosial yang begitu buruk di kalangan rakyat. Pada era itu juga belum mulai berkembang sayap kiri apapun yang secara potensial bersifat Bolshevik.

Organisasi pertama yang didirikan oleh kaum muda Indonesia kelas ningrat ialah Budi Utomo, berdasarkan gagasan idealis gotong royong tanpa kesadaran politis. Indische Partij, yang berdasarkan golongan indo yang makmur, ialah partai pertama yang menuntut kemerdekaan Indonesia, tetapi tanpa hubungan dengan rakyat Indonesia. Pada tahun 1913 partai ini dilarang karena tuntutan kemerdekaan itu, dan sebagian besar anggotanya berkumpul lagi dalam Serikat Insulinde .

Gerakan pertama yang berbasis massa bertitik berat bukan pada nasionalisme ataupun program politik, melainkan pada agama. Kira-kira 90% penduduk Indonesia menganut Islam, dan Islam merupakan institusi utama dari masyarakat tradisional yang gagal dilembagakan Belanda dalam kontrolnya yang tidak langsung. Oleh karena itu Islam menjadi pusat perlawanan anti pemerintahan asing, walaupun aslinya oposisi ini belum matang dan tanpa bentuk (tidak ada program politik).

Organisasi berawal dengan pembentukan Serikat Pedagang Islam pada tahun 1911, dan dua tahun kemudian, 1913, di bawah pimpinan Tjokroaminoto, membuang "Pedagang " dari namanya menjadi Serikat Islam untuk merengkuh dukungan massa. Meski tidak ada gagasan pejuangan nasionalis, tak terelakkan SI memegang peran pemegang kepercayaan perjuangan nasional.

SI tidak mempunyai program politik di luar "melayani kepentingan kaum Islam", dan keorganisasiannya longgar sekali. Meskipun demikian keanggotaannya tumbuh dengan dahsyat, sampai ratusan ribu pada tahun 1916, dan terutama berpusat di kota. Secara grafikal hal ini mencerminkan pencarian massa buruh untuk menemukan alat perjuangan guna melawan kondisi mereka yang makin memburuk. SI gagal total memenuhi kebutuhan ini; meskipun demikian, karena tidak ada pilihan, kegiatan massa tetap terfokus padanya, jika munculnya PKI tidak memotong perkembangan SI itu.

Menurut Sekretariat Negara RI (1994:8) Sneevliet memanfaatkan SI untuk memperluas pengaruhnya, dengan keanggotaan ganda. Sneevliet memasukkan anggota ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi anggota ISDV. Tahun 1917, Sneevliet dan kawan-kawan sudah punya pengaruh yang kuat di kalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, diantaranya Semaun (pimpinan SI Semarang) dan Darsono.

Pada tahun 1917 itu pula golongan komunis berhasil melaksanakan revolusi di Rusia. Peristiwa ini dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet untuk membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia, bahwa bangsa Asia pun bisa mengalahkan Eropa. Sneevliet menyerukan ke penganut Marxisme di Indonesia supaya mengikuti Rusia.

Belajar dari pengalaman Rusia, ISDV mulai mengorganisir serdadu dan pelaut di Indonesia, dan dengan usaha itu berhasil menarik pengikut sekitar 3,000 orang di angkatan bersenjata Belanda. ISDV mendorong pula tokoh-tokoh nasionalis dan organisasi, seperti Budi Utomo, Insulinde dan SI untuk menuntut Pemerintah Hindia Belanda menggantikan Volksraad dengan parlemen Rakyat. Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan jalan mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda tahun 1918, kemudian menyusul Brandsteder pada 1919, Baars pada tahun 1921, dan sisa-sisa kelompok radikal lainnya pada tahun 1923.

Meski ditinggal oleh pemimpinnya, Semaun dan Darsono yang telah menjadi kader komunis muncul sebagai pimpinan Sneevliet.

Pasca kemenangan Rusia dalam Revolusi Bolsjewik 1 Oktober 1917, Lenin menggariskan bahwa untuk tercapainya revolusi dunia hendaknya didirikan partai komunis di tiap Negara. Karena itu dalam kongres ISDV VII pada 23 Mei 1920 di kantor SI di Semarang, ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komitern).

Pertentangan di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktobr 1921 di Surabaya. Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya kongres, tetapi usaha mereka ini ditentang oleh seorang tokoh SI, yaitu H.Agus Salim.

Sejak itu muncullah sebutan SI Merah bagi anggota-anggota SI yang beraliran Marxis dan SI Putih bagi anggota SI yang menentang Marxisme. Inilah untuk pertama kalinya kekuatan islam menentang komunisme muncul secara terbuka di Indonesia.

Kepada Komintern, Tan Malaka melaporkan bahwa Perserikatan Komunis di Hinda Belanda telah menguasai lebih dari 20 seksi dalam SI dan dapat merekrut 30.000 komunis aktif dari 100.000 anggota SI. Perpecahan tidak dapat dihindari lagi. Bahkan pada Maret 1923 dalam kongres II Perserikatan Komunis di Hindia Belanda diputuskan untuk bersaing melawan SI sebagai organisasi politik yang haluannya berbeda. Sebagai konsekuensinya SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat. Aktivitasnya mampu melebar sampai ke luar jawa dengan membuka cabang di Padang dan Makassar.

Pesatnya perkembangan Partai Komunis ini membuat Pemerintah Hindia Belanda mulai waspada. Untuk melemahkan gerakan, Pemerintah Hindia Belanda mengusir para pemimpin dari unsure pribumi, seperti Tan Malaka (1922), Semaun serta Darsono pada tahun 1923. Namun Semaun dan Darsono dapat kembali lagi ke Indonesia pada tahun itu.

Pasca ditinggal Semaun dan Darsono sempat membuat gerakan PKH ini merosot karena kekurangan tenaga-tenaga. Namun Perserikatan Komunis Hindia Belanda (PKH) ini mulai melakukan konsolidasi kembali setelah Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun 1923. Pada Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan Kongres di Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk pertama kalinya. Lalu pada Kongres PKI bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta mengambil keputusan untuk meleburkan Sarekat Rakyat ke dalam PKI.

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke boven Digul, sebuah kamp tahanan di papua. (http://www.independent-Bangladesh.com/news/may/20/20052005ed.htm).

Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Menurut kamus online Wikipedia, banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh.

Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam control PKI.(http://www.marxists.org/indonesia/indones/pkihist.htm) Setelah kemerdekaan: bangkit kembali Setelah pemerintahan Jepang menyerah kalah kepada Tentara Sekutu pada 1945, PKI muncul kembali di panggung politik Indonesia dan ikut serta secara aktif dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan nasional. Banyak satuan-satuan bersenjata yang berada di bawah kontrol ataupun pengaruh PKI.

Di Madiun, sekelompok militer yang dipengaruhi PKI yang menolak perintah perlucutan senjata tersebut dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan bersenjata. Hal ini menimbulkan alasan untuk menekan PKI. Sumber-sumber militer menyatakan bahwa PKI telah memproklamasikan pembentukan "Republik Soviet Indonesia" pada 18 September 1948 dengan Musso sebagai presidennya dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menterinya. Pada saat yang sama PKI menyatakan menolak pemberontakan itu dan menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Pemberontakan ini ditindas oleh pasukan-pasukan republik, PKI kembali mengalami masa penindasan. Pada 30 September Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Republik dari Divisi Siliwangi.

Beribu-ribu kader partai dibunuh dan 36.000 orang dipenjarakan. Di antara mereka yang dibunuh termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober dengan alasan bahwa ia berusaha melarikan diri dari penjara. Amir Sjarifuddin, tokoh Partai Sosialis Indonesia, pun dibunuh pada peristiwa berdarah ini. Aidit dan Lukman mengungsi ke Republik Rakyat Tiongkok. Namun PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Pada 1949 partai ini mulai dibangun kembali.

Bangkit kembali Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah.

Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Adit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959. [http://archive.workersliberty.org/wlmags/wl61/indonesi.htm]. Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. Pemilu 1955 Pada pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Dewan Konstituante. Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada September tahun yang sama, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.[http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah09.shtml] Pada 3 Desember, serikat-serikat buruh, yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional. Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro Amerika Serikat di kalangan militer dan politik sayap kanan.

Para pemberontak, yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan. Pada 1959 militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal, dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya.

Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom, yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas. Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno.

Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno. Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya. Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT.

Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan, seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia. Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, menjadi menteri penasihat. Pada bulan April, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Britania dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaya, lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian, kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Kebanyakan dari satuan-satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan di Kalimantan.

Menurut Kamus Online Wikipedia, Dengan alasan ‘keterlibatan PKI dalam G30S’, partai ini dilarang oleh Pangkopkamtib Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno. Setelah itu bermula sebuah sejarah hitam bangsa Indonesia di mana ribuan orang tak bersalah — terutama di pulau Jawa dan Bali — dibantai secara sia-sia karena dituduh komunis. Menurut beberapa sumber antara 500.000 jiwa sampai 2 juta jiwa tewas dibunuh. Ribuan lainnya mendekam di penjara atau dibuang ke pulau Buru. Sebuah upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi yang diprakarsai oleh (mantan) Presiden Gus Dur, ketika ia masih menjabat sebagai presiden diprotes beberapa partai, terutama yang berlatar belakang agama di Indonesia. Usul rekonsiliasi oleh Gus Dur telah membuka kesempatan bagi orang-orang yang masih percaya pada ideologi berhaluan kiri untuk kembali aktif dalam politik Indonesia.

4.2.3 Aspek Historis Munculnya PKI di Banyuwangi

Kabupaten Banyuwangi adalah Kabupaten paling timur di Propinsi Jawa Timur yang sudah termasyur kekayaan alamnya. Terutama kekayaan pertanian dan perkebunan. Sejak jaman colonial, Banyuwangi dijadikan sentra-sentra untuk meningkatkan pundi-pundi VOC dan sekutunya. Ribuan buruh didatangkan dari Madura untuk menggarap area-area perkebunan, yang umumnya terletak di Banyuwangi Utara dan Selatan, seperti Wongsorejo, Kalibaru, glenmore, dan sekitarnya.

Selain kaya akan hasil alamnya, Banyuwangi juga terkenal akan kekayaan seni budayanya. Kesenian-kesenian rakyat sudah marak ditampilkan sejak zaman kolonial seperti Kesenian Gandrung atau upacara-upacara adat selamatan desa seperti Seblang dan kebo-keboan.

Dalam perkembangannya kemudian, kemunculan Partai Politik di tingkat Nasional menjalar pula hingga ke daerah seperti Banyuwangi. Bibit-bibit PKI di banyuwangi muncul, diperkirakan berasal dari pengikut-pengikur Sarekat Islam yang akhirnya pecah menjadi dua kelompok, Kelompok kanan dan kelompok kiri atau merah. Sarekat Islam kelompok merah inilah yang akhirnya berfusi ke Indische Social Demokratische Vereeniging atau ISDV (embrio sebelum akhirnya berganti nama menjadi PKI).

Gerakan PKI secara nasional yang masih bawah tanah ditata kembali dengan kehadiran pmimpin PKI Muso dari pembuangannya di Moskwa, Uni Soviet. Di berbagai daerah PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Banyuwangi buruh-buruh perkebunan menjadi salah satu obyeknya.

Tahun 1947, jumlah anggota PKI di banyuwangi cukup signifikan di daerah-daerah selatan yang berdekatan dengan area-area perkebunan. Beberapa tokoh yang sempat memimpin PKI di Banyuwangi selatan adalah Prayitno dan Suntoyo, dan dibantu Sunyoto, Ikhwan, Kusno, Samud, Karto dan Kabul.

Sebelum peristiwa madiun meledak, di Banyuwangi lebih dulu terjadi bentrok antara PKI dan TNI yang saat itu dikenal dengan Pasukan COG IV/C (singkatan dari Commando Offensif Gerilya, yang sebelumnya dikenal dengan Pasukan Yon Macan Putih yang diperintahkan Resimen 40 Damarwulan Jember, menumpas tentara-tentara Belanda), di daerah Kalipait, Tegaldlimo. PKI sempat membentuk Komando Markas Pertahanan Daerah (KMD) dipimpin Prayitno dan Sutoyo.

Namun kekuatan PKI ini bisa ditaklukan COG IV/C pada 4 November 1947 jam 24.00 WIB. Berikutnya COG IV/C melakukan operasi pembersihan terhadap sejumlah tokoh PKI di daerah Banyuwangi selatan seperti Suntoyo, Soenyoto, Slamet, karto dan Kabul. Mereka ditangkap dan diadili dengan hukuman mati. Sedangkan Prayitno, Ikhwan, dan Kusno dapat melarikan diri.

4.2.4 Tumbuhkembangnya PKI Pasca Pemilu 1955 dan menjelang 1965

Peristiwa Madiun 18 September 1948 dan kematiaan pemimpin PKI Muso, tidak mematikan gerakan-gerakan PKI. Karena secara nasional pula, PKI tetap diperbolehkan berfungsi. Di bawah kepemimpinan PKI Pusat D.N Aidit, gerakan ditata kembali sehingga mengalami perkembangan anggota yang cukup pesat.

Itu dibuktikan dengan pemilu 1955, PKI di Banyuwangi mampu masuk menjadi 3 besar dengan memperoleh 60 ribu suara. Jumlah ini tidak berbeda jauh dengan Partai NU yang berada di posisi pertama dengan perolehan 100 ribu suara dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 90 ribu suara. Sedangkan Partai Masyumi di tingkat keempat dengan perolehan 30 ribu suara.

Pesatnya perkembangan PKI di Banyuwangi tidak lepas dari kemampuan PKI mengorganisir basis-basis dari kalangan akar rumput -yang tidak dilakukan oleh 3 partai pemenang pemilu lainnya, dengan berbagai organisasi-organisasi underbownya, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSHI), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Sebenarnya menurut mantan Ketua Himpunan Seni Budaya Indonesia atau HSBI (underbow Masyumi), Hasnan Singodimayan, tiga parpol lainnya memiliki organisasi massa dengan konsentrasi yang sama. Seperti Masyumi, memiliki Serikat Tani Islam Indonesia (STI) dan HSBI yang bergerak di seni dan budaya; Partai Nahdlatul Ulama punya Persatuan Tani NU (Pertanu); PNI punya underbow Persatuan Tani Nasional Indonesia (Pertani) dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun menurut Hasnan, konsep gerakan BTI yang berjuang mengangkat nasib petani dan memberikan tanah-tanah untuk petani miskin, lebih mengundang simpati petani di banyuwangi. Sehingga simpatisan PKI melalui underbownya BTI ini berkembang cepat di desa-desa. Sampai muncul istilah “Desa Mengepung Kota”, sebagai sebuah simbol perlawanan petani terhadap tuan tanah-tuan tanah.

Selain mampu membaca Banyuwangi sebagai daerah agraris, PKI juga mampu membaca keunggulan Banyuwangi yang kaya akan Seni dan budayanya. Melalui organisasi underbownya, LEKRA memfasilitasi kesenian-kesenian rakyat dan merangkul seniman-seniman handal Banyuwangi di zaman itu. Mantan anggota LEKRA, Andang CY, mengatakan, LEKRA terbagi dalam beberapa bidang yang mengurusi masalah teater, sastra, musik dan seni adat.

Teater dibawah LEKRA hidup subur dengan karya yang berkualitas, seperti Bahtiar Siagan, Kembang Merapi, dan lain-lain, yang diambilkan dari karya-karya sastrawan ternama seperti Pramodya Ananta Toer. Di bidang musik, muncul kelompok seni bernama Sri Muda dibawah pimpinan Muhammad Arif, yang mengembangkan kesenian angklung, lagu-lagu Banyuwangi dan tari. Lagu ciptaan M.Arif yang terkenal dan sempat jadi kontroversi selama orde baru adalah lagu Genjer-Genjer. Selain Muhammad Arif, beberapa seniman berbakat juga bergabung, baik sebagai pencipta lagu, penggiat angklung, dll, seperti Andang sendiri, Basir Nurdian, Pranoto, Mantofani, dan Nasikin.

Sedangkan dibidang seni adat, LEKRA memfasilitasi kesenian-kesenian rakyat seperti gandrung dan damarwulan.

Menurut Andang, kebesaran LEKRA karena visi misinya yang menjadikan ‘Seni Untuk Rakyat’. Artinya, bagaimana sebuah kesenian selalu diabdikan untuk kepentingan rakyat. Tiga prinsip yang dianut, yakni, sama kerja, sama tidur, dan sama makan.

Selain faktor diatas, Hasnan Singodimayan, mengakui kelebihan PKI tercermin dalam distribusi jabatan struktural di tubuh PKI maupun organisasi underbownya yang tidak didominasi kalangan elite, melainkan, dari akar rumput. Di kalangan buruh dipimpin Masdar, dari BTI dipimpin Samanhudi, dan Muhammad Arif dari kalangan seniman. Mereka menduduki jabatan mulai anggota DPRDS hingga Kepala desa, RT dan RW.

Meski populer hampir di semua desa, basis PKI di Banyuwangi berada di Temenggungan. Berikutnya berada di Singotrunan (Klembon), Kampung Melayu, dan Mandar (seluruhnya saat ini berada di wilayan Banyuwangi kota). Wilayah-wilayah tersebut adalah pusat-pusat kesenian. Andang menyebut, di wilayah Temenggungan saja hampir seluruh kesenian bisa dijumpai, mulai Ketoprak, Wayang Orang, Ludruk, Ande-Ande Lumut, Angklung, Musik Black and White, Keroncong, Mawar Merah dan Ramona.

Anggota PKI terus bertambah, puncaknya saat Masyumi dibubarkan dan Presiden Soekarno mempatenkan Nasakom, Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis (PKI) menjadi kekuatan negara. Menurut Andang, di awal tahun 1965 PKI di Banyuwangi memperoleh suara mayoritas mengalahkan PNI dan NU. Lalu diangkat seorang Bupati dari kalangan PKI bernama Suwarso Hanafi Namun kepemimpinan Suwarso tidak berlangsung lama, karena munculnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang merubah peta politik secara nasional.

* 4.2.1 Pengaruh Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Banyuwangi

Pembunuhan jenderal-jenderal yang dituduhkan didalangi PKI, pada 30 September 1965, berbuntut pada pelarangan Organisasi ini hingga ke lembaga underbownya. Andang menceritakan, setelah peristiwa itu, ratusan tokoh-tokoh PKI (termasuk dirinya) dan organisasi underbownya di Banyuwangi diculik oleh Angkatan Darat dan diasingkan di Lowokwaru, Malang selama 19 bulan, lalu dipindah ke camp konsentrasi wilayah Kalibaru-Banyuwangi, dan terakhir dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi.

Saat di Lowokwaru, Angkatan Darat mengklasifikasikan ratusan anggota dan simpatisan PKI dalam beberapa kategori hukuman.

Kategori A = dikenakan untuk tokoh-tokoh elite PKI dan organisasi underbouwnya karena terlibat langsung, dan sanksi hukuman mati.

Kategori B = tidak terlibat langsung, dan masih dibagi dalam beberapa kriteria

Kategori C = untuk kalangan simpatisan atau hanya ikut-ikutan.

Andang sendiri masuk kategori B dengan kelas terbawah. Ia langsung dipulangkan dari Lowokwaru menuju camp konsentrasi di Kalibaru-Banyuwangi, dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi. Namun Andang juga mendengar, adanya pembunuhan dan pembantaian terhadap orang-orang PKI dan simpatisan, termasuk kakaknya sendiri, Imam Ghazali yang tewas dibunuh. Mayat-mayat korban seluruhnya dikumpulkan di tanah lapang yang saat ini kita kenal sebagai Taman Blambangan.

Sedangkan menurut Hasnan, pasca peristiwa 30 September ’65 hingga 1966 menyulut konflik di desa-desa antara kelompok massa organisasi underbow PKI dengan kelompok-kelompok yang jadi lawan politik PKI, seperti kelompok-kelompok underbow Nahdlatul Ulama. Salah satu contohnya terjadi di Dukuh Cemethuk. Sebab kelompok lain akan menganggap BTI adalah PKI. Sehingga konflik di akar rumput terjadi lebih keras.

Andang CY juga bercerita, terjadi pembantaian terhadap orang-orang PKI dan simpatisan. Kakak kandungnya, Imam Ghazali -anggota Barisan Tani Indonesia, mati terbunuh. Sedangkan di daerah basis PKI, yakni, Temenggungan, rumah-rumah anggota LEKRA dibakar massa.

* 4.2.2 Peristiwa Pembantaian di Dukuh Cemethuk

Dusun Cemethuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring Banyuwangi terletak sekitar 25 KM atau menempuh 1 jam perjalanan dari Kota Banyuwangi. Mata pencaharian mayoritas penduduk dusun ini adalah sebagai petani.

Dusun Cemethuk inilah salah satu tempat bersejarah yang memiki benang merah atas tumbuh kembangnya Partai Komunis Indonesia atau PKI di Banyuwangi.

Nama Cemethuk sudah cukup populer sejak tahun 1950-an, saat PKI tumbuh subur di Banyuwangi. Mantan Anggota LEKRA, Andang CY menyebut daerah yang berpenduduk 2500 jiwa ini sebagai pusat bromocora atau preman-preman. Namun tidak jelas, mengapa para preman memilih daerah ini sebagai basisnya. Menurut Andang, para bromocora itu sebenarnya adalah Pemuda Rakyat, organisasi underbow PKI.

Cemethuk tahun 60-an yang dipenuhi oleh para bromocora ini, dibenarkan oleh mantan Ketua Pemuda PNI, Soemardi Djamal. Menurut Djamal, para bromocara ini sering mengajak masyarakat setempat sambil membawa sebuah clurit. Bila warga menolak, maka clurit akan dikeluarkan dan tidak segan-segan akan membuat nyawa melayang.

Djamal sendiri pernah diancam dengan clurit terkalung di leher bila ia membocorkan peristiwa pembakaran rumah-rumah anggota PKI di luar Dusun Cemethuk.

Anggota PKI dan anggota organisasi underbow PKI cukup mendominasi di Dusun Cemethuk. Selain PKI, menurut Soemardi Djamal, Ketua Pemuda Demokrat Cluring -organisasi underbow PKI, di Dusun Cemethuk sebenarnya muncul kekuatan politik Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Pemuda Demokrat organisasi underbow PNI. Namun jumlah PNI dan Pemuda Demokrat hanya berjumlah 28 orang.

Menurut Djamal, tanggal 11 Oktober 1965, situasi di Cemethuk mulai mencekam. Banyak anggota PKI atau organisasi underbownya melarikan diri ke Cemethuk untuk meminta perlindungan, menyusul kebijakan pemerintah menumpas PKI hingga ke akar-akarnya. Kelompok lain memberangus eksistensi PKI dengan membakar rumah-rumah penduduk. PKI dan underbownya menutup akses jalan menuju Dusun Cemethuk dengan meminta sejumlah pemuda rakyat untuk berjaga di pintu/gerbang masuk.

Tanggal 12 Oktober 1965, orang-orang Pemuda Rakyat (PKI) melakukan penyekapan terhadap 28 orang PNI dan Pemuda Demokrat yang sedang melakukan rapat di rumah Pak Djijun (tokoh senior PNI). Lima Pemuda Rakyat ini menuntut supaya PNI dan Pemuda Demokrat menghentikan seluruh aktivitasnya, dan tidak boleh pulang. Menurut Djamal, Pemuda Rakyat mengantongi clurit masing-masing sambil mengancam akan membunuh bila orang-orang yang disekap melanggar kehendak tersebut. Apalagi di luar rumah Pak Djijun sudah dijaga gerombolan PKI dan Pemuda Rakyat, sehingga orang yang disekap terpaksa mengalah.

Dalam kesaksian Soemardi Djamal yang ditulisnya tahun 1982, Tanggal 13 Oktober 1965, jumlah pengungsi anggota PKI dari luar kecamatan terus berdatangan. PKI membagi tiga pos kekuatan di Cemethuk, yakni :

* 1. Cemethuk sebelah timur, kekuasaannya diserahkan ke Kepala Desa Cluring, Matulus Sudomo -tokoh PKI dan Sudomo tokoh Pemuda Rakyat
 * 2. Cemethuk sebelah tengah, dipimpin Mangun Lehar -sesepuh/peguron PKI dan Wasito -tokoh BTI
 * 3. Cemethuk sebelah barat dipimpin Mursit -tokoh bromocora kawakan, dan Kaderin Budheng

Banyaknya jumlah pengungsi ke Cluring, membuat PKI mengalami krisis makanan. Jalan satu-satunya, kata Djamal, orang-orang PKI dan organisasi underbownya melakukan penjarahan makanan di rumah-rumah penduduk asli yang bermatapencaharian sebagai petani. Sehingga keluarga-keluarga PNI yang merasa resah dengan aksi ini memilih mengungsi ke Dusun Jeding, yang menjadi basis PNI.

Begitu juga dengan orang-orang PNI yang disekap, seluruh makan dan minumnya ditanggung orang-orang PKI.

Untuk memudahkan distribusi makanan dan minuman, PKI mendirikan tiga dapur umum yang terpusat di masing-masing pos yang telah dibentuk tersebut.

Pos I ditunjuk sebagai pos pusat PKI di Dusun Cemethuk yang menentukan keputusan-keputusan. Lalu, keputusan ini disebarluaskan ke Pos II dan Pos III yang dihuni oleh orang-orang pendatang.

Menurut Djamal, Pos I dihuni 25 orang lebih, diantaranya:

1. Yatno Cecom = Presiden / ketua

2. Moek’idin = Pegawai Penerangan Kec. Cluring

3. Hariyono = Kepala SMP BPSL Cluring

4. Pardi = Jeglek Pegwai Pasar Benculuk

5. Ashari = Pegawai Kehutanan Benculuk

6. Samadi = Pegawai Pasar Benculuk

7. Mattulus = Kepala DesaCluring

Tanggal 18 Oktober 1965, jam 08.00 WIB tersiar kabar bahwa akan ada penyerangan terhadap orang-orang PKI di Karangasem, yang dilakukan oleh warga dari Muncar sebanyak 3 truk. Kabar ini membuat situasi kian mencekam. Orang-orang PKI kebingungan.

Sebenarnya aksi dari Muncar ini sempat dihentikan oleh Puter Pra Srono, TNI AD, dan meminta warga Muncar ini kembali. Namun larangan ini diabaikan dan jumlah pengikutnya kian bertambah. Sampai di Kecamatan Cluring, gerombolan ini juga dihentikan oleh Kompi PKD (Hansip), namun juga diabaikan.

Ternyata orang-orang PKI dan simpatisan PKI di Karangasem (sekarang Yosomulyo) sudah mempersiapkan diri menghadapi penyerangan ini. Anggota PKI di Karangasem ini dipimpin oleh seorang Angkatan Darat Letnan Kaboel (selain mendominasi struktur jabatan di pemerintahan, di tubuh TNI saat itu terjadi perpecahan. Sebagian tetap bertahan, sebagian yang lain bergabung dengan PKI). Sedangkan pasukan dari Muncar ini dipimpin oleh warga Nahdlatul Ulama, yang dipimpin Salamin, Riffaki, dan Surachmo.

Setelah 3 truk warga Muncar ini sampai pada pertigaan Jurusan Sumberejo berhenti, banyak kayu-kayu ditumbangkan sehingga truk warga Muncar ini tidak bisa bergerak. Gerombolan PKI menyerang penumpang dan membakar habis tiga truk tersebut. Bentrok fisik terjadi. Kesiapan bertempur dari orang-orang PKI ini membuat pasukan dari Muncar kocar-kacir.

Sebagian dari pasukan Muncar berusaha menyelamatkan diri dan lari menuju Dusun Cemethuk dengan melalui Dusun Jeding. Niat mereka sebenarnya ingin meminta pertolongan dari orang-orang PNI. Namun sampai di Kali Simbar, batas sebelah selatan Kuburan Cemethuk, pasukan PKI dan Pemuda Rakyat sudah mencegat karena sebelumnya sudah menerima kabar atas rencana penyerangan dari warga Muncar ini.

Saat sudah terkumpul seluruhnya, warga Muncar ini digiring menuju Pos I dan dihadap-hadapkan dengan orang-orang PNI yang disekap. Warga Muncar ini masih memegang senjatanya, seperti clurit, pedang samurai, takiari/bambu runcing, dan keris. Salah satu warga Muncar berteriak : “Ansor Muncar Pak, minta bantuan, serangan hancur”. Lalu pimpinan PKI di Pos I, berteriak, memerintahkan orang-orang PNI untuk membunuh warga Muncar tersebut. Namun karena sudah memperoleh intruksi supaya tidak bertindak apapun, maka orang-orang PNI memilih melarikan diri. Sehingga situasi bertambah kacau, suara kentongan ditabuh. Orang-orang PKI sendiri akhirnya bentrok fisik dengan kelompok NU tersebut.

Sekitar pukul 11.30 WIB suara kentongan berhenti. Mayat-mayat berserakan di tepi jalan, sungai-sungai, di tegalan, dan sawah. Semua mayat dikumpulkan di Pos I di rumah Mbah Mangun Lehar.

Sekitar pukul 16.00 WIB, Pimpinan PKI, Yateno memerintahkan pada anggotanya untuk membuat lubang untuk mengubur mayat-mayat tersebut. Perintah ini langsung dilaksanakan, dengan membuat 3 lubang. Namun karena terjadi musim kemarau sehingga kondisi tanah menjadi kering. Mereka hanya mampu membuat galian sedalam 2 meter – 2,5 meter, dengan ukuran :

Lubang I : Panjang 3-4 meter dan lebar 2-3 meter

Lubang II : Panjang 3-4 meter dan lebar 2-3 meter

Lubang III : Panjang 4-5 meter dan lebar 3-4 meter

Lalu mayat-mayat tadi dimasukkan ke tiga lubang tesebut dengan jumlah, Lubang I berisi 11 mayat, lubang II berisi 11 mayat, dan lubang III berisi 40 mayat. Sehingga total jumlah korban tewas mencapai 62 orang.

Beberapa nama korban yang tewas adalah :

1. Matradji = Pemuda Anshor

2. Bindhoro = Anggota NU

3. Modjo = Fraksi NU

4. Iksan = Muhammadiyah

5. Durahman = Fraksi NU

Setelah peristiwa pembunuhan ini, Djamal dan beberapa rekan menemukan salah seorang sisa dari pelarian yang bersembunyi di sumur kering. Saat ditanyai, orang ini mengaku kalau diberi upah untuk melakukan penyerangan ke Karangasem. Namun belum sampai pada pengakuan siapa yang membayar, sisa pasukan Muncar ini keburu diketahui orang-orang PKI dan langsung membawa ke Pos PKI.

4.2.4. Akhir Periode PKI di Banyuwangi

Mantan Ketua Pemuda Demokrat Kecamatan Cluring, Soemardi Djamal, orang-orang PKI di Cemethuk berhasil ditumpas setelah Angkatan Darat Yon 515 dan Kepolisian Cluring melakukan pengepungan di Cemethuk pada Jumat, 20 Oktober 1965, jam 04.00 WIB. Seluruh penghuni rumah dan di luar rumah dibariskan di tengah-tengah jalan. Barisan digerakkan menuju kebun kelapa milik Samsul Hidayat, Pengurus Anak Cabang PNI Cluring. Pasukan AD dipimpin Komandan Puter Pra, Raden Soenarto.

Soenarto membacakan surat kuasa dengan memanggil nama-nama yang tertulis di surat tersebut. Pertama-tama, Soenarto memanggil anggota PNI, seperti Santoso Hadi, Soegito, Soemardi Djamal, dan Atim, untuk berkumpul di sebelah kanan tentara. Setelah itu, Soenarto juga memanggil orang-orang PKI dan Pemuda rakyat seperti Yatno, Moek’idin, Hariyono, Pardi Jegle, Ashari, Samadi, Mangun Lehar, Mattulus, Suryanto, dan lainnya sehingga berkumpul 2 truk. Para tokoh PKI itu juga dipanggil beserta keluarga, Istri dan anaknya. Sedangkan nama-nama yang tidak dipanggil diperbolehkan pulang.

Pada 21 Oktober 1965, PNI Ranting Cemethuk, dan Pemuda Demokrat Ranting Cemethuk mendapat perintah tertulis dari Anak Cabang Cluring yang memberikan perintah, bahwa PNI dan Pemuda Marhaen segera membentuk Badan Komando Keamanan Sementara yang diketuai Santoso Hadi dan Soemardi Djamal; Badan ini bertugas menumpas habis sisa sisa gerombolan PKI yang ada di Dusun Cemethuk; pelaksanaan penumpasan ini tidka boleh main hakim sendiri,melainkan harus bertindak dibelakang komando ABRI.

Dari sebelah Timur Dusun Cemethuk, beberapa pimpinan Pemuda Rakyat ditemukan mati terbunuh. Seperti Timbul, Mukri, dan Kaderin Budheng. Terbunuhnya ketiga tokoh Pemuda Rakyat ini membuat situasi Dusun Cemethuk menjadi berubah total. Sisa-sisa gerombolan PKI kebingungan dan berduyun-duyun mendatangai rumah Soemardi Djamal untuk meminta perlindungan.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh BKKS bentukan PNI Cluring untuk memberangus sisa-sisa gerombolan PKI. Menurut Soemardi, gerombolan PKI ini pura-pura menampung mereka, dengan syarat harus mematuhi peraturan PNI dan pemudanya. Setiap malam, PNI menggilir mereka jaga malam di sebuah pos. Lalu Angkatan Darat melalui Koramil melakukan penangkapan ke pos, setelah sebelumnya BKKS memberitahukannya pada Koramil.

Cara ini terus berlangsung hingga 15 hari, sampai tidak ada lagi orang-orang PKI di Dusun Cemethuk.

Sedangkan menurut Anggota LEKRA, Andang CY, setelah pembersihan anggota PKI dan organisasi Underbownya, Bupati dari unsur PKI, Suwarso, diganti Bupati Joko Slamet Supaat, dari unsur Angkatan Darat.

Menurut Andang, Joko melakukan pembersihan sisa-sisa gerombolan PKI di desa-desa dengan cara membangun kembali dari desa. Cara-cara Joko adalah dengan mengaktifkan kesenian-kesenian rakyat, seperti Gandrung, Damarwulan dan lain-lain. Rupanya, kata Andang, cara ini efektif untuk membuat masyarakat Banyuwangi tunduk di bawah pemerintahan yang baru sampai Pemerintah Indonesia di tangan Presiden Soeharto melakukan fusi partai politik menjadi 3 parpol saja. Yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari bab-bab yang telah dibahas diawal, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :

* 1. Komunisme lahir sebagai bentuk kritik dan perlawanan terhadap berkembanganya Kapitalisme di negara-negara Industri. Kapitalisme dianggap menindas kelompok-kelompok marginal atau terpinggir. Ideologi ini mengalami puncak setelah menang dalam Revolusi Bholsevik di Rusia. Gerakan Komunisme begitu massif yang kemudian terlembagakan dalam berbagai partai, salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia.
 * 2. Penjajahan Belanda, selain meninggalkan penindasan, ia juga penting menjadi pintu masuk ideologi komunis ke Indonesia. Adalah Sneevliet, seorang berkebangsaan Belanda menjadi tokoh kunci yang membawa ideologi ini ke Indonesia hingga merekrut ribuan kader.
 * 3. Perkembangan PKI yang bergerak di akar rumput, seperti kalangan buruh, petani, dan perempuan, menjadi ancaman serius bagi penguasa-penguasa Indonesia sejak era Orde Baru. PKI mampu menempatkan diri sebagai partai oposisi yang revolusioner dengan mengangkat isu-isu kerakyatan yang tereduksi akibat kolonialisasi Belanda, Inggris, dan Jepang, serta oleh pemerintahan Indonesia. Sehingga gerakan PKI sering dilarang dan diberangus. Puncaknya adalah saat Orde Baru, PKI dituduh menjadi aktor dibalik Gerakan 30 September 1965, meski belum terbukti hingga sekarang.
 * 4. Masifnya gerakan PKI akhirnya masuk ke Banyuwangi. Sebagai kabupaten yang kaya akan pertanian, perkebunan, dan kesenian rakyatnya menjadikan Banyuwangi cukup potensial bagi perkembangan PKI. Terbukti dalam pemilu 1955, PKI mampu masuk 3 besar sebagai pemenang pemilu.
 * 5. Konstelasi politik di Banyuwangi juga tidak kalah dinamis. PKI yang bergerak di isu-isu kerakyatan juga menjadi ancamans serius bagi lawan politiknya. Sehingga begitu ada kebijakan dari pemerintah pusat yang menjadikan PKI sebagai Parpol terlarang langsung direspon secara reaksional oleh parpol lawan politiknya. Anggota dan simpatisan PKI banyak menjadi korban di tangan masyarakat sipil dan Aparat Pemerintah atas nama Angkatan Darat.
 * 6. Peristiwa Pembantaian di Cemethuk adalah salah satu fakta respon reaksioner yang dilakukan ormas yang kontra terhadap anggota dan simpatisan PKI. Namun anggota PKI dan organisasi underbownya mengantisipasi penyerangan itu dengan melakukan pembelaan diri.

* 5.2 SARAN-SARAN

Dari kesimpulan itu nampak, banyak fakta yang terungkap dan perlu diluruskan dari bagaimana sejarah PKI di Banyuwangi dan Indonesia. Minimnya Pustaka dan penelitian terhadap sejarah lokal menjadi salah satu kendala untuk bisa melihat sejarah tidak sekedar hitam atau putih. Dengan ini, penulis menyarankan supaya:

* 1. Pemerintah memperbanyak penelitian lokal untuk menghasilkan penelitian sejarah yang lebih obyektif

DAFTAR PUSTAKA

* 1. Sekretariat Negara RI. 1994.Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, cet. II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
 * 2. Oetomo, Sri Adi. 1996. Selayang Pandang Perang Kemerdekaan Di Bumi Blambangan, cet. I. Jakarta : PT Garoeda Buana Indah
 * 3. Nugrohono Susanto, Sejarah Nasional Indonesia IV
 * 4. Kamus Online Wikipedia
 * 5. Situs In Defence Of Marxism
 * 6. Situs marxis : http://www.marxists.org/