Pasukan T Ronggolawe

Setelah Yogyakarta diduduki oleh Militer Belanda pada 19 Desember 1948, pimpinan TNI memindahkan MBKD (Markas Besar Komando Djawa) keluar kota, dan system Wehrkreis dilaksanakan. Wehrkreis adalah bahasa Jerman dan merupakan siasat perang Gerilya dimana tidak ada front yang tetap. Kabupaten Wonosobo pada garis besarnya menjadi Sub-Wehrkreis  dari SWKS X yang ditempati oleh pasukan T-Ronggolawe. T berarti “Tjadangan” atau Reserve. Ronggolawe nama divisi IV TNI di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Djenderal Major Djatikusumo.

Pasukan T-Ronggolawe adalah pasukan TNI yang terdiri dari para pelajar Sekolah menengah Atas (SMA), berusia 20 – 21 tahun, duduk di kelas 3, hampir semua menjadi perwira cadangan berpangkat sama dengan Vaandrig yang telah mempunyai pengalaman tentara selama 4 tahun. Anggota Pasukan T- Ronggolawe mempunyai pengalaman tempur melawan tentara Jepang di Semarang –Pertempuran Lima Hari, 15-20 Oktober 1945- juga melawan tentara Inggris di Ambarawa, dimana terdapat Kamp Interniran Belanda. Kemudian oleh Djatikusumo mereka ditarik untuk dilatih dalam “Pasoekan Opsir Tjadangan” di Salatiga.

SETELAH FRONT SEMARANG DAN AMBARAWA

Keputusan mengadakan Sekolah Opsir Tjadangan di dasarkan atas prakarsa Djenderal Major Djatikusumo, untuk membentuk satu korps opsir (perwira) cadangan, yang anggotanya dibentuk dari guru-guru dan pelajar pejuang yang kebetulan sudah berada dalam jajaran komandonya. Gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan ketika pertempuran-pertempuran di front Ambarawa dan Semarang, banyak anak pelajar yang gugur. Beliau berpendapat bahwa sangat di sayangkan para pelajar yang memiliki kemampuan yang potensial dan merupakan harapan bangsa yang baru memproklamasikan kemerdekaannya ini, banyak menjadi korban dalam pertempuran karena hanya berbekal semangat berjuang besar tidak memiliki pengetahuan strategi pertempuran.

Program Sekolah Opsir Tjadangan (SOT) di Salatiga merupakan perpaduan antara pendidikan perwira cadangan dengan pendidikan umum SMP dan SMT, dengan pemikiran bahwa para pelajar yang menyelesaikan sekolah disini dapat meneruskan pelajarannya pada sekolah umum apabila keadaan mengijinkan.

Atas petunjuk Pak Djatikusumo, kurikulum dibuat oleh Bapak Darsono (bekas kepala sekolah, lulusan Hollands Inlandse Kweekschool yang menjabat kepala staf intelejen), Bapak Soemarso (Staf Pribadi Panglima Divisi, eks-CORO) dan Pak Sukamto (eks-PETA). Pelajaran militer dipimpin langsung oleh Djendral Major Djatikusumo. Sedangkan pelajaran di bidang pendidikan umum, diberikan oleh guru-guru lain.

Program militer terdiri dari: strategi, taktik, pengenalan senjata (wapenkennis), ilmu senjata (wapenleer), dan beberapa latihan kemahiran lain. Sedangkan program pendidikan umum lebih menekankan pada pelajaran eksakta. Tentang keinfanterian banyak juga diajarkan. Bagaimana perlindungan batalyon dalam keadaan bergerak. Susunan spits (cucuk), pengamanan depan, pengamanan belakang, dan pengamanan samping (flank), tugas sappeurs (pembuat parit), mineurs (pemasang dan penjinak ranjau), dan lain sebaginya.

Pada perundingan Perdana Menteri Sutan Syahrir dengan utusan khusus Inggris, Lord Killearn, awal 1946 di Jakarta, disepakati Republik Indonesia c,q. Tentara Republik Indonesia dilibatkan dalam hal pengurusan tawanan perang dan interniran. Maka sejak itu sekutu tidak akan begitu saja masuk ke wilayah RI dan mengambil langsung tawanan perang dan interniran yang berada dalam daerah kedaulatan RI. Dengan adanya pengaturan ini maka sekutu (Inggris) telah mengakui secara de facto kedaulatan RI dan keberadaan Tentara Republik Indonesia. Pelajar Sekolah Opsir Tjadangan ditugaskan membantu RAPWI (Relief/Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mengangkut kaum perempuan dan anak-anak Belanda dari Kamp Interniran di Banyubiru ke Lapangan Terbang Panasan di Solo untuk seterusnya di terbangkan ke Semarang.

Tugas ini membawa dampak yang baik bagi Negara Republik Indonesia yang baru berdiri ini. Memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Tentara RI adalah tentara yang teratur dan memiliki prajurit-prajurit yang berdisiplin dan berkemampuan komunikasi dalam bahasa asing. Belanda yang membonceng NICA tidak setuju pengangkutan interniran yang di kawal Tentara RI langsung dari Banyubiru ke Semarang karena harus melalui front yang sudah mulai di duduki Belanda. Maka routenya dari Banyubiru ke Panasan Solo kemudian dengan pesawat terbang Inggris di bawa ke Semarang atau Jakarta.

Berdasarkan pertimbangan meredanya pertempuran setelah perundingan Linggarjati, pada penutupan SOT tanggal 8 Juni 1946 Pak Djatikusumo mengatakan:"sebaiknya kalian meneruskan sekolah dulu". Sesuai dengan konsepnya, sekolah opsir cadangan ini hanya akan dikerahkan apabila keadaan memerlukan. Untuk itu mereka sewaktu-wkatu harus siap bila dipanggil. Dalam keadaan biasa mereka masing-masing harus melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan umum. Pelajar SOT terdiri dari pelajar yang sekolahnya mulai SMP kelas 3, SMT kelas 1,2, dan 3. Usianya dari 16 tahun sampai 21 tahun. Pada saat lulus pendidikan dibagikan piagam kelulusan yang ditandatangani oleh Jenderal Mayor Djatikusumo sebagai Kepala Divisi IV dan diketahui oleh Kepala MBO (Markas Besar Oemoem) Letnan Jenderal Urip Sumodiharjo. Hasil kelulusan ada yang letnan satu, letnan dua, sersan, dan yang paling rendah kopral. Yang semula berpangkat prajurit naik menjadi kopral semua. Walaupun ini pangkat terendah keluaran SOT, semua senang.

Pada waktu pelajar SOT mau kembali ke sekolah di salatiga sudah ada SMT (Sekolah Menengah Tinggi yang kemudian menjadi SMA/Sekolah Menengah Atas), yaitu SMT Semarang di Salatiga atas prakarsa guru SMT Semarang yang berada di Salatiga. Guru-gurunya hampir semua dari Semarang yang sudah dikenal pelajar SOT waktu mereka menjadi pelajar SMP di Semarang yang kemudian terlibat dalam pertempuran 5 hari dengan Jepang. Karena itu pelajar SOT praktis hampir semua masuk SMT ini. Setelah sebagian pelajar SOT lulus SMT di Magelang, maka mereka melanjutkan ke perguruan tinggi. Disamping kuliah ada pelajar SOT yang kuliah di perguruan tinggi di Yogya juga bertugas sebagai staf Oemoem III/MBT (Markas Besar Tentara) di Yogya. Pelajar SOT yang merupakan adik kelas di SMT Magelang masih dalam proses menyelesaikan pendidikannya di SMT Magelang.

CLASH KE-1

Sewaktu Belanda menyerang pada tanggal 21 Juli 1947 (Clash ke-1), Panglima Divisi V Ronggolawe Kolonel Djatikusumo segera memanggil para perwira cadangannya yang telah di didik dalam SOT 1946 di Salatiga. Panggilan disiarkan melalui RRI sehingga dapat diterima oleh hampir semua orang yang berkepentingan. TAnggapan yang spontan dari eks-SOT atas panggilan melalui radio membuktikan adanya ikatan bathin yang erat dengan Panglima Divisi Ronggolawe Kolonel Djatikusumo. Kedatangan mereka ke cepu dari berbagai tempat menyebar dari Magelang, Yogya, Solo, Klaten, Malang dan sebagainya diatur oleh mereka sendiri tanpa perlu disediakan sarananya oleh Divisi Ronggolawe.

Satu Kompi Pasukan T (Tjadangan), memiliki kekhususan karena terdiri dari para pelajar berpangkat perwira pertama (hak / kewajiban sbg tentara & biaya pendidikan sekolah ditanggung oleh negara) dan penggunaannya tidak pernah dalam hubungan satuan, tetapi penugasannya secara kelompok atau perorangan dgn tugas2 seperti:

a/ Combat Intelligence dengan mengadakan penyusupan ke daerah-daerah musuh, b/ Counter Combat Intelligence yaitu mengamati mata-mata musuh di Wilayah Divisi V Ronggolawe, c/Pembinaan Teritorial dan persiapan perlawanan dan pertahanan rakyat, e/Persiapan Bumi Hangus, d/ Sebagai Pasukan Tempur Biasa, e/Tugas Liason Officer, antara lain, mendampingi perwira peninjau yaitu Kolonel Meyers utusan Jenderal Mac Arthur Panglima USA dalam PD II di Pacific bermarkas di Tokyo, yang meninjau untuk melihat kekuatan TNI dan membuktikan bahwa Tentara Nasional Republik Indonesia di dukung oleh rakyat. Kolonel Meyers dengan seorang Letnan Kolonel dan seorang Mayor Amerika dikirim Pak Urip Sumodihardjo dari Markas Besar Tentara Yogyakarta ke Wonosari Cepu menemui Kolonel Djatikusumo. Perwira yang kebetulan berada bersama Kolonel Djatikusumo saat itu adalah Tjuk Suwondo, Sunario, dan Moh. Said. Maka Kolonel Meyers minta diantar Perwira Muda untuk pergi ke front, Perwira Senior tidak boleh ikut. Pada waktu melewati sebuah jembatan yang dijaga oleh seorang prajurit, Kolonel Meyers mendekati prajurit itu dan bertanya apa tugasnya. Prajurit itu menjawab untuk menjaga jembatan. Lalu ditanya lagi apa kerja sebelum jadi tentara. Prajurit itu menjawab "saya hanya petani biasa". Dan saat ditanya kenapa masuk tentara. Dia menjawab "saya malu karena kawan-kawan juga masuk tentara untuk membela tanah air, jadi saya juga ingin ikut membela negara. Kemudian Kolonel Meyers memeriksa senjata prajurit tersebut baik dalam maupun luarnya, ternyata sangat bersih terpelihara dan bagian dalam laras terlihat mengkilap seperti cermin. Utusan Jenderal Mac Arthur Kolonel Meyers akhirnya memberi keyakinan dan kepastian bahwa adanya Republik Indonesia memang di kehendaki dan di dukung oleh seluruh rakyatnya bukan bikinan Soekarno saja dan TNI bukan gerombolan bersenjata liar seperti isue yang disebarkan Belanda melainkan TNI adalah tentara yang menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia dan sudah terorganisir dengan baik. Setelah itu Amerika mulai mendukung Republik Indonesia terutama di forum PBB. Peranan Inggris (yang membela Belanda) di UNCI (United Nation Commission for Indonesia) juga beralih ketangan Amerika.

Tugas di Cepu antara lain, Front Ronggolawe I, daerah pertahanan Surabaya Barat dan Utara, yang merupakan wilayah Resimen 30 Bojonegoro. Front Ronggolawe II, daerah Semarang Timur yang termasuk daerah Resimen 28 Pati. Front Ronggolawe I bermarkas di Deket (Lamongan), Front Ronggolawe II bermarkas di Kudus. Penugasan di daerah Front Ronggolawe II - Demak dititikberatkan pada tugas combat intelligence dan counter combat intelligence, yaitu penyusupan ke daerah penduduk yang dikuasai Belanda dan mengawasi mata-mata musuh yang menyusup ke wilayah Divisi Ronggolawe. Kegiatan mata-mata musuh ini memang luar biasa aktifnya. Kelanjutan menyusup ke daerah musuh biasa dilanjutkan dengan bumi hangus. Disamping itu mereka bertugas pembinaan teritorial dan pertahanan rakyat.

Saat itu terjadi pemberontakan PKI-Muso. Dalam menanggulangi pemborantakan PKI-Muso di daerah Pati, Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto mengerahkan pasukan siliwangi untuk membantu pasukan teritorial setempat seperti Batalyon Chris Sudono Brigade Ronggolawe, yang menghadapi pasukan-pasukan Brigade SS yang memihak PKI-Muso. Pasukan Siliwangi yang dikerahkan di daerah Pati adalah Brigade 1/Siliwangi pimpinan Letkol Kusno Utomo dengan dua batalyonnya: Batalyon Kemal Idris dan Batalyon Kosasih. Batalyon Ahmad Wiranatakusumah dan Batalyon Daeng Mohamad masih bertugas di daerah Madiun.

Pasukan Siliwangi bergerak cepat dalam waktu singkat telah membebaskan kota-kota. Namun karena gerak cepatnya kadang harus direbut ulang kota yang sudah dibebaskan itu karena pasukan lawan memasuki kota itu kembali setelah pasukan siliwangi lewat.

Kolonel Djatikusumo sudah menjadi KSAD, juga bertugas menjamin berjalannya pemerintahan sipil. Sedangkan Kolonel AH Nasution sebagai Panglima Komando Djawa memimpin operasi militer. Dibeberapa daerah di Karesidenan Pati, pemerintahan sipil mengalami kemacetan sebab bupati, camat dan lurah digorok oleh PKI, atau melarikan diri menghindari bahaya maut. Dalam keadaan vakum pemerintahan sipil, maka Pasukan T ditugaskan berfungsi sebagai, bupati militer, wedana militer, camat militer dan sebagainya.

Kolonel GPH Djatikusumo KSAD bekas Panglima Divisi V Ronggolawe segera memanggil Pasukan T dan diperintahkan menuju Purwodadi dan daerah Pati, dengan tugas: 1). Diperbantukan kepada pasukan siliwangi (Brigade Kusno Utomo) untuk fungsi-fungsi liaison dengan rakyat dan pasukan daerah. 2). Diperbantukan kepada komando teritorial untuk fungsi pemulihan pemerintahan dan pembinaan teritorial, yang meliputi kegiatan operasi intelejen, operasi teritorial, bahkan fungsi yang kemudian dikenal dengan dwi fungsi ABRI.

Pada suatu pagi anggota Pasukan T dikumpulkan di suatu lapangan dekat hotel merdeka untuk mendapat penjelasan tentang tugas dari Kapten Arie Supit seorang perwira dari Brigade Kusno Utomo yang diperbantukan pada Mayor Kemal Idris. Dalam garis besarnya dijelaskan, anggota Pasukan T akan dijadikan Wedana Militer pada kewedanan-kewedanan di daerah pati dengan tugas: 1) mendampingi pemerintah sipil dan berusaha merehabilitasinya setelah dilumpuhkan oleh pihak PKI 2) Pasifikasi daerah masing-masing dari sisa-sisa PKI 3) Untuk tugas pasifikasi pada masing-masing wedana militer akan diperbantukan satu pasukan tentara dari brigade Slamet Sudiarto untuk pembinaan kembali akibat korban PKI.

Anggota Pasukan T menganalisis tugas itu sebagai berikut: 1) mendampingi Pak Wedana dalam melaksanakan tugas pemerintahan sipil agar mendapat kewibawaan dan kepercayaan rakyat kembali 2) mengadakan patroli-patroli pembersihan desa-desa yang termasuk wilayah kewadenaan masing-masing untuk mencari orang yang terlibat gerakan PKI, mencari senjata-senjata yang disimpan atau disembunyikan PKI, memelihara keamanan wilayah kewadenaan masing-masing dan mengaktifkan pemerintahan atau pamong desa 3) menginterogasi orang-orang yang terlibat gerakan PKI dan meneliti laporan-laporan yang masuk dari masyarakat kepada kawedanaan tempat mereka bertugas 4)mengembalikan hak milik rakyat yang telah diambil PKI 5) mengembalikan ketenangan masyarakat dengan memberikan penerangan-penerangan kepada rakyat tentang keadaan keamanan di daerah yang telah dikuasai kembali oleh Pemerintah RI yang sah 6) menganjurkan agar masyarakat kembali melaksanakan tugasnya masing-masing agar roda perekonomian pulih kembali.

Djatmiko dan Hari Bawono ditugaskan di Kabupaten Babat dan ditampung di Kodim Barat. Sediono dan Hardijono bertugas di Kawedanan Sukodadi. Lettu Adiwoso sebagai Bupati Militer di Kabupaten Pati. Kawedanan Juwana ditugaskan Hadi Cahyono dan Sampurno. Wedana Khrisnamurti dan Wakilnya Subari menjadi Wedana Militer Tayu. Di Kawedanan Jakenan ditugaskan Pramono dan Waluyo Wijoyokusumo.

Pada saat tugas pemerintahan sipil, anggota Pasukan T Ronggolawe yang masih SMA dianggap oleh rakyat di daerah mereka bertugas sebagai mahasiswa. Rakyat percaya "Tentara tapi kan Mahasiswa". Karena keyakinan rakyat demikian para tentara yang masih SMA diam saja dan bertingkah seperti mahasiswa. Pada waktu itu mahasiswa belum banyak di daerah tugas Pasukan T Jawa Timur. Di Kawedanan Baureno yang bertugas menjadi wedana militer adalah Djatmiko dan Haribawono yang masih SMA. Mereka berdua berhasil mendamaikan perselisihan Bapak Wedana Baureno dengan Ketua Pondok Pesantren disitu yang juga laskar Hizbullah. Hampir saja terjadi kekerasan. Mereka berdua menjelaskan sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga akhirnya tercapai perdamaian. Kedua anggota Pasukan T ini berhasil menyelesaikan tugasnya atas bantuan faktor psikologis predikat "mahasiswa" yang diperoleh dari masyarakat. Juga di Kawedanan Sukodadi dimana Hardijono dan Sediono bertugas. Pada hari pertama bertugas sesudah makan siang dihidangi sosok mayat petani korban bacokan dalam perebutan air untuk pengairan sawah. Di Kawedanan Sukadadi terjadi persaingan yang meruncing antara laskar Hizbullah dan Pesindo. Oleh Pasukan T keduanya dikumpulkan dilatih pertahanan rakyat, perang gerilya, dan pembuatan bom molotov. Persengketaan dilupakan mereka rukun kembali dan bersatu siap menghadapi musuh bersama yaitu Belanda.

Malam harinya saat acara pesta rakyat, salah satu acaranya, Sampurno (Pung) dari Pasukan T Ronggolawe menari gatotkaca dihadapan penduduk yang berjubel lengkap dengan gamelan pengiring dan pakaian yang entah diusahkan dari mana. Kesan rakyat sangat baik terhadap Pasukan T Ronggolawe yang sedang bertugas operasi pembinaan teritorial.

Pada tahun 1947 pangkat Panglima Divisi diturunkan dari Djenderal Major menjadi Kolonel termasuk Djatikusumo. Pada waktu itu tidak ada pangkat Brigadir Jenderal. Divisi IV menjadi Divisi V Ronggolawe. Kemudian tahun 1948 Kolonel GPH Djatikusumo diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Maka Pasukan T mulai saat itu secara organik langsung berada di bawah Komando KSAD dan resmi dinamakan Pasukan T SAD (Pasukan Tjadangan Staf Angkatan Darat). Semua kesatuan tentara pelajar di gabungkan ke dalam Brigade XVII/TP kecuali Pasukan T. Hal ini adalah karena kebijakan Kolonel GPH Djatikusumo sendiri yang selalu mengikuti dan mengawasi sendiri perkembangan para perwira cadangan yang beliau bentuk dalam Sekolah Opsir Tjadangan di Salatiga dan di lanjutkan pembinaannya di Cepu selama bertugas di Divisi Ronggolawe. Beliau memahami bahwa para pelajar itu sebagian besar tidak akan memililih berkarier sebagai tentara, namun mereka tetap bertekad besar turut dalam perjuangan fisik bangsanya, sementara tenaganya sangat di perlukan dalam tugas-tugas operasional maupun teritorial. Setiap ada kesempatan untuk belajar, mereka diberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan, bahkan diperintahkan untuk sekolah, tetapi pada saat diperlukan, mereka di panggil kembali (Pendidikan yang diselingi penugasan tempur)

KEMBALI KE SEKOLAH SETELAH CLASH KE-1

Setelah Perjanjian Renville yang mengakhiri Clash ke-1 dan TNI mengatasi pemberontakan PKI-Muso, oleh Kolonel Djatikusumo (KSAD) Pasukan T Ronggolawe diberangkatkan dari Cepu ke Magelang untuk mengikuti sekolah menengah atas peralihan Magelang yang berlokasi di Gedung Biara (Klooaster), dekat alun-alun. Mereka berkumpul bersama tentara pelajar dari Semarang, Pati, Kedu Selatan, Purwokerto, Pekalongan dan Siliwangi.






Kolonel GPH Djatikusumo

CLASH KE-2

Setelah dikonfirmasi bahwa Yoyakarta di serang Belanda, segera semua berkumpul di Asrama, baik Pasukan T, maupun TP Purwokerto, TP Semarang, TP Siliwangi. Masing-masing berkonsolidasi dan menentukan rencana berikutnya. Sebagian besar Pasukan T duduk di kelas 2 SMA peralihan, sehingga terhitung tanggal 20 Desember 1948, mereka telah naik ke kelas 3 SMA. Pasukan T yang berada dibawah perintah SAD (Staf Angkatan Darat) masih tetap tinggal di kota Magelang untuk kemungkinan datangnya perintah khusus dari Yogyakarta dalam hal ini KSAD Kolonel Djatikusumo. Saat itu anggota Pasukan T yang merupakan pelajar SMA Peralihan Magelang dan juga bergabung beberapa pelajar SMA Negeri Magelang terkumpul sekitar 60 orang. Karena tidak ada hubungan dengan Pusat Pemerintahan di Yogyakarta, maka Pasukan T segera mempersiapkan perang gerilya keluar kota Magelang.

Perlengkapan persenjataan yang berhasil di kumpulkan yang diberikan atau ditinggalkan oleh tentara dan polisi, yaitu:

18 senapan steyr/hembrug manlicher kaliber 6,5 mm (Senapan tua KNIL),
17 senapan arisaka, kaliber 7,7 mm (.303),
3 senapan eddystone kaliber 7,7 mm (.3303),
3 senapan LE (Lee Enfield), kaliber 7,7 mm (.303)
1 senapan springfield, kaliber .30
2 pistol mitrailiur schemeiser kaliber 9 mm
1 senapan beaumont kaliber 0.5 (senapan berburu) dengan 6 peluru
beberapa peti dan tas peluru, berbagai kaliber
1 tekidanto (mortir 5 cm Jepang) dengan 10 granat
beberapa senjata pribadi seperti pistol jenis luger, mauser dan nambu dan revolver colt 38
beberapa peti granat gombyok (granat bikinan yogya)
rata-rata untuk senapan tersebut tersedia kurang lebih 200 peluru/pucuk.

Untuk sumbangan logistik dan lainnya diperoleh dari keluarga-keluarga di Magelang.

Regu I Pasukan T SAD pada Agresi Militer Belanda II (Clash II)

Tentara Nasional Indonesia Pasukan T SAD pada Agresi Militer Belanda II (Clash II)

Pasukan T sudah siap lagi, kali ini tidak dalam penugasan-penugasan pribadi tetapi dalam kesatuan tempur (Combat Unit). Semangat dan suasana mengingatkan kembali pada tahun 1945/1946 di front Semarang Barat (Pertempuran 5 hari dengan Jepang), dan tahun 1947 di front Ronggolawe-2 (Demak). Perbedaannya sebelumnya satuan tempur Pasukan T bertempur secara organik melekat pada induknya yaitu Divisi V Ronggolawe, sedangkan sekaran Pasukan T SAD di Magelang merupakan satuan yang berdiri sendiri. Kecuali Letda (Letnan Dua) Sudharmono (Komandan), semuanya sekarang sudah berpangkat Letnan Muda. Beberapa minggu sebelumnya mereka masih bertugas secara individual di daerah Pati, sebagai wedana militer, staf teritorial dan sebagainya. Beberapa hari sebelumnya mereka masih sekolah di SMA Peralihan Magelang yang aman tenteram. Sekarang mnereka menjadi pasukan tentara yang siap untuk berperang dan melaksanakan pengamanan umum yang mendadak berubah suasananya.

Pasukan T sejak embrio dan lahirnya telah dibesarkan dalam kondisi lingkungan perjuangan yang relatif aman dan kemudian dididik serta dilatih untuk perkembangan situasi perang yang mencekam.

Pemerintah Daerah Magelang dan Pasukan Angkatan Darat dari Divisi Diponegoro sudah jauh hari mempersiapkan rencana-rencana untuk menghadapi keadaan darurat. Segera evakuasi badan-badan pemerintah pusat dan daerah yang ada di kota Magelang di jalankan. Menjelang tahun 1949 atas perintah Gubernur Militer III (Divisi Diponegoro), Pasukan T berfungsi sebagai pasukan pelindung mendekati jalur yang mendekati kota magelang, perintah ini merupakan pembebasan dari keragu-raguan yang selama ini menggantung. Dengan perintah ini jelas bahwa Pasukan T tetap tinggal di daerah Sumbing.

Kehidupan Tentara Pelajar tidak mudah, di gunung Sumbing yang suhunya dingin mereka kerap tidur dikandang kerbau yang agak hangat. Makanan mereka disiapkan oleh dapur umum. Didaerah yang tidak ada beras mereka makan jagung. Di sebuah desa tempat mereka berhenti, berhari-hari lamanya tak ada garam, ayam atau kambing, tapi karena lapar, apa saja makanan yang disuguhkan terasa enak. Kemudian Pasukan T bepindah-pindah tempat melakukan penghadangan terhadap konvoi Belanda dan melakukan penyerangan Markas Belanda di sekitar Wonosobo.

Dengan basis di Marongsari, daerah sasaran Pasukan T adalah jalan besar Wonosobo-Banjarnegara, ruas Wonosobo-Leksono. Selama tiga bulan dijalankan aksi penembakan konvoi di jalan besar Tunggoro-Wonosobo dengan tempat-tempat penghadangan sawangan, leksono, krasak, dan selomerto. Beberapa kali Pasukan T ke dalam kota Wonosobo pada malam hari dan sekali untuk menyerang Asrama Alegemeene Politie tetapi gagal. Pada masa ini hubungan dengan pasukan lain dalam sektor SWKS X semakin akbrab. Semua aksi yang dijalankan di jalan raya saat itu dilakukan dengan formasi yang sama. Lini pertama ditempati Pasukan T dan Lini kedua ditempati Kompi Kapten Gatot Suwagio (kemudian hari dikenal sebagai Ketua Umum KONI) dengan mitraliur berat dari satuan Peltu Husein Senaprawira (kemudian hari menjadi Wagub Jabar) sebagai penyangga.

Daerah Operasi Pasukan T kemudian berpindah ke daerah Kreteg dan Sapuran. Di daerah itu selain Pasukan T ada pasukan Stafdekking Gubernur Militer III dibawah pimpinan Lettu Suhardi dan pasukan artileri yang dipimpin Peltu Husein Senaprawira. Selain itu SWKS X diperkuat dengan Kompi Sukarno dari batalyon Bintoro, yang sebelumnya beroperasi di lereng timur Gunung Sindoro. Sektor Mayor Bintoro adalah daerah sekitar Parakan, Temanggung dan Candiroto.

Aksi yang dilakukan Pasukan T di Kreteg dan jalan Kreteg-Sapuran dilakukan bersama dengan kompi Sukarno seperti penembakan pada patroli KL (Koninklijke Landmacht - Angkatan Darat Belanda yang terdiri atas Prajurit Wajib Militer) di kedalon setengah perjalanan Kerteg-Sapuran.

Suatu hari Letnan Muda Aman Soejitno dari Pasukan T bersama Lettu Suhadi dari kompi staffdeckking Gubernur Militer III, menaiki puncak bukit di atas banaran, dianggap perlu untuk mencari tempat pertahanan yang sesuai yang lebih tinggi untuk melindungi pasukan-pasukan TNI. Lettu Suhadi dan Lmd Aman Soejitno menemukan tempat yang cocok untuk pandangan luas pada prapatan jalan banaran. Mitraliur dipasang dan bidang tembaknya sudah pas. Sekonyong terjadi tanda bahaya patroli KL dari Sapuran menuju Banaran. Langsung anggota pasukan disiapkan ditempatkan di atas bukit diatas jalan dari arah simpang tiga dari Banaran. Jebakan telah siap tinggal menunggu. Pasukan KL langsung masuk jebakan suatu killing ground yang sudah disiapkan. Tembakan-tembakan pertama secara tepat mengenai sasaran. Baris depan patroli KL dihancurkan. Meskipun pihak Belanda kuat persenjataannya (Brennya bukan main banyaknya), tetapi pasukan TNI kali ini memiliki keunggulan medan. Pasukan TNI tidak melakukan serbuan karena posisi bertahan yang sulit menyerang kebawah. Setelah pertempuran berdarah berlangsung pendek itu, pasukan KL mundur ke Sapuran dengan membawa serta yang meninggal dan cedera. Belanda menjebol pintu rumah di gunakan sebagai brancard untuk mengangkut korban.

Di banaran tampak bekas-bekas darah, juga ditemukan beberapa sepatu dan helm yang ditembus peluru. Meskipun bersukaria sukses memukul mundur pasukan KL, anggota Pasukan T waktu melihat helm yang tertembus peluru tersentak diam. Di dalam hati, bagaimana sedihnya orang di rumah yang dikasihi prajurit yang mati ini. Bukankah masing-masing juga ada orang yang dikasihi di rumah?

Selang beberapa minggu 11 rumah habis dibakar patroli KL di Marongsari dekat bantaran. SEBAGAI BALASAN.

Di desa-desa dimana anggota Pasukan T sering menetap dalam waktu lama seperti di Marongsari, Bumitirto, dan kembaran sehingga terjadilah ikatan keluarga, anggota Pasukan T dengan orang tua asuh mereka. Anggota Pasukan T diperlakukan seperti anak sendiri.

Ketika mereka pulang dari suatu operasi badan dan pakaian biasanya berlumpur. Karena kelelahan tidur tergeletak di balai-balai. Ketika bangun biasanya telah tersedia semangkuk kopi panas harum baunya, dengan gula batu atau gula aren secara terpisah. Tempat mereka tidur dirapikan dan di bereskan untuk ditempati lagi. Memang tidak dapat diungkapkan betapa kebaikan penduduk kepada Pasukan T, dimana mereka mau membagi miliknya yang tidak seberapa.

Anggota Pasukan T SAD beroperasi di daerah Magelang - Wonosobo selama Clash ke-2. Berdiri ketiga dari kanan adalah Letda Sudharmono, Komandan Pasukan T SAD.


Pasukan T SAD berjuang terus sampai akhirnya tiba saat diberlakukan gencatan senjata antara Tentara Belanda dengan TNI. 9 Agustus 1949 jam 24:00 genjatan senjata mulai di berlakukan. Pasukan T ditunjuk sebagai perwira penghubung dengan pihak belanda di Wonosobo untuk mempersiapkan perundingan karena anggotanya menguasai bahasa belanda dan mengenal daerahnya.Perwira yang ditugaskan adalah Khrisnamurti (diberi pangkat lokal Letnan Dua) dan Hermawan (diberi pangkat lokal Sersan). Tugas sebagai Perwira Penghubung tidak mudah karena tanpa alat Komunikasi. Dalam perundingan di Wonosobo Pihak Republik Indonesia di wakili oleh Letkol Sarbini Komandan Sub Teritorial Commando. Untuk menemukan Letkol Sarbini dalam dua hari adalah mission impossible tanpa radio. Namun pada saat seperti itu sistem WEHRKRIES menunjukan keandalannya. Letkol Sarbini dan staf hadir di tempat perundingan tepat pada waktunya. Dalam perundingan dibicarakan bahwa pasukan belanda harus ditarik dari kabupaten wonosobo. Perundingan serah terima wonosobo dilakukan dengan Mayor Kardjono selaku komando distrik militer yang saat itu bertindak sebagai komandan dari SWKS X. Urusan Pemerintahan ditangani oleh Pak Sumendro Bupati Wonosobo. Maka proses pergantian pasukan mulai dilaksanakan.

Hubungan TNI dengan Belanda pada tingkat pimpinan tidak ada masalah, tapi hubungan antar pasukan tampak kaku. Pihak Belanda masih kurang puas. Sekalipun sebagai pemenang Pasukan T ingin bergaul dengan Belanda tapi suasananya kaku. Letda Khrisnamurti mengalami, sewaktu di kamar hotel ia didatangi Kapten Belanda, tampak sombong sekali ia duduk dihadapannya kaki diselonjorkan di atas meja. Setelah pembicaraan basa basi, Kris bertanya mengapa waktu peperangan di Kawengan disamping Belanda merusak rumah Penduduk juga merampas kuda milik penduduk yang merupakan sarana transportasi satu-satunya di daerah tersebut. Si Kapten berdiam diri dan perlahan kakinya diturunkan dengan muka merah menahan malu dan ia pun lalu pergi.

Kemudian Kolonel GPH Djatikusumo dari Yogyakarta menginstuksikan agar anggota Pasukan T eks SOT (Sekolah Opsir Tjadangan) bergabung kembali ke unit Angkatan Darat, sedangkan mereka yang berasal dari pelajar non SOT di salurkan ke staf Brigade XVII. Pasukan T kemudian berangkat ke Yogya, disana para anggota eks SOT di perintahkan untuk menyelesaikan pendidikan perwira di Akademi Militer dan pindah ke Beteng, anggota lainnya di tugaskan sebagai staf dekking pada staf Brigade XVII, diterima oleh Komandan Brigade XVII Letkol Kusno Utomo, di tempatkan di Asrama Gondokusumo No. 2, diposisikan di seksi V atau Verkenner yang artinya Pengintai.

SETELAH CLASH KE-2

Pak Djatikusumo memang orang yang tidak bekerja setengah-setengah. Apa yang dimulai akan dituntaskan. Pendidikan Opsir Cadangan semula direncanakan 18 bulan, menurut beliau belum selesai. Sebagian dari anak didiknya masih berpangkat letnan muda. Karena itu kelompok Pasukan T yang masih berpangkat letnan muda itu di masukan ke MA Yogya untuk menyelesaikan semester akhir pendidikannya sebagai perwira cadangan. Kelompok ini menamatkan pendidikannya pada Januari 1950 dan Maret 1950 dilantik sebagai Letnan Dua di Jakarta. Kemudian mendapat penugasan yang tersebar. Ada yang di polisi militer, ada yang zeni, perhubungan, infanteri, kesenjataan dan lainnya. Praktis pada tahun 1951 semua telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya. Ada yang melanjutkan pendidikannya di bidang militer, maupun ke perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan demikian maka Pasukan T dengan atau tanpa atribut mulai tahun 1950 keberadaannya sebagai satuan tidak ada lagi. Pak Djatikusumo mengungkapkan pembentukan opsir cadangan yang semula direncanakan hanya untuk selama 18 bulan, akhirnya menjadi 60 bulan lamanya dari Oktober 1945 di front Semarang sampai di Beteng Vrendenburg Yogya dan dilantik di Jakarta pada bulan Maret 1950. Pak Djatikusumo mengatakan: "Yang mestinya merupakan kursus 18 bulan, menjadi 60 bulan lamanya, sixty months, all-in. Setelah tahun 1950, Pasukan T menjadi nama legendaris dan diharapkan juga historis. Para anggotanya tersebar di segala bidang perjuangan. Menengok kembali dan melihat hasilnya, boleh kita katakan: "It was worthwhile to fight for and to live for".

Letnan Dua Sampurno

Sekelumit kisah perjuangan Tentara Pelajar yang tergabung dalam T-Ronggolawe dapat dibaca dalam buku berjudul “Met de TNI op stap – De laatste patrouille van het vergeten leger” (Dengan TNI melangkah – Patroli terkahir tentara yang dilupakan), karangan Anton P. De Graaf, terbitan 1991. Buku ini di bahasa Indonesiakan oleh S. Hertini Adiwoso, isteri Peppy Adiwoso, berjudul Napak Tilas Tentara Belanda dengan TNI (1997).

Pada 1949, Penulis Anton P. De Graaf berperan juga sebagai Wajib Militer Belanda (KL - Koninklijke Landmacht - Angkatan Darat Belanda yang terdiri atas Prajurit Wajib Militer) yang dikirim ke Indonesia dan berhadapan dengan TNI di Jawa Tengah. Ketika itu pemerintah Belanda mengirimkan tentara sebanyak 125.000 personel dengan persenjataan lengkap dan mutakhir untuk menghancurkan Republik Indonesia. Tapi sia-sia, tidak berhasil. Kurang lebih 2.500 serdadu Belanda tewas (Yang ditinggalkan di Indonesia), tapi sang Penulis selamat pulang ke Belanda dengan mengenang trauma perang yang mengerikan. Dalam buku pertamanya De Heren Worden Bedankt ia mengisahkan jalan antara Kreteg dan Sapuran sebagai jalan maut.

Regu I Pasukan T SAD pada Agresi Militer Belanda II

AGRESI MILITER BELANDA

Komposisi pasukan Belanda saat Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1950

Tentara kerajaan: 120.000 tentara
Kerajaan Hindia Belanda (KNIL): 70.000 prajurit
Angkatan Laut: 15.000 prajurit

Pada 27 Desember 1949 konflik diakhiri dengan pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia. Ada hampir 6.000 tentara dalam pelayanan Kerajaan telah tewas. Lebih dari 150.000 tentara kembali ke Belanda, dan/atau menetap di Indonesia.

KNIL

Sumber :
1. Petite historie Indonesia (karya Rosihan Anwar, terbitan 2005);
2. Met de TNI op stap – De laatste patrouille van het vergeten leger” (Anton P. De Graaf, terbitan 1991);
3. Hoort Gij die donder niet (Dr. Daniel Van Der Moullen, terbitan 1977)
4. http://forum.detik.com/showthread.php?t=52350&page=11
5. Pasukan T Ronggolawe, Perjalanan Sejarah Sekelompok Pemuda Pelajar Semarang, Himpunan Pas T Ronggolawe, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 2000

Djatikusumo adalah seorang Prajurit, Sahabat, Pendidik, Eksekutif Pemerintahan, Seniman dan Diplomat. Sebagai militer, pangkat terakhir Djatikusumo adalah Letnan Jenderal dan kemudian dinaikkan menjadi Jenderal Kehormatan. GPH Djatikusumo meninggal tanggal 4 Juli 1992. Pada tanggal 10 November 2002, Presiden Megawati menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Jenderal TNI Kehormatan Djatikusumo Kepres No.073/TK/TH. 2002; Tanggal 06-11-2002.).

Berikut Penuturan: Jenderal Kehormatan (Purn) GPH. Djatikusumo
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1992/07/18/MEM/mbm.19920718.MEM7853.id.html

Prajurit dari Kraton JANGKA JAYABAYA. BIDANG kemiliteran bukan hal baru buat saya. Sejak kecil penghuni keraton sudah dididik kemiliteran, antara lain lewat pertunjukan wayang kulit. Anak-anak diizinkan nonton sampai pukul 11 malam. Kami juga berlatih baris-berbaris. Di samping itu tentunya belajar pencak silat dan naik kuda. Saya dilahirkan dalam lingkungan yang dibayangi oleh sindrom Perang Diponegoro.

Pada 1897--empat tahun setelah ayah naik tahta sebagai Sri Susuhunan Paku Buwono X--beliau mengumpulkan orang-orang tua, menganjurkan mereka agar mempelajari mengapa kita selalu kalah dengan penyerbu-penyerbu asing. Bukankah Keraton Surakarta selain pernah dimasuki Belanda, juga pemah diduduki Lnggris (1811--1816). Bahkan Prancis pun pemah mencengkeram kita secara tidak langsung, yakni ketika Negeri Belanda dikuasai Prancis.

Dalam pertemuan itu Bapak minta kepada para orang tua keraton untuk mencari cara mengusir penjajah. Baru dua tahun kemudian, tahun 1899, mereka menjawab. Di antara sejumlah saran, yang terpenting adalah kita harus memiliki hanya satu pimpinan. Maksudnya, agar kita bisa mendirikan negara yang bersatu semacam Majapahit. Tidak terpecah-belah dalam beberapa pimpinan yang saling bersaing.

Pada tahun 1905 Jepang mengalahkan Rusia. Ini meruntuhkan anggapan bahwa orang kulit putih tidak bisa dikalahkan oleh kulit berwarna. Maka Bapak mencoba mengirim kakaknya yang bernama Pangeran Kusumodiningrat ke Jepang, agar mendapatkan latihan bidang ketentaraan. Tapi Jepang menjawab, belum berpikir ke arah sana.

Ide ini dilaksanakan Bung Kamo pada tahun 1942, ketika Jepang sudah menduduki Indonesia. Mengapa Bapak menoleh ke Jepang? Tentunya tidak terlepas dari pengetahuan orang Jawa tentang Jangka Jayabaya atau Sabdo-Palon Noyo Genggong. Sabdo artinya sabda atau ucapan yang pasti. Palon adalah yang digembleng. Noyo artinya sakti, atau bisa juga berarti yang paling tua. Genggong, maksudnya bila ada daya pasti ada bahaya. Ini sebuah filsafat atau pandangan hidup. Dalam Sabdo Palon dikatakan, "Yang bisa mengusir kerbau bule adalah orang-orang cebol kepalang dari utara, yang membawa tongkat tebu wulung. Mereka berada di sini hanya seumur jagung.

"Dalam lingkungan seperti itulah Subandono--nama kecil saya-- dilahirkan pada 1 Juli 1917 atau pada hari ke-11 Poso, bulan puasa, di kedaton Surakarta. Ayah saya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Dan Ibu bemama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Ibu berasal dari Kajoran, sebuah desa di selatan Klaten. Jadi saya ini punya darah desa. Kakek ibu saya memang seorang bangsawan, tapi nenek orang desa. Kelak lingkungan keraton dan suasana desa membentuk diri saya sebagai bangsawan sekaligus rakyat. Bapak menanamkan tekad untuk mengusir penjajah pada putra-putranya.

Untuk itu modal penting yang harus kita miliki antara lain mengetahui kekuatan musuh. Itulah sebabnya Bapak mengirim kami ke sekolah Belanda. Mula-mula saya di sekolahkan di Europesche Lagere School--setingkat sekolah dasar--di Solo (1921 - 1931). Hanya kalau libur saya pulang ke Kajoran. Bapak hanya sekali tiga bulan ke Kajoran, ke pesanggrahan yang dibangunnya. Agar kami lebih mengenal lawan, ada semacam tradisi baru di keraton waktu itu. Selepas sekolah dasar kami, putra-putra Sri Susuhunan, diharuskan keluar dari istana, hidup di lingkungan orang-orang Belanda. Bahkan putra tertua langsung disekolahkan di Negeri Belanda.

Akan halnya saya, selepas sekolah dasar, saya dan adik saya dititipkan kepada keluarga Belanda di Bandung. Di kota itu kami melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burger School (HBS) selama delapan tahun. Hanya kalau libur saya pulang ke Surakarta. Keluarga Belanda ini adalah keluarga seorang purnawirawan letnan kolonel yang tidak memiliki anak. Ada seorang anak angkat, anak Ambon, tapi waktu itu anak angkat itu sudah jadi dokter dan sudah berkeluarga. Dari keluarga Belanda itu saya memperoleh pengetahun tentang tingkah laku, cara berpikir, dan berbagai hal yang berkaitan dengan orang Belanda. Ternyata kemudian nasihat Bapak know well your enemy itu memang sangat menunjang karier militer saya. Oleh Bung Karno, saya diangkat menjadi kepala staf angkatan darat yang pertama pada 1948, posisi yang begitu strategis untuk berhadapan dengan musuh.

PETA. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa setelah menyelesaikan sekolah menengah di Bandung saya tidak melanjutkan pendidikan di sekolah militer. Sebenarnya ayah ingin memasukkan saya ke Akademi Militer Breda di Negeri Belanda seperti kakak saya, G.P.H. Purbonegoro. Saya tidak mau. Mengapa? Karena kalau lulus dari sana, saya harus mengangkat sumpah setia kepada Sri Ratu dan konstitusi Negeri Belanda. Padahal saya tahu, sebenarnya mereka adalah musuh saya. Maka saya memilih instituut Technologie Delf di Nederland (1936- 1939). Saya tidak menduga bahwa kemudian sumpah para siswa Akmil Breda tersebut bisa batal karena Belanda menyerah kepada Jepang, Maret 1942. Waktu itu Panglima Tentara Belanda berkata, "Dengan ini tentara Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) dibubarkan." Maka para pemuda Indonesia lulusan Breda yang masuk KNIL, seperti Pak Suryadarma, yang kemudian menjadi KSAU itu, menyatakan sumpah tersebut batal. Memang ada usaha-usaha dari pihak Belanda untuk menuntut kembali kesetiaan itu setelah usai Perang Dunia II. Misalnya, ketika kakak saya Purbonegoro menjadi penasihat militer Pemerintah Republik Indonesia berada di kapal Renville. Ia didatangi Jenderal Spoor, yang pernah sekamar dengannya di Breda. Spoor mengingatkan bahwa lulusan Breda masih terikat sumpah setia kepada Sri Ratu. Kakak saya menjawab, "Itu kan sudah dibatalkan ketika Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang.

" Karena pecah Perang Dunia II, pada Januari 1940 saya kembali ke Indonesia, meninggalkan Delf. Saya meneruskan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung, tahun 1940 sampai 1941. Sementara itu, Perang Pasifik pecah. Belanda semakin banyak merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan anggota milisi umum. Ketika itulah saya ingat tentang Sabdo Palon Noyo Genggong bahwa "Jepang akan berada di sini seumur jagung." Ketika itu saya sudah membayangkan saatnya tak lama lagi Jepang akan meninggalkan Indonesia.

Pengetahuan tentang Jangka Jayabaya ini sedikit-banyak telah memotivasi saya untuk memasuki bidang kemiliteran. Maka, atas anjuran Ayah, saya masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun 1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral. Waktu itu di Indonesia sudah ada Akademi Militer Bandung, cabang Akademi Militer Breda di Belanda. Cabang ini dibuka di tahun 1940, ketika Belanda dicaplok Jerman. Setahu saya, yang pernah masuk di Akademi itu antara lain Kartakusumah, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang. Saya sendiri tidak pernah mengikuti pendidikan di situ. Belum sampai delapan bulan saya di CORO, Jepang mendarat. Ketika itu taruna CORO ditempatkan di Tasikmalaya, untuk menjaga lapangan terbang Cibeureum. Karena itulah banyak perwira Belanda berhasil menyelamatkan diri dari kepungan Jepang. Tanggai 2 Maret 1942 CORO dipindahkan ke Ciater, Subang, Jawa Barat. Sesampai di sana, Senin sore, dor, dor, dor.... ternyata Jepang sudah menunggu. Sebagai kopral taruna CORO, tentu saja saya bertempur di pihak Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. KNIL bubar.

Rakyat Indonesia menyambut Dai-Nippon sebagai saudara tua dengan penuh kekaguman. Suatu kali Bung Kamo pergi ke Negeri Sakura, minta supaya Jepang melatih bangsa Indonesia di bidang kemiliteran. Kabarnya, di sana Bung Karno disuguhi demonstrasi latihan perang-perangan oleh siswa-siswa Akademi Miiiter Jepang, dan amat terkesan. Maka, atas permintaan Sukarno, di akhir tahun 1943, dibentuklah PETA melalui O Samurai, semacam keputusan Presiden. Saya masuk PETA di Solo. Yang harus dicatat, PETA bukan bagian dari tentara Jepang. Sebelum masuk PETA, saya menganggur. Sehari-hari saya latihan setengah kemiliteran dengan bocah-bocah di Solo, sekadar melatih fisik dan mental untuk menyiapkan diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Ini bukan kesatuan, cuma kumpulan anak-anak muda saja. Nah, ketika Bung Karno minta sukarelawan dari kalangan pemuda-pemuda Indonesia, dari kumpulan kami itu banyak yang masuk, termasuk saya. Suatu hari saya bersama sekitar 15 pemuda Indonesia yang lain ditawari belajar di Akademi Militer Jepang. Saya menolak. Sebab, ini menurut pikiran saya waktu itu, kalau lulus lantas menjadi tentara siapa? Yang berangkat antara lain Pak Yoga Soegama, yang kemudian menjadi kepala Bakin dan sekarang rektor Universitas Persada, Jakarta. Jadi saya cuma masuk PETA, yang lengkapnya disebut Tentara Sukarela Pembela Tanah Air.

Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA. Ini yang saya kagumi dari orang Jepang. Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma sekolah rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir. Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir? November, Desember 1944, sampai Januari 1945, saya mengikuti pendidikan di Bo'ei Giyugun Kanbu Renseitai, pendidikan calon perwira PETA, di Bogor. Kami dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama untuk calon komandan batalyon. Di kelompok ini banyak kiainya. Melihat para kiai sekonyong-konyong disuruh latihan baris-berbaris, ya aneh juga. Kelompok kedua, kelompok komandan kompi, termasuk saya. Dan ketiga, kelompok calon komandan peleton. Saya termasuk angkatan pertama yang berlatih di Bogor. Latihan calon perwira amat keras. Kena tempeleng itu biasa. Tapi saya belum pernah ditempeleng. Pagi, siang, malam, terus latihan. Praktis tidur cuma enam jam. Padahal waktu itu musim hujan. Mestinya kami berlatih selama enam bulan. Entah bagaimana, cuma dilangsungkan tiga bulan. Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau lagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita?

Tentara KNIL sudah dibubarkan. PETA-lah yang memegang peranan. Makanya kemudian kita memilih Soedirman, anggota PETA, sebagai Panglima Besar. Dia tahu kemampuan dan keterbatasan pasukan kita. Delapan belas bulan orang-orang PETA tidur bersama-sama di bawah satu atap--sejak PETA dibentuk hingga Jepang kalah perang. So we know well each other. Karena pengalaman mengikuti PETA pula mengapa saya ditunjuk menjadi kepala staf angkatan darat. Bung Hatta tidak puas terhadap lulusan dari Breda. "Jangan-jangan mereka nanti mendidik perwira-perwira seperti di Breda, yang bisanya cuma mundur, bubar," kata Bung Hatta waktu itu. Pak Harto juga orang PETA. Beliau masuk dalam PETA khusus, yaitu pasukan yang dididik untuk gerilya. Mereka dilatih di Jaga Monyet, Jakarta. Sebelumnya mereka dilatih di Bogor. Pada 1945 itu boleh dikatakan ada tiga kelompok militer: PETA, bekas KNL, dan lasykar rakyat. Yang dari lasykar, misalnya Hizbullah, Pasukan Banteng, dan sebagainya. Para perwiranya terdiri atas mereka yang lulus dari Akademi Militer Mister Cornelis Jatinegara, seperti Pak Uripsoemohardjo, lalu dari Akademi Militer Breda, Akademi Militer Bandung, dan dari PETA. Dari merekalah TNI terbentuk.

Itu sebabnya pada 1947 kita mengadakan rekapitulasi dan rasionalisasi TNI untuk menghasilkan tentara reguler yang lebih baik. Selepas kemerdekaan, saya diminta oleh Pak Urip Sumahardjo (Kepala Badan Keamanan Rakyat) membentuk satu batalyon BKR di Surakarta. Saya dipilih menjadi komandannya. Belum lagi lima bulan (kalau tak salah pada bulan Oktober 1945) BKR kami dua kali diminta membantu dor-dor-an dengan Jepang di Semarang. Di situ ada lelucon. Dulu sih tak terasa lucu, tapi sekarang mungkin lucu. Begini. Jepang mengusulkan gencatan senjata. Yang diutus oleh Pak Urip adalah Umar Slamet (ini bukan Slamet Riyadi, Iho). Mas Slamet juga bekas PETA dan Komandan BKR di Yogya. Kami pernah berlatih bersama di Bogor. Sekarang dia sudah almarhum. Sekitar pukul 18.30 saya dijemput Mas Slamet, padahal perundingan direncanakan pada pukul 12 malam. Dia rupanya ngeri sebab di markas Jepang ada senapan mesin Jepang. Akhirnya kami pergi bertiga--Mas Slamet, saya, dan Hadiwinangun (bekas Residen Cirebon) ke Jatingaleh--ke markas Jepang yang dijadikan tempat perundingan itu. Di markas Jepang terlihat banyak orang Jepang yang luka akibat pertempuran dengan anak-anak kita. Sebaliknya, di pihak kami juga banyak korban. Saya berbisik kepada Mas Slamet sambil berjalan menuju ruang perundingan, "Mas, pokoknya kita harus selamat keluar dari sini." Perundingan dilakukan di ruangan komandan Jepang yang luas. Dia mempersilakan kami. Jleg! Kami duduk. Bulu kuduk saya berdiri sekaligus bangga karena bisa duduk sederajat dengan komandan Jepang. Tanpa banyak basa-basi kami segera membuka perundingan. Mas Slamet minta agar Jepang menyerah kepada pemerintah Indonesia. Jepang langsung nggebrak! Dan Mas Slamet berbisik kepada saya, "Mas Djati, kalau kita mati di sini tidak ada orang tahu." Saya diam saja. Apa yang dikatakan Jepang? "Tidak ada ketentuan bahwa kami harus menyerah kepada Pemerintah Indonesia. Kami hanya akan menyerah kepada Tentara Sekutu." Perundingan gagal. Syukurlah, kami dapat keluar dengan selamat.

Selesai Perang Dunia II Belanda harus membangun kembali negaranya yang rusak. Negeri Belanda itu rusak betul, Lho. Dari mana memperoleh uang. Tentunya mereka berharap dari jajahan-jajahannya. Dan yang memasukkan devisa paling besar waktu itu adalah perkebunan-perkebunan. Maka mereka membonceng Sekutu memasuki Indonesia, untuk menjajah negeri ini kembali. Letnan Gubernur Jenderai Van Mook, pemimpin tertinggi Belanda di Indonesia setelah PD II, mengerahkan tentaranya ke Jawa dan Sumatera, dua pulau yang memiliki banyak perkebunan. Tentu saja van Mook tahu daerah-daerah mana yang perlu diprioritaskan. Sebab, dia adalah Direktur Departemen Urusan Ekonomi di Batavia sebelum PD II. Tapi Jenderal Spoor, yang memimpin tentara Belanda di Indonesia, harus menghadapi kenyataan yang sama sekali di luar dugaannya. Rakyat Indonesia melawan dengan gigih. Kepala intelejen Belanda di Australia rupanya memperoleh laporan yang salah. Intel-intelnya melaporkan bahwa keadaan Indonesia belum berubah. Spoor mengira bila Belanda mendarat, mereka akan diterima dengan baik oleh rakyat. Dia tidak memahami bahwa selama Belanda pergi ada yang namanya PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70 ribu personel. Kalau jumlah tentara PETA dijadikan divisi, maka jumlahnya 7 divisi (1 divisi adalah 9 batalyon). Jumlah TNI kita memang 7 divisi.

Bulan November-- sebulan setelah bertempur melawan Jepang di Semarang--Pak Urip memanggil saya lagi. Dia bilang, "Kamu jadi panglima divisi. Pilih yang mana?" Maka, sejak 1 November 1945 sampai 1 Juni 1945 saya menjabat sebagai Panglima Divisi IV Tentara Republik Indonesia (TRI), bermarkas di Salatiga. Wilayah pertahanan saya meliputi Keresidenan Pekalongan, Semarang, dan Pati. Di daerah-daerah itu Sekutu sudah masuk. Ha... waktu itulah saya berhadapan dengan Sekutu yang berintikan tentara Inggris di dataran tinggi Rawa Pening dan Semarang. Saya pernah pula menjadi delegasi perundingan genjatan sejata di Semarang. Sekutu memang pernah mencoba memasuki Jawa Tengah lewat Magelang, tapi kami dorong lagi ke Ambarawa dan Semarang, lalu akhirnya ke Surabaya.

Begitu bersemangatnya perlawanan rakyat dan tentara kita. Banyak yang berkata, "Pak, habiskan itu Inggris." Saya jawab, "Mereka habis, kita juga habis." Lha, mereka lebih terlatih ketimbang kita, kok. Persenjataannya pun lebih lengkap, canggih lagi. Nganggo montor mabur, nggago mortir, nganggo panser, nganggo reno-reno (memakai pesawat terbang, mortir, panser, dan macam- macam). Lagi pula kebanyakan dari tentara Inggris itu orang India dan Pakistan, yang disebut Gurkha. "Mereka itu kawan kita. Bukankah India dan Pakistan sendiri ingin merdeka? Mengapa harus kita bunuh? Dorong saja ke Surabaya," kata saya. Tentara Inggris sendiri tampaknya tak terlalu bersemangat bertempur dengan kami. Sebab, tugas mereka sebenarnya adalah melucuti tentara Jepang, bukan bertempur melawan bangsa Indonesia. Jepang sudah dilucuti, jadi apalagi? Mungkin itulah yang mendorong Inggris mengajak kita mengadakan perjanjian gencatan senjata di Semarang, kalau saya tidak lupa, pada bulan Maret 1946. Lalu mereka mundur ke Surabaya. Praktis di Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekutu hanya berada di daerah pesisir, seperti Surabaya. Seingat saya, kota di pedalaman yang bisa dimasuki Sekutu adalah Bandung. Saya nggak pemah mengerti mengapa mereka berhasil memasuki Bandung. Padahal medannya lebih berat ketimbang Jawa Timur. Untuk mencapai Bandung kan harus melalui daerah bergunung-gunung. Mengapa pasukan kita tidak menggugurkan gunung-gunung itu untuk menghambat Sekutu? Atau menghancurkan jembatan-jembatan besar yang curam itu.

Juni 1946 terjadi reorganisasi di jajaran tentara. Saya ditunjuk menjadi Panglima Divisi V (1 Juni 1946 - 1 Maret 1948). Wilayah teritorial saya meliputi Bojonegoro, Pati, dan Muncung. Divisi V disebut juga dengan Divisi Ronggolawe, ini nama seorang senopati Majapahit yang berhasil menangkal ekspedisi tentara Kubilai Khan. Anggota pasukan saya antara lain Sudharmono (sekarang wakil presiden) dan Ismail Saleh (menteri kehakiman). Mula-mula markas saya berada di Mantingan, persis di tengah hutan jati. Di masa itulah, dan di hutan jati pula, saya mengawini Raden Ayu Suharsi, tepatnya pada tahun 1947. Aneh juga, Wong, manten anyar (pengantin baru), kok di tengah hutan. Kelak, kami dikaruniai tiga orang anak dan lima cucu. Aksi polisionil Belanda I pecah tahun 1947. Waktu itu saya sudah Panglima Divisi V Ronggolawe. Perlawanan rakyat berkecamuk di Jawa Timur. Dulu saya khawatir Belanda menyerang saya. Ternyata mereka tidak terlalu peduli pada hutan jati yang menyebar luas dari sebelah timur Bojonegoro sampai Kedung Jati, dan ke sebelah selatan hingga Ngawi. Kami tidak berdiam diri. Saya mengerahkan pasukan ke sektor Gresik-Lamongan. Dalam suasana seperti itu ternyata banyak perwira dan taruna kita yang rewel. Ada yang maju-mundur untuk turun ke medan pertempuran. "Kita harus ikut bertempur," begitu saya tegaskan kepada perwira-perwira dan taruna-taruna itu. Mereka berkata, "Kalau gugur bagaimana?" Saya jawab, "Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal". Agustus 1947 saya memindahkan markas ke Cepu tempat minyak. Situasinya sudah berubah. Pertempuran dengan Belanda mereda.

MENJADI JEMBATAN PIKIRAN. Tahun 1948 Pemerintah Republik memanggil saya ke Yogya. Waktu itu sudah Kabinet Hatta, menggantikan Kabinet Syahrir. Sejak saat itu saya semakin dekat dengan Bung Kamo. Saya berkenalan dengan beliau pada tahun 1947, ketika Panglima Besar Soedirman mengajak saya menghadiri sidang-sidang Dewan Siasat Militer, lembaga yang dipimpin langsung oleh Bung Kamo. Di situ ternyata saya cukup diperlukan. Terus terang saja, di antara kawan-kawan militer yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda kan saya. Pak Dirman sendiri mengenal Bung Kamo baru setelah Pak Dirman menjadi Panglima Besar, Iho. Nah, untuk menghadapi orang-orang pintar, seperti Bung Hatta, Syahrir, Bung Kamo, dan menteri-menteri, Pak Dirman membawa saya. Mungkin karena beliau merasa sebagai orang desa, guru sekolah Muharnmadiyah, yang agak sulit memahami cara berpikir tokoh-tokoh brilyan di kabinet. Saya sendiri mengakui bahwa Bung Kamo, Bung Hatta, dan lain-lain adalah orang hebat yang berpikir secara modern dan pernah belajar di mana-mana. Sebaliknya, banyak anggota kabinet yang tidak memahami jalan pikiran Pak Dirman, Gatot Subroto, dan para pemimpin militer yang umumnya dari desa. Itu sebabnya saya juga dipercayai oleh anggota kabinet dan pemimpin-pemimpin militer untuk menjembatani mereka. Sekali waktu, seusai sidang Dewan Siasat Militer, Bung Kamo bilang pada saya, "Lain kali jangan mengajak Gatot Subroto." Saya tanya kenapa. "Aku ndak mengerti pikirannya," jawab Bung Karno. Lha, Gatot itu blak-blakan. Dia pernah bilang, "Aku iki wong bodo. Sekolah dasar wae ora rampung." (Aku ini orang bodoh. Sekolah Dasar saja tidak selesai.) Memang komandan-komandan resimen umumnya dari desa. Ada guru Taman Siswa, guru Muhammadiyah, ada kiai, dan sebagainya.

Kolanel Sungkono (sebelum Rekapitulasi berpangkat Mayor Jenderal, lalu diturunkan menjadi Kolonel), Panglima Divisi VI Jawa Timur, pendidikannya cuma sampai sekolah dasar. Tapi harus dicatat, di kalangan rakyat yang didengar justru orang-orang militer ini. Pak Sungkono, Gatot Subroto, Pak Dirman, misalnya. Makanya sering saya katakan PETA adalah satria bambangan--satria dari desa. Seumpama mereka bukan dari desa, kami tak akan mendapat dukungan orang desa. Mereka mendukung karena anak-anak mereka menjadi prajurit kami. Rakyat pula yang menyediakan logistik untuk tentara.

Dalam Dewan Siasat Militer sering dibicarakan kemungkinan Belanda menyerang kembali. Dan kami yakin itu akan terjadi. Kami pun bersiap-siap dan berbagai alternatif sudah dipikirkan. Misalnya, ada rencana Bung Kamo dan Bung Hatta akan diungsikan luar negeri bila Belanda menyerang. Alternatif lain, para pemimpin negara, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, akan ikut bergerilya bersama-sama militer dan rakyat. Dewan juga telah merencanakan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), untuk membuktikan pada dunia bahwa Pemerintah Republik yang sah masih ada. Di samping itu diputuskan pula untuk membentuk wadah setiap angkatan, termasuk angkatan darat. Nah, Bung Karno mengusulkan agar kepala staf angkatan adalah orang yang mengenal lawan dan kawan. Kebetulan saya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan kepala staf angkatan darat (KSAD) yang pertama (1 Maret 1948 -1 Mei 1950).

Belanda akhirnya benar-benar menyerang Yogyakarta, 19 Desember 1948. Hari itu juga Dewan Siasat Militer bersidang. Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah anggota kabinet lainnya tetap tinggal di istana. Diputuskan juga untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi dan sebagian lagi di Aceh. Teman-teman PDRI yang masih hidup antara lain Jenderal Hidayat, Jenderal Askari. Semula di Jawa juga ada anggota Kabinet PDRI, misalnya, Menteri Soepeno yang kemudian gugur. Di New Delhi, India, juga dibentuk wakil Pemerintah di luar negeri. Mengapa Bung Karno dan anggota kabinet tidak lari ke luar negeri atau ikut bergerilya? Bila mereka ke luar negeri, Belanda tentu punya alasan untuk menyatakan Republik sudah tenggelam, dan menyatakan perlawanan rakyat Indonesia adalah tindakan kriminal. Kalau mere ka ikut bergerilya, siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka? Belanda tentu akan berusaha membunuh mereka, sedangkan kemampuan pasukan kita belum cukup tangguh. Dengan adanya PDRI dan wakil pemerintah Republik di luar negeri, ekslstensi negara Indonesia tetap ada. Dan ketika Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda, mereka hanyalah warga negara Indonesia biasa.

Dengan demikian Belanda tidak bisa menyatakan Republik telah tenggelam karena kita masih memiliki Pemerintah Darurat. Hampir seluruh anggota kabinet hadir daiam sidang Dewan Siasat Militer itu Tapi, sepengetahuan saya tidak ada yang dari TNI. Meskipun Panglima Besar Soedirman, T.B. Simatupang, Suryadharma, ada di istana waktu itu. Waktu itu A.H. Nasution berada di jawa Timur. Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adisucipto) sudah jatuh ke tangan Belanda. Saya tidak tahu mengapa Nasution tidak memasuki kota (Yogyakarta), melainkan ke Batu Ceper. Padahal jarak antara Yogya dan Batu Ceper paling-paling cuma 40 kilometer. Bisa saja ditempuh dengan 12 jam jalan kaki. Waktu itu, sebagai KSAD, saya berkantor di kantor Menteri Pengairan, di selatan Maguwo. Selain sebagai KSAD waktu itu saya juga bertanggung jawab atas keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang. Mereka ini adalah calon perwira pengganti. Saya juga tidak hadir dalam sidang Dewan Siasat Militer itu. Latif Hendraningrat, Panglima Komando Militer Yogyakarta Kota, dua kali menelepon saya. Dia bilang, "Kau dipanggil Bung Kamo ke istana." Saya jawab, "Sidang Kabinet toh akan jalan tanpa saya. Kalau saya pergi dari sini, para taruna ini akan buyar." Saya juga titip pesan kepada Latief agar disampaikan kepada Bung Karno, "Kalau sampai pemerintah dan kepala negara ke luar negeri, kita bisa dinyatakan tenggelam." Mengapa saya tidak ke istana dan memilih bertahan di markas? Perhitungan saya, kalau saya pergi ke Istana, para taruna akan buyar Asrama itu terletak tidak jauh dari marka Brigade Soeharto.

Sebelum 19 Desember saya sudah melihat gelagat bahwa Belanda akan menyerang. Saya bilang kepada para taruna, "Sekarang kita ke luar kota, menghadang Belanda di Semaki." Ketika itulah Pak Harto datang. Dia menanyakan langkah-langkah apa yang harus diambil. Saya tanya, pasukannya di mana? Menurut perintah Panglima Besar Soedirman, pasukan Brigade Soeharto ditempatkan di sepanjang jalan antara Karanganyar (Bagelen) dan Wates (Yogyakarta). Jadi di dalam kota hnya ada salu kompi. Satu peleton di Maguwo, dua peleton di sebelah barat. Saya bilang kepada Pak Harto, "Saya mau menghadang Belanda di Semaki." Sesampai di Semaki, saya bertemu dengan satu regu CPM. Saya bertanya kepada mereka, "Mana batalyon yang mestinya di sini?" Mereka menjawab, "Sudah berangkat tadi malam." Seluruh pasukan Siliwangi yang berada di Semaki (satu balyon) dan di Jembatan Gajah Wong (dua batalyon) sudah pergi.

Praktis Yogyakarta kosong. Yang tinggal hanya satu kompi Brigade Soeharto, dua kompi taruna di bawah tanggung jawab saya, dan sejumlah lasykar. Praktis, sewaktu memasuki Yogyakarta, Belanda tidak memperoleh perlawanan. Seandainya pasukan Siliwangi tidak pergi, keadaannya mungkin akan lain. Mungkin bisa ramai. Selesai berperang, saya katakan kepada mantan Kepala Staf Divisi Belanda di Jawa Tengah. "You hebat betul." Dia menjawab dengan agak heran, "Sebetulnya kami menurunkan satu atau dua kompi pasukan payung hanya untuk mengacau saja. Kami sudah perhitungkarn mereka akan habis. Tapi ketika kami mendarat kok tidak ada perlawanan?" Teryata pesawat Belanda sedikit. Lha, wong yang menerjunkan pasukan payung itu hanya tiga pesawat Dakota DC-2 yang diterbangkan dari Andir, Bandung. Sesuai menerjunkan pasukan di Yogya, pesawat-pesawat ini pula yang diperintahkan ke Semarang untuk mengangkut batalyon cadangan ke Maguwo. Dan tiba di Yogya 20 Desember, sehari setelah awal penyerbuan. Belanda juga melancarkan serangan melalui darat. Belanda masuk ke Yogyakarta kan menyusup melalui Boyolali, daerahnya Slamet Riyadi. Slamet-lah yang bertugas menahan Belanda di daerah itu. Namun, pertahanan Slamet bobol. Maklum, pasukan Slamet paling-paling cuma satu batalyon sedangkan Belanda dua batalyon. Belanda kemudian menyerbu Kaliurang, ke markas Komisi Tiga Negara (KTN), tidak langsung ke kota (Yogyakarta).

Memang sasaran Belanda adalah Kaliurang, untuk mengisolasi tim KTN (Komisi Tiga Negara) yang ditugaskan oleh PBB. Setelah perjanjian Renville, PBB memang sudah mengambil alih penanganan atas konflik Indonesia- Belanda--hal yang belum dilakukan setelah Perjanjian Linggarjati. Dengan isolasi tersebut KTN tidak bisa berhubungan dengan Dewan Keamanan PBB utuk melaporkan tindakan Belanda yang menyerang Yogyakarta tanpa restu PBB. Posisi saya tidak diserang, karena Belanda memang tidak punya pasukan. Baru setelah saya pindah ke utara, Belanda sering mengadakan patroli, tapi tidak berhasil menduduki markas. Sekali-sekali terjadi pertempuran kecil-kecilan Menjelang KMB, Konperensi Meja Bundar, saya masih bolak-balik Jakarta-Yogya. Saya menjadi anggota Gencatan Senjata Pusat di Jakarta, khusus di bidang militer. Ketuanya Pak Wongsonegoro.

PERISTIWA 17 OKTOBER TAHUN 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang bersifat liberal demokratis. RIS memang telah dibubarkan pada Agustus 1950. Tetapi UUD-nya tetap jalan. Baru kemudian diganti dengan UUD Sementara yang juga liberal demokratis. Ya, dengan segala hommat pada rekan-rekan politisi, waktu itu usia kabinet rata-rata hanya 18 bulan. Bagaimana mereka sempat memikirkan program kerja dan pembangunan. Banyak menteri yang tidak tahu harus melakukan apa. Kekuasaan formal memang di tangan kabinet. Tetapi nyatanya yang didengar hanya Bung Karno. Rakyat jadi tidak tahu di mana letak kekuasaan itu sebenarnya. Pernah sekali waktu terjadi peristiwa lucu yang sebenarnya sangat serius. Partai-partai politik tidak bisa membentuk kabinet. Akhirnya Bung Kamo mengeluarkan Surat Keputusan yang bunyinya begini "Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet." Sekarang kita boleh tertawa. Tetapi dulu itu masaiah serius. Lalu pemimpin-pemimpin partai politik dikumpulkan di istana. Saya lupa, di Istana Bogor atau istana Merdeka. "Sudah, sekarang bentuk kabinet," kata Bung Kamo. "Nanti dulu, Bung. Kami perlu bicara dengan pimpinan partai lainnya," jawab orang-orang partai. "Lho, katanya kamu itu pemimpin rakyat. Kok, begini saja mesti mengadakan pembicaraan dulu. Boleh. Silakan," Bung Kamo menyahut. Mereka angkat telepon. Padahal semua telepon sudah diputus. Akhimya terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), minus Masyumi. Sesudah itu keluar lagi Surat Keputusan Soekamo. "/Dengan Ini warga negara Soekarno menyerahkan kembali tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno." Coba, coba, bayangkan. Kacau. Dalam setting kekacauan kabinet itulah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi. Saya memang aktif dalam gerakan tersebut. Ketika itu saya perwira tinggi di Kementerian Pertahanan. Jabatan saya Kepala Biro Perancang Operasi merangkap Kepaia Biro Pendidikan Pusat (1 Juii 1950--1 November 1952). Sayalah yang mula-mula mengambil inisiatif mengumpulkan para pimpinan TNI (AU, AD, AL) di aula Hankam sekarang. Saya bilang, "Mbok ya sekarang kita kembali saja ke UUD 1945. At least kita bisa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kekuasaan yang ada menurut UUD 1945 itu. Sebab, kenyataannya, rakyat hanya mendengar Bung Kamo, Presiden. Padahal ada Perdana Menteri selaku pemegang kekuasaan pemerintahan." Tidak tercapai konsensus dalam pertemuan itu. Entah bagaimana ceritanya, apa yang telah saya mulai itu dioper oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang KSAD-nya waktu itu A.H. Nasution. Sementara itu, suara-suara dari kaum politisi tentu saja menentang. Mereka tetap menginginkan liberalisme. Tapi bagaimana kita bisa membangun kalau sebentar-sebentar kabinet diganti? Bagaimana membicarakan kembalinya Irian Barat kaiau setiap 18 bulan ada kabinet baru? Hubungan miiiter dengan sipil memang tak enak. Kami begitu mendongkol pada oknum-oknum partai. Mau tidak mau, peristiwa lama diungkit pula: waktu perang gerilya kaiian di mana? Ketika itu tidak ada orang-orang partai yang turun ke tengah rakyat, membantu gerilya. Yang pemah saya jumpai cuma Jaksa Agung Kasman Singodimedjo. Beliau dua kali berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Timur, bolak-balik. Maklum, beliau itu kan bekas PETA. Jadi, tidak takut. Politisi lainnya? tidak ada. Jangankan membantu, memberi semangat kepada rakyat saja tidak. Pada hari kejadian (17 Oktober) saya baru minum kopi bersama sejumlah perwira senior, seperti T.B. Simatupang, Dan Yahya, dan lain-lain di Kementerian Pertahanan. Di luar terdengar ramai-ramai demonstrasi. Tak lama kemudian kami mendapat telepon dari Istana, disuruh datang. Dalam perjalanan ke Istana, saya melihat meriam, tank, panser nongkrong di kantor telepon dekat Istana. Sampai di Istana, ternyata sudah ada KASAD Nasution dan perwira-perwira senior lainnya. Bung Kamo dan Bung Hatta juga sudah ada. Saya dan T.B. Simatupang bergabung. Di situlah perwira-perwira TNI mengusuikan untuk kembali ke UUD 1945 dan agar parlemen dibubarkan dalam waktu dekat ini. Ada kejadian lucu lagi. Sesudah usul TNI disampaikan, kami omong-omong santai. Kawilarang mau merokok. Dia berada di sebelah saya. Saya sederet dengan Askari dan Kawilarang. Asbak ada di depan saya. Saya berikan kepada Askari supaya diteruskan kepada Kawilarang. Waktu dipegang Askari, mrucut, jatuh ke lantai dan pecah, derr. Wartawan-wartawan di luar mengira ada apa-apa. Mereka pikir keadaan di dalam tegang betul. Padahal cuma asbak jatuh. Ada anggapan kekacauan itu disebabkan karena Partai Sosialis Indonesia (PSI) ke tubuh TNI. Sebenarnya tidak begitu. Yang menjadi Sekretaris Jenderal Pertahanan waktu itu adalah Ali Budiardjo. Dia itu PSI. Simatupang juga dituduh PSI karena istrinya adalah adik Ali Budiardjo. Tapi, sepengetahuan saya, tidak. Simatupang memang banyak didengar oleh orang-orang PSI karena dia memang brilyan. Tapi keliru kabu dia disebut sebagai PSI. Nasution juga bukan. Waktu itu dia sudah tidak punya kekuatan apa-apa. Orang-orang partai menghendaki dibentuknya tentara profesional meniru Barat. Sebagian kecil perwira militer pun berpikir begitu. Haa, mungkin ini yang dimaksud adanya orang partai yang menyusup ke militer. Tapi sebagian besar TNI menolak. Karena kalau kami meniru Barat berarti mengkhianati rakyat. Sebab, sejarah TNI tidak terlepas dari peranan rakyat. Rakyat-lah yang membantu dalam perang gerilya. Militer-lah yang didengar rakyat ketika para politisi tidak bisa menjalankan pemerintahan. TNI bukan hanya sekadar alat politisi sipil Apalagi kalau sipilnya semau gue. Cekcok terus. Sampa akhimya konflik di mana-mana. Kalau nasi sudah jadi bubur, militer yang disuruh menyelesaikan. Lihat peristiwa DI-TII, PRRI-Permesta. Militer disuruh menembak bangsa sendiri. Siapa yang senang menembaki bangsa sendiri? Mereka sebagai politisi, enak. Kalau sudah tidah bisa menyelesaikan masalah bisa mundur. Lha, militer? Masa, tentara dibubarkan? Kan tak mungkin.

Sesudah peristiwa 17 Oktober itu Nasution diberhentikan sebagai KSAD, digantikan oleh Bambang Sugeng. Gatot Subroto (wakil Kasad) juga dicopot. Saya sendiri disuruh ke Amerika, ke Port Levenberg. Saya bilang, saya tidak mau. Sebab, Levenberg itu jatah untuk Panglima Divisi. Saya ini bekas Kasad. Akhirnya, saya disuruh ke Bandung, menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad), menggantikan Mokoginta. Di situ saya menjabat sejak 1 November 1952 sampai 13 Februari 1955. Sedangkan yang disuruh ke Levenberg adalah Mokoginta. Dia paling aktif menyiapkan peristiwa 17 Oktober itu. Gatot Subroto pulang ke Ungaran. Saya disebut-sebut sebagai calon pengganti Nasution sebagai Kasad. Kalau itu benar, saya nggak akan mau. "Wong Jowo iku ora ilok mbaleni sego wadang." (Tidak pantas bagi orang Jawa memakan kembali nasi basi). Dulu saya pernah Kasad. Lagi pula saya ini termasuk biang keladi 17 Oktober. Mana mungkin Bung Karno memilih saya. Kemudian saya menjadi Direktur Zeni Angkatan Darat (29 Februari 1955-24 Juni 1958). Di dalam pasukan Zeni itu ada Try Soetrisno (Pangab sekarang) dan 51 orang yang memiliki kemampuan rata-rata sama. Misalnya, Dirjen Imigrasi sekarang, Rony Sikap Sinuraya. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi gubernur. Semasa menjadi Direktur Zeni saya pernah membantu Panglima Jamin Ginting menyelesaikan PRRI/Permesta. Saya ada di Sumatera kira-kira lima bulan. Saya berusaha agar konflik tersebut dapat diselesaikan tanpa meninggaikan rasa sakit hati. Boleh dikatakan saya bertindak sebagai penengah antara pihak Jamin Ginting (pemerintah) dan Kolonel Simbolon (PRRI). Saya bilang kepada orang PRRI, "Kalau memang Pemerintah tidak becus melaksanakan pembangunan, dengan cara kalian ini pelaksanaan pembangunan akan lebih jauh lagi." Saya juga ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa PRRI adalah persoalan dalam negeri yang bisa diselesaikan dengan baik. Negara lain tak usah campur tangan. Anda tahu kan, AS ketika itu diduga terlibat membantu PRRI.

KONFRONTRASI INDONESIA-MALAYSIA BUNG Karno menunjuk saya sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Malaya (1 Juni 1963--25 Agustus 1963). Jadi sebelum sempat terbentuk Malaysia, saya sudah ditarik pulang. Saya ini bangsawan, orang keraton. Bung Karno tahu yang paling berkuasa di Maldya juga keluarga bangsawan. Suatu malam diadakan pertunjukan kesenian Indonesia. Saya dipersilakan duduk di kursi yang biasanya dipakai oleh Yang Dipertuan Agung, kepala negara Malaya. Kawan-kawan duta besar dari negara sahabat mengomel, "Mengapa you, Duta Besar Indonesia, duduk di tempat yang cuma diperuntukkan Yang Dipertuan Agung?" Sambil bergurau saya menjawab, "Begini. Rakyat Malaya itu separuh kepunyaan Yang Dipertuan Agung, separuh lagi kepunyaan saya. Soalnya, Yang Dipertuan Agung itu keturunan Bugis." Orang sering tidak tahu apa yang dihasilKan oleh Kabinet Dwikora. Ketika itu saya ikut menyusun Deklarasi Malaya, Filipina, Indonesia (Maphilindo)-suatu kawasan damai di Asia Tenggara. Indonesia dan Malaya mengakui Mindanao sebagai bagian integral dari Filipina. Tetapi Indonesia dan Malaya minta otonomi yang seluas-luasnya untuk wilayah itu. Yang penting lagi adalah Malaya, Filipina, Indonesia tidak akan menerima pangkalan asing. Apabila masih ada pangkalan asing di kawasan ini, sifatnya hanya sementara. Pangkalan asing itu juga tidak boleh dipakai untuk melancarkan subversib ke negara tetangganya. Ternyata Malaya merasa keberatan melaksanakannya. Tentara Inggris masih berada di negara itu. Bung Karno tidak suka. Inilah yang mempertajam konfrontasi. Maklum, selain sedang dilanda gelombang anti-Barat, kita masih mencurigai Inggris. Bung Karno menghendaki agar pemerintah Malaya tidak memberi izin kepada Inggris membangun pangkalannya di sana. Tetapi pemerintah Malaya mempertahankannya. Kata Pemerintah Malaya, "Apa sih Indonesia maunya? Kalau Inggris keluar dari sini, saya harus menghadapi kaum komunis Cina. Indonesia enak. Kaum komunisnya orang Indonesia sendiri." Bung Karno tidak menerima alasan tersebut. Hubungan Indonesia-Malaya pun semakin runcing. Saya dipanggil pulang dan didudukkan menjadi Penasihat Presiden untuk urusan konfrontasi. Praktis, saya menjadi Dubes di Malaya hanya kira-kira 100 hari. Sebagai penasihat, saya mencoba menyadarkan Bung Karno bahwa desakannya--agar Malaya mengusir Inggris--momentumnya tidak tepat. Kalau dipaksakan justru akan menyulitkan Malaya karena persoalan komunis Cina itu. Di tengah suasana runcing itu datang Jaksa Agung Amerika Bob Kennedy, adik Presiden Amerika Robert Kennedy. Bob menyarankan agar Bung Karno membubarkan Dwikora dan mengadakan gencatan senjata. Bung Karno segera mengadakan sidang, dihadiri para menteri Kabinet Dwikora, membahas saran Bob itu. Saya juga hadir. "Bagaimana pendapat saudara-saudara?" kata Bung Karno. Saya memberikan pendapat: "Katanya kita ini tidak perang dengan Malaya. Mengapa sekarang kita akan mengadakan cease-fire? Artinya, kita mengakui perang dengan Malaya?" Bung Karno menggebrak meja. Brak! Pokoknya, saya perintahkan cease-fire (gencatan senjata). Menjelang meletusnya G30S-PKI, Bung Karno memang sudah menunjukkan sikap yang cenderung keras, ingin selalu didengar. Fisiknya sudah tidak baik. Sepuluh hari setelah peristiwa G30S-PKI, saya berangkat ke Kerajaan Maroko sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh. Saya tidak tahu persis kejadian-kejadian yang berkaitan dengan G30S-PKI. Selama di Maroko saya tidak banyak tahu perkembangan Indonesia. Rakyat Maroko, sepengetahuan saya, tidak mengikuti perkembangan terakhir di Indonesia. Mereka tidak mengikuti peristiwa G30S-PKI dan pergantian kehasaan yang terjadi--saya tidak mau mengatakan Bung Karno jatuh atau dijatuhkan. Walaupun di sana ada taman yang bernama Sukamo. Jadi sebenamya negeri kita dikenal di sana. Sebab, ketika Maroko baru saja merdeka, yang membiayai perjuangannya di PBB adalah Indonesia. Saya hanya setahun di Maroko - Duta Besar. Kemudian pindah ke Prancis - Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Prancis merangkap Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Kerajaan Spanyol, merangkap Kepala Perwakilan tetap RI pada markas besar United Nation Educational, Scentific, and Cultural Organization (UNESCO) di Paris. Tugas Duta Besar waktu itu sangat berat, karena negara baru dilanda krisis politik. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dari Presiden Soekarno kepada Presiden Suharto.

Selanjutnya, sebagai purnawirawan, saya menjadi anggota Penqurus Besar Persatuan Pumawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) dari 1970- 978. Lalu, dari 1978-1983 menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Zaman Bisnis BERSAMAAN waktunya ketika saya diangkat menjadi anggota DPA, Pak Harto meminta saya untuk duduk di Tim P-7, sampai sekarang. Siapa bilang tim ini tidak penting? Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P-7) adalah satu-satunya lembaga yang bisa omong dengan bebas dengan Presiden. Siapa yang bisa bicara blak-biakan dengan Pak Harto selain Tim P-7? Siapa? Apa ada menteri yang berani blak-blakan? Ora wani--tak berani. Secara rutin Tim P-7 sekali dua bulan atau sekali tiga bulan berbicara dengan Pak Harto. Setiap kali pertemuan berlangsung rata-rata sekitar satu setengah jam. Apa yang dibicarakan, itu rahasia kami.



Sumber CV Djatikusumo: Solichin Salam


ANAK-ANAK DIDIK DJATIKUSUMO di PASUKAN T RONGGOLAWE/PASUKAN T SAD

Anggota Pasukan T Ronggolawe yang gugur pada perang kemerdekaan:

Soekandar, 21 tahun
Gugur ditembak di jembatan bengawan solo di cepu dalam pertempuran di Cepu antara batalyon Ronggolawe melawan pasukan-pasukan PKI yang lebih besar, Oktober 1948. Dimakamkan di TMP Cepu.

Hadi Tjahjono, 23 tahun
Gugur waktu menjabat wedana militer jakenan. Ia disergap dan ditembak pasukan Belanda di Kecamatan Puncakwangi, Kabupaten Pati. Dimakamkan di TMP Semaki Yogya.

Soewarsono, 21 tahun
Gugur sewaktu menjabat wedana militer kayen Januari 1949 dimakamkan di TMP Pati.

Kisbandi, 20 tahun
Tertembak sewaktu pertempuran dengan patroli anjing Nica di dekat Salman Magelang Januari 1949. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.

Waluyo Hadisaputro, 20 tahun.
Ditembak Belanda di tepi Kali Progo, dekat jembatan Plikon, Megelang. Jenazahnya tidak ditemukan dan menjadi rahasia deru air Kali Progo.

Harsono, 20 tahun.
Ditembak patroli anjing Nica di dekat Desa Nganti sebelah timur kota Magelang. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.

Perjalanan Anggota Pasukan T Ronggolawe yang tidak gugur pada perang kemerdekaan, antara lain:

Ir. Hermawan Kartowisastro
Lahir 8 April 1930 di Semarang. Sebagai pelajar Angkatan Perang menyelesaikan studi dalam jurusan Bangunan Mesin (S1) di University of Birmingham Inggris tahun 1957, untuk kemudian bertugas di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Selesai pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL) Angkatan VIII tahun 1971, ditugaskan di perusahaan dok dan galangan kapal PT. Pelita Bahari Persero, sebagai pimpinannya. Perusahaan ini pada tahun 1980 menjadi galangan kapal yang termodern dan memelopori pembangunan kapal dengan sistem blok di Indonesia.

Aman Suyitno, BA, Kol. CPM (purn)
Lahir 25 Desember 1927 di Kendal. Melanjutkan kariernya di Kepolisian Militer, dengan penugasan di luar jawa, antara lain di Sulawesi Selatan. Kemudian menjelang pensiunnya pada tahun 1983, di tugaskaryakan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rinto Suleiman, Kol. Kav (purn)
Lahir 17 Juni 1930 di Lhoksumawe. Menyelesaikan pendidikan militernya di Koninklijke Militaire Akademie (KMA), Breda Negeri Belanda, dalam kesenjataan kaveleri, lulus tahun 1995. Rinto Suleiman pada tahun 1963 menjadi anggota Kontingen Indonesia Garuda II, ke Kongo, dan pada tahun 1968-1971 menjadi Liason Officer RI untuk Kucing, Serawak di Malaysia.

Soewondo, SH, Kol. CKH (purn)
Lahir 1 November 1928. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat, Soewondo mengikuti pendidikan pada Akademi Hukum Militer (AHM), untuk kemudian menyelesaikan studi kesarjanaan (SH) pada Universitas Diponegoro (Undip). Jabatan terakhir yang dipegang adalah Inspektur Jenderal Departemen Pertanian RI tahun 1983 -1988.

Kartono S. Hamidjojo, Kol. Art (purn)
Lahir 11 November 1929. Melanjutkan karier di bidang militer melalui pendidikan di Sekolah calon perwira artileri di Cimahi tahun 1952, dilanjutkan ke Scholl of Artillery, Sydney Australia tahun 1963. Pada tahun 1968 beralih tugas ke bidang non militer di lingkungan Sekretariat Negara/Menko Kesra, hingga pensiun tahun 1990.

dr. Susilo Wibowo, Marsma TNI (purn)
Lahir 30 Desember 1930. Menyelesaikan studinya sebagai dokter di Universitas Indonesia pada tahun 1960. Menjadi dokter AURI dan mengkhususkan dalam “Aerospce Medicine” di Leningrad Rusia, pada tahun 1964 dan kemudian menjadi Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, tahun 1978. Setelah pensiun tahun 1985, menggeluti masalah Gerontologi.

Susatmoko
Lahir 27 Mei 1926 di Tegal. Meniti karir di Pertamina sejak tahun 1995. Susatmoko menyelesaikan pendidikan Ahli Minyak pada tahun 1985. Bertugas di instalasi perminyakan Pertamina di berbagai tempat dan sebelum pensiun tahun 1987, menjabat sebagai Kepala Pabrik Aspal, Unit Pengolahan Pertamina di Wonokromo.

Prof. Dr. Kardono Darmoyuwono
Lahir 25 Oktober 1928. Menyelesaikan studinya di jurusan geografi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Membaktikan dirinya di UGM dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Geografi UGM tahun 1971-1975. Kardono adalah juga Deputi Ketua Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1970-1984.

Prof. Dr. Setijadi (Nong)
Lahir 18 April 1929. Setelah lulus tahun 1950 didemobilisasi, melanjutkan di Universitas Gadjah Mada (UGM), di bidang Paedagogi dan menyelesikan studinya S3 pada Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat, pada tahun 1964. Setelah menjabat Kepala Badan Litbang Depdikbud, Setiadi ditugaskan untuk merintis mendirikan Universitas Terbuka (UT). Dari tahun 1984-1992 ia menjabat rektor pertama (founding rector) Universitas Terbuka.

Prof. Suwondo B. Sutedjo, Dipl. Ing
Lahir 2 Juni 1928 di Pekalongan. Setelah tahun 1950 ia melanjutkan studinya di Technische Hogeschool di Delf, Nederland, jurusan Bouwkunde (Arsitektur) dan karena ada gejolak politik pada waktu itu, ia terpaksa pindah ke Jerman dan menyelesaikan studinya (Dipl. Ing) pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia Bismo dikenal sebagai Suwondo B. Sutedjo, mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB) dan kemudian pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari tahun 1972-1978 menjadi ketua jurusan Arsitektur dan kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (1974-1978).

Mardiono, Laksda TNI (purn)Lahir 27 November 1927 di Bogor.
Pada tahun 1947, Mardiono bersama Sularso dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia mendaftarkan diri pada Institute Angkatan Laut, Morokrembangan Surabaya sebagai kadet pelaut Angkatan ke 2. Pada tahun 1961 ia dikirim ke Vladivostok, Rusia, untuk mengikuti pendidikan kapal selam. Pada tahun 1962, masa TRIKORA, dengan kapal selam "Tjandrasa" yang ia komandoi, ia berhasil memasuki teluk tanah merah, barat laut kota Holandia (Jayapura sekarang), untuk mendaratkan sepasukan RPKAD. Atas keberhasilan operasi yang penuh resiko itu, Mardiono dan seluruh ABK KS "Tjandrasa" dianugerahi Bintang Sakti oleh Negara. Pada tahun 1963 ia mengikuti SESKO AL di Leningrad Rusia. Dari tahun 1974-1976 ia menjabat komandan Eskader, untuk kemudian menjadi Gubernur AKABRI bagian laut 1977-1983.

Sudharmono, SH, Letjen TNI (purn)
Lahir 12 Maret 1927 di Cerme Gresik. Sudharmono menempuh Pendidikannya dari SD, SMP, SLTA, Akademi Hukum Militer (1956) dan Perguruan Tinggi Hukum Militer (lulus tahun 1962) serta SESKOAD. Kariernya dimulai dengan Komandan Pasukan T SAD ( ex Divisi Ronggolawe) (Clash ke-2 1949), Perwira Staf Pusdik Perwira AD (1950-1952), Jaksa Tentara, merangkap Perwira Staf Penguasa Perang Pusat, Medan (1957-1961), Jaksa Tentara Tinggi, merangkap Perwira Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Asisten Bidang Sosial Sekretariat Pembantu Pimpinan Revolusi, Wakil Ketua II Gabungan 5 Koti, Ketua Tim Penertiban Personil Pusat (1962-1966), Sekretaris Kabinet, merangkap Sekretaris Dewan Stabilisasi Ekonomi (1966-1972), Menteri Sekretaris Negara (1973-1988), Wakil Presiden RI (1988-1993). Sudharmono meninggal dunia pada tanggal 25 Januari 2006 pukul 19.40 setelah menjalani perawatan selama dua pekan di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Jakarta akibat infeksi paru-paru dan komplikasi penyakit lain. Jenazahnya dimakamkan sekitar pukul 10.00 pada hari Kamis 26 Januari 2006 di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan

Drs. Adiwoso (Peppy) Abubakar.
Lahir 15 Agustus 1925 di Semarang. Pada tahun 1947, sewaktu Pasukan T Ronggolawe resmi di bentuk di Cepu, Peppy Adiwoso ditunjuk sebagai Komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah tahun 1950 ia menyelesaikan studinya di Akademi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dan selanjutnya berkarier di Departemen Luar Negeri. Jabatan-jabatan penting sebelum ia pensiun, antara lain: Dubes RI di Brazil, Dirjen Sekretariat Nasional ASEAN, DUBES RI untuk Kanada.

Soesatijo (Lippy)
Lahir 29 Juli 1925. Selesai latihan Opsir Tjadangan di Salatiga (1946), pada tahun 1947 ia mendaftarkan diri ke AURI untuk menjadi penerbang. Akhir tahun 1947, bersama 20 kader AURI lainnya diterbangkan ke India dengan RI-002, dengan pilot Bob Freeberg, co-pilot Petit Moeharto dan telegrafis Budiardjo, tetapi karena cuaca terpaksa mendarat di Changi Singapore. Para calon penerbang baru sampai ke India pada bulan Mei 1948. Lippy dan 3 kadet penerbang lainnya dipilih dan ditarik ke Birma untuk menjadi pilot Indonesian Airways dan langsung menerbangkan Dakota RI-001 Seulawah. Lippy baru kembali ke Indonesia tahun 1950 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan langsung masuk skwadron bomber B-25 AURI untuk terbang operasi. Tahun 1954 pindah ke penerbangan sipil sebagai pilot instruktur/Captain Dakota bangsa Indonesia yang pertama di Sekolah Penerbangan Curug.

dr. R Sunaryo, Marsda (purn)
Lahir 4 September 1925 di Magelang. Pada akhir 1947, sewaktu masih bertugas di Divisi Ronggolawe, Sunaryo dipanggil ke Yogya dan diperbantukan kepada AURI, dalam rangka tugas penyelundupan ke luar negeri. Ia sempat terdampar di Singapura. Menyelundup kembali ke Sumatera, kemudian oleh pimpinan AURI di ACEH diangkat menjadi OMU-1 (Opsir Muda Udara). Pada 1949 ia kembali ke Jawa, membantu Local Joint Committee (JLC). Lulus dokter dari Universitas Indonesia tahun 1956 dan menjadi dokter pangkalan AU di Kalijati Malang dan Jakarta. Jabatan sebelum pensiun: Direktur Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra), Kapuslitbang AU, Kapuslitbang Hankam dan Direktur Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Slamet (Gebod) Danusudirdjo, Mayjen TNI (purn)
Lahir 4 April 1925. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat. Tahun 1950 ia dikirim ke Belanda untuk mengikuti pendidikan pada sekolah infanteri dan artileri, kemudian dilanjutkan pada Ecole d"Aartillerie Anti Airienne (Sekolah Artileri Pertahanan Udara) di Lombardzyde Belgia. Pendidikan Sesko ditempuh pada Woyena Akademia M.W.Frunze, Moskwa Uni Soviet pada tahun 1963. Pernah menjabat antara lain: Dirjen Bea Cukai Departemen Keuangan RI 1972, Ketua Team Walisongo, Sekjen Dephub RI tahun 1973-1976, Deputy Ketua Bappenas, Anggota DPA tahun 1983-1988 dan Rektor Institute Kesenian Jakarta (IKJ). Slamet Danudirdjo juga seorang penulis novel dengan nama samaran Pandir Kelana. Novelnya antara lain: Kadarwati; Ibu Sinder; Suro Buldog; Kereta Api Terakhir, ada beberapa diantaranya telah dibuat film.

Soelarso, Mayjen TNI (purn)
Lahir 11 April 1929 di Semarang. Tahun 1947 bersama Mardiono dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda waktu bertugas combat intelegence di Demak. Dibebaskan dari Penjara Nusakambangan Desember 1949 berdasarkan kelanjutan hasil Konferensi Meja Bundar. Sularso melanjutkan karier militernya, masuk ke Koninklijke Militaire Akademie (KMA) di Breda Nederland taman 1954. Jabatan yang pernah di emban: Atase Militer RI di Moskow (1971-1974), Pangdam III/17 Agustus (1979-1981) dan Pangdam V/Brawjijaya (1983-1985), AsPam Kasad, dan kemudian Gubernur KDH Jawa Timur dan Duta Besar RI di Ankara, Turki.

Rochani (Hanny) Syamsudin, SH, Kol. Inf. (purn)
Pada tahun 1947, Hanny bersama Sularso dan Mardiono ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia melanjutkan pendidikan perwira di Pusat Infanteri dan kemudian menjadi guru/instruktur di pusat infanteri itu. Ia berhasil meraih gelar kesarjanaannya di Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Pada tahun 1970, Hanny di karyakan ke Departemen Pariwisata dan sebelum pensiun menjabat Ka Kanwil Pariwisata DI Yogyakarta.

Hardijono, Brigjen TNI (purn)
Lahir 7 Desember 1929 di Kendal. Melanjutkan karier militer di Angkatan Darat. Di didik menjadi perwira ahli radar dan fire control di Akademi Teknik Artileri Pertahanan Udara di Leningrad, Rusia (1962-1963). Menjabat Asisten Direktur Research dan Pengujian Materiel (Resumat) Angkatan Darat, Atase Militer RI di Paris (1971-1974), Kepala Pusat Pengolahan Data Hankam (1983-1985) dan jabatan terakhir sebelum pensiun, Kepala Badan Pengembangan Industri dan Teknologi (BPPIT) Hankam (1983-1988)

Slamet Sukardi, Mayjen Pol (purn)
Lahir 14 Mei 1927 di Purwokerto. Setelah tahun 1950, mengawali karier di Kepolisian RI melalui pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), taman tahun 1953. Mengikuti pelatihan Company Advance Course di Front Benning USA. Jabatan terakhir: Komandan Jenderal Komando Logistik (Danjen Kolog).

Soejitno Soetopo, Brigjen TNI (purn)
Lahir 21 September 1926. Pada waktu Pasukan T Ronggolawe dibentuk tahun 1947, Soejitno diangkat menjadi wakil komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah tahun 1950 meniti karier di kesenjataan Zeni Angkatan Darat. Menjadi Atase Pertahanan RI di Manila, Filipina (1971-1974), Direktur Pendidikan di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) (1975-1981), dan kemudian diangkat menjadi Deputi Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 1981-1986.

Krishnamurti Samil
Lahir 3 September 1928 di Tanjungkarang. Setelah tahun 1950 ia meniti karie di bidang sipil. Pada tahun 1978-1988 ia menjabat Sekretaris Menteri/Sekretaris Negara. Kemudian pada tahun 1988 dianggkat sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk masa jabatan lima tahun.

Entjung Abdullah Sadjadi, Brigjen TNI (purn)
Lahir 31 Juli 1929. Setelah latihan opsir cadangan salatiga (1946), ia menjadi komandan TP Purowokerto, Batalyon 400. Setelah tahun 1950 melanjutkan kariernya di TNI Angkatan Darat, khususnya di bidang penerangan. Jabatan terakhir: Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Hankam (1983).

Ismail Saleh, SH Letjen TNI (purn)
Lahir di Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926. Setelah lulus HIS tahun 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Kemudian melanjutkan ke SMA dan tamat tahun 1950. Setelah itu ia masuk Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. Ismail mengawali karirnya sebagai anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta, anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949), Direktorat Kehakiman Angkatan Darat (1952), Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958), Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960), Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur dan Manado (1960-1962), Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962), dan Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968).Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi Pemerintahan (1972). Sekretaris Kabinet (1978). Direktur LKBN Antara (1976-1979).Pj. Ketua BKPM, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981)Jaksa Agung (1983-1988). Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Meninggal dunia Selasa malam (21 Oktober 2008), pukul 22.30 WIB di RSCM Jakarta dalam usia 82 tahun, karena sakit