Catatan Adrin Kahar

SALERO MINANG DALAM PERALIHAN
Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak.
Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak. Inilah ungkapan Minangkabau yang mengemukakan sifat manusia, bahwa seseorang itu senang melihat sesuatu yang indah dan kalau makan senang kepada yang enak. Ungkapan tentang senang kepada yang indah dan yang enak tersebut, sangatlah subyektif dan relatif sifatnya, baik ditinjau dari segi pero-rangan maupun dari segi kelompok masyarakat. Namun kita mengenal juga beberapa pengakuan akan kesamaan persepsi diantara masyarakat tertentu tentang selera mereka terhadap makanan tertentu pula. Misalnya di Sumatera Barat/Minangkabau tersebutlah seperti makanan yang spesifik dan khas: rendang Payakumbuh, gulai itik Kotogadang, dendeng batokok Muaro Kalaban, pangek ikan Ombilin, palai rinuk Maninjau dan lain-lain sebagainya.

Sejak banyaknya terjadi migrasi penduduk antar pulau di nusantara kita dalam alam perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia, langsung tidak langsung, sengaja atau tak sengaja, terjadi pula pembauran dan penyesuaian selera makanan antar suku bangsa yang masing-masing mempunyai kekhususannya. Dewasa ini di Sumatera Barat (terutama di kota-kota) telah muncul restoran-restoran yang pada daftar menunya berbagai masakan asal luar Minangkabau tercantum seperti: lotek, karedok, pecal lele, gudek, sayur asem, rawon, kankung-cha, fuyung-hai, bistik, tempe atau tahu bacem dan sebagainya.

Beberapa tahun terakhir, terlihat pula di kota Padang hadirnya di beberapa pusat keramaian, “bakery” dengan “cafetaria” dan “franchise” KFC (Kentucky Fried Chicken) atau CF (California Fried Chicken) serta “fast-food centre” lain. Melihat pertumbuhan dan perkembangan jenis rumah makan yang berbau Amerika/Barat ini, tergambar bahwa masyarakat atau penduduk Padang telah dapat menerima dan seleranya pun telah berkembang dengan menyenangi apa yang dinamakan “hamburger”, “hot-dog”, “pizza”, “spaghetti”, “maca-roni” dan makanan lain berbentuk roti. Dalam pada itu di kampung-kampung pedalaman Sumatera Barat terpantau juga banyaknya penjual-penjual makanan “mie bakso”, “mie pangsit” dan “shiomay”, yang tempo doeloe hanya bisa diperdapat di kota-kota pada restoran Cina. Yang dominan menjadi pedagang makanan tersebut terakhir ini adalah berasal dari orang kita Jawa sungguhpun diantaranya ada juga orang awak Minang perantau yang pulang kampung.
Dari segi lain, dalam proses pembauran selera makan antar suku atau etnis di nusantara kita, terjadi pula perasukan menu atau resep “selera Minang” ke mana-mana. Penyebaran “masakan Padang/Minang” terpantau dari pertumbuhan dan perkembangan kehadiran “rumah makan atau warung nasi Padang” di mana-mana terutama di kota-kota antar provinsi. Peminat atau pengunjung “rumah makan atau warung” tersebut, tidak hanya terbatas pada para perantau Minang saja, tetapi malah dapat menjadi kesenangan oleh masyarakat tempat lingkungannya. Dalam rangka mendapat kesempatan bepergian ke mana-mana, penulis mempunyai pengalaman dan mendapat ilustrasi berbagai cara perasukan “menu/resep masakan Padang” pada masyarakat dalam negeri dan luar negeri.

Pada suatu masa di tahun 1980, penulis bepergian lewat jalan darat dari Bukittinggi ke Medan berkendaraan bus umum. Sesampai di Prapat (Tapanuli) yang berlokasi di tepi danau Toba yang indah, si sopir mempersilakan para penumpang turun dari kendaraan untuk beristirahat sambil menikmati keindahan alam dan sekalian makan pagi. Diantara sekian banyak restoran atau rumah makan yang terlihat, terdapat sebuah yang ber merk “rumah makan Muslim masakan Padang”. Tanpa pikir panjang, pilihan penulis jatuh pada rumah makan tersebut untuk dapat menikmati makan pagi. Setelah selesai makan yang tidak puas, barulah ketahuan bahwa rumah makan masakan Padang itu tidak ditangani oleh orang Padang, tetapi tukang masaknya orang Tapanuli yang pernah tinggal di Bukittinggi.
Pada kesempatan lain di tahu 1982, penulis dengan beberapa teman-teman dari Indonesia mendapat tugas belajar selama enam bulan di kota London (Inggris). Penginapan serta makan kami ditetapkan dan diatur pada sebuah hotel yang lokasinya berdekatan dengan kampus uiversitas. Pada hari-hari bermula memang enak juga makan yang teratur di hotel pagi dan malam, sedangkan siang kami makan di kafetaria kampus. Rupanya bagi kami yang berasal dari Indonesia ini, berkepanjangan setiap hari disuguhi menu Eropa tidaklah memberikan kepuasan selera makan. Kemudian, dari pengembaraan kami di kota besar London itu, dapat juga ditemukan tiga restoran Indonesia di kawasan Soho (distrik yang terkenal karena “night club, foreign restaurant dan food shop nya”). Tiga restoran itu masing-masingnya bernama: “Rasa Sayang-sayange”, “Bali” dan “Melati”. Dua yang tersebut bermula adalah restoran Cina Indonesia dan yang bernama restoran “Melati” dapat dikatan rumah makan Indonesia asli. Pemilik dan juru masak serta menunya memang Indonesia, malah mirip dan dekat kepada “selera Padang/Minang”.

Sesudah beberapa kali makan di restoran Melati ini dan dapat mencicipi menunya seperti dendeng balado, goreng maco/ikan teri, masakan sayur slada ala Padang, goreng ayam balado dan lain-lainnya, maka penulis (negeri asal Bayur Maninjau) dan sdr. Nasroel (berasal dari Lubuk Alung Pariaman) sepakat bahwa masak-an cukup memuaskan dan menerka bahwa tukang masaknya mungkin dari Padang, Minang. Lewat pelayan restoran Melati ini juga, kami dapat berkenalan dengan “cook”/juru masaknya, dan terkaan kami itu benar. Juru masak dan sekaligus pemilik restoran Indonesia bernama Melati di Soho-London ini, berasal dari Tanjung Barulak (Tanah Datar-Minang) berkongsi dengan seorang wanita Malaysia dalam pengelolaan restoran tersebut. Diterangkan oleh orang Tanjung Barulak ini, bahwa restorannya bukanlah restoran Minang, tetapi restoran Melayu modifikasi Minang dan sejak kehadirannya di London tamunya adalah orang-orang yang umumnya berasal dari Asia, kalaupun ada orang Eropa maka biasanya yang pernah menetap di Malaysia dan Indonesia.

Dalam tahun 1985, penulis mendapat pula undangan mengikuti seminar pendidikan pada SUNY (State University of New York di Albany, USA). Pada hari terakhir di Albany itu, sebagai perpisahan deng-an para staf “School of Education”, penulis diundang makan bersama oleh Dekan Prof. Dick Clark. Hidangan makan siang tersebut ala prasmanan, sehingga langsung terlihat menu yang tersedia adalah “Indonesian Food” berciri-ciri masakan Padang/Minang, karena ada gado-gado ala Padang, dendeng balado, ayam bakar, goreng udang dan lain-lain. Penulis menyatakan senang sekali dapat mencicipi makanan Indonesia di Amerika Serikat yang jauh dari tanah air.

Dengan gembira Prof. Dick Clark dengan tersenyum menjawab” “Saya terkesan bahwa waktu beberapa hari di Padang dulu, anda telah memperkenalkan kepada saya menu Indonesia, khusus masakan di warung Padang. Karena itu saya juga ingin memperkenalkan kepada anda masakan Indonesia ala Albany”. Diceritakan oleh Prof. Clark, bahwa yang dimintanya menyiapkan makanan masakan Indonesia itu adalah keluarga yang suaminya berasal dari Sumatera dan isterinya berasal dari Amerika, yang sewaktu-waktu berseda membantu di bidang katering masakan Indonesia. (Penulis mengira, mungkin orang Sumatera yang laki-laki bisa memasak itu berasal dari Padang/Minang barangkali).

Dewasa ini di Sumatera Barat, dalam rangka pemantapan pendidikan dalam perkembangan kebudayaan sesuai dengan peradaban lingkungan , pada sekolah-sekolah diterapkan kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal. Dalam silabus dari kurikulum lokal Sumatera Barat, ada muatan tentang BAM (Budaya Alam Minangkabau) yang tujuannya adalah dalam penanaman apresiasi dan penghayatan budaya Minang. Berbicara mengenai pengembangan budaya dan peradaban, pasti kita akan menghadapi peralihan dan kemajuan tata kehidupan masyarakat berbagai aspek. Begitulah pula sebagaimana gambaran tata boga yang dikemukakan di atas, kita akan banyak menghadapi tantangan dalam usaha menanamkan apresiasi dan mempertahankan selera Minang di antara orang Minang sendiri. Barangkali kurikulum muatan lokal BAM yang akan diterapkan di Sumatera Barat telah punya program pendidikan dan pengajaran dengan perencanaan yang jitu.
Semoga.
Condong salero ka nan lamak. Kebudayaan dan peradaban akan selalu beralih atau berubah. Namun penulis punya catatan dan harapan, bahwa dalam makan selera dapat beralih atau berubah, tapi janganlah lupa makanan yang akan dipilih hendaklah yang bergizi (lima sempurna) dan yang halal menurut keyakinan agama masing-masing.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 12 Juli 1998)

SEBUAH CATATAN DI ATAS OPLET PADANG KOTA TERCINTA
Pada suatu hari, penulis menumpang oplet dalam perjalanan dari terminal oplet Pasar Raya ke Air Tawar di Padang. Berdekatan dengan penulis duduk seorang tua berpakaian agak kumal dan lusuh.  Pak Tua mengawali pembicaraan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan kepada penulis: hendak kemana … kerja apa …. Waktu penulis mengatakan bahwa penulis adalah guru di IKIP, Pak Tua bertanya apakah guru itu sama dengan dosen. Penulis pun menerangkan istilah dosen dan guru sama saja artinya. Pembicaraan berlanjut memasuki berbagai masalah, soal harga beras, ramainya lalu-lintas kendaraan sdb. Semua cerita yang dijual, penulis bayar saja dengan anggukan sungguh-sungguh dan senyuman manis.
Sewaktu oplet melewati gedung Balai Pertemuan KAHARUDDIN DT. RANGKAYO BASA, salah seorang pemuda remaja bertanya kepada temannya yang bersebelahan duduk dalam oplet: mengapa gedung itu diberi nama seperti itu. Yang ditanya tidak dapat memberikan penjelasan. Spontan Pak Tua memberikan bantuannya dengan cerita kira-kira isinya: Kaharuddin itu samo-samo polisi jo awak tu dulu. Inyo manjadi han-cho (pen.: kepala regu), awak jadi anak buah-nyo, pasukan kami namonyo waktu zaman Japang dulu tokubetsu (pen.: tokubetsu keisatsu tai: barisan istimewa polisi). Nan masuak pasukan tokubetsu, hanyo urang pilihan di antaro anggota polisi. Kawan-kawan nan samo-samo jo awak dulu ba-nyak nan alah jadi urang bapangkek. Itu macam Kaharuddin sampai juo manjadi Gubernur, awak ko nasib yang menyebabkan macam iko. Penulis tidak tahu apakah yang diterangkan oleh Pak Tua difahami atau cukup memuaskan bagi pemuda remaja yang baru saja bertemu di atas oplet itu, sebab istilah istilah Jepang yang dipergunakan Pak Tua barangkali menambah timbulnya pertanyaan lagi bagi yang muda-muda yang tidak pernah belajar bahasa Nippon. Tapi bagi penulis sendiri, obrolan Pak Tua diatas oplet tentang nama Kaharuddin dan cukilan kenangan mengenai nama tersebut amat menarik perhatian. Bagaimana tidak akan menarik, kalau orang lain memperkatakan tentang nama orang tua kita sendiri. Pak Tua tidak tahu bahwa “dosen” yang baru dikenal duduk disebelahnya adalah anak han-cho Kaharuddin, dengan bebasnya dan tanpa ragu-ragu memberi informasi dalam linkungan kecil dalam oplet. Seturunnya penulis di gerbang IKIP Air Tawar, sambil berjalan memasuki kampus banyak berselisih dengan orang-orang terutama mahasiswa mahasiswa, maupun karyawan lainnya. Pada pikiran penulis timbul perta-nyaan, kalaulah pertanyaan pemuda remaja di atas oplet tadi diajukan kepada insan kampus yang berada di kota Padang tercinta, berapa banyakkah diantara mereka yang dapat memberikan kete-rangan yang memadai. Selanjutnya timbul pula pertanyaan dalam diri penulis, bagaimanakah atau berapa jauh penduduk kota Padang dapat memberikan keterangan kalau orang datang / tourist bertanya juga tentang penamaan beberapa gedung atau bangunan penting lainnya, seperti:

Gedung Pertemuan Azischan
RSU Dr. Moh. Djamil
GOR Agus Salim
Rumkit Dr. Reksowardjojo
Balai Wartawan Djamaloeddin Adinegoro dan sebagainya.

Siapakah yang berkompeten untuk menyediakan bahan dan memberikan informasi bagi khalayak umum yang memerlukannya seperti pertanyaan yang timbul di atas oplet tadi. Salah satu jalan menurut penulis untuk dapat menolong khalayak ialah melalui penyebaran informasi yang permanen melalui “brochure”, “booklet” ataupun “leaflet”. Kita himbau para pengelola gedung/bangunan yang terkait agar bersedia menerbitkan bahan-bahan tersebut dan me-nyebarkannya secara gratis melalui HUMAS masing-masing.
Adrin Kahar (HARIAN HALUAN, Senin, 21 November 1994)

Lintasan Kelahiran POLRI di Sumatera Barat

Tiga sekawan POLRI yang betah bertahan dalam kota Padang menghadapi tentara Sekutu/Belanda, perjuangan kemerdekaan periode 1945-1946. Komisaris Polisi Johny Anwar, Inspektur Pol. Amir Mahmud, Pemb. Inspektur Pol. Boer Tamar (Foto: Koleksi/dokumentasi Adrin Kahar)

17 Agustus 1945, dari Jakarta dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia. Rakyat di Sumatera Barat secara resmi belum dapat menerima informasi yang jelas tentang merdeka, sungguhpun masa itu Indonesia telah dalam suasana “Fajar Kemerdekaan” seperti yang telah diumumkan berdirinya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyumbi Chosa Kai) di Jakarta (28 Mei 1945). Suasana pada waktu itu memperlihatkan masih berkuasanya pemerintahan militer Jepang, para tawanan perangnya sudah dilepaskan. Kesatuan-kesatuan Gyu-gun dan Heiho (Lasykar Rakyat dan Tentara Sukarela Jepang) yang terdiri dari putera-putera Indonesia telah dibubarkan dan senjata-senjata dihimpun oleh pihak Jepang. Kantor-kantor pemerintahan sipil dan polisi tetap berjalan sebagaimana biasa tapi unsur pimpinan yang dipegang oleh Jepang sudah tidak menentu.

Dalam kota Padang dan sekitarnya pada masa itu terdapat beberapa unit kepolisian, seperti: Kepolisian Keresidenan Sumatera Barat (Nishi Kaiganshu Keimubu), Kantor Polisi Kota Padang (Padang Si Keisatususho), Kantor Polisi Padang Luar Kota (Padang Si-gai Keisat susho) dan Pasukan Istimewa Polisi (Tokubetsu Keisat sutai). Kantor Polisi Kota Padang berlokasi di pusat kota (sekarang: bahagian muka Polres Padang, Jl. Moh. Yamin). Kantor Polisi Padang Luar Kota di Jl. Jati (sekarang: kompleks Rumah Sakit POLRI Polda Sumbar) dan Tokubetsu-tai bermarkas di kompleks Seminari Katolik di Belantung (sekarang: kompleks Yos Soedarso, Jl. Sudirman). Semua unit-unit kepolisian tersebut dibawah pimpinan orang-orang Jepang, kecuali Polisi Padang Luar Kota mempunyai pimpinan orang Indonesia (Keishi Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa). Pada tanggal 21 Agustus 1945, empat orang perwira polisi yang berpangkat Keishi (Komisaris Polisi) di Sumatera Barat dipanggil oleh Keimubucho (Kepala Polisi Sumatera Barat) dan diberi tahu bahwa Perang Asia Timur Raya telah berhenti. Diminta oleh Kepala Polisi Jepang itu supaya semua senjata-senjata polisi dikumpulkan. Permintaan Keimubu-cho itu tidak dapat diterima oleh perwira-perwira polisi tersebut, malah mereka menuntut supaya pihak Jepang segera menyerahkan pimpinan kantor-kantor Polisi kepada orang Indonesia. Empat perwira polisi Indonesia itu adalah: Raden Soelaiman, Ahmadin Dt. Berbangso, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa dan Soelaiman Effendi.

Pada tanggal 28 Agustus 1945 malam, diadakan lagi perundingan antara pihak Indonesia (Ahmadin, Kaharuddin dan Soelaiman Effendi) dengan pihak Jepang (Keimubu/Kepolisian dan Honbu/Pemerintahan) di jalan Mawar (gedung bekas Konsulat Inggris, di sebelah hotel Muara sekarang). Kesimpulan yang dapat dikemukakan Jepang, bahwa pihak Jepang tidak akan menyerahkan kantor-kantor pemerintahan dan kepolisian kepada pihak Indonesia tanpa ada ketentuan yang diberikan oleh Pimpinan Tertinggi Tentara Sekutu di Singapura. Sebelum pertemuan diakhiri pihak Indonesia memberikan pernyataan pula: “Besok kami akan mengibarkan bendera merah putih, janganlah pihak Jepang menghalanginya”. Menjelang jam 22.00, tiga orang perwira polisi tersebut meninggalkan tempat berunding dan jalan Mawar dikawal oleh Kenpeitai (Polisi Tentara Jepang). Sesampai di persimpangan lima ujung Kampung Jawa, kelihatan Keibu (Inspektur Polisi) Bachtaruddin dari Tokubetsutai bersama beberapa orang pimpinan pemuda di Padang telah menunggu untuk mengetahui hasil perundingan dengan pihak Jepang. Pada malam itu juga Bachtaruddin mendapat tugas dengan bantuan para pemuda-pemuda menge-rahkan massa rakyat untuk hadir meramaikan pengibaran bendera merah putih yang akan dilakukan di Kantor Besar Polisi pada esok pagi 29 Agustus 1945.
Kira-kira jam 07.00 pagi tanggal 29 Agustus 1945 di sepanjang jalan sebelah Utara lapangan Nanpo Hodo (sekarang: lapangan Imam Bonjol), dari samping kantor Pos, di muka kantor Polisi dan di muka kantor Syuchokan (sekarang: Balai Kota Padang) terlihat anggota masyarakat ramai, tua muda, pemuda-pemuda termasuk pelajar-pelajar berkelompok kelompok berkumpul ingin menyaksikan upacara pengibaran/penaikan bendera Merah Putih pada gedung-gedung pemerintah.

Dalam pada itu serdadu-serdadu Jepang bersenjata lengkap meng-adakan penjagaan-penjagaan di keliling keramaian rakyat, namun tidak ada terjadi insiden-insiden. Penggerekan bendera Merah Putih di muka Kantor Polisi Padang dilakukan oleh anggota Polisi sendiri, sedangkan penaikan bendera Merah Putih di gedung Syuchokan dilaksanakan oleh pemuda-pemuda dan yang di kantor Pos Padang bendera Merah Putih dinaikkan oleh pemuda PTT yang sebenarnya adalah juga pegawai pos, telegraf dan telepon di kota Padang. Dapat dicatat, bahwa sebelum terjadi peristiwa penaikan bendera Merah Putih di tengah kota Padang ini, telah lebih dahulu berkibar Merah Putih di markas BPPI (Balai Penerangan Pemuda Indonesia) jl. Pasar Mudik pada tanggal 21 Agustus 1945 dan di Kantor Polisi Padang Luar Kota Jalan Jati pada tanggal 23-8-1945. Seselesainya upacara pengibaran bendera Merah Putih di muka Kantor Polisi Kota Padang, pada pagi 29-8-1945 itu juga peristiwa penting ini diberitakan dengan telepon kepada semua kantor Polisi Wilayah se Sumatera Barat, dijelaskan pula bahwa pimpinan kepolisian sudah berada di tangan orang Indonesia. Diinstruksikan kepada pejabat-pejabat polisi bangsa Indonesia yang tertinggi pangkatnya pada kantor Polisi Wilayah supaya mengambil alih pimpinan. Malam tanggal 29-8-1945, dimulai jam 19.00 diadakan rapat para perwira senior polisi bertempat di Kantor Besar Polisi Kota Padang. Malam itu disepakati susunan dan personalia Polisi RI Sumatera Barat sebagai berikut:
Raden Soelaiman, sebagai Kepala Polisi Sumatera Barat, merangkap Kepala Polisi Kota Padang
Ahmadin Dt. Berbangso, sebagai Wakil Kepala Polisi Sumatera Barat;
Soelaiman Effendi, sebagai Kepala Administrasi merangkap Kepala Siasat/Politik pada Kantor Besar Polisi Sumatera Barat;
Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa, sebagai Petugas Konsolidasi Kepolisian antar Wilayah di Sumatera Barat. Untuk menambah tenaga kader menengah POLRI di Sumatera Barat, direkrut beberapa pemuda-pemuda tamatan sekolah menengah. Kader-kader POLRI angkatan pertama dari Padang ini, diantaranya adalah: Johny Anwar, Amir Mahmud, Syamsul Bahri, Syawaluddin, Moh. Anhar.

KAHARUDDIN Dt. Rangkayo Basa (alm), sosok warga POLRI yang pertama ditugaskan pemerintah RI untuk menjabat Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat (1958-1965)

Menjelang April 1946, perjuangan rakyat di dalam kota Padang dan sekitarnya makin meningkat dalam menentang kehadiran NICA yang membonceng bersama tentara Sekutu, yang tadinya akan bertugas untuk penyelesaian tawanan perang Jepang. Sejak Kota Padang dan sekitarnya menjadi kancah perjuangan atau arena bentrokan antara pejuang Republik Indonesia dengan Sekutu/Belanda, tentu saja POLRI bersikap melindungi para pejuang kemerdekaan, sungguhpun dari segi keamanan tindakan mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam dunia damai. Pengalaman-pengalaman rumit pula adalah menentukan kesepakatan antara POLRI dengan pemuda pejuang/BKR (yang dinamakan pihak Belanda sebagai “extremist”) dalam menentukan wewenang dan tanggung jawab bidang keamanan dalam kota.

Pada awal tahun 1946 ini pula kedudukan pusatpemerintahan Sumatera Barat pindah ke Bukittinggi. Dalam masa peralihan itu terjadi mutasi dalam beberapa jabatan Kepolisian Sumatera Barat. Komisaris Polisi I Darwin Karim menjadi Kepala Kepolisian Keresidenan Sumatera Barat.

Dengan kepindahan para perwira senior polisi dari Padang ke Bukittinggi, Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa mendapat tugas untuk membina dan mengembangkan organisasi Polisi Istimewa. Latihan-latihan bagi Polisi Istimewa ini dimulai tanggal 13 Mei 1946 sampai 17 Agustus 1946 berlokasi di kompleks polisi, Jl. Birugo Bukittinggi (sekarang kompleks SMA Negeri 2). Para instruktur pada latihan Polisi Istimewa tersebut terdiri dari para perwira Polisi dan TRI dan pejabat pemerintahan sipil.

Seselesainya latihan Polisi Istimewa, di Bukittinggi diresmikan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan Sumatera Barat berdirinya “Barisan Istimewa Polisi” (BIP). Anggota-anggota BIP ini anggotanya diambil dari para tamatan latihan Polisi Istimewa Bukittinggi dan pilihan dari anggota-anggota Polisi yang berpengalaman dalam perjuangan di front Padang. Sebagai komandan untuk BIP Sumatera Barat diangkat Inspektur Polisi I Amir Mahmud terhitung mulai September 1946. Kemudian dalam penyeragaman istilah kesatuan-kesatuan POLRI, BIP Sumatera Barat menjelma menjadi Mobiele Brigade Sumatera Barat (Nama Mobiele Brigade/MOBBRIG kemudian menjadi Brigade Mobil/BRIMOB).

Terhitung mulai 3 Maret 1946, Johny Anwar mendapat tugas memangku jabatan Kepala Polisi RI Kota Padang dengan pangkat Komisaris Polisi II. Kedudukan Kepala Polisi Kota Padang yang penuh tantangan menghadapi perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dengan antek-anteknya dapat bertahan sampai dilancarkannya oleh pihak Belanda Agresi Militer I (21-7-1947). Aksi Militer I Belanda di sekitar Padang didahului dengan penangkapan terhadap aparat Republik Indonesia (pegawai sipil dan polisi) termasuk Komisaris Polisi II Johny Anwar. Sejak mulainya Agresi Militer I Belanda dilancarkan, para pegawai sipil dan polisi yang republikein pada meninggalkan kota Padang dan pindah ke wilayah RI di luar kota. Resminya hari tgl. 27 Desember 1949, yaitu hari Penyerahan Kedaulatan Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat) dilangsungkan penyerahan pemerintahan kota Padang dari Residen HTB (“Hoofd Tijdelijk Bestuur”) Van Straten kepada Gubernur Sumatera Tengah Mr. M. Nasroen.

Pada tanggal 17-8-1950 dengan resmi RIS dibubarkan dan kembalilah Republik Indonesia sebagai suatu negara kesatuan di nusantara. Polisi Kota Padang yang tadinya berstatus polisi RIS dengan personalia orang Belanda dan “kaum cooperator” lagi-lagi mengadakan mutasi pimpinan. Untuk mengganti jabatan-jabatan yang ditinggalkan “orang-orang Belanda” itu, diangkatlah oleh Pemerintah RI warga polisi orang Indonesia yang republikein. Dalam hal ini Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa (Komisaris Polisi I) diberi jabatan Kepala Polisi Kota Padang dan sekitarnya dalam rangka membentuk struktur dan penempatan personalia yang sesuai dengan organisasi Polisi Republik Indonesia (Padang, Juni 1945).

Bibliografi:
Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau; Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950, BPSIM, Jakarta 1981.
Fatimah Enar c.s.; Sumatera Barat 1945-1949, Pemerintah Daerah SumateraBarat, Padang, 1978.
Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa; Sumbangan Korps Angkatan Kepolisian RI dalam Perjuangan Fisik merealisir Proklamasi 17 Agustus 1945 di Sumatera Tengah, catatan dan pengalaman, Padang, 1 Juli 1967.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 25 Juni 1995)

SEBUAH KISAH DARI ALBUM TEMPO DOELOE

GAMBAR foto ini dibuat lebih kurang 63 tahun yang lalu berlokasi di kota Solok (Sumatera Barat). Ibu yang terlihat pada gambar bernama MARIAH, sedang berpose bersama tiga orang putera-puterinya di masa itu. Si Bapak dalam keluarga ini tidak sempat ikut bersama berpotret, karena fotografer datang untuk opname saat beliau lagi tournee ke daerah pedalaman dalam afdeeling Solok (sekarang kabupaten Solok). Kaharuddin, suami Mariah, pada masa itu mempunyai kedudukan sebagai “Onderdistrictshoofd” (camat) dengan pangkat Assisten Demang.

Sebelum Mariah dan Kaharuddin menikah dalam tahun 1926, masing-masingnya adalah si isteri tamatan Hollandsch Inlandsche School (HIS= SD 7 tahun) di Sigli Aceh dan sang suami tamatan Opleidings school voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA= Sekolah Pangreh-praja) di Fort de Kock (Bukittinggi). Oleh teman-teman beliau, Mariah dipanggilkan sehari-hari dengan nama kecil Mari tapi oleh suami tercinta dipanggilkan Iyah. Sebaga isteri pejabat pemerintahan di zaman kolonial Belanda dulu, orang-orang diluar lingkungan keluarga memanggilkan beliau dengan sebutan “rangkayo” atau di lingkungan yang berbahasa Belanda dipanggilkan “mevrouw Kahar”. Istilah “rangkayo” ini mulai menghilang di dalam masyarakat Minangkabau/Sumatera Barat sejak datangnya militer Jepang dan menguasai pemerintahan di Indonesia (1942-1945). Sampai dewasa ini dalam masa alam kemerdekaan Republik Indonesia, panggilan rangkayo untuk isteri-isteri pejabat di Minangkabau/Sumatera Barat boleh dikatakan tidak kedengaran lagi.

Sejak Kaharuddin memangku gelar Datuk Rangkayo Basa (1936) maka kedua-duanya suami isteri ini dipanggilkan rangkayo, Cuma untuk Kaharuddin banyak dipergunakan di lingkungan keluarga dengan “Rangkayo Basa”. Sejak zaman pemerintahan penjajahan Jepang, di Indonesia mulai dipakai panggilan “ibu” bagi isteri-isteri pejabat, maka Mariah sering juga dipanggilkan dengan sebutan “ibu datuk” atau “ibu Rangkayo Basa”.

Dengan mengalami aneka ragam suka-duka mengikuti perjalanan dan perembangan pemerintahan di zaman Hindia Belanda, zaman pemerintahan militer Jepang sampai ke perjuangan menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia, Ny. Kaharuddin atau ibu Datuk mempunyai pengalaman dan perjuangan sendiri sebagai seorang isteri ambtenaar, pegawai negeri/pejabat pamongpraja dan kepolisian. Sesuai dengan perkembangan kedudukan suami maka ibu Datuk, pernah menjadi isteri Asisten Demang, Asisten Wedana Polisi, Kepala Polisi Padang Luar Kota, Kepala Polisi Keresidenan Riau, Kepala Polisi Kota Padang, Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah dan isteri Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Zaman orde lama Gubernur Kepala Daerah juga merangkap jabatan Ketua DPRD Gotong Royong, berarti ibu Datuk juga pernah menjadi Nyonya/Ibu Ketua DPRD-GR Sumbar (1958-1965).

Pada umurnya yang ke 72, Ny. Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa memperoleh penghargaan berupa pe-nyerahan Piagam dan Medali Melati dari Pimpinan Pusat Bhayangkari (organisasi isteri-isteri POLRI) karena kesetiaannya selalu mendampingi suami dalam perjuangan serta jasa-jasa dalam keikut-sertaan pembinaan persatuan/organisasi polisi pada masa-masa lampau dalam wilayah Sumatera Tengah. Piagam dan Medali tersebut diserahkan pada tanggal 19 Oktober 1983 mengambil tempat di Balai Pertemuan Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa di jl. Ir. Juanda (Lolong) Padang. Brigjen Pol. Purn. K. Dt. Rangkayo Basa meninggal 1 April 1981 dan tidak sempat menyaksikan penghargaan bagi isterinya.

Anak-anak yang terlihat pada foto, yang dipangku adalah Djohari dan putra yang berdiri adalah Adrin sedangkan puteri yang berdiri adalah Mariati. Ibu Mariah pada tanggal 11 November 1994 tahun ini berumur 83 tahun dan beralamat sekarang di jl. Tan Malaka no. 8 Padang, menghuni rumah sederhana yang telah menjadi pemukimannya sejak tahun 1950.

Adrin Kahar (Haluan Minggu, 27 November 1994)

Catatan:
Ibu Mariah telah meninggal dunia pada tanggal 9 Mei 2008 di Jakarta dalam usia 96 tahun.

Kisah Sutan Galomat, polisi istimewa yang baik hati . . .
Saya kenal Sutan Galomat sejak tahun 1935, kira-kira saya masih berumur sekitar enam tahun. Masa itu Sutan Galomat menjadi opas (polisi pamongpraja = “bestuurspolitie”) pada kantor Onderdistrict (kecamatan)
Supayang di Koto Anau, Solok. Asisten Demang (camat) Supayang pada tahun 1935/1936 itu adalah Kaharuddin (ayah penulis). Panggilan terhadap Sutan Galomat hanya gelarnya itulah, sedangkan nama kecilnya sendiri tidak populer. Saya memanggil beliau dengan sebutan Mak Sutan (kependekan dari Mamak Sutan Galomat = oom Sutan). Pada isteri Mak Sutan kami memanggilkan bukan “tante”, tetapi “andeh” (berasal dari kata “mandeh”). Mak Sutan dan Andeh memakai sebutan “tuanku” kepada ayah dan mempergunakan istilah “rangkayo” kepada ibuku.

Mak Sutan Galomat yang opas itu kerjanya banyak merangkap, bertugas sebagai ADC (aide-de-camp = ajudan) sekaligus menjadi pembantu umum Asisten Demang. Sepengetahuanku beliau juga termasuk seseorang pendekar dan dapat jadi dukun (sanggup mengobat penyakit tertentu). Kumisnya dipanjangkan, sehari-hari pakai gelang akar bahar dan pada jari-jarinya terdapat cincin-cincin berbatu akik yang besar-besar. Saya kira, pada masa itu penduduk Koto Anau “segan” kepada Sutan Galomat, bukan karena sebagai opas Asisten Demang tetapi disebabkan “kepandaiannya” berdukun dan bersilat barangkali. Beliau juga terkenal sebagai pawang kuda.

Sesudah ayahku pindah dari Koto Anau, ke manapun ditempatkan sebagai pamongpraja atau pegawai kepolisian di Sumatera Barat, Sutan Galomat selalu berkunjung kepada keluarga kami di hari-hari bulan baik. Saya ingat, beliau sering membawa oleh-oleh khusus dari Solok ialah “galu-galu” (semacam emping, terbuat dari padi yang hampir masak).

Terakhir saya bertemu Mak Sutan Galomat di Padang, pada bulan-bulan akhir tahun 1945 dalam suasana ha-ngat-hangat perjuangan dalam kota Padang menghadapi kembalinya penjajahan yang akan dilakukan pihak Belanda yang dilindungi oleh kekuatan militer Sekutu.
Sutan Galomat termasuk salah seorang dari sekian anggota “polisi istimewa” yang membantu ayahku menjalankan tugas dalam kota maupun Padang Luar Kota. Tanpa pakaian seragam polisi, tanpa menonjolkan senjata apinya, polisi istimewa ba-nyak membantu dalam bidang reserse polisi, malah banyak juga bergerak di bidang “kebatinan”. Mungkin orang masa kini akan heran dan akan mempertanyakan sampai berapa jauh peran atau kegiatan-kegiatan kebatin-an dapat menolong keberhasilan perjuangan kemerdekaan di masa lalu. Saya sendiri tidak dapat mengukurnya, tapi saya dapat bercerita tentang pengalaman mendapat binaan dari Mak Sutan Galomat dalam perbuatan yang berhubungan dengan karya kebatinan itu.

Dalam suasana tidak aman dan seringnya terjadi penggerebekan di kota Padang oleh tentara Sekutu (Inggris/Gurkha/India) pada awal revolusi dulu, Mak Sutan Galomat berbaik hati memberi saya senjata “pamaga diri” berupa jampi-jampi. Jampi pertama adalah “siluman diri”, yaitu jampi yang dapat dipergunakan apabila kita ingin menghilang dari pandangan atau penglihatan musuh. Jampi kedua adalah “ketahanan diri”, yaitu jampi yang dapat dipergunakan apabila kita ingin terhindar atau tahan tembakan senjata api atau senjata tajam lainnya. Yang ketiga pemberian Mak Sutan Galomat adalah berupa “batu cincin akik”. Menurut Mak Sutan, selagi saya tetap mau memakai batu cincin itu sebagai hiasan pada jari kanan, katanya saya akan terhindar dari godaan wanita jahat. Kalau saya mempermainkan perempuan, maka batu cincin pemberian Mak Sutan akan lari … atau mengirap sendiri dari tangan saya.

Ada lagi syarat yang harus saya penuhi supaya senjata kebatinan yang diberikan itu “mangkus” terhadap sasarannya, ialah bahwa saya harus atau wajib melakukan “shalat yang lima waktu” dalam sehari dan memperbanyak shalat sunat.

Menjelang akan memasuki 17 Agustus 1995 dalam suasana merayakan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, saya tergugah membuka-buka foto album masa lampau, dalam rangka mengingat/mengenang kembali perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia yang belum tentu tertera dalam buku sejarah resmi yang pernah diterbitkan oleh badan pemerintah maupun swasta. Begitulah saya menemukan gambar foto Mamak Sutan Galomat (di tahun 1935) selagi beliau menjabat opas (polisi pamongpraja di Koto Anau), spontan mengingatkan saya kepada “kebaikan dan ketulusan hati” beliau di tahun 1945 memberikan jasa dan senjata demi keselamatan perjuangan kemerdekaan bagi saya pribadi.
Alhamdulillah, batu cincin pemberian Mak Sutan Galomat sampai sekarang masih ada tersimpan dengan baik dalam koleksi perhiasan isteri saya, menandakan cincin itu tidak mau menghilang atau mengirap dari lingkungan “tuannya” yang memang tidak ada menyeleweng.
Akhirnya marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Esa, bahwa berkat taufik dan hidayahnya jugalah kita telah sampai memasuki tahun emas kemerdekaan Indonesia 1995, Dirgahayu Republik Indonesa.

Adrin Kahar (Haluan Minggu, 23 Juli 1995)