Kolom IBRAHIM ISA

RAbu, 28 Maret 2007
------------------------------
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (2)
KLARIFIKASI SEJARAH  BONNIE TRIYANA
<SEKITAR USAHA PELURUSAN SEJARAH BANGSA>

Berikut ini adalah bagian ke-dua; sambungan  dan bagian terakhir dari
makalah sejarawan muda Bonnie Triyana,  berjudul MELURUSKAN SEJARAH
BERDAMAI DENGAN MASA LALU.
Kami ulangi paragraf terakhir dari bagian pertama  (Kolom Ibrahim Isa,
27 Maret 2007), makalah Bonnie Triyana:
*   *   *
MELURUSKAN SEJARAH BERDAMAI DENGAN MASA LALU (Bagian 2))
Oleh Bonnie Triyana
Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk
penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya
diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang
urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu
sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan
begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai
Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain
juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu
Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus
"Serangan Oemoem 1 Maret 1949" adalah Soeharto, bukan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.  

Selain melakukan penyeragaman ingatan, sejarah Orde Baru juga sangat
bercorak militeristik. Sejarah versi Orde Baru banyak menuliskan
tentang keberhasilan tentara memadamkan pemberontakan di daerah-daerah
yang terjadi pada kurun tahun 1950-an – 1960-an. Sehingga sejarah yang
ditulis Orde Baru lebih tepat disebut sebagai sejarah operasi militer.

Sejarah G.30.S. 1965: Dari Monoversi ke Multiversi

Pada masa Orde Baru, peristiwa Gestok 1965 (Orde Baru menggunakan
istilah G.30.S/PKI) ditulis dari perspektifnya sendiri, yang
menempatkan PKI sebagai aktor utama pembunuhan para jenderal Angkatan
Darat. Monoversi tersebut kemudian direproduksi dalam berbagai bentuk
media doktriner, antara lain film "Penghianatan G.30.S/PKI" arahan
Arifin C. Noor dan materi penataran P4 yang diberikan kepada murid
sekolah hingga pejabat pemerintahan. Fungsinya hanya satu: legitimasi
kekuasaan Soeharto.

Beberapa versi lain juga muncul, misalnya keterlibatan Soeharto (Ben
Anderson), keterlibatan klik Soekarno dan PKI (Arnold C. Brackman),
konflik internal Angkatan Darat (Harold Crouch) dan keterlibatan CIA
(Peter Dale Scott). Bung Karno memiliki versinya sendiri, yakni
kelihaian unsur Nekolim, oknum-oknum yang "tidak benar,"dan para
pimpinan PKI yang /keblinger/. Versi Bung Karno ini disampaikan dalam
pidato Pelengkap Nawaksara, kemudian kembali dikutip oleh Manai
Sopiaan dalam bukunya "Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak
Terlibat G.30.S/PKI."

Kini telah banyak korban yang menuliskan kisahnya masing-masing.
Hersri Setiawan, mantan aktivis Lekra menulis "Memoar Pulau Buru",
Haji Ahmadi Moestahal "Dari Gontor ke Pulau Buru," Hasan Raid
"Pergulatan Muslim-Komunis," Kresno Saroso "Dari Salemba ke Pulau
Buru", dan Abdul Latief almarhum "Pledoi Latief: Soeharto Terlibat
G.30.S". Baru-baru ini Djoko Sri Moelyono, seorang korban dari Banten
telah menulis kisahnya dalam "Banten Seabad Setelah Multatuli," naskah
tersebut belum diterbitkan. Sejumlah karya ilmiah, baik skripsi maupun
makalah turut mewarnai versi sejarah peristiwa Gestok 1965. Seluruh
kisah tersebut secara otomatis menjawab sekaligus memertanyakan
kembali keabsahan sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru.

Sejarah G.30.S 1965: Ditulis ulang atau diluruskan?
Ada perdebatan teoritis di kalangan sejarawan menyangkut bagaimana
memandang sejarah versi Orde Baru, khususnya sejarah G.30.S. 1965.
Istilah "pelurusan sejarah" sendiri sebenarnya masih diperdebatkan
antara Asvi Warman Adam versus Taufik Abdullah. Asvi Warman Adam
cenderung berpendapat bahwa sejarah produk Orde Baru harus
"diluruskan," karena ada beberapa hal yang diputarbalikan oleh
penguasa Orde Baru. Sementara itu Taufik Abdullah berpendapat bahwa
apa yang diyakini oleh Asvi salah adanya, karena fakta sejarah tak ada
yang perlu diluruskan. Menurut Taufik yang perlu dilakukan dalam
sejarah Indonesia adalah "penulisan ulang."

"Penulisan ulang" sejarah dapat bermakna: /pertama/, yakni penulisan
ulang terhadap suatu peristiwa atas dasar fakta yang sama sekali baru
dan berbeda dari versi sebelumnya. /Kedua/, melakukan tafsir ulang
atas fakta yang sama untuk kemudian menuliskannya dalam versi yang
berbeda dari sebelumnya. Dalam "penulisan ulang," versi baru tidak
menggantikan versi sebelumnya, akan tetapi lebih bersifat
menyandingkannya. Argumentasi ini bersandar pada adagium bahwa setiap
individu atau kelompok, tiada peduli siapa mereka, memiliki hak yang
sama untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Dan masyarakat berhak
memutuskan sendiri apa yang harus dibacanya.

Sedangkan "pelurusan sejarah" adalah penulisan yang bersifat
mengoreksi versi sejarah sebelumnya. Pelurusan sejarah didasarkan pada
fakta baru yang telah diuji, baik intern maupun ekstern, yang kemudian
pada kenyataannya lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
daripada fakta dalam versi sejarah sebelumnya. Sejarah versi
"pelurusan" ini menggantikan versi sebelumnya, yang telah terbukti
memanipulasi fakta sejarah yang sesungguhnya terjadi.

Berkaitan dengan perdebatan itu, agaknya perlu dicermati beberapa buku
sejarah Gestok 1965 versi Orde Baru yang selama 32 tahun dijadikan
acuan bahan ajar sekolah. Dalam buku "Kesaktian Pancasila di Bumi
Pertiwi" terbitan BP.Alda/Penerbit Almanak R.I. misalnya, di halaman
150 terdapat sebuah foto mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan
terikat di tepi Bengawan Solo. Dalam keterangan tertera bahwa mereka
adalah korban keganasan PKI. Padahal, fakta sesungguhnya adalah
sebaliknya: mayat-mayat itu justru anggota PKI yang dibantai dan
mayatnya dibiarkan begitu saja di tepian Bengawan Solo. Perihal yang
sama juga terdapat dalam buku Alex Dinuth, "Dokumen Terpilih Sekitar
G.30.S/ PKI" (Penerbit Intermasa, 1997) hal. 510-511. Tentu
pemutarbalikan fakta dalam caption foto itu menyesatkan, sehingga
perlu dikoreksi atau "diluruskan." Bukan ditulis ulang.

Rekonsiliasi di Indonesia, mungkinkah?
Masyarakat yang traumatik terhadap Kekerasan, konflik-konflik
kekerasan horisontal dan pelanggaran HAM adalah warisan yang hampir
mesti ditinggalkan oleh rezim-rezim otoriter. Pada umumnya
pemerintahan transisi mengalami kesulitan ekonomi, sehingga untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak azasi manusia serta
penghentian konflik yang disertai kekerasan menjadi sebuah hal yang
amat sulit.

Para korban memerlukan pengakuan atas apa yang terjadi pada diri
mereka di masa yang lalu. Di saat yang bersamaan, masyarakat warisan
rezim otoriter – baik yang menjadi korban atau bukan – cenderung bisu
dan tak mau tahu dengan masa lalu. Mereka pada umumnya masih
dihinggapi perasaan takut yang mencekam, dendam dan marah. Di lain
pihak, sisa-sisa penguasa politik rezim otoriter masih memegang
kekuatan yang sewaktu-waktu masih bisa digunakan untuk kembali
melakukan intimidasi kepada korban pelanggaran HAM di masa lalu.
Mereka sangat berkepentingan untuk membuat masyarakat tetap dalam
kebisuannya.
Lalu bagaimanakah pemerintah yang demokratis menanggapi
tuduhan-tuduhan mengenai pelanggaran besar HAM – pembunuhan,
penculikan, penahanan tanpa pengadilan – yang dilakukan oleh para
pejabat rezim otoriter? Apakah tindakan yang tepat adalah mengajukan
mereka ke pengadilan dan menghukum, atau memaafkan dan melupakan?[4]

Ada empat konsep dalam penyelesaian tindak pelanggarah HAM yang selama
ini dipraktekan di berbagai negara./ Pertama/, /never forget/, /never
forgive/, jangan pernah lupakan, jangan pernah maafkan; ada semacam
/trial/ and /punishment/. Jerman menggunakan pendekatan ini tatkala
menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Nazi. Pelakunya
dicari untuk diadili, sebagian yang lolos hingga kini terus dikejar.
/Kedua/, /forget and forgive/, lupakan dan maafkan. Spanyol mengambil
pola ini ketika mengakhiri rezim Franco. Tak satupun pengadilan
digelar. /Ketiga/, bentuk non-pengadilan /forget but never forgive/,
lupakan namun jangan pernah maafkan. Hal ini dilakukan oleh banyak
bangsa Eropa ketika ingin mengakhiri /inquisition/ (penyaliban) bagi
mereka yang oleh Gereja dianggap musyrik selama 300-400 tahun. Mereka
berusaha melupakan, namun tidak pernah memaafkan betapa kejamnya
"agama" melakukan itu pada manusia. /Keempat/, bentuk non-pengadilan
lainnya: /never forget but then forgive/, jangan pernah lupakan,
tetapi setelah melalui proses hukum tertentu, maafkan. Korea Selatan
mengambil cara ini untuk kasus korupsi; diadili, dihukum kemudian
diberi amnesti.[5]
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan varian terakhir dari
keempat model di atas. Namun amat disayangkan, banyak elit politik
Indonesia yang lebih cenderung berkampanye: /mari kita lupakan dan
maafkan, masa depan lebih penting./

Pada saat rezim /apartheid/ berkuasa, warga kulit putih menutup mata
terhadap kekerasan yang dilakukan /apartheid /kepada warga kulit
hitam. Ketika Nelson Mandela dibebaskan, kemudian menjadi presiden
Afrika Selatan, ia mendorong proses rekonsiliasi berjalan di negerinya.
Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk
menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia dan konflik
meluas yang terjadi semasa pemerintahan /apartheid/ berkuasa. Di dalam
proses yang berjalan, berlangsung penyelidikan serta pengakuan pelaku
di hadapan publik, penghukuman dan pengampunan, reparasi untuk korban
baik /real/ maupun simbolik, serta reformasi institusi yang selama ini
mendukung rezim /apartheid/.[6]Rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa
dikatakan lebih berhasil karena kelompok anti-/apartheid/ yang
sebelumnya ditindas, keluar jadi pemenang. /Political will/ yang kuat
dan rasa kebersamaan untuk menuntaskan kekerasan menjadikan
rekonsiliasi di Afrika Selatan contoh yang baik untuk ditiru.

Lain lagi dengan Chile pasca pemerintahan diktator Augusto Pinochet
pada 1990. Presiden Ptaricio Aylwin membentuk sebuah komisi kebenaran
yang menerima laporan pelanggaran dan melaksanakan pertemuan dengar
pendapat. Kurangnya kemauan politik dan masih kuatnya pengaruh
sisa-sisa pejabat rezim Pinochet menyebabkan proses hukum terhadap
pelaku kekerasan urung dilakukan. Benar Aylwin menyampaikan permintaan
maaf kepada keluarga korban penculikan dan membentuk sebuah badan
untuk menelusuri nasib korban penculikan, namun apa yang ia lakukan
tersebut tak lebih dari sebuah usaha penegakan keadilan ala kadarnya.
Hubungan yang terjalin di antara pemerintahan baru dengan beberapa
pemimpin diktator rezim lama menyebabkan dipilihnya jalan kompromi
ketimbang mengadili pelaku kejahatan HAM secara tegas.

Sementara itu di argentina, usaha untuk menyelesaikan kasus-kasus
kejahatan HAM menjadi lebih mudah ketika ada kemauan politik yang kuat
dari pemerintah. Hal ini bukannya tanpa resiko, pengadilan kejahatan
HAM secara tegas dan tanpa pandang bulu menyebabkan ketegangan politik
yang cukup menggoyahkan stabilitas politik dalam negeri argentina.

Pelaku kejahatan HAM di Argentina terdiri dari kelompok militer dari
rezim terdahulu. Mereka masih memiliki pengaruh politik yang kuat
untuk menekan pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Raoul Alfonsin.
Ketegangan dengan pimpinan junta militer terjadi karena mereka
dituntut untuk bertanggungjawab atas ribuan kasus penghilangan paksa
di Argentina.[7] Hal tersebut mendorong Alfonsin memberlakukan sebuah
undang-undang yang mengatur penyelenggaraan peradilan hak asasi
manusia di mahkamah militer, bukan di pengadilan HAM. Undang-undang
yang sama juga berlaku bagi para pelaku yang melaksanakan kejahatan
atas perintah maupun yang mematuhi perintah.

Hampir sama dengan beberapa negara di atas yang saya tulis sebagai
contoh, Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, berbagai pelanggaran
berat HAM berserak di berbagai daerah. Untuk sekedar mengingatkan,
beberapa kasus pelanggarah HAM berat di masa Orde Baru di antaranya
pembunuhan massal 1965-1969, pembunuhan dan penghilangan paksa dalam
operasi militer di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), Petrus
(1983-1986), pembantaian kaum Muslim Tanjung Priok (1984), DOM Aceh II
(1989-1998) dan seterusnya.

Kejahatan HAM di Indonesia tidak hanya mendera sektor politik, juga
terjadi hampir di setiap bidang: ekonomi, sosial dan budaya. Inilah
yang menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia cukup
pelik dan rumit. Masih kuatnya pengaruh sisa-sisa kekuatan Orba
menjadi faktor penghalang utama dalam penyelesaian kasus-kasus
kejahatan kemanusiaan. Tentu kita tidak berharap apa yang terjadi di
Argentina terjadi di Republik ini.

Dalam kasus pembantaian massal PKI 1965-1969 misalnya, baik korban dan
keluarga korban menghadapi tindak diskriminasi yang didukung oleh
negara. Masih berlakunya berbagai aturan hukum produk Orde Baru[8]
yang membatasi ruang gerak korban membuat proses rekonsiliasi kasus
1965 masih tampak /jauh panggang dari api/. Artinya, seharusnya proses
rekonsiliasi didukung dengan adanya prinsip-prinsip fundamen dalam
rekonsiliasi itu sendiri, semisal salah satunya prinsip kesetaraan.
Selama ini korban peristiwa tahun 1965 diposisikan sebagai warga
negara kelas dua. Dalam KTP tertera simbol ET atau Eks Tapol, sebuah
klasifikasi identitas yang sangat diskriminatif. Belum lagi pandangan
masyarakat terhadap stigma negatif komunis yang terlebih dahulu
disebarluaskan melalui berbagai media, salah satunya buku-buku sejarah.

Menurut hemat saya, dalam kasus 1965, agenda utama yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah pelurusan sejarah peristiwa itu
sendiri. Pelurusan sejarah diharapkan dapat mematahkan pewarisan
ingatan Orde Baru yang menancap di dalam benak sebagian besar
masyarakat bahwa segala hal yang menyangkut PKI adalah negatif.
Penting juga dilakukan pencabutan semua peraturan hukum produk Orde
Baru yang bersifat diskriminatif terhadap korban peristiwa G.30.S
1965. Sehingga pada saatnya KKR bekerja, masyarakat telah sepenuhnya
memahfumi bahwa apa yang terjadi pada perisiwa G.30.S 1965 adalah
rekayasa Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto.
Jakarta, 28 Juli 2005.
------------------------------------------------------------------------
[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi "Prinsip-Prinsip Penegakan
HAM Dan Pelurusan Sejarah Dalam Pembentukan Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi" yang diselenggarakan oleh LBH Semarang, 1 Agustus 2005.

[2] Peneliti sejarah di Lembaga Nirlaba Masyarakat Indonesia Sadar
Sejarah (Mesiass). Sedang menulis buku "Padamnya Lentera Merah:
Pembunuhan Massal Anggota dan Simpatisan PKI di Kabupaten Grobogan
1965-1969."

[3] Bahkan di beberapa daerah pembunuhan massal masih terjadi hingga
tahun 1969, Purwodadi salah satunya.

[4] Samuel P. Huntington, 2001, /Gelombang Demokratisasi Ketiga/,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 275

[5] Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, /Kebenaran versus Keadilan,
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu/, 2003, Jakarta:
ELSAM, hal. 14.

[6] Karlina Leksono Supeli, /Berdamai Dengan Masa Lampau: Antara
Penghukuman dan Pengampunan/, makalah pada workshop KKR yang
diselenggarakan oleh ELSAM, Cimacan, 25-28 September 2000. Makalah
tidak diterbitkan.

[7]  *National Commision on Disappeared Persons* adalah komisi
kebenaran yang didirikan di Argentina pada masa pemerintahan Raoul
Alfonsin. Komisi ini berhasil mengumpulkan 50.000 lembar bukti-bukti
yang disampaikan dalam sebuah laporan yang berjudul /Nunca Más/ (Never
Again). Di dalam laporan itu tercantum 9.000 kasus penghilangan paksa
(jumlah sesungguhnya mencapai 30.000 orang; lihat Marguerite Guzman
Bouvard, 1994, Revolutionizing Motherhood, The Mothers of the Plaza de
Mayo, Wilmington: SR Books) dikutip dari Karlina Leksono Supeli dalam
/ibid/ hal. 5

[8] Di antaranya TAP MPRS NO. XXV/1966 tentang pembubaran Partai
Komunis Indonesia sekaligus dinyatakan sebagai organisasi terlarang
serta pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme, dan peraturan
pemerintah tentang pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa yang
melarang eks tapol 1965 ikut dalam keanggotaan BPD.
Sumber, http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Kolom-IBRAHIM-ISA----MASALAH-SEJARAH-HARUS-JADI---AGENDA-TETAP-BANGSA-(2)-td9709636.html