Romantika rumahtangga perjuangan di awal revolusi kemerdekaan

Setiap orang akan mempunyai pengalaman sendiri-sendiri, mungkin ada persamaan atau perbedaannya dengan pengalaman orang lain sungguhpun dalam waktu dan situasi yang serupa. Pengalaman orang musim “tempo doeloe” mungkin pula dapat dianggap aneh oleh orang “tempo kini”. Namun segala pengalaman orang masa lampau dapat dijadikan bahan perbandingan bagi orang kini atau masa yang akan datang.

Cerita saya kali ini akan membawa pembaca kepada kenangan pengalaman di awal revolusi kemerdekaan Indonesia 1945.
Pada medio September 1945, kota Padang sudah menjadi hangat dalam arti keterlibatan dalam pergolakan revolusi menghadapi sisa-sisa kekuasaan Jepang dan kembalinya keinginan Belanda menguasai Nusantara.
Dalam suasana begitu, ayah-ku sebagai seorang perwira polisi di kota Padang, terlibat juga dalam gerakan menegakkan kewenangan Polisi Republik Indonesia di Padang khususnya. Demi ketentraman dan keselamatan rumah tangganya, oleh ayahku diambil keputusan untuk mengungsikan ibu, saudara saudaraku yang perempuan dan yang kecil-kecil ke kampung di Bayur, Maninjau.
Dengan diungsikannya ibu beserta adik-adikku itu, maka tanggung jawab pengaturan rumah tangga dan tugas pembantu rumah tangga terpaksa dibebankan kepada saya dan seorang adikku yang laki-laki. Tadinya kedua orang putera ini juga akan diungsikan pulang ke kampung, tapi kami memprotes dengan alas-an tidak mau meninggalkan sekolah. Waktu itu saya berumur sekitar 16 tahun, duduk pada kelas 3 SMP dan adikku berumur 14 tahun sedang duduk di kelas 1 SMP di Padang (sekarang SMP No.1 di Jl. Sudirman).

Sesungguhnya pada awal bergolaknya revolusi kemerdekaan 1945 di Padang, kegiatan belajar mengajar di sekolah kami dapat dikatakan tidak lancar atau terganggu jalannya. Kebanyakan para pelajar sekolah menengah (SMP dan Sekolah Teknik) melibatkan diri dalam gerakan pemuda yang terkenal bernama Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI).
Jabatan dan tugas ibu dan pembantu rumah tangga yang diambil alih meliputi beberapa kegiatan, seperti: membersihkan rumah dan halaman, mencuci pakaian, urusan dapur dalam menyiapkan makanan sehari-hari dan berbelanja ke pasar untuk berbagai keperluan.
Penghuni rumah kami sebetulnya hanya empat orang, yaitu ayahku, paman dan kami dua bersaudara, tetapi yang ikut makan di rumah kami kadang-kadang lebih dari empat orang setiap waktu makan.

Rumah kami ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal sekeluarga, juga dijadikan sebagai tempat berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang, entah itu tergolong kepada yang dinamakan “ekstremist” atau dari golongan “polisi istimewa” yang beroperasi dalam kota Padang. Rumah tersebut memang strategis letaknya di jalan Benteng (sekarang jl. Bgd. Aziz Chan, kompleks hotel Benyamin). Resminya jalan masuk ke rumah kami itu dari jl. Benteng, tapi yang tidak resmi ada tiga buah jalan tikus untuk keluar lokasi; yaitu satu dapat mencapai belakang Kantor Polisi Padang (sekarang Markas Polresta Padang), yang kedua ada jalan di antara rumah penduduk yang bisa sampai ke belakang Balai Kota Padang dan yang satu lagi ada pula jalan pintas melalui selokan keluarnya di “los baro” (tempat berjualan arang kayu dan arang tempurung) di pasar Kampung Jawa (Pasar Raya sekarang).
Selama bertugas lebih kurang enam bulan (sebelum kami mengungsi pula ke Bukittinggi), kepada saya tidak pernah disediakan dana perbelanjaan keperluan rumah tangga kami berupa uang kontan, maklumlah ayah dan pamanku sungguhpun keduanya berstatus pegawai negeri (anggota Polisi RI) tapi pada masa itu urusan gaji tidak jelas duduknya. Paling-paling ada jatah pembagian beras atau padi sewaktu-waktu. Kalau ada jatah padi yang diterima, terpaksalah kami dua orang kakak beradik menyediakan waktu dan tenaga untuk menjemur dan menumbuk padi sebelum memasak.

Untuk memperoleh uang keperluan dapur, sewaktu-waktu dilakukanlah penjualan barang-barang yang pantas dilego ke pasar loak. Biasanya oleh ayahku urusan lego melego barang, dipercayakan pelaksanaannya kepada “preman pasar” yang banyak juga menjadi mitra polisi dalam tugas pengamanan pasar Kampung Jawa. Saya tidak dapat mengingat kembali berapa jumlah uang yang diperdapat dan yang dijadikan modal belanja selama enam bulan itu, tapi saya masih dapat mengingat apa-apa saja barang yang terjual demi menutup perbelanjaan rumah tangga dalam masa perjuangan di awal revolusi menegakkan Republik Indonesia tercinta. Barang-barang itu adalah: 3 buah sepeda, 1 unit radio salon merk Philips, 1 unit mesin ketik merk Hermes Baby dan yang terakhir dan terpaksa juga dijual adalah sebentuk cincin emas kesayanganku pemberian ibu karena aku rajin belajar (naik kelas dulunya).
Sekianlah pengalaman pribadi yang bagi penulisnya akan tetap berbekas sebagai romantika dan rona kehidupan pribadi.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 30 Juni 1996)

Pengalaman yang mash berbekas
Menikmati Kelapa Muda yang Tua di Zaman Revolusi Dulu

Setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Indonesia, bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidaklah berarti sebagai bangsa terjajah baik oleh Belanda maupun Jepang me-ngalami Perang Dunia ke II. Dengan memaklumkan proklamasi tersebut, bangsa dan rakyat Indonesia bertekad mengadakan revolusi yang menginginkan perubahan (ketatanegaraan, pemerintahan maupun keadaan sosial ekonomi) dan menghadapi tantangan berupa perjuangan fisik maupun non fisik secara menyeluruh di seluruh tanah air. Penduduk kota maupun anggota masyarakat di daerah pedalaman banyak mempunyai pengalaman dan berbagai kenangan yang manis maupun yang pahit melalui masa-masa berjuang menegakkan negara Republik Indonesia. Kota Padang sebagai salah satu kota perjuangan kemerdekaan di Sumatera Barat tidak kekurangan pula dengan kisah kisah zaman revolusi itu ditinjau dari berbagai aspek.

Kita sama sama dapat memaklumi bahwa pada awal revolusi kemerdekaan Indonesia 1945, di mana mana di kota ataupun di pedalaman, bahwa ekonomi dan penghidupan masyarakat tidak berjalan normal. Kurs atau nilai yang tidak menentu, bahan makanan pokok tidak mudah diperoleh. Menggantikan bahan pokok beras di pasaran, banyak muncul bahan makan lain yang dapat mengenyangkan, seperti singkong (ubi kayu) dan ketela (ubi rambat).
Penganan terbuat dari singkong yang banyak dijual dan disenangi orang pada masa itu salah satunya adalah “kacimuih”, yaitu rebus singkong yang diparut dan diseraki parutan kelapa. Kalau kacimuih ini dicampur dengan gula, maka rasanya tidak kalah dari “getuk” dari Yogyakarta.
Di masa pacekliknya bahan pokok makanan pada awal revolusi di bulan bulan akhir tahun 1945 dalam kota Padang, di sepanjang jalan Balai Baru (kira-kira daerah pasar buah-buahan sekarang) banyak bermunculan pedagang pedagang berjualan kelapa muda. Tentu pedagang kelapa muda itu terangsang karena meningkatnya permintaan dan sangat lakunya kelapa muda saat itu. Yang khasnya pula bahwa kelapa muda yang diperjual belikan itu bukanlah kelapa muda yang berdaging lunak, tetapi kelapa muda yang berdaging keras atau kelapa muda yang agak tua. Pilihan dan selera masyarakat cenderung kepada kelapa muda yang tua adalah sebenarnya pengungkapan dari keseimbangan “enak bagi selera” dan “mengenyangkan bagi perut”.
Kesenangan dan keinginan akan kelapa muda yang tua tersebut tampaknya dalam perkembangan selera masyarakat kota Padang tidak dapat bertahan, karena dewasa ini kita tidak akan menemui lagi orang atau pedagang yang memperjual belikan kelapa muda yang tua (atau kelapa muda yang berdaging keras) di pasar maupun di retoran. Namun bagi penulis, tiap kali meminum kelapa muda maka selalu akan terke-nang ataupun teringat kembali bagaimana nikmatnya meminum air dan memakan daging kelapa muda yang tua di awal revolusi kemerdekaan masa lalu. Kelapa muda yang tua, selain airnya manis dan segar untuk diminum dan dagingnya yang agak keras akan mengenyangkan perut yang lapar.
Adrin kahar (Haluan Minggu, 4 September 1994)


Pengalaman yang masih berbekas
Sebab tak Pakai Lencana Merah Putih, Penjual cabe tak jual dagangannya
Setiap kali kita membalik-balik lembaran album foto masing-masing, tentu kita akan dapat mengingat kembali berbagai pengalaman masa lampau. Makin tua sebuah foto umurnya, makin “mahal” pula harganya sebagai dokumen, entah bersifat pribadi, entah bernilai sejarah maupun sebagai pelipur lara akan masa-masa yang tak akan muncul lagi kembali.
Gambar foto yang melengkapi tulisan ini, adalah salah satu dari sekian banyak gambar penulis sendiri yang opnamenya dilakukan sudah hampir tiga puluh tujuh tahun berlalu, yaitu pada bulan-bulan awal revolusi kemerdekaan Indonesia 1945.
Anda lihat pada gambar tersebut, di dada kiri baju bintang gambar terpampang sebuah lencana. Dewasa ini lencana macam itu sudah jarang atau boleh dikatakan tidak ada lagi orang mau memakainya di dalam negeri, kalau orang Indonesia berangkat ke luar negeri mungkin saja ada yang masih mau memakai lencana itu, ialah lencana merah putih (lambang kebangsaan Indonesia). Pada awal revolusi kemerdekaan Indonesia dulu, siapa-siapa yang tidak memakai lencana merah putih, dapat atau mungkin saja dituduh “orang banyak” sebagai seorang anti kemerdekaan, anti Republik Indonesia atau mungkin juga dianggap pengkhianat tidak warga negara R.I. Bagi orang-orang yang benar-benar berjiwa “republikein” tapi lupa memakai lencana merah putih, dapat pula akan meng-alami berbagai kesukaran menghadapi kaum “ekstremist” Indonesia. Begitulah pada suatu hari, penulis sedang berjalan sendirian di jalan Benteng, Padang (sekarang: jl. Bagindo Azis Chan, kira-kira seberang kantor Inspeksi Pajak) menuju Kantor Pos. Tiba-tiba dari balik batang kayu besar (dulu banyak terdapat di kiri kanan jl. Benteng batang kayu kenari) datang seseorang menodong dan mengancam penulis menghunjamkan pisau. Pokoknya dia menuduh penulis seorang yang baru keluar dari kamp (tempat berkumpulnya orang-orang Cina maupun Indonesia yang menjadi kaki tangan Belanda) dan menjadi mata-mata Belanda di luar kamp Belanda. Penulis dengan ketakutan mengaku adalah murid SMP dan ingin pergi ke Kantor Pos dan kebetulan tinggal di jalan Benteng. Orang itu tetap tidak percaya, dan tuduhannya diperkuatnya dengan menunjuk penulis tidak memakai lencana merah putih yang biasa dipakai sehari-hari dari baju lain ke baju yang dipakai hari itu.

Untuk menyelesaikan kecurigaan si “penodong” tadi penulis mengajaknya ke Kantor Polisi Kota Padang (kebetulan ayah dan paman penulis adalah anggota polisi R.I.). Permasalahan kesudahannya diselesaikan dengan saling ketawa antar paman penulis (Amir Mahmud, waktu itu Inspektur Polisi) dengan si penodong yang sebetulnya adalah juga bertugas di kota Padang sebagai intel BKR juga sebagao ekstremist.
Pada hari yang lain, penulis pergi berbelanja ke pasar Kampung Jawa (sekarang: kompleks Pasar Raya, jl. Sandang Pangan) untuk membeli keperluan daapur sehari-hari seperti: cabe, beras, bawang, ikan dan lain-lainnya. Suasana kota pada waktu itu dalam penuh ketegangan atau tidak baik antar pihak Republik Indonesia dengan pihak Sekutu / Belanda serta antek-anteknya (kebanyakan Cina, Indo-Belanda juga orang “Melayu”). Dalam suasana demikian, penulis masuk pasar mulai menawar harga cabe. Dengan acuh tak acuh si penjual mengatakan bahwa ia pada hari itu tidak jual beli, dan ia pun pergi. Pindah ke tempat yang lain, dicoba menanyakan atau menawar barang yang akan dibeli, tetapi setiap penjual mempunyai macam-macam alasan tidak mau menjual barang dagangannya. Ada yang mengatakan ia hanya menjaga saja, karena yang punya lagi bepergian, ada yang mengatakan supaya membeli di tempat yang lain saja.

Dalam kebingungan meng-alami sikap orang yang kurang menyenangkan di pasar itu, kebetulan lewat seseorang yang penulis kenal, biasanya kami memanggilnya Inyiak Ajung. Beliau ini adalah seorang reserse polisi tetapi senang dipanggil Inyiak Ajung (Inyiak Ajung adalah panggilan di zaman penjajahan Belanda untuk orang yang berpangkat Adjunct Djaksa atau Jaksa Muda). Kepada Inyiak Ajung inilah penulis mengadukan siapa-siapa yang “sombong” tidak mau menjual dagangannya tadi. Setelah ditanyakan dan diperiksa oleh Inyiak Ajung akan kebenaran pengaduan penulis, lagi-lagi penyelesaiannya disudahi dengan gelak ketawa. Dengan diantarkan oleh Inyiak Ajung dapat juga hari itu membeli perbelanjaan yang penulis perlukan untuk dapur.

Tahukah anda apa pula yang menjadi halangan untuk dapat berbelanja di pasar tadi, lain tidak karena ada salah seorang dari penjual yang mencurigai penulis disebabkan selain dari pada penulis tidak memakai lencana merah putih juga penulis mempunyai kulit kuning dan dikira seorang Indo—Belanda yang berbelanja keluar dari kamp. Kecurigaan ini sambung bersaamung antara penjual makanan / sayuran secara berbisik, sehingga tingkah laku orang-orang ini menjadi bahan pula untuk ditulis dalam ruang ini.
Demikianlah sekelumit cerita suka-duka pengalaman melalui zaman revolusi keremdekaan menghadapi berbagai tantangan yang tidak hanya semata-mata berperang dengan senjata teknis.

Adrin Kahar (Haluan Minggu, 2 Mei 1982)