Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI

Fakta Terselubung Dibalik Kisah G30S PKI
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Potongannya seperti preman
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal.“Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.“Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.

Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. “Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung. Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.

Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.“Itu tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati. Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.

Peristiwa G 30 S PKI
Terilhami dari tulisan Jarar Siahaan di BatakNews yang berjudul “Pantaskah Soeharto Diampuni”, dan dari peringatan 9 tahun turunnya Rezim Soeharto, berdasarkan fakta dari kejadian yang terjadi 42 tahun silam di Jakarta, tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Ada seorang ahli sejarah yang sempat meneliti tentang kejadian yang menimpa bangsa kita di tahun 1965, mengatakan bahwa di tahun 1965, di Indonesia hanya ada satu Jendral dan dia adalah Mayjen TNI Soeharto. Menurut ahli sejarah itu juga termakan image yang sengaja dibuat Soeharto bahwa dia adalah orang yang paling berjasa atas dibubarkannya Partai yang kini dianggap sebagai partai terlarang di negeri kita.
Soeharto adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi dan juga memegang salah satu jabatan penting dalam jajaran TNI sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno, Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang tidak terlalu diperhitungkan. Itu juga menjadi penyebab tidak terteranya nama Soeharto dalam daftar 7 jendral yang menjadi target pembunuhan dalam pemberontakan PKI. 7 Jendral yang menjadi target operasi PKI (Baris pertama kiri-kanan) Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Baris kedua Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean.
Apa mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi arsitek Serangan Umum 1 Maret atas Kota Yogya yang berhasil menguasai Kota Yogya selama 6 jam yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah Soekarno mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi. Pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru) namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh seorang perwira tinggi bernama Soeharto. “Resolusi Dewan Jendral” yang sempat beberapa kali disebutkan dalam film tersebut, hal itu benar adanya. Resolusi Dewan Jendral memang ada. Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang merencanakan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan. Para pemimpin PKI kala itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi Dewan Jendral. Mereka khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi mereka berada di ujung tanduk. Untuk itu mereka harus bergerak cepat, berpacu dengan waktu untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral mendahuluinya. Rakyat yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya sebuah pemberontakan. PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan kekejaman. Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat itu pada akhirnya berhasil membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam dan berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah negara yang masih muda ini. Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang telah didoktrinnya untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral. PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI adalah pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai politik sosialis demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala itu yaitu pemerataan.
Karena PKI takut kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September. Para pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikitpun mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama sekali. Disisi lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jendral dan mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun dia hanya diam. Soeharto juga memiliki kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting dan kembali diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini sehingga dia bisa mendapat jabatan yang lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan PKI melakukan aksinya dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang jabatan penting di negara. Dengan demikian akan semakin berkurang saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih penting dari sekedar panglima Kostrad. Tanggal 30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral yang menjadi target operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada masa pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili dengan cara mereka. Massa dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral tersebut.

Fakta Di Balik Peristiwa G 30 S PKI
Pagi harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum dalam hati karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi. Ambisinya untuk menguasai negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia miliki hanya tinggal selangkah lagi.
Tahukah anda apa sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto sebelumnya yang disimpannya baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI membunuh ketujuh Jendral tersebut, lalu memfitnah PKI telah melakukan kudeta terhadap Soekarno sehingga orang-orang PKI yang mengetahui fakta sejarah dapat dengan mudah disingkirkan dengan cara difitnah. Doktrin yang dilontarkan Soeharto adalah bahwa PKI akan melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Mungkinkah PKI akan menggulingkan pendukung terkuatnya? Tidak masuk akal. Ingat PKI dan Soekarno saling mendukung, apa mungkin PKI melakukan hal itu? Pagi harinya Soeharto bergerak cepat dan melangkahi tugas beberapa orang jendral atasannya dengan memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara tanpa meminta restu dari Presiden. Di buku sejarahku waktu SD ditulis, “Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas memegang tampuk pimpinan TNI yang lowong sepeninggal A Yani.” Kalau bisa dan boleh aku ingin mengedit tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan lancang Soeharto memegang tampuk pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang harusnya dimintai restu oleh Soeharto atas inisiatifnya memegang tampuk pimpinan TNI. Lalu dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk beluk aksi PKI ini menumpas PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, para pelaku pemberontakan PKI ditangkap dan sebagian lagi kabarnya melarikan diri ke luar negeri. Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa PKI telah melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI bermaksud menggagalkan kudeta yang akan dilancarkan oleh para jendral tersebut. PKI dijadikan kambing hitam oleh Soeharto atas apa yang memang diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk menguasai negeri ini berhasil.

Penguasaan Kembali Gedung RRI Pusat
Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI menculik dan membunuh 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat yang yang dinilai sebagai penghalang utama rencana mereka untuk merebut kekuasaan Negara. Pagi itu pula mereka berhasil menguasai Gedung RRI dan Gedung Pusata Telekomunikasi. Di bawah todongan pistol, seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan bahwa G-30-S telah menyelamatkan Negara dari usaha kudeta “Dewan Jendral”. Tengah hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara  dan pendemisioneran cabinet. Untuk menghentikan pengumuman-pengumuman yang menyesatkan rakyat itu, Panglima Komando Tindakan Strategi Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto yang telah mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat memerintahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk membebaskan Gedung RRI Pusata dan Gedung Telekomunikasi dari penguasaan G-30-S PKI. Operasi yang dimulai pukul 18.30, dengan mengerahkan kekuatan satu kompi dalam waktu hanya 20 menit, RPKAD berhasil menguasai kembali gedung vital itu. Pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965 RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio Mayjen Soeharto yang menjelaskan adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui G-30-S.

Penangkapan D.N. Aidit ( 22 November 1965 )
Setelah G 30 S PKI mengalami kegagalan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam ketua CC PKI D.N. Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di Yogyakarta, kemudian berpindah-pindah tempat dari Yogyakarta ke Semarang. Selanjutnya ia ke Solo untuk menghindari operasi pengejaran yang dilakukan oleh RPKAD. Tempat persembunyiannya yang terakhir di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede. Daerah ini merupakan basis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa yang bernaung dibawah PKI. Melalui operasi intelijen, tempat persembunyian D.N. Aidit dapat diketahui oleh ABRI. Tengah malam tanggal 22 November 1965 pukul 01.30 rumah tersebut digrebek dan digledah oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hamper gagal ketika pemilik rumah mengatakan bahwa D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih baru, koper dan radio yang menandakan hadirnya seseorang yang lain di dalam rumah itu. Penggeledahan dilanjutkan. Dua orang Pekuper menemukan D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari. Ia langsung ditangkap dan kemudian dibawa ke Markas Pekuper Surakarta di Loji Gandrung, Solo.

Supersemar
Suasana negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih muda ini serasa berasa di titik paling bawah dari keterpurukannya. Perekonomian anjlok, harga bahan pangan menjulang, bahan pangan susah didapat dimana-mana, kerusuhan pecah di seluruh wilayah negeri ini. Beberapa elemen masyarakat melakukan aksi yang berbuntut dengan dicetuskannya Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi Tritura adalah:
     1. Bubarkan PKI
     2. Turunkan Harga
     3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI
Aksi beberapa elemen masyarakat ini di awali dengan aksi yang digelar oleh mahasiswa yang menamakan dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Gerakan mahasiswa ini juga diikuti oleh elemen masyarakat lain seperti Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah yang kemudian memicu pecahnya revolusi di negara ini. Semakin lama situasi negara semakin memburuk. Situasi ini akhirnya yang memaksa tiga orang Jendral yaitu Letjen (yang baru naik pangkatnya) Soeharto, Brigjen Amir Machmud dan Brigjen M Yusuf untuk menemui presiden dan memaksa presiden agar segera memenuhi tuntutan rakyat. Tritura harus dipenuhi jika presiden ingin mengembalikan situasi negara ke arah yang kondusif. Soekarno menolak memenuhi tuntutan rakyat. Soekarno tahu bahwa ini semua hanya kerjaan Soeharto yang memfitnah PKI sebagai pemberontak. Soekarno tahu betul, tidak mungkin PKI berkeinginan untuk menggulingkannya namun Soekarno tidak memiliki bukti yang otentik atas pernyataannya tersebut. Soekarno tahu bahwa aksi yang dilakukan oleh PKI dengan nama G 30 S PKI hanya bertujuan untuk menumpas rencana kudeta militer yang akan dilakukan oleh sekelompok perwira tinggi yang menamakan dirinya Dewan Jendral. Setelah gagal untuk memaksa presiden memenuhi tuntutan rakyat, ketiga jendral tersebut berinisiatif membuat sebuah surat perintah atas nama presiden. Isi surat perintah yang diberi nama Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) hingga kini hanya diketahui oleh hanya 4 orang, ketiga jendral tersebut dan Soekarno, namun karena tiga diantaranya kini telah meninggal dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi sejarah yaitu Soeharto. Sayang, Soeharto pun tidak ingin rakyat Indonesia tahu apa isinya, maka dia lenyapkan supersemar yang asli dan buat sebuah surat perintah yang palsu seperti yang kita tahu belakangan ini. Teks Supersemar yang palsu, sedangkan yang asli, hingga kini tidak ditemukan bangkainya Supersemar yang telah rampung dibuat diserahkan kepada Soekarno untuk ditandatangani, namun Soekarno menolak untuk menandatanganinya. Soekarno tidak mau membubarkan PKI namun juga tidak mempunyai alasan yang kuat atas kehendaknya tidak ingin membubarkan PKI. Sementara rakyat telah didoktrin oleh Soeharto bahwa PKI telah melakukan pengkhiatan terhadap negara dan ingin menguasai negara ini dan menjadikannya negara berfaham Komunis. Menurut pengakuan dari seorang kakek tua tak lama setelah Soeharto lengser, bahwa dulu ia bekerja di Istana Merdeka. Tugasnya adalah mengantarkan minuman buat presiden. Pada saat ketiga jenderal itu sedang berada di ruang kerja presiden, sang kakek memasuki ruangan dengan maksud ingin mengantarkan minuman bagi presiden dan ketiga tamunya. Terkejutlah ia saat melihat presiden sedang menandatangani sebuah surat yang diyakininya sebagai supersemar di bawah todongan Pistol. Pada saat sang kakek mengungkapkan kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup, maka ia diwawancarai oleh kru TV sehubungan dengan pernyataan sang kakek. Karena M Yusuf berada pada posisi netral maka ia yang diwawancarai. Tapi sayang, saya sangat yakin bahwa fakta yang diungkapkan sang kekek benar adanya, tapi demi menyelamatkan sejarah yang sudah terputar balik dan tak mungkin diubah lagi, maka Jenderal M Yusuf membantah bahwa presiden menandatangani supersemar di bawah todongan pistol. Tapi saya yakin dan sangat percaya, Jendral M Yusuf yang kala itu sudah pensiun membantah hal itu karena ia sadar, jika ia bongkar rahasia ini, maka terbongkarlah semua fakta sejarah dan Indonesia kembali terombang ambing dalam keraguan. Mana yang benar? Sejarah versi Soeharto atau M Yusuf. Akhirnya supersemar ditandatangani oleh Soekarno, namun supersemar tidak ditujukan kepada Soeharto. Hal ini membuat Soeharto panas, entah dengan cara apa, Soeharto berhasil melenyapkan surat itu dan membuat pernyataan palsu dengan mengatakan bahwa supersemar ditujukan kepadanya untuk memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara dan mengembalikan stabilitas nasional. Dua langkah Soeharto berhasil. Maka berpedoman pada surat perintah palsu yang dibuat oleh Soeharto sendiri, ia mulai bergerak dan membubarkan PKI serta antek-anteknya. Sebagian besar masa pendukung PKI, Gerwani dan berbagai organisasi massa lain bentukan PKI dibantai secara masal, sebagian lagi dipenjara. Ini dilakukan untuk menghilangkan jejak sejarah agar semua kebusukan yang dilakukan oleh Soeharto tidak terungkap. PKI dijadikan kambing hitam karena memang PKI pernah melakukan percobaan kudeta di tahun 1948. Ini dijadikan alasan bagi Soeharto untuk semakin menjatuhkan PKI. Setelah PKI dibubarkan, dengan wewenang palsunya Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah Partai terlarang di Indonesia karena bertentangan dengan Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Pidato pertanggungjawaban Soekarno dalam Sidang Umum MPRS tahun 1968 ditolak oleh MPRS. Semua dipicu dari lambatnya Soekarno membubarkan PKI dan menjawab Tritura. Setelah itu dipilihlah seorang penjabat presiden hingga masa kepemimpinan Soekarno berakhir. Pada saat itu memang tak ada pilihan lain, Soeharto menjadi satu-satunya orang yang paling pantas memegang jabatan itu. Soekarno (mungkin dengan berat hati) menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto. Sejak saat itu Soeharto resmi memegang jabatan sebagai Presiden RI melaui TAP MPRS No XLIV/MPRS/1968 dan berkuasa selama 32 tahun hingga akhirnya digulingkan juga dengan cara yang sama seperti ia berusaha menggulingkan Soekarno pada tahun 1968. Soeharto ketika diambil sumpahnya pada pelantikan dirinya sebagai presiden kedua RI

Buku Letjen (Pur) Sintong Panjaitan

Catatan A. Umar Said
Buku Letjen (Pur) Sintong Panjaitan
 yang membikin heboh
Diterbitkannya buku “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” tentang berbagai pengalaman Letjen (Pur) Sintong Panjaitan,yang diluncurkan 11 Maret 2009, merupakan peristiwa yang menarik sekali dalam sejarah kemiliteran di Indonesia pada khususnya dan sejarah bangsa pada umumnya. (Letjen Sintong Panjaitan adalah mantan Panglima Kodam Udayana, yang sesudah dicopot oleh presiden Suharto sekitar tahun 1991 kemudian menjadi penasehat militer di staf khusus Presiden Habibi). Buku setebal 520 halaman yang ditulis oleh wartawan senior Hendro Subroto ini bukan merupakan biografi Sintong Panjaitan, dan juga bukan otobiografi. Melainkan serangkaian pengungkapan berbagai masalah yang terjadi di kalangan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berkaitan dengan sejumlah peristiwa politik penting di negeri kita.
Dari berbagai reaksi publik (lewat pers atau Internet) setelah terbitnya buku ini nampak dengan jelas bahwa munculnya buku ini di masyarakat merupakan peristiwa yang “shocking” (mengejutkan), yang buntutnya bisa panjang dan mempunyai dampak yang tidak kecil di kalangan militer pada khususnya. 
Sebab, buku ini bukan saja telah membeberkan sebagian dari kekeliruan atau pelanggaran berat yang telah dilakukan kalangan militer di masa Orde Baru, tetapi juga sebagian dari tindakan-tindakan atau posisi mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen (Pur) Prabowo Subianto, antara lain sekitar keterlibatan Tim Mawar yang telah melakukan penculikan dan penghilangan (dalam tahun 1997-98) terhadap sejumlah aktivis-aktis PRD, kasus penembakan besar-besaran terhadap demonstran-demonstran di makam Santa Cruz (Dili, Timor Timur), tragedi Mei 1998 di Jakarta yang mengakibatkan banyak sekali korban di kalangan Tionghoa.
Apa yang dikemukakan oleh Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam buku ini mengenai berbagai kasus Prabowo menjadi makin menarik, dihubungkan dengan pencalonan diri Prabowo sebagai presiden RI dalam pemilihan yang akan datang. Apa sajakah dampak terbitnya buku ini terhadap diri Prabowo, marilah sama-sama kita ikuti perkembangan selanjutnya.

Selama 32 tahun hanya sedikit dibongkar kesalahan ABRI
Buku yang berisi pandangan-pandangan kritis Sintong Panjaitan tentang berbagai masalah Angkatan Darat ini menunjukkan adanya perkembangan yang menarik di kalangan pensiunan petinggi militer. Sebab, kita semua ingat bahwa selama ini tidak banyak, atau belum banyak, tokoh-tokoh di kalangan militer sendiri (baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif) yang berani atau bisa menyuarakan --secara tegas dan terang-terangan -- hal-hal yang kritis tentang kesalahan, pelanggaran, atau peyalahgunaan kekuasaan oleh kalangan petinggi militer rejim Orde Baru (dan sesudahnya).
Padahal, seperti yang dialami sendiri oleh banyak orang, selama 32 tahun rejim Orde Baru telah terjadi banyak sekali kejahatan besar atau pelanggaran serius di bidang politik, ekonomi, sosial, Ham, termasuk korupsi yang merajalela di kalangan militer, yang kebanyakan dilakukan di bawah naungan Dwifungsi ABRI. Namun, selama 32 tahun itu (dan ini jangka waktu yang lama sekali, sekitar separoh dari umur Republik kita !), hanya sedikit sekali di antaranya yang dapat dibongkar atau diselesaikan secara hukum dan keadilan. Rejim militer telah berusaha -- dengan segala daya dan cara -- untuk menutupi, atau menyembunyikan, atau melindungi segala kebobrokan di kalangan militer. Dan ini berlangsung sampai Suharto dipaksa turun dari jabatannya. Mengingat besarnya dosa-dosa para petinggi militer dan luasnya kejahatan-kejahatan atau pelanggaran serius yang dilakukan selama puluhan tahun itu, maka apa yang diungkapkan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam buku ““Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” adalah sumbangan yang sangat penting dan berharga sekali dalam menegakkan kebenaran mengenai sejumlah peristiwa-peristiwa dalam sejarah kemiliteran Indonesia. Setidak-tidaknya, ungkapan-ungkapannya itu bisa merupakan pelengkap untuk menilai berbagai persoalannya dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Militer dibikin Suharto menjadi musuh rakyat
Bagi kita semua adalah amat penting dan sangat perlu untuk bisa melihat persoalan militer Indonesia dengan kacamata yang jernih dan pandangan yang luas dalam rangka sejarah bangsa dan demi kepentingan anak cucu kita. Sebab, adalah hal yang patut diprihatinkan atau disedihkan oleh kita semua bahwa militer Indonesia pernah dijadikan oleh Suharto beserta para jenderalnya musuh bagi rakyat Indonesia selama 32 tahun. Dengan pengkhianatan besar-besaran dan terang-terangan terhadap Bung Karno, tokoh besar anti-imperialis yang jarang tandingannya di dunia, Suharto beserta para jenderalnya telah memisahkan kalangan militer dari ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, bahkan memusuhinya. Dan adalah jelas sekali bahwa memusuhi ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno adalah pada hakekatnya memusuhi dan mengkhianati kepentingan rakyat banyak. Dalam sejarah bangsa kita, generasi kita yang sekarang dan juga yang akan datang, perlu mencatat bahwa militer Indonesia di bawah Suharto sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan, atau dihormati, atau dihargai, atau disayangi oleh sebagian terbesar rakyat kita. Seperti yang sudah disaksikan oleh banyak orang selama puluhan tahun, militer di bawah Suharto bukanlah pengayom rakyat, bukan pembela kepentingan rakyat, bukan pelindung rakyat. Perlu sekali ditulis dalam sejarah bangsa Indonesia, untuk bisa dilihat oleh anak-cucu kita di kemudian hari, bahwa diktatur militer Suharto adalah aib terbesar bangsa kita dan dosa terberat yang tidak boleh terulang lagi untuk kedua kalinya.

Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah dan Saurip Kadi
Dari sudut pandang inilah nampak pentingnya peluncuran buku yang berisi sebagian pandangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan tentang berbagai persoalan Angkatan Darat termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan segi-segi “gelap” kasus Prabowo, yang pernah menjadi komandan pasukan Kopassus dan panglima KOSTRAD. Berbagai ungkapannya tentang Prabowo ini merupakan bahan tambahan yang berguna bagi kita semua untuk melihat sosoknya sebagai capres dan tingkah lakunya dari macam-macam segi.
Sumbangan Letjen (Pur) Sintong Panjaitan juga menambah deretan pengkritik kesalahan-kesalahan pimpinan militer di bawah Suharto, yang pernah diajukan – dalam kadar yang berbeda-beda dan latar-belakang yang berlain-lainan pula – oleh antara lain alm Letjen Agus Wirahadikusumah (mantan Panglima KOSTRAD) dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi (asisten teritorial KSAD). Letjen Agus Wirahadikusumah dipandang oleh banyak kalangan sebagai reformis di bidang militer, berfikiran kritis tentang kesalahan dan kekurangan ABRI, dan menyuarakan soal-soal yang dianggap taboo oleh kebanyakan jenderal-jenderal lainnya. Bersama-sama dengan petinggi militer lainnya, antara lain Mayjen Saurip Kadi, dalam tahun 2000 ia telah membikin heboh di kalangan tingkat tinggi militer dengan adanya pertemuan-pertemuan di rumahnya yang melahirkan “Dokumen Bulak Rantai”. Kegiatan Letjen Agus Wirahadikusumah dan Mayjen Saurip Kadi untuk mengadakan reformasi di kalangan TNI ini ditentang oleh banyak jenderal lainnya yang setia dan patuh kepada segala perintah atau politik Suharto.

Pentingnya karya-karya kritis para petinggi militer
Karena besarnya desakan para jenderal pendukung Suharto inilah akhirnya baik Letjen Agus Wirahadikusumah maupun Mayjen Saurip Kadi “dikotakkan” (dicopot dari jabatannya). Letjen Agus Wirahadikusumah kemudian wafat (dalam tahun 2001) dengan mendadak di rumahnya, sedangkan Mayjen Saurip Kadi menekuni pengamatan bidang politik dan kenegaraan. Karya Mayjen Saurip Kadi yang terkenal adalah bukunya “TNI-AD, dahulu, sekarang dan masa depan” yang diterbitkan oleh Grafiti (Pusat Studi Masalah-masalah militer) dalam tahun 2000. Dalam buku ini ia telah mengungkap dengan cukup berani banyak kesalahan atau pelanggaran TNI-AD selama Orde Baru. Akhir-akhir ini (tahun 2008) Mayjen (Pur) Saurip Kadi menerbitkan buku “Mengutamakan rakyat” (228 halaman, cetakan huruf kecil), yang merupakan karya penting seorang mantan petinggi militer yang kritis terhadap berbagai praktek Orde Baru dan juga banyak mengajukan fikiran-fikiran baru mengenai pengelelolaan negara dan pemerintahan, yang menguntungkan kepentingan rakyat banyak. Dibandingkan dengan karya-karya para mantan petinggi militer lainnya, karya Mayjen (Pur) Saurip Kadi ini termasuk yang paling berani, paling menyeluruh mengenai banyak persoalan penting negara dan bangsa kita dewasa ini. Buku ini disajikan dalam bentuk wawancara (interview) panjang dengan seorang sahabatnya yang bernama Liem Siok Lan. Terbitnya buku “Perjalanan seorang prajurit Para Komando” (oleh Letjen Sintong Panjaitan) dan pernyataan-pernyataan Letjen Agus Wirahadikusumah dan buku-buku yang diterbitkan oleh Mayjen Saurip Kadi merupakan sebagian kecil sekali (tetapi sangat penting) dari usaha bersama untuk menelaah atau membongkar kesalahan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi ,kejahatan terhadap HAM, yang pernah dilakukan bertubi-tubi dan selama puluhan tahun pula oleh para petinggi militer di bawah pimpinan Suharto.

Di bawah Suharto, militer adalah musuh rakyat
Selama ini, sampai sekarang, tidak banyak atau belum banyak, petinggi militer (yang aktif maupun yang sudah pensiun) yang berani dengan tegas atau terus terang mengkritik berbagai kesalahan atau dosa-dosa Suharto beserta Orde Barunya. Padahal, sejak lama selama puluhan tahun, melalui kediktatoran militernya yang sangat kejam, bengis, dan kadang-kadang menyerupai fasis, Suharto dan para jenderal pendukugnya telah melakukan berbagai kejahatan serius atau pelanggaran besar di bidang politik, sosial, ekonomi yang membikin sengsaranya sebagian terbesar rakyat Indonesia.Kejahatan, pengkhianatan, pelanggaran, penyalahgunaan kekuasaan oleh Suharto beserta para jenderal pendukungnya tidak saja dilakukan terhadap Bung Karno berikut pendukung-pendukungnya (terutama golongan kiri, termasuk PKI) melainkan juga terhadap semua orang yang berani menentang atau tidak setuju dengan politik dan tindakan-tindakannya.
Karena itu, tidak salahlah kalau ada kalangan atau golongan yang mengatakan bahwa, pada hakekatnya atau pada dasarnya, selama pemerintahan di bawah Suharto, militer adalah penindas rakyat, atau, bahwa militer adalah musuh rakyat. Suharto telah menjadikan militer sebagai alat penggebuk rakyat (ingat : peran Kopkamtib, Kodim dan Korem, Babinsa, Siskamling, surat bebas G-30S, surat bersih diri dll dll).. Militer telah dijadikan anjing penjaga keselamatan singgasana Suharto yang , seperti disaksikan oleh banyak sekali orang di dalam dan luar negeri, penuh dengan korupsi,kolusi dan nepotislme.

Suharto, bekas serdadu KNIL yang mengkhianati Bung Karno
Kerusakan mental di kalangan militer (terutama tingkat tingginya), dan pembusukan jiwa kerakyatannya, atau hilangnya sama sekali jiwa kerevolusionerannya, adalah akibat bimbingan yang sesat dari seorang bekas serdadu KNIL (atau tentara kolonial Belanda) yang telah dengan cara-cara licin dan licik telah berhasil menggulingkan kekuasaan Bung Karno. Dilihat dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kerusakan besar di kalangan militer ini adalah terutama akibat “kepemimpinan” Suharto. Sekarang tambah nyatalah bahwa Suharto bukanlah sama sekali tokoh panutan bagi kalangan militer,. Suharto bukanlah contoh yang pantas ditiru oleh militer yang baik. Suharto bukanlah pahlawan pula. Sikap Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dan Mayjen (Pur) Saurip Kadi yang membongkar aspek-aspek negatif dari kalangan petinggi militer (terutama Angkatan Darat) perlu disambut dengan gembira oleh semua kalangan dan golongan yang menginginkan adanya perbaikan di kehidupan bangsa dan negara kita. Kita bisa berharap bahwa makin banyak muncul tokoh-tokoh militer (atau mantan militer) yang memiliki sikap atau pandangan yang serupa atau searah, bahkan yang melebihi mereka (Sintong Panjaitan, Agus Wirahadikusumah, dan Saurip Kadi).
Perkembangan situasi di Indonesia dewasa ini sudah dengan jelas menunjukkan bahwa diperlukan adanya makin banyak tokoh-tokoh militer (atau mantan) yang berani dengan tegas, terang-terangan, dan jelas-jelas mengajukan kritik tajam, atau umpatan dan hujatan, terhadap berbagai kesalahan besar atau dosa-dosa berat yang dibikin Suharto beserta para jenderal pendukungnya. Hal yang semacam ini sangat diperlukan, karena banyak persoalan-persoalan parah dan gawat yang terjadi sekarang ini adalah justru bersumber pada kesalahan-kesalahan Orde Baru, yang diwarisi sampai sekarang.

Terus membongkar Orde Baru untuk mengadakan perubahan
Dewasa ini makin jelas bagi kita semua bahwa perubahan fundamental atau perbaikan negara dan bangsa kita tidak bisa dilakukan tanpa membongkar habis-habisan atau melenyapkan sisa-sisa berbagai politik Orde Baru yang masih diteruskan oleh sebagian besar tokoh-tokoh, baik yang militer maupun sipil. Perubahan atau perbaikan negara dan bangsa kita (termasuk perubahan atau perbaikan di kalangan militer) hanya bisa dilakukan dengan bersikap tegas melawan segala politik yang anti rakyat, yang anti ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, yang dijalankan oleh para pendukung Suharto selama puluhan tahun.Dari sudut ini jugalah kita anggap sangat penting munculnya lebih banyak lagi tokoh-tokoh militer lainnya yang bersedia mengutarakan pendapat yang kritis, yang membongkar segala aspek-aspek yang negatif dari kalangan militer, baik yang terjadi selama Orde Baru maupun sesudahnya sampai sekarang. Ini demi untuk kebaikan kalangan militer sendiri, maupun untuk kepentingan bangsa dan negara kita.


Sepenggal Kahar Muzakkar di Parung Bingung

Sepenggal Kahar Muzakkar di Parung Bingung

Catatan: Tulisan-tulisan berikut diambil dari Situs Berita Rakyat Merdeka (www.rakyatmerdeka.co.id), diawali kabar kematian Susana Corry van Stenus pada hari Sabtu, 1 April 2006. Dia adalah salah seorang istri Kahar Muzakkar–seorang yang pernah dikenal sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, sebelum akhirnya “divonis” sebagai pengkhianat.

Istri Kahar Muzakkar Meninggal di Cinere Pagi Tadi
Istri Kahar Muzakkar, Susana Corry Van Stenus, tadi pagi (Sabtu, 1/4) meninggal dunia di usia 85 tahun.

Corry yang akrab disapa Mami meninggal di kediamannya di Jalan Raya Parung Bingung, Cinere, Depok, beberapa saat usai menunaikan shalat shubuh sekitar pukul 05.00 WIB.

Selama hayatnya, Mami Corry setia mendampingi suaminya Kahar Muzakkar yang merupakan pimpinan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sulawesi Selatan.

Oleh para pengikut Kahar Muzakkar, si Mami dikenal sebagai Srikandi dari Sulawesi.

Kahar membentuk PRRI pada tahun 1950 karena ketidakpuasan kepada pemerintah pusat. Pemberontakan yang terjadi dimana-mana menyusul kesenjangan yang sangat mencolok antara pusat dengan daerah.

Tidak saja Kahar, saat itu pun meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DII/TII) pimpinan SM Kartosuwiryo, di Jawa Barat.

Pemberontakan Kahar Muzakkar dan Kartosuwiryo berakhir dengan kematian. Kahar ditembak pasukan Siliwangi di hutan Sulawesi Selatan pada 3 Februari 1965.

Sedangkan pasukan Siliwangi menangkap Karto pada 4 Januari 1962 dan menembaknya hingga mati pada 16 Agustus 1962 di Ancol. [t]


15 Tahun Corry Dampingi Kahar di Hutan Sulawesi
Jenazah Susana Corry van Stenus dimakamkan di TPU Parung Bingung, Depok, Jawa Barat, siang tadi (Sabtu, 1/4). Istri kedua Kahar Muzakkar itu meninggal dunia usai menunaikan shalat shubuh di kediamaannya.

Corry adalah blasteran Belanda-Klaten. Dia yang kerap dipanggil si Mami menikah dengan Kahar Muzakkar tahun 1947 di kota Klaten, Jawa Tengah. Di kota itu pula beberapa tahun sebelumnya Kahar muda yang lahir di Palopo, kota kecil di dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan, sempat menuntut ilmu di Madrasah Mualimin Mualimat.

Begitu menikah, dan masuk Islam, Corry memilih mengikuti kemanapun langkah Kahar Muzakkar. Tahun 1950 Kahar Muzakkar bergabung dengan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, dan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI), serta mengobarkan api pemberontakan terhdap pemerintahan. Bersama Kahar Muzakkar, Corry pun memilih masuk hutan.

Selama 15 tahun dia berjuang bersama Kahar di belantara Sulawesi. Corry memegang peranan penting selama masa gerilya itu, sebagai pemimpin Gerakan Wanita Islam (Gerwais), salah satu organisasi di bawah PRRI.

Seminggu sebelum pemberontakan PRRI berakhir, menurut kabar, Kahar Muzakkar menceraikan Corry. Dia meminta agar Corry keluar dari hutan menuju ke arah selatan. Sementara Kahar Muzakkar melanjutkan gerilya menuju tenggara.

Corry dan empat anak hasil perkawinannya dengan Kahar Muzakkar mengetahui kabar kematian Kahar dari pamflet yang disebarkan pemerintah Republik Indonesia.

Selain menyampaikan kabar kematian Kahar Muzakkar, dalam pamflet yang disebarkan dari udara itu pemerintah Republik Indonesia juga meminta agar para pengikuti Kahar meletakkan senjata dan kembali ke pangkuan republik.

Dalam wasiatnya, Corry yang oleh pengikut Kahar Muzakkar dijuluki sebagai Srikandi dari Sulawesi itu meminta agar jenazahnya digotong saat menju pemakaman. Dan begitulah, puluhan orang bergantian menggotong jenazah Corry menuju tempat peristirahatan terakhir, sekitar dua kilometer dari rumahnya.

Liang lahat Corry tertutup bersamaan dengan alunan azan yang terdengar dari masjid di dekat TPU Parung Bingung. [t]


Corry Sampaikan Surat Kahar Muzakkar untuk Sukarno
Susana Corry Van Stenus, wanita blasteran Belanda-Klaten yang wafat di Parung Bingung, Depok, tadi pagi (Sabtu, 1/4) , memainkan peranan penting selama konflik antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan pemerintahan Sukarno di kurun 1950-1965.

Selama kurun waktu tersebut, istri kedua Kahar Muzakkar ini ikut sang suami bergerilya di hutan-hutan Sulawesi. Dia adalah Ketua Gerakan Wanita Islam (Gerwais), sebuah organisasi di bawah PRRI.

Kahar Muzakar bukanlah sosok asing bagi pemerintahan Sukarno. Laki-laki kelahiran Palopo, sebuah kota kecil di dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan itu ikut mengawal kemerdekaan Republik Indonesia.

Kahar yang sejak usia muda merantau ke Pulau Jawa ikut mengawal pidato bersejarah Sukarno pada 19 September 1945 di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada) yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng di seberang kompleks Departemen Keuangan.

Kahar Muzakkar juga berperan penting setelah pemerintahan Republik mundur ke Jogjakarta. Murid Panglima Besar Jenderal Sudirman ini ikut bertarung mengusir Belanda yang masuk ke Jogjakarta pada Agresi Militer Pertama (1947) dan Agresi Militer Kedua (1948). Dia juga berperan saat menghadapi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, September 1948.

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Kahar angkat senjata dan melawan Soekarno yang sebelumnya dia bela. Pertama, dia tidak bisa menerima perlakukan pemerintah terhadap anak buahnya yang tergabung dalam Brigade Hasanuddin. Tak semua dari mereka diterima sebagai anggota TNI, walau telah berjuang untuk republik.

Alasan kedua yang lebih fundamental adalah kecenderungan Sukarno menerima ideologi komunis.

Pada 7 Agustus 1953, saat Republik Indonesia masih berusia delapan tahun, Kahar menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan 10 tahun kemudian dia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).

Pada 1963, Kahar mengutus Corry menemui Sukarno di Jakarta. Dalam perjalanan itu, Corry yang ditemani anak bungsu mereka, Abdullah, membawa sepucuk surat dari Kahar untuk Sukarno.

Di dalam surat itu Kahar menyatakan dirinya bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan republik dengan dua syarat. Pertama, Sukarno membubarkan PKI. Dan kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai asas negara.

Tetapi, Sukarno memilih tak memenuhi permintaan itu.

Corry pun kembali ke belantara Sulawesi. Dalam perjalanan pulang, dia sempat ditahan Pangdam XIV/Hasanuddin Kolonel Muhammad Jusuf di Makassar.

Hasan, putra sulung pasangan Kahar-Corry, berdiri di samping makam ibunya yang masih merah basah, siang tadi (Sabtu, 1/4).

“Ibu kami adalah wanita yang berjasa pada bangsa dan negara,” katanya.

Abdullah yang menyertai perjalanan Corry, 43 silam, juga tampak di sana. Seperti kakaknya, si anak bungsu ini pun tekun memanjatkan doa. [t]


Kahar Muzakkar Masih Hidup?
Pemberontakan Kahar Muzakkar tumpas di tangan Operasi Kilat. Pada 3 Februari 1965, ia ditembak mati di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.

Dalam situs resmi Pusat Sejarah TNI disebutkan bahwa sebelum memberontak, pemerintahan Bung Karno mengutus Letkol Kahar Muzakkar untuk menghadapi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang terdiri dari bekas laskar yang ikut berperang sepanjang revolusi fisik.

Tetapi, Kahar belakangan menuntut agar KGSS dijadikan Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya. Tak lama, dia menyatakan bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Untuk menghentikan gerakan Kahar, pemerintah menempuh dua cara. Pertama melancarkan operasi militer, dan kedua menawarkan amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII yang mau menghentikan pemberontakannya.

“Sejak awal September 1961, akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan TNI, kedudukan DI/TII semakin sulit,” tulis Pusrah TNI.

Pada 21 Oktober 1961 Kahar mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf. Tak lama, kedua pihak yang bertikai menggelar pertemuan di Bonepute, sebelah selatan Palopo.

Juga disebutkan bahwa dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan dan kepatuhannya terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian keamanan dan penyaluran anggota DI/TII.

“Ternyata, Kahar Muzakkar mengingkari janjinya. Pertemuan itu tidak lebih dari suatu siasat untuk mencegah kehancuran DI/TII dengan taktik mengulur-ulur waktu,” demikian Pusrah TNI.

Tetapi kabar lain yang beredar beberapa tahun terakhir mengatakan, Kahar Muzakkar masih hidup. Benarkah? Wallahualam.

Adalah almarhum Muhammad Jusuf yang memegang kebenaran cerita ini. Jenderal Jusuf, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dan menyayangi prajurit ini, adalah bekas ajudan Kahar di staf Komando Markas ALRI Pangkalan X Jogjakarta, di masa-masa awal kemerdekaan.

Jusuf lah yang dipasang pemerintah sebagai penguasa militer di kawasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara selama masa-masa pemberontakan Kahar Muzakkar. Untuk menangkap bekas komandannya, Jusuf menggelar Operasi Kilat.

Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar ditembak mati Kopral II Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Hari itu, 3 Februari 1965.

Tetapi menurut cerita lain yang berkembang, saat mengetahui Kahar tertangkap, Jusuf segera menuju TKP. Lalu berdua mereka masuk hutan. Di dalam hutan itulah Jusuf melepas Kahar, dan membiarkannya menghilang.

Benarkah cerita itu? Sekali lagi, wallahualam.

Jusuf membawa mati cerita itu, bersama cerita lain yang juga menjadi kunci dalam sejarah republik ini: Supersemar.

Seperti Jusuf yang wafat di Makassar pada September 2004 lalu, Susana Corry van Stenus yang wafat di Parung Bingung, pagi tadi (Sabtu, 1/4) pun meninggalkan dunia fana ini dengan setumpuk cerita tentang sosok Kahar Muzakkar.[t]


Sakit Gula, “Kahar Muzakkar” Meninggal Dunia

TANPA diketahui banyak orang, Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah telah meninggal dunia. Dia menghembuskan nafas terakhir di usia ke-83 tahun pada hari Sabtu lalu (5/8).

Syamsuri wafat dalam perjalanan menuju RS Persahabatan, Jakarta Timur, sekitar pukul 20.45 WIB. Imam Besar Majelis An Nadzir itu dimakamkan di Pondok Pesantren An Nadzir, Dumai, yang dipimpinnya.

Siapa Syamsuri? Sebagian orang percaya dia adalah Kahar Muzakkar, tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang memberontak pada kurun 1950-1965 di selatan dan tenggara Sulawesi.

Selain Kahar, pemberontakan lain yang cukup memusingkan pemerintahan Sukarno ketika itu adalah pemberontrakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau biasa disingkat DI/TII yang dipimpin RM Kartosoewirjo di Jawa Barat.

Dalam sejarah resmi disebutkan bahwa Kartosoewirjo lebih dahulu dilumpuhkan TNI. Pasukan Siliwangi menangkap Kartosoewirjo tanggal 4 Januari 1962. Dan dalam buku The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy mengatakan Kartosoewirjo dieksekusi di sebuah lokasi di Ancol, Jakarta Utara, saat hari masih gelap.

Bagaimana dengan kematian Kahar? Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar tewas tanggal 3 Februari 1965. Dia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.

Kembali ke Syamsuri. Redakasi Situs Berita Rakyat Merdeka memperoleh kabar kematian Syamsuri dari salah seorang pengikutnya, Hamzah. Menurut Hamzah, Syamsuri meninggal dunia karena komplikasi sejumlah penyakit.

Dan yang paling parah, sebut Hamzah, adalah penyakit gula yang diderita Syamsuri. Beberapa saat menjelang wafat, indikator kadar gula dalam darah yang selalu dibawa Syamsuri kemanapun dia pergi tak dapat lagi membaca kadar gula darahnya yang amat tinggi.

Tetapi, benarkah Syamsuri adalah Kahar Muzakkar? Bukankah Kahar Muzakkar telah mati 41 tahun lalu?


Misteri Kahar Muzakkar

USAI Shalat shubuh, 1 April lalu, Susana Corry Van Stenus meninggal dunia di Parung Bingung, Cinere-Depok, Jawa Barat. Wanita blasteran Belanda-Klaten ini adalah istri kedua Kahar Muzakkar. Mereka menikah di tahun 1947.

Setelah menikah Susana masuk Islam, dan sejak saat itu, Susana yang biasa dipanggil Mami, juga oleh anak buah Kahar, ikut kemanapun Kahar melangkahkan kaki.

Di tengah hutan, bersama suaminya yang memimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Susana ikut memanggul senjata. Dia menjadi pemimpin Gerakan Wanita Islam (Gerwais), salah satu sayap gerakan PRRI/Permesta.

Redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka menerima kabar kematian Susana langsung dari Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah. Syamsuri sendiri dikabarkan meninggal dunia hari Sabtu pekan lalu (5/8). Selama ini dia diduga banyak kalangan sebagai Kahar Muzakkar. Kok bisa?

Ketika menyampaikan kabar kematian Corry, Syamsuri yang biasa disapa dengan sebutan Abah oleh para pengikutnya berbicara dengan nada terbata-bata. “Mami Corry meninggal dunia. Innalillahi wainailaihi rajiun,” katanya menahan tangis. Dia lalu menyerahkan hand phone kepada salah seorang ajudannya, yang kemudian menjelaskan lokasi kediaman almarhumah Corry.

Di rumah duka, Syamsuri tampak sibuk mengatur segala persiapan pemakaman jenazah Corry. Hari itu dia mengenakan kaos hitam dan celana loreng, serta baret hitam. Rambutnya dicat warna merah. Begitu juga dengan janggutnya. Walau berduka, senyumnya tetap mengembang. Namun sesekali, tampak juga sinar matanya menyiratkan kesedihan.

Sesekali dia bercerita tentang perjalanan hidup Corry saat mendampingi Kahar Muzakkar di hutan belantara Sulawesi. Sesekali Syamsuri juga bercerita tentang sakit gula yang dideritanya. Kalau sudah begitu, dia membuka gulungan celana lorengnya untuk memperlihatkan bekas luka yang telah berwarna hitam akibat kadar gulanya yang tinggi.

Syamsuri pun menjadi imam dalam shalat jenazah untuk Corry. Dan dia ikut jalan kaki mengiringi jenazah Corry menuju TPU Parung Bingung. Dalam wasiat sebelum meninggal, Corry memang menyampaikan permintaan agar setelah wafat jenazahnya digotong menuju kuburan. Di tengah jalan, nafas Syamsuri tersengal-sengal. Tak lama, sebuah mobil berhenti di sebelahnya, dan Syamsuri melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil itu.

Di lokasi pemakaman, Syamsuri ikut memasukkan jenazah Corry ke liang lahat bersama Hasan dan Abdullah, dua dari empat anak hasil perkawinan Corry dengan Kahar Muzakkar. Aziz Kahar Muzakar, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, anak Kahar Muzakkar dari isteri yang lain juga hadir dalam pemakaman itu.

Setelah pemakaman usai, sebelum meninggalkan TPU Parung Bingung, Syamsuri berbicara serius dengan anak-anak Kahar Muzakkar. Setelah itu dia naik Panther warna biru bersama lima orang pengawal yang juga mengenakan pakaian seperti dia: kaos hitam, celana loreng dan baret hitam. Tak lupa, rambut dan jenggot dicat merah.


14 Bulan di Belantara Sulawesi, Sadeli Menembak Kahar Tiga Kali

KOPRAL Dua Ili Sadeli bersembunyi di balik sebatang pohon. Pagi itu, 3 Februari 1953, sekitar pukul 06.00 WITA. Pasukan TNI dari Divisi Infanteri Kujang 330/Siliwangi yang berkekuatan 19 orang tengah mengepung markas Kahar Muzakkar.

Hari itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.

Setelah 14 bulan menyisir belantara Sulawesi akhirnya mereka menemukan markas sang Imam,pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Untuk mempersempit ruang gerak Kahar Muzakkar, pasukan Sadeli menggunakan formasi tapal kuda.

Ketika menceritakan kisah ini puluhan tahun kemudian (Pikiran Rakyat, 5 April 2003), Sadeli yang terakhir berpangkat sersan mayor itu mengaku dirinya tidak mengetahui wajah Kahar Muzakkar si  yang menjadi target utama mereka hari itu.

Yang dia tahu, di markas itu ada sekitar 20 anggota kelompok pemberontak, selain 140-an penduduk sipil.

Dari balik pohon itu, Sadeli melihat seorang anggota kelompok pemberontak keluar dari sarang. Laki-laki ini menenteng bren dan dua ransel besar, masing-masing di punggung dan dada. Baru saja Sadeli hendak mengejar laki-laki yang menenteng bren, seorang anggota kelompok pemberontak lainnya menyusul keluar dari rumah danmendekati pohon tempat Sadeli bersembunyi dan mengintai.

Tak mau kecolongan, Sadeli menyergap dan menangkap laki-laki itu. Secepat kilat ia menyarangkan tiga tembakan pistol hingga menembus jantung lawan. Laki-laki itu pun roboh.

Setelah lawan pertama terkapar, Sadeli melanjutkan niatnya mengejar laki-laki pertama yang menenteng bren dan dua ransel. Tetapi kali ini Thompson yang hendak dipakainya untuk menghabisi laki-laki itu ngadat. Dia akhirnya memilih kembali ke pohon yang tadi digunakannya sebagai tempat bersembunyi dan memeriksa kondisi mayat laki-laki kedua yang keluar dari markas di tengah hutan.

Sadeli masih ingat laki-laki itu memakai jam tangan bermerek Titus. Sadeli juga masih ingat sebuah pulpen Pelican terselip di kantong baju lelaki itu. Selain Titus dan Pelican, sadeli juga menemukan uang tunai sebesar Rp 65.000, jumlah yang amat besar saat itu.

Sesaat kemudian dia tersadar bahwa yang dihabisinya bukanlah pemberontak biasa. Melainkan sang Kahar Muzakar.

“Kahar beunang, Kahar beunang,” teriaknya ke arah kawan-kawannya yang juga telah melumpuhkan anggota kelompok pemberontak itu.

Selanjutnya sebuah helikopter dikirim untuk menjemput mayat Kahar. Sadeli ikut mengawal mayat itu hingga ke Makassar. Di atas helikopter, dia sempat berfoto dengan hasil buruannya.

“Rasanya amat bangga bisa menunaikan tugas-tugas negara, apalagi sudah 14 bulan hidup di tengah-tengah hutan,” kata Sadeli.

Sampai di situ Sadeli tak tahu lagi nasib  mayat sang Kahar dibawa. Ia hanya hanya mendengar kabar mayat Kahar Muzakkar dibawa pihak lain yang tidak dikenalinya. Sejak itulah (mayat) Kahar hilang. Tidak jelas dimana makamnya.

Cerita Sadeli ini kembali diangkat untuk melengkapi kisah tentang misteri Kahar Muzakkar dan seputar kematiannya yang sampai hari ini masih menyimpan misteri.

Hari Sabtu dua pekan lalu (5/8), seorang lelaki yang selama ini dikenal dengan nama Imam Besar Majelis An Nadzir Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah meninggal dunia.

Beberapa tahun terakhir, oleh pengikutnya Syamsuri disebut-sebut sebagai Kahar Muzakkar yang selamat dari kepungan pasukan TNI yang berusaha menangkapnya hidup atau mati di Hari Raya Idul Fitri 1965 M.

Kisah ini belum lagi selesai.



“Dia Bukan Kahar Muzakkar, Dia Orang Banjar”

JENDERAL M Jusuf dipercaya menjadi kunci yang dapat menguak misteri Kahar Muzakkar, selain Supersemar. Sayang, sampai akhir hayatnya, September 2004, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dengan prajurit itu sama sekali tak buka mulut tentang misteri kematian Kahar Muzakkar, juga tentang Supersemar.

Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf punya hubungan yang terbilang dekat. Dalam sebuah tulisan, wartawan senior Rosihan Anwar yang menjadi saksi banyak peristiwa sejarah di republik ini menuliskan sebuah catatan.

“Pada akhir tahun 1945 seorang pemuda bangsawan Bugis usia 17 tahun naik perahu pinisi di Makassar berlayar menuju Pulau Jawa dengan tujuan bergabung dengan pemuda pejuang untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus terhadap serangan Belanda Kolonial. Pemuda itu ditampung oleh Kahar Muzakkar yang berada dalam KRIS (Kebaktikan Rakyat Indonesia Sulawesi) dan kemudian menjadi ajudan Letkol Kahar Muzakkar di Staf Komando Markas ALRI Pangkalan X di Yogyakarta.”

Pemuda yang dimaksud Rosihan adalah Jusuf muda yang kelak menjadi salah seorang jenderal berpengaruh di tubuh angkatan bersenjata kita.
Hamid Awaluddin, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini jadi Menteri Hukum dan HAM juga punya catatan tentang hubungan Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf.

“Namun, ketertutupan M Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah. M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.”

Menurut Hamid, kala itu, ketika pemerintah pusat melalui tangan Jenderal Jusuf berusaha menghentikan pemberontakan Kahar Muzakkar, yang dikerahkan adalah pasukan dari Jawa, banyak orang yang bertanya-tanya. Mengapa Jusuf membiarkan orang yang satu suku dengan dirinya dihantam suku lain?

“Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.”

Begitulah. Cerita tentang (kematian) Kahar Muzakkar dibawa Jenderal Jusuf hingga ke liang lahat.

Sementara itu, ada versi lain tentang “kematian” Kahar Muzakkar. Konon, Kahar Muzakkar (tanpa mengurangi rasa hormat kepada Serma (pur) Ili Sadeli yang menembak mati Kahar Muzakkar) tidaklah tertembak mati. Dia ditangkap hidup-hidup. Setelah mendengar penangkapan itu Jenderal Jusuf mendatangi lokasi penangkapan. Dia dan Kahar yang pernah jadi atasannya kemudian masuk hutan. Di tengah hutan itulah, Kahar dilepas dengan satu syarat: jangan pernah lagi menampakkan diri. Anggaplah sudah mati.

Cerita ini mahsyur di kalangan orang yang merasa Kahar Muzakkar masih hidup. Antara lain, orang-orang yang dekat dengan Syamsuri Abdul Madjid yang meninggal dunia dua pekan lalu (5/8).

Apakah benar Kahar Muzakkar baru meninggal dunia Agustus 2006, bukan Februari 1965?

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, Aziz Kahar Muzakkar, mengatakan dirinya tak percaya dengan spekulasi yang menyebut bahwa Syamsuri adalah ayahnya, sang Kahar Muzakkar.

Ketika dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka, Aziz mengatakan dirinya mendengar bahwa beberapa jam sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Syamsuri membuat pengakuan. “Saya bukan Kahar Muzakkar. Saya orang Banjar,” kata Aziz mengutip pengakuan Syamsuri yang didengarnya.

Menurut Aziz, sejak lama mereka menyakini bahwa ayahnya telah wafat puluhan tahun lalu. Walau mengenal Syamsuri, dia dan keluarganya tidak percaya Syamsuri adalah Kahar Muzakkar.