Peristiwa KONFLIK 1965 –1966 di Boyolali

Oleh : Ismail Al Habib, Soekamso dan Istamar

I. PENDAHULUAN
Boyolali  merupakan  daerah  kabupaten  dengan  geografis  yang  strategis  untuk
perencanaan  secara  politik,  sosial,  budaya,  ekonomi  dan  pertahanan.  Dengan
letaknya  yang  strategis  tersebut  sejak  lepasnya  penjajahan  Belanda  dan  di
kumandangkannya  Proklamasi  17  Agustus  1945  sudah  menjadi  perebutan  yang
manarik  bagi  kekuatan    kekuatan  politik  yang  ada  pada  saat  itu.  Selain  itu
berbagai  Trah  keturunan    kerajaan  Surakarta  yang  tinggal  di  berbagai  daerah
Boyolali  juga  ikut  mewarnai  kehidupan  masyarakatnya.  Yang  tidak  luput  dari
penglihatan  kita  bersama  yaitu  dua  gunung  yang menyimpan  berbagai  peristiwa
nasional dan misteri yang menjadi   simbol dan keyakinan masyarakat  Jawa pada
umumnya khususnya di wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dari peristiwa
Misteri Gunung Merapi,  penjajahan  Belanda,  Rasionalisasi  di  tubuh  tentara, MMC
(Merapi Merbabu Complek), Grayak dan PKI. Tidak kalah pentingnya yaitu tentang
peristiwa  Kedung  Ombo  yang masih meninggalkan  berbagai  kenangan  pahit  dan
belum terselesaikan sampai sekarang. Peristiwa yang pernah terjadi tersebut selalu
dihubung – hubungkan antara satu dengan yang lainnya.

Misteri  Gunung    Merapi  yang  menjadi  kepercayaan  orang  Jawa  selalu  dikaitkan
dengan mistis/atheisme, yang berimbas pada kenapa PKI di Boyolali menjadi partai
yang  terbesar  dan  pemenang  pemilu  1955  dan mendapat  21  kursi  dari  35  kursi
yang  ada  pada  saat  itu. Misteri  Gunung  Merapi menjadi  kepercayaan  yang  kuat
bagi  masyarakat  Jawa  khususnya  Surakarta  dan  sekitarnya  berkaitan  dengan
peristiwa  -  peristiwa  alam  yang  sudah  ada  sejak  zaman  Pangeran  Diponegoro
Kerajaan Mataram Islam.
Dengan  adanya      Rasionalisasi  di  tubuh  tentara  yang  berimplikasi  pada  MMC
menjadikan  Boyolali  sebagai  kota  yang  berbasis  kaum  Merah.  MMC  (Merapi
Merbabu  Complek)  adalah  orang    oarang  yang  sakit  hati  karena  adanya
rasionalisasi di  tubuh  tentara. Dalam rasionalisasi di  tubuh  tentara adalah  tentara
yang bisa masuk untuk menjadi Tentara negara adalah tentara yang sudah dilatih
oleh KNIL dan PETA. Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan
tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. Lewat kolonel Soejono
menolak diadakannya rasionalisasi tersebut. Batalyon yang mengadakan penolakan
yaitu Batalyon Panembahan Pasopati. Dalam penolakannya mereka mengasingkan
diri  ke  Lereng  Gunung  Merapi  dan  Merbabu.  Setelah  Soekarno  menghimbau
kepada  pasukan  yang mengasingkan diri  tersebut  supaya  kembali, ada beberapa
orang  yang  rela  untuk menyerahkan  diri  dan mengembalikan  senjatanya  kepada
negara.  Ada  juga  yang  bertahan  dalam  pengasingannya  sehingga  mereka
bergabung dengan kelompok Garong dan dimanfaatkan kelompok garong tersebut
untuk melakukan  perampokan  yang  terkenal  dengan  sebutan  Grayak  --Gerakan
Rakyat Kelaparan-- (Mbah Narno dan Suhardi).

Grayak yang menjadi momok masyarakata Boyolali dan  sekitarnya meninggalkan
kenangan  tersendiri  bagi  sejarah  kota  susu  tersebut.  Gerombolan  yang  terkenal
dengan kesadisannya, penjarahan dianggap biang kerok mulobukane kekuatan PKI
di  Boyolali.  Sehingga  pasca  terjadinya  isu  pemberontakan  PKI  gerakan  yang
selama  ini  hanya  dianggap  sebagai  gerakan  kelompok  garong  yang  suka
merampas  ternak,  harta  warga  ini  dicap  sebagai  gerakan  orang    orang  PKI.
Padahal  kalau  dicermati  secara  jeli  tidak  hanya  milik  orang  NU  atau  PNI  yang
menjadi  korban,  harta  orang  BTIpun  juga  banyak  yang  menjadi  incaran
gerombolan tersebut.

Kedung Ombo yang menyisakan peristiwa  Internasional yang belum  terselesaikan
dalam  setiap  gerakan  pembebasan  untuk menuntut  Haknya  selalu  dicap  sebagai
orang  PKI.  Karena  berbagai  peristiwa  tersebut,  sehingga  Boyolali  menjadi  kota
yang penuh dengan koota misteri kemanusiaan berskala Nasional.

II. KONDISI UMUM PRA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965
Kondisi masyarakat  Boyolali  relatif  tenang,  hubungan antar  partai  yang  ada  juga
baik.  Bahkan  dalam menjalankan  roda  pemerintahan  yang  notabene  di  dominasi
oleh orang – orang merah tidak pernah  terjadi konflik. Pada kesempatan tertentu
antar  partai  disatukan  dalam  berbagai  forum.  Forum  yang    berfungsi  untuk
menentukan  pembangunan  arah  ke  depan  Boyolali.  Selain  itu  program  yang
dilontarkan  oleh  Presiden  Soekarno  dengan  Nasakom-nya  harus  dapat mewarnai
kehidupan masyarakat. Bahkan  dapat disosialisasikan  sampai masyarakat  tingkat
basis. Selain  itu ada  juga  relasi antar partai besar pemenang pemilu 1955 antara
lain PKI, PNI, NU dan Masyumi disatukan dalam Front Nasional.

Forum  atau  front  yang  berfungsi  sebagai  media  duduk  sejajar  bersama  untuk
menentukan kebijakan pembangunan Boyolali  dapat diterapkan sampai ke tingkat
desa meskipun  namanya  tidak  sama.  Dalam  setiap  pembicaraan  yang  diadakan
sangat  demokratis  meskipun  ada  perbedaan  tetapi  argumentasi  logis  yang  di
kedepankan  bukan  adu  otot  yang  dipakai.  Di  Desapun  tradisi  demokrasi  sudah
berjalan  dengan  baik  karena  dalam  setiap  penentuan  pembangunan  desa  tidak
langsung  ditangani  dan  diputuskan  kepala  desa  sendiri  tetapi  harus  mendapat
kesepakan  dari  Front  Nasional  tersebut.  Selain  dari  front  juga  harus  mendapat
kesepakatan dari orang – orang  yang  terlibat  dalam pemerintahan desa  tersebut
seperti  Bamusdes,  RT,  RK  dan  DPDes  (Dewan  Pertmbangan  Desa).  Dalam
penentuan  kebijakan  desa  kebanyakan  lurah  juga  selalu melibatkan  forum  yang
beranggotakan  dari  berbagai  partai  yang  ada  dan  keputusan  tersebut  menjadi
acuan dalam melakukan pemerintahan desa (Mbah Harto &Suhardi)

Dalam menjalan  roda pemerintahan  bagaimana  dapat mensosialisasikan program
yang  di  canangkan  oleh  Bung  Karno.  Program  yang  dicanangkan  Bung  Karno
misalnya  Manipol  USDEK  (Manivestasi  Politik  UUD1945  Sosialis  Indonesia,
Demokrasi  Terpimpin,  Ekonomi  Terpimpin,  Kepribadian  Indonesia).  Resopim
(Revolusi  sosialis  terpimpin), Nasakaomisasi  untuk  di  jadikan  penyangga  negara.
Selain program  itu sebagai acuan  juga harus di sosialisasikan kepada masyarakat
luas. Tidak  jarang  orang-orang  yang  terlibat  dalam  partai  tokoh  pemuda  di  desa-desa
saling  tukar  pikiran  dan  sambang  meskipun  yang  dibicarakan  hanya  persoalan
sepele.  Gotong  royong  yang  menjadi  tradisi  di  desa  juga  masih  marak  dengan
melibatkan berbagai elemen kepemudaan. Dalam memperingati selametan bayipun
orang-orang  dari  unsur  NU,    BTI maupun  Muhammadiyah  juga  tetap  di  undang
untuk ikut mendoakannya.

Konflik  kecil  yang  terjadi  juga  relatif  tidak  begitu  ideologis,   wajar  karena  dalam
masing    masing  partai  juga  memiliki  program  yang  harus  disosialisasikan
terhadap  anggota.  Selain  untuk  disosialisasikan  program  yang  ditawarkan  untuk
penggalangan  masa  agar  dalam  pemilu  ke  depan  mendapat  suara  banyak.
Pertarungan  partai  yang  besar  di  Boyolali  terjadi  antara  PNI  dan  PKI  karena  di
berbagai daerah yang ikut dalam kompetisi perebutan jabatan pamong desa adalah
orang    orang  PKI  dan  PNI.  Sedangkan  NU  selalu  mendapatkan  jatah  jabatan
pamong pada posisi Modin  /penghulu. Perebutan posisi pamong  inilah yang harus
disadari  ada  yang  kalah  dan  menang  sebenarnya.  Ternyata  yang  kalah  tidak
menerima  kekalahannya  dan  berimbas  pada  persoalan  partai  yang  sebenarnya
adalah  persolan  individu.  Konflik  individu  yang  berkepanjangan  ini  berimplikasi
pada  kebencian  yang  berlarut-  larut  yang  akhirnya    peristiwa  G30.  S  dijadikan
momentum  untuk  balas  dendam.  Dengan  terjadinya  peristiwa  tersebut  yang
tadinya  antar  anggota  masyarakat  desa  rukun,  damai  menjadi  saling  curiga
dengan  ditambah  isu  yang  meresahkan  masyarakat  tidak  tahu  siapa  yang
menghembuskan isu tersebut.

Pemberlakuan  UU  PA  dan  UU.BH  1963/1964  yang  terjadi  di  beberapa  daerah
sebagai uji coba Pilot Project,  juga memicu konflik antara PKI dan PNI. Karena di
beberapa desa di Boyolali yang menjadi 7 setan desa adalah orang PNI. Pada bulan
Februari  1964  di  daerah  Ketaon  menjadi  peristiwa  nasional  yang  menewaskan
seorang Pemuda rakyat (Jumeri). Peristiwa tersebut merupakan aksi sepihak yang
dilakukan oleh pemuda  rakyat dalam memperjuangkan UUPA dan UUBH  terhadap
orang – orang PNI. Orang PNI memakai kekuatan Polisi untuk menghalau orang –
orang buruh yang kebanyakan PR, berimbas tertembaknya Jumeri. Selain  itu juga
isu  tentang  Land  Refform  dan  pemberantasan  Nekolim  yang  di  lontarkan  oleh
orang  PKI.(Bantu,marno  &Tamam).  Selain  itu  di  Desa  Butuh  orang    orang  PKI
juga  melakukan  aksi  sepihak  dengan  melakukan  pematokan  terhadap  tanah 
tanah  orang  PNI  setelah  diberlakukannya  UUPA.  Selain mengadakan  pematokan
juga mengejek orang – orang PNI (saling ejek antar kader partai). (Suyitno 02-02)

III. KONDISI MASYARAKAT PASCA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965
Terjadinya Pembunuhan  terhadap 6 Jenderal dan 1 Sersan di  Jakarta masyarakat
Boyolali  pada  umumnya  tidak  begitu  mengetahui.  Hanya  beberapa  orang  yang
tahu  informasi  dan merekapun  tahu  dari  radio  yang  baru  beberapa  orang  yang
memilikinya. Dari  informasi  tersebut masyarakat  juga  tenang –  tenang  tidak ada
indikasi gerakan apapun, begitu juga antara masyarakat yang berbasis PKI dengan
PNI atau NU  dan  sebaliknya. Baru  setelah  satu minggu  ada himbauan  dari  pihak
Muspida (Bupati Boyolali, Dandim dan Kapolres) supaya masyarakat tetap tenang.
Pada  bulan  Oktober  di  daerah  Ampel  yang  sebenarnya  sudah  menjadi  rutinitas
pertemuan  antar Kepala Desa  seKecamatan ditunda  karena diganti pertemuan  di
kecamatan Cepogo yang dikuti oleh tiga kecamatan yaitu Ampel, Cepogo dan Selo.
Pada hari Sabtunya Carik dan Lurah berkumpul di Kecamatan Cepogo karena ada
pertemuan  dengan  Muspida.  Dalam  pertemuan  dengan  Muspida  tersebut
diterangkan  bahwa  di  Jakarta  ada  pemberontakan  yang  dilakukan  oleh  pasukan
Cakrabirawa  dan mengharapkan masyarakat tenang.(Hardi)

Setelah  ada  himbauan  dari  Muspida    di  beberapa  daerah  supaya  masyarakat
tenang,  baru  di  masyarakat  terjadi    isu  yang  simpang-siur  membuat  kondisi
masyarakat  resah.  Keresahan  yang  terjadi  di  masyarakat  ini  mengakibatkan
beberapa  provokasi  masuk  dan  dimanfaatkan  orang    orang  yang  sebelumnya
memiliki konflik individu. Suka dan tidak suka yang mendominasi terjadinya konflik
di  masyarakat.  Selain  konflik  individu  ada  konflik  yang  berangkat  dari  partai
masing – masing. Informasi yang diterima oleh masyarakat yang satu dengan yang
lain  beragam  seperti  di  beberapa  daerah  yang  berbasis  PKI  misalnya  isu  yang
muncul adalah orang – orang partai lain akan membunuh kelompok PKI, sehingga
masyarakat harus bersembunyi, demkian juga sebaliknya di daerah yang berbasis
NU atau PNI isu yang dihembuskan adalah orang PKI akan membunuh masyarakat
NU dan PNI.

Perkembangan  isu  yang  beragam  tersebut  dari  pihak  Muspida  juga  tidak
melakukan  pengamanan  apapun.  Semakin  lama  kondisi  tersebut  semakin
memprihatinkan  yang  mengancam  stabilitas  masyarakat.  Selain  itu  ada  juga
konspirasi beberapa kelompok yang memanfaatkan situasi tersebut. Konspirasi  ini
terbukti  dengan  informasi  yang  dilakukan  oleh  Muspida  ada  kelompok  yang
meragukan  informasi  dan  tidak  percaya  lalu  mengadakan    pertemuan  tertutup
merencanakan gerakan tertentu. Dalam hal ini misalnya PNI melakukan pertemuan
tertutup  dengan  pihak  tentara  Kodim  Boyolali.  Dalam  pertemuan  tersebut
menginginkan  untuk    melakukan  gerakan  secepatnya  karena  informasi  yang
disampaikan  Bupati  adalah  tidak  benar.  Satu minggu  setelah  tragedi  di  Jakarta
dalam  tubuh  Kodim  sendiri  diadakan  pembekuan  yang  mengidentifikasi  antara
tentara yang terlibat PKI dan tidak dengan melibatkan Pemuda Marhein.(Bantu 2-
02)  Yang  melakukan  pembersihan  tidak  lagi  dari  Kodim  sendiri  tetapi  sudah
melibatkan RPKAD dari Solo. Pertemuan antara PNI dan kelompok tentara ini atas
informasi yang diberikan oleh pengurus pusat PNI.

Ketidak  percayaan  PNI  atas  informasi  tersebut  karena  dari  pihak  PNI  sendiri
mendapat  informasi  kalau  orang  PKI  akan  merencanakan  pemberontakan.  Isu
pemberontakan itu didapat dari orang –orang yang mengatas namakan diri sebagai
kader  Pemuda  rakyat  (identitas  tidak  jelas)  tidak  sepaham  dengan  gerakan  PKI.
Mereka  datang  ke  tokoh  PNI  dan menyampaikan  bahwa  PR  sedang mengadakan
penggalangan  masa  besar  –besaran  untuk  melakukan  pemberontakan.(Bantu)
Selain  itu dari pihak yang mengatas namakan diri Slamet  tokoh PKI Ampel  lewat
surat  yang  disampaikan  kepada  Kapolres  R.Suyoto  lewat  istrinya  yang  isinya
bahwa  PKI  akan  melakukan  pemberontakan  dan  sudah  direncanakan.  Dari
informasi  itu maka  Kapolres mengadakan  pertemuan  tertutup  yang  di  ikuti  oleh
Ansor, Kokam dan Pemuda Marhen.(Shaleh. M)

Isu  yang  berkembang  dan  membuat  kecurigaan  besar  antar  tokoh  partai  yaitu
ketika  ada  isu  akan  dibunuhya  tokoh NU  dan  PNI oleh  orang  PKI. Bahkan dalam
rencana  pembunuhan  itu  sudah  disiapkan  rencana  yang  matang  oleh  orang 
orang  PKI.  Rencana  tersebut  akan  diundangnya  tokoh  partai    partai  selain  PKI,
dalam  acara  Wayangan  yang  di  adakan  di  Pendopo  Kabupaten.  Isu  yang
berkembang yaitu ketika tokoh partai yang datang akan di bunuh dan di masukkan
dalam  lubang  sumur    sumur  yang  sudah  disiapkan.  Ditambah  dengan  di
adakannya  patroli  yang  merekrut  dari  pemuda    pemuda  partai  keculai  dari
Pemuda Rakyat.

Patroli  yang  berfungsi  untuk  mengamankan  stabilitas  masyarakat  beralih  fungsi
menjadi  patroli  penangkapan  terhadap  orang  –orang  terlibat  PKI.  Patroli  ini
sebenarnya bertujuan untuk mengamankan kota dari serangan orang – orang PKI
yang dianggap telah memberontak. Kalau hanya menjaga kota dan mengamankan
ternyata  tidak  membuahkan  hasil,  karena  yang  ditungu  –tunggu  tidak  datang
maka  ada  inisiatif  untuk  melakukan  gerakan  penangkapan  dan  operasi
pembersihan.  Penangkapan  terhadap  orang  yang  terlibat  PKI  ini  berjalan  lama
karena harus mengidentifikasi sampai ke desa – desa.(Shaleh.M)

Saat  operasi  berjalan  sampai  ke  daerah  kantong    kantong  PKI  tidak  ada
perlawanan  sama  sekali  dari  pihak  PKI.  Mereka  yang  ditangkap  langsung
diserahkan  kepada  tentara  dalam  hal  ini  adalah  RPKAD  sebagai  koordinator
operasi.  Ada  beberapa  daerah  yang mengadakan  perlawanan  dengan melakukan
penebangan  pohon    pohon.  Penebangan  pohon  itu  terjadi  didaerah  Mojosongo
arah ke Solo sampai di Banyudono/ Ngangkruk  (Shaleh & Maskkyuri). Terjadinya
penebangan  pohon  dan  pembakaran  yang  dilakukan  oleh  orang    orang  PKI
tersebut  untuk  menghalang  gerakan  RPKAD  dalam  melakukan  operasi  terhadap
orang  PKI.  Dalam  operasinya  Patroli  ini  tidak  pernah  menemukan  orang  yang
melakukan  aksi  penebangan  tersebut  dan  ketika  bertanya  kepada  masyarakat
sekitar  jawabnya  tidak  tahu.  Aksi  pembakaran  dan  penebangan  pohon  tersebut
pada hari Jumat pahing.(Pomo)

Didesa Randusari kecamatan Teras basis BTI  terjadi Pembakaran  rumah –  rumah
penduduk  yang  dilakukan  oleh  Operasi  yang  terdiri    dari  Marhen  gadungan  dan
aparat  tantara.  Selain  pembakaran  juga  melakukan  sweeping  terhadap  tokoh
masyarakat  baik  itu  kepala  desa  maupun  yang  lainnya.  Pembakaran  tersebut
terjadi pertengahan Oktober 1965  setelah Tragedi di  Jakarta.(Harto) Pembakaran
juga terjadi di desa Galsari tepatnya di selatan Desa Randusari. Kalau pembakaran
di Randusari dilakukan oleh Operasi dan Marhen Gadungan, tetapi di Galsari isunya
dilakukan oleh orang – orang PKI. Selain isu pembakaran juga terdengar isu akan
adanya penangkapan dan pembantaian terhadap orang PNI.(Suyit)

Selain  terjadinya  perlawanan  PR  terhadap  operasi  di  daerah  Mojosongo  dan
sekitarnya,  juga  terjadi perlawanan dari arah  utara. Penyerangan dari arah utara
tersebut tepatnya di daerah Sunggingan. Penyerangan  itu terjadi pada hari Jumat
Pahing  yang  dilakukan  oleh  Pemuda  Rakyat  dan  Pemerintah  yang  setia.(Bantu)
Namun  menurut  pendapat  Pak  Diono,  peristiwa  yang  terjadi  pada  hari  Jumat
Pahing merupakan operasi yang dilakukan oleh barisan KAMMI/KAPPI dan tentara.
Operasi  tersebut  di  lakukan  di  daerah  Karanggeneng  karena  di  daerah  tersebut
sebagai basis PKI. Dalam operasi tersebut melakukan pembakaran terhadap rumah
tokoh  dan  penangkapan  terhadap  tokoh  PKI  tersebut.  Karena  sebelum  adanya
peristiwa tersebut sudah ada beberapa Panser yang diparkirkan di beberapa pojok
kota Boyolali. (Diono & Makno)

Jumat  Pahing Oktober  1965  operasi  juga  dilakukan  oleh  pihak  tentara  di  daerah
Selo. Dalam operasi  tersebut pihak  tentara menangkap  tokoh BTI pak Priyo pada
saat  itu  masih  dalam  perayaan  jagong  bayen.    Ketika  itu  Pak  Priyo  yang
menyatakan diri langsung dibawa oleh tentara dan diajak keluar, namun tidak lama
kemudian  terdengan  suara  tembakan.    Setelah  terjadi  penembakan  tersebut
selang  beberapa  menit  ada  surat  panggilan  dari  kecamatan  kepada  pemuda–
pemuda muslim.  Ternyata  dalam  panggilan  itu  tidak  hanya  pemuda Muslim  saja
tetapi  juga  dari  Pemuda  Marhen  untuk  dijadikan  relawan  dalam  operasi.  Di
kecamatan ternyata sudah kumpul dari pasukan YON E dan Polisi  dan memberikan
pengarahan bahwa PKI telah melakukan pemberontakan.

Meskipun  didaerah  Boyolali  kota  sudah  terjadi  operasi  yang  besar    besaran
terhadap  PKI,  namun  di  daerah  Selo  baru mengetahui  setelah  adanya  panggilan
terhadap  pemuda  muslim  yang  mau  dijadiklan  relawan  dan  dilatih  perang 
perangan  oleh  pihak  kecamatan.  Relawan  tersebut  dilatih  selama  21  hari  dan
jumlahnya  42  oarang.  Suasana  masyarakat  menjadi  panik  dan  mereka  banyak
yang  bersembunyi  di  lereng    lereng  jurang.  Dalam  persembunyian  ini  yang
menjadikan  keunikan,  karena  ternyata  orang    orang  yang  berasal  dari  desa
Surodadi  yang  berbasis  PKI  sebelah  utaranya  --desa  Tompak  berbasis  Muslim--
juga sedang sembunyi di lereng Jurang. Dari situ baru terdengar ternyata isu yang
berkembang di desa Surodadi tersebut akan  diadakannya penyerangan yang akan
dilakukan oleh orang – orang agama/ Muslim.(Nasafi)

Orang    orang  yang  menjadi  relawan  dalam  Operasi  pada  dasarnya  tidak
mengetahui  sebenarnya  dan  hanya  berpedoman  pada  daftar  yang  diberikan  oleh
tentara.  Dalam  daftar  tersebut  nama    nama  yang  tercantum  diberi  tanda
lingkaran  merah,  hijau  dan  kuning.  Lingkaran  merah  target  di  bunuh,  hijau  di
tahan  dan  kuning  harus  diawasi  aktifitas  sehari    harinya.(Nasafi)  Tanda  itupun
berlaku di daerah  lain meskipun model  tanda  tidak sama, namun  targetnya sama
yaitu bunuh, penjara dan diwaspadai. Hal itu dialami juga oleh Suhardi, pada saat
isu pembunuhan yang simpang siur di masyarakat semakin santer, maka Suhardi
yang  saat  itu  menjadi  kepala  desa  dipanggil  oleh  Camat  untuk  menghadap
Kapolsek.  Setelah  sesampainya  di  Polsek  dia  disodori  kertas  yang  berisi  daftar
nama – nama dengan tanda tiga macam denang warna merah, silang panah, silang
dan dilingkari. Silang panah merupakan  target bunuh karena  tidak  tahu maka dia
menanyakan  kenapa  itu  terjadi  pada  dirinya. Dalam  penjelasan  polisi  karena  dia
dianggap  memutuskan  hubungan  dengan  negara  karena  tidak  hadir  dalam
pertemuan  yang  diadakan  di  Kecamatan  pasca  pertemuan  di  Kecamatan
Cepogo.(Suhardi)

Operasi dan Penangkapan
Proses  penangkapan  terhadap  orang    orang  yang  dianggap  PKI  tidak  melalui
proses  yang  jelas.  Target  penangkapan  ini  juga  tidak  jelas  klasifikasinya  mana
yang  disebut  tokoh  PKI  dan  siapa  sebagai  simpatisan  yang  harus  diwaspadai.
Karena  dalam  proses  tersebut  juga  ada  unsur  suka  tidak  suka,  unsur  dendam
pribadi.  Prose  penangkapan  seperti  itu  terjadi  di  beberapa  daerah  dan  modus
operandingnya  hampir  sama.  Seperti  yang  dialami  oleh  Pak  Suhardi  setelah  dia
mengikuti pertemuan yang diadakan oleh pihak Muspida di kecamatan Cepogo ada
pertemuan  yang  diadakan  pihak  Kecamatan  Ampel.  Pertemuan  yang  diadakn  di
kecamatan  Ampel  pada  hari  Sabtu  Kliwon  Oktober  1965.  Pada  kesempatan  itu
ternyata  informasi  tidak  sampi  ketempat  Pak  Suhardi,  karena  undangan  ada  di
tempat Bayan I. Bayan I adalah rival pak Suhardi dalam Pilkades sebelumnya dan
ternyata kalah dan pernah membuat gerakan boikot kerja terhadap pamong yang
lain.  Dengan  alasan  apapun  yang  akan  di  utarakan  Pak  Suhardi  terhadap  pihak
Pemerintah  Kecamatan  tetap  tidak  bisa  di  terima.  Ketidak  hadirannya  dalam
pertemuan  kepala  desa  yang  diadakan  pihak  kecamatan  maka  dianggap  telah
memutuskan hubungan dengan negara.

Pada  hari  Jumat  Pahing  22  Oktober  1965  di  daerah  Selo  penangkapan  terhadap
anggota BTI juga terjadi. Kondisi keamanan di Selo tersebut masih baik belum ada
isu PKI memberontak. Kondisi  ini di  tunjuuk dengan adanya    jagong  bayen yang
diadakan oleh salah satu warga desa. Pada saat itu masyarakat melakukan hajatan
pada malam hari dan di hadir siapapun. Di pertengahan acara hajatan tersebut tiba
  tiba  datang  tentara  yang  mencari  salah  seorang  warga.  Nama  saah  seorang
warga tersebut adalah Pak Priyo dia adalah anggota BTI. Pada waktu itu Pak Priyo
dipanggil kerena ada  sesuatu  yang penting harus di  selasaikan. Karena dianggap
dimintai  bantuan  oleh  pihak  tentara  dan  tidak merasa  curiga  apapun maka  Pak
Priyo keluar dan mengikuti. Masyarakat yang menyaksikan  juga  tidak curiga atas
kejadian tersebut. Namun setelah beberapa menit kemudian terdengar tembakan.
Baru beberapa hari kemudian di ketahui bahwa Pak Priyo telah mati tertembak di
dadanya.

Pada  tanggal  5  Oktober  1965  kecamatan  Teras  masih  belum  ada  isu
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Baru tanggal pertengahan Oktober 1965
terjadi  pembakaran  dan  penangkapan  terhadap  orang–  orang  PKI.  Pembakaran
tersebut  terjadi  di  desa  Randusari  yang merupakan  basis  BTI.  Pengalaman  yang
dialami  oleh  Mbah  Suharto  (lurah  Randusari),  pada  tanggal  5  Oktober  istrinya
melahirkan anaknya yang terakhir. Karena  itu dia selama sepasar tidak berangkat
ke  kantor  sampai  upacara  sepasaran  selesai.  Setelah  upacara  sepasaran  selesai
maka  dia  berangkat  ke  kantor.  Pada  siang  harinya  ternyata  di  daerah  Randusari
bagian utara telah terjadi pembakaran rumah penduduk. Pembakaran itu berjalan
ke selatan, selain melakukan pembakaran mereka juga berteriak yang menyangkut
nama  seseorang  akan  dibunuh  dan  kelompok.  Salah  satu  nama  yang  disebut
adalah  saya, maka  pada  saat  itu Mbah  Suharto  dengan melepaskan  seragamnya
melarikan  diri  tanpa  pulang  dulu  untuk mengajak  anak  istrinya.  Seharian  dalam
persembunyiannya dia teringat anak dan istrinya. Setelah waktu malam datang dia
kembali kerumahnya dan ternyata rumahnya telah menjadi bara api.

Sebagai  PNS  di  Jawatan  Pertanian  yang  bertugas  di  Semarang  pulang  pergi
Boyolali  Semarang  sudah  biasa  dilakukan  oleh  Pak  Ponco.  Karena  kondisi  tidak
tenang maka  dia memutuskan  pulang  kedesa  Boyolali.  Kondisi masyarakat  juga
masih tenang –  tenang, hubungan antar masyarakat  relatif baik. Pada tanggal 26
November  1965  Pak  Ponco  mendapat  panggilan  dari  pihak  Kepolisian    Sektor
Sawit. Ketika dia datang ke Polsek,  ternyata dia dinyatakan  terlibat PKI  sehingga
dia di  tahan dan keluarganya  tidak di beri  tahu. Setelah ditahan beberapa hari di
Polsek Sawit kemudian di pindahkan ke YON E. Boyolali.

Hari  Jumat  Pahing  22  Oktober  1965  di  daerah  Sunggingan,  Boyolali  terjadi
pembakaran rumah dan penangkapan yang dilakukan oleh pemuda KAMMI /KAPPI
dan Tentara. Yang menjadi korban adalah tokoh – tokoh BTI desa Karanggeneng.
Selain  pembakaran  Sabtu  Ponnya  tanggal  23  Oktober  1965  juga  dilakukan
pengejaran terhadap orang – orang PKI. Kemudian hari Seninnya masih melakukan
pembakaran  lagi  terhadap  rumah  warga  yang  dianggap  BTI.  Salah  satu  rumah
yang  terbakar  adalah  rumah  Pak  Diono  (anggota  PGRI  Non  fakcentral).  Pada
tanggal  11  Februari  1966  Pak  Diono  ditangkap  oleh  operasi  dan  dipenjarakan
sementara  di  Candra  Boyolali.  Dalam  introgasi  yang  dilakukan  oleh  tentara  dia
dituduh akan membunuh orang lain/ tetangganya. Karena tidak merasa melakukan
tuduhan  itu  maka  dia  menjawab  tidak  namun  itu  semua  tidak  mempengaruhi
penangkapannya.  Dalam  penangkapan  itu  keluarganya    tidak  diberi  tahu  sama
sekali sampai akan dipindahkan ke Nusakambangan.

Penyiksaan, Pembantaian dan Pengasingan
Penangkapan  yang  dilakukan  oleh  pihak  Operasi  selama  berjalan  masih
meninggalkan  luka  yang  amat  dalam.  Karena  tidak  hanya  penangkapan  semata
namun  juga penyiksaan psikis dan  fisik. Penderitaan  itu  tidak hanya dialami  oleh
satu dua orang yang dianggap tokoh saja. Namun penderitaan itu jga dialami oleh
ribuan orang Boyolali yang menjadi korban atas tuduhan PKI.

Perlakuan tidak manusiawi merupakan pnyiksaan yang dialami oleh sebagian besar
Tapol  (tahanan  politik).  Pak  Suhardi  misalnya,  selama  di  penjara  YON  E.  Dia
diperlakukan  secara  sadis  pihak  tentara.  Selain  pisik  secara  psikis mereka  juga
diperlakukan seperti binatang. Bukan hanya di YON E di Penjara Nusakambangan
juga dialami sama, malah disana perlakuan antar Tapol dan Napi malah lebih baik
Napi. Bahkan Napi malah dijadikan sebagai penyiksaa orang – orang Tapol. Selain
itu kesejahteraan yang deberikan  juga  lebih baik Napi. Setelah beberapa bulan di
Nusakambangan maka dipindahkan ke Pulau Buru, dengan pemindahan ini semoga
mendapat  perubahan  itu  yang  menjadi  harapan  setiap  Tapol.  Namun  apa  yang
terjadi  ternyata  di  Pulau  Buru  malah  semakin  menyakitkan  dan  penuh  dengan
perjuangan untuk menpertahankan hidup.
Dalam penyiksaan terhadap orang yang dianggap PKI itu, antara satu dengan yang
lainnya juga tidak sama. Mbah Suharto misalnya, karena rumahnya sudah hangus
terbakar maka  dia menyelamatkan  diri. Dalam  penyelamatannya  dia  sadar  kalau
salah  kenapa harus  sembunyi, maka dia menyerahkan diri  kepada pihak operasi.
Oleh  operasi  diserahkan  kepada  RPKAD  dan  dihajar  oleh  tentara  sampai  tidak
sadarkan  diri.  Sehingga  mendapatkan  perawat  khusus  dari  pihak  kesehatan  di
dalam tahanan. Penderitaan secara mental, karena keluarga tidak di beritahu maka
dia dianggap sudah mati dan sudah diselameti  ini yang membuat dia sakit secara
psikis.  Setelah  beberapa  hari  di  YON  E  Boyolali,  kemudian  dipindahkan  ke
Nusakambangan  dipulau  terpencil  tersebut  ternyata  perlakuan  juga  tidak
manusiawi  sama  seperti  yang  dialami  oleh  Pak  Suhardi.  Setelah  dua  tahun  di
Nusakambangan dia dipindahkan ke Pekalongan, perlakuan  juga tetap sama tidak
manusiawi. Beberapa bulan di Pekalongan kemudian dipindah ke Nusakambangan
lagi  selama  6  bulan  baru  kemudian  di  asingkan  ke  Pulau  Buru. Dipulau  tersebut
nasib juga tidak berubah.

IV. KONDISI MASYARAKAT PASCA OPERASI
Operasi penangkapan terhadap PKI menyisakan luka yang dalam bagi masyarakat
luas  Boyolali  yang  tidak  tahu  apa    apa  tentang  PKI.  Ketakutan,  trauma,
kehilangan  sanak  saudara,  kehilangan  harta  dan  pengucilan  dari  masyarakat
sesuatu  kondisi  yang mengenaskan  yang  dialami  oleh  orang    orang  eks.  Tidak
hanya  itu  bagi mereka  yang  akan melakukan  aktifitaspun  harus mendapat  surat
izin, pengawasan dan wajib lapor kepada pihak  berwajib. Tidak saja mereka yang
terlibat menyandang predikat orang OT/eks, namun anak–anak mereka juga harus
mengalami  nasib  yang  sama  seperti  orang  tuanya.  Anak  mereka  juga  tidak
sebebas anak orang lain yang tidak terjaring operasi.

Bukan hanya harta  yang hilang,  namun  istripun harus meninggalkannya  itu yang
dialami oleh Pak Suhardi. Karena dibuang  terlalu  lama dalam pengungsingan dan
kabar  yang  tidak  menentu  membuat  istrinya  memutuskan  tali  keluarga  yang
selama  ini  mereka  bina  dalam  mengarungi  suka  dan  duka.  Selain  istri  yang
meninggalnya  orang  tuanyapun  dipaksa  oleh  pihak  pemerintah  desa  setempat
untuk menanda tangani sertifikat tanah yang akan dijual pemerintah desa kepada
orang lain. Sampai sekarang tanah yang sebenarnya menjadi hak miliknya menjadi
milik  orang  lain,  tidak  tahu  kenapa  statusnya  berganti,  padahal  tidak  merasa
menjual.
Penahanan  yang  tidak  melalui  proses  yang  jelas  berimplikasi  pada  spekulasi
keluarga  yang  ditinggalkan.  Mbah  Suharto misalnya,  karena  penyerahan  dirinya
kepada  pihak  Operasi  dan mendapat  perlakuan  tidak manusiawai  keluarga  yang
mendapat  kabar menganggap  sudah meninggal.  Karena  keluarga  yang  di  tinggal
juga berada dalam pengungsian. Setelah keluarga yang ditinggal pulang ketempat
orang  tua maka  dengan  kesedihan mereka melakukan  upacara  peringatan  tujuh
hari kematian Mbah Suharto. Tidak hanya itu ketika sudah keluar dari pengasingan
dari  Pulau  Buru  dan  dinyatakan  tidak  terlibat  PKI,  anaknya  yang  sudah  lama
menjadi  ABRI  dan  Bidan  dipecat  dengan  tidak  jelas  alasannya.  Sampai  anaknya
yang  lahir  tanggal  5  Oktober1965  harus  selalu mengalami  litsus  yang  diadakan
sekolahnya.

Semua  itu  tidak  hanya  dialami  oleh  dua  orang  tersebut  namun  mereka  yang
pernah  terdaftar  oleh  pihak  operasi  atau  desanya    yang  berbasis  BTI  akan
diperlakukan sama. Makno adalah seorang pemuda Marhaen karena desa sebagai
basis BTI dan kakaknya merupakan ketua PR maka pada tahun 1986 dicap sebagai
PKI dan harus dicurigai.
Itulah kondisi masyarakat Boyolali pasca terjadi G 30.September yang mereupakan
misteri  yang  belum  terkuak  siapa  yang  sebenarnya  bersalah  dan  siapa  yang
melakukan  pembantaian  terhadap  6  Jenderal  1  sersan.  Rakyat  kecil  yang  tidak
tahu apa – apa juga ikut menjadi korban, padahal mereka hanya ikut – ikutan atau
malah  balas  jasa  kepada  kelompok  yang  selama  ini  memperjuangkan  hak,  dan
nasib mereka.

Rentang Waktu, Tempat dan Peristiwa di Boyolali

Tanggal 1 Oktober 1965
Peristiwa  penculikan  dan  pembunuhan  terhadap  7  Jenderal,  dengan  adanya
peristiwa  tersebut  masyarakat  tetap  tenang  dan  tidak  ada  gerakan  apapun.
Meskipun ada beberapa masyarakat yang tahu  informasi dari siaran RRI tersebut,
namun tetap tenang tidak ada kejadian apapun.

Tanggal 5 Oktober 1965
Dalam  rangka  peringatan  hari  TNI maka  diadakan  upacara  bersama  yang  diikuti
oleh  semua partai bersama  satuan pemudanya, ormas, OKP. Dalam Satu minggu
ini,  setelah  kejadian  di  Jakarta    Muspida  Kabupaten  Boyolai  mengadakan
pertemuan  dan  koordinasi  dengan  beberapa  ormas,  Partai  dan  OKP  Partai  di
pendopo  Kabupaten.  Dalam  koordinasi  tersebut  Bupati  menghimbau  agar
masyarakat  tenang dengan adanya kejadian di  Jakarta. Keran dianggap peristiwa
tersebut  merupakan  intern  TNI.  Selain  mengadakan  pertemuan  di  Pendopo,
Muspida  juga mengadakan  pertemuan  di  Kepcamatan  Cepogo,  yang  diikuti  oleh
Kepala  desa  dan  Carik  sekecamatan  Selo,  Ampel  dan  Cepogo. Dalam  pertemuan
itu  bupati  juga  menghimbau  kepada  masyarakat  agar  tenang  dengan  adanya
peristiwa  di  Jakarta  karena  yang  melakukan  pemberontakan  di  Jakarta  adalah
Pasukan Cakrabirawa.

Sekitar tanggal 8 Oktober 1965
Ada  koordinasi  sepihak  yang  dilakukan  oleh  PNI  dan  tentara  karena  dalam
informasikan yang disampaikan oleh Bupati dirasa tidak benar. Selain itu dari pihak
PNI  lewat  ketua  Cabangnya mengintruksikan  supaya  berkoordinasi  dengan  pihak
tentara  karena  mendapat  intruksi  dari  pusat.  Di  dalam  tubuh  tentara  kususnya
Kodim  Boyolali  diadakan  penyeleksian  terhadap  tentara  yang  terlibat  PKI
melibatkan  pemuda  Marhaen.  Dari  pihak  Ansor mengadakan  koordinasi  tertutup
dengan  pihak  Kapolres,  dirumah  dinas  Kapolres.  Dengan  adanya  informasi  dari
orang  yang mengatas  namakan  diri  sebagi  orang  PKI  datang  dari  Ampel.  Surat
yang  di  sampaikan  oleh  seorang  perempuan  mengaku  sebagai  istri  tokoh  PKI
Ampel tersebut berisi tentang rencana pemberontakan PKI.

Tanggal pertengahan Oktober 1965
Terjadi  pembakan  rumah  warga  yang  dianggap  sebagai  orang    orang  PKI  di
daerah Kecamatan Teras khususnya di desa Randusari.

Hari Jumat Pahing, 22 Oktober 1965
Di  daerah  Mojosongo,  Teras  sampai  ke  Bangak  terjadi    aksi  penebangan  pohon
yang dilakukan oleh pihak PKI dalam  rangka untuk menghadang gerakan RPKAD.
Selain  itu  juga  ada  pembakaran  rumah  warga  dan  penangkapan  yang  dilakukan
oleh pemuda KAMMI/ KAPPI dan tentara di daerah Karanggeneng
Di Kecamatan Selo belum ada  isu operasi  terhadap orang – orang PKI.  Informasi
adanya pemberontakan PKI itu datang dari YONE yang mengadakan operasi sampi
di Selo. Operasi ini telah melakukan penembakan terhadap salah satu warga yang
dianggap  BTI.  Setelah  terjadi  penembakan  itu  baru  kondisi  di masyarakat mulai
panik  dan  kacau.  Selain  isu  PKI  mengadakan  pemberontakan  juga  diadakannya
perekrutan masa  yang  di  koordinir  oleh  pihak  kecamatan dan  dilatih  oleh  YON  E
dari Boyolali.

Sabtu, 23 Oktober 1965
Terjadi pengejaran terhadap orang – orang PKI di daerah Karanggeneng oleh pihak
KAMMI/ KAPPI dan tentara.

Senin 25 Oktober 1965
Terjadi pembakaran  rumah warga di daerah Karanggeneng. Rumah yang menjadi
korban pada saat itu 9 rumah.

Hari Sabtu Kliwon akhir Oktober 1965
Di  daerah  Kecamatan  Ampel  diadakan  operasi,  mdengan  mendaftar  kepla  desa
yang  tidak  ikut  dalam  pertemuan.  Selain  itu  juga  penangkapan  bagi  tokoh
masyarakat dan BTI.

Operasi    operasi  yang  dilakukan  oleh  RPKAD  itu  selama  tiga  bulan  di  Boyolali,
setelah  itu    diserahkan  kepada  YON  E  untuk  menangani  keamanan  di  Boyolali.
Pengamanan  yang  dilakukan  YON  E  tidak  hanya menstabilkan  situasi  tetapi  juga
melakukan operasi yang sama seperti dilakukan oleh RPKAD.

2002 © LKTS I Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial