Dokumen Harian

BungKarno Pemimpin Republik Indonesia sepanjang masa (1)

Soekarno – Sejarah yang tak memihak Oleh: WS Rendra

Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya.

Selainrindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan,saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semuamata saat ini sibuk tertuju,seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama-tama bisa melihat secara langsung jenasah Soekarno.Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak (almarhum) sedang menangis sesenggukan.

” Pak Karno seda ” ( meninggal )


Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono – Panglima KKO -pernah berkata , ” Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO”

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie. Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini.Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.

The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke


istana Bogor . Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud -disampaikan jam 8 pagibyang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang.Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.

” Het is niet meer mijn huis ” – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi , demikian Bung Karno menenangkan istrinya. Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma Yaso.

Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi dubes di London .Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh dirumahnya.

Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD  sebelumnya.Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta! dan Ali Sadikin  Gubernur Jakarta – yang juga berasal dari KKO Marinir. Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.

Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia .

Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.

Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana

Batu Tulis, Bogor . Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota . Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir.

Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini. Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,” Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban”.

“Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno,penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan.”( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 ) dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal.Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan. (Kompas 11 Mei 2006)

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, ” Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad” ( Kompas 13 Januari 2008 )

Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan.Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden!

Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik.Apakah jejak sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ?

Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah. Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif. Kesadaran adalah Matahari Kesabaran adalah Bumi Keberanian menjadi cakrawala Keterbukaan adalah pelaksanaan kata kata.***


Bung Karno Pemimpin Republik Indonesia Sepanjang Masa(2)

Bung Karno Mendobrak PBB

Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur.

Percaya diri, satu kata yang tepat untuk kita letakkan di dada Presiden Soekarno. Terlalu banyak catatan kecil dimana Presiden Soekarno mendobrak Protokoler International untuk mengikuti Protokoler ala Soekarno. Jangankan hanya di Negara kelas 3, Amerikapun harus mampu menekan dada atas dobrakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Maka tak heran apabila setiap kunjungan kenegaraan keberbagai Negara sosok Presiden Soekarno selalu menjadi Head Line news. Tak terkecuali lembaga besar seperti PBB.
DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum.Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK begitu marah dan kecewa.
Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial. Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen Koffi Annan, menjatuhkan sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat.
“Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina,” kata Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota tetap DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam persoalan-persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin.
Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata “globalisasi” atau saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis. Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah mengucapkannya. “Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang,” ujar Sang Putra Fajar.
Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri, Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun, yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera, melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang film berusia muda.
Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times, sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari Bung Karno.
Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan, pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan, mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20, yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat “senasib dan sepenanggungan” di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak hubungan yang sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun Timur.
Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.
Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis, peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi “soko guru” sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah, pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi, membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.
Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu pemberontakan PRRI-Permesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar pemimpin yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Il-sung, pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk.
Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan, wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga Ganefo belaka.

SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.
Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.
Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi mereka.
Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi “politik global” Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai etnis. Pendek kata, ia lebih “Indonesia” ketimbang menjadi seorang yang “Jawasentris.”
Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah “Indonesia kecil” yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah “visi dunia” seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia belaka.
Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari. Kebijakan anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin.
Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.

ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja, satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang “stabil” pada masa itu.Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara, dan antara Kuba dengan AS.
Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau krisis militer. Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-khususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno mesti dilenyapkan.
Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.
Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina- Indonesia-India juga lebih hebat dari politik global Bung Karno?
Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia.
Sebagai penerus sejarah bangsa ini, kita hanya mampu bertanya “Apakah masih mungkin akan terlahir kembali sosok pemimpin yang setara Bung Karno.” Jawabnya ada dibalik sejarah yang akan kita jelang

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto

Menjadi seorang Presiden mungkin “tidak terlalu sulit,” tetapi menjadi seorang pemimpin negeri sangatlah tidak mudah. Meraih jabatan sebagai Presiden banyak ditopang oleh kematangan strategi politik, tetapi menjadi pemimpin sebuah negeri sangat membutuhkan kekuatan mental serta kesediaan sakit dan berkorban demi negeri serta rakyat yang dipimpinnya. Konsep sebagai seorang pemimpin besar telah ditunjukkan secara nyata oleh Presiden Soekarno dalam menyikapi langkah-langkah kudeta Jenderal Soeharto dan kroninya.
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira),
“Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang. Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.” Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Menghindari perang saudara inilah sebagai wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini. Pantang bagi Bung Karno meneteskan darah diatas negeri ini, apabila hanya akan ditukar dengan sebuah kekuasaan.
Salam Revolusi

Diplomasi Pemilihan Sebuah BH

Bukan Presiden bila tidak melakukan lawatan ke luar negeri, terlebih untuk Presiden Soekarno selaku Presiden dari sebuah negara yang baru merdeka. Kunjungan keberbagai negara sangatt diperlukan dalam rangka memperkenalkan diri serta meyampaikan pandang tentang kearam mana sebuah negara yang baru merdekan akan dibawa. Kubu Amerika atau berkiblat ke Moskow
Suatu hari di tahun 1956, untuk pertama kalinya Presiden Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat. Pada kunjungan pertamanya, ia merasa mendapat sambutan yang begitu hangat dari rakyat Amerika. Di antara sela-sela kunjungannya, Bung Karno menyempatkan diri untuk berjalan-jalan, menikmati kota California.
Sesaat, ia teringat pesan istrinya yang minta dibelikan kutang, alias BH, atau bra. Ia pun segera menuju gerai pakaian dalam diantar Ny. Johnston, janda raja film Amerika. Di sudut pakaian dalam wanita, Bung Karno masih kebingungan bagaimana memilih kalimat yang pas untuk tujuannya mencarikan BH titipan istrinya. Sementara, para penjaga toko sudah gelisah menunggu “titah” Bung Karno. Segera Bung Karno nyeletuk, “Bolehkah saya lihat salah-satu songkok daging yang terbuat dari satin hitam itu?”
Gadis penjaga konter BH pun mengambilkan beberapa buah. Entah berpura-pura lupa, atau ada unsur iseng, yang pasti Bung Karno menunjukkan lagak kebingungan untuk menentukan ukuran. Hingga akhirnya ia berbisik kepada Ny. Jonston, “Apakah bisa dikumpulkan ke sini semua gadis penjual, supaya saya bisa menentukan ukurannya?
Maka… berpawailah gadis-gadis di hadapan Bung Karno. Tak dijelaskan, apakah dalam berparade mereka juga diharuskan membusungkan dadanya? Tapi dengan nada sopan, Bung Karno memandangi satu per satu dada para gadis penjual di toko itu. Komentarnya, “Tidak, engkau terlalu kecil… O, engkau kebesaran….” sampai akhirnya Bung Karno menunjuk seorang wanita dan berkata, “Yaa… engkau cocok sekali. Saya akan mengambil ukuranmu, please….”
Ternyata, Bung Karno tepat memilih ukuran BH untuk istrinya.
Cerdik atau nilai apa yang akan anda berikan untuk Putera Sang Fajar ini ?

KUTIPAN-KUTIPAN BUNG KARNO SANG PROKLAMATOR!

1. “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” .

2. “Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno).

3. “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

4. “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”.

5. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961).

6. “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

7. “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno).

8. “……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……” (Bung Karno).

9. “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno).

10. “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita belum selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno).

11. “Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. “Tuhan tidak merubah nasib sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya” (Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno).

12. “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno).

13. “Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno).

14. “Aku Lebih suka lukisan Samudra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase” (Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno).

15. “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)