Gerakan Mahasiswa ITB 1978

“Hanya Tuhan yang boleh tindas kami, itupun kalau Ia mau”
Mungkin mahasiswa ITB zaman sekarang sudah tidak mengenal lagi cerita ini. Dan mungkin juga mahasiswa-mahasiswa kampus lainnya, ketika almameter mereka mengalami tindakan represif yang sama. Tetapi gambar adalah bukti otentik bahwa benar kampus-kampus mereka pernah mencatat sejarah yang pahit.
Jauh sebelum adanya “Gerakan Reformasi” di tahun 1998, para mahasiswa ITB di tahun 1978 telah melihat bahwa Presiden Soeharto sudah mulai keluar dari idealisme-idealisme membangun sebuah bangsa & negara dengan baik dan benar. Karena media massa saat itu sangat dikontrol oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa mengutarakan pendapat, maka hanya mahasiswa-lah yang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
Dengan bersatu-padu, seluruh mahasiswa ITB saat itu melakukan berbagai kegiatan untuk “mengkoreksi” Presiden Soeharto melalui berbagai gerakan moral seperti menerbitkan buku putih dan mogok kuliah. Buku putih berisikan data-data kajian fakta dan juga pemikiran-pemikiran untuk perbaikan bangsa. Namun gerakan moral ini akhirnya di-“gebuk” dengan kekerasan melalui operasi pendudukan kampus ITB oleh tentara dan juga para tokoh mahasiswa-mahasiswanya dipenjara di tahanan politik, misalnya di tahanan Cimahi. Panglima Kodam Siliwangi di tahun 1978 adalah Mayor Jendral Himawan Soetanto.
Beberapa tokoh-tokoh pimpinan mahasiswa saat itu antara lain Heri akhmadi, Rizal ramli, Indro Tjahjono, Irzadi mirwan (alm), Al hilal, Ramles manampang, Jusman SD, Joseph Manurung, Kemal Taruc dan banyak lagi, ikut memimpin demonstrasi dan juga menuliskan sebuah buku putih. Dari sisi dosen ada nama Wimar witoelar yang cukup vokal dalam acara-acara demonstrasi.

wimar witoelar saat itu

Inilah kisah tentang sebuah peristiwa yang pertama kali, dan mudah-mudahan terakhir dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, khususnya di kampus ITB. Kisah-kisah ini dituturkan oleh para alumni ITB angkatan 1977, yang pada saat itu relatif awam dalam berpolitik, namun berada dalam pusaran politik dan menerima dampak yang paling keras :
Kisah Kiswanti – pendudukan kampus yang pertama
Saya waktu itu bergabung di unit Keluarga Donor Darah (KDD). Tempat saya tinggal di Jl Pajajaran 79 juga sempat menjadi tempat kumpul beberapa teman-teman pergerakan. Tugas saya membagi-bagikan vitamin dan makanan. Tugas ini dilakukan bersama “Laskar mahasiswi” (Laswi).
Kisah Saifi rosad – terkena popor senapan pada saat pendudukan Kampus kedua
Di awal tahun 1978, pendudukan Kampus ITB oleh tentara, terjadi dua kali. Yang pertama tidak terlalu ketat sehingga malam hari kita masih bisa masuk kampus lewat jalan samping, salah satunya seperti dari asrama di jalan Dago kemudian naik tembok dan turun sekitar Planologi.
Namun pada pendudukan kedua penjagaan lebih ketat. Di sisi timur tentara menjaga sampai di jalan menuju Dago seperti di jalan Hasanudin. Saat awal tentara masuk (siang hari) sebagian kita digiring dan didorong ke lapangan basket, waktu itu kebetulan saya berada dipinggir dan akhirnya ikut ditarik dan dibawa ke jalan Jawa. Menjelang malam hari sekitar pk 20:00 dikeluarkan lagi dan di-drop di Dago Cikapayang. Jalan Dago malam hari itu penuh sesak oleh orang.
Motor saya tertinggal di parkiran Unit Liga Film Mahasiswa & tidak bisa diambil hingga beberapa hari. Tentara Siliwangi sepertinya setengah hati melaksanakan tugasnya, saat kepala saya “terkena” gagang bedil mereka menyampaikan maaf. Sewaktu kami di jalan Jawa, mereka juga baik-baik saja. Saat makan siang di kantin sebagian mahasiswa bilang ke penjaga kantin bahwa nanti yang membayar pak komandan.
Waktu itu dibentuk sistem sel, kami menerima tugas menempel poster di tembok dan pagar di jalan atau digantung di pohon. Salah satu markas sel berada dirumah Purwo (SI) ada di jalan Banda.
Kisah Irwan natarahardja – saat pendudukan kampus yang kedua tentang Jeep Vietnam
Pada hari kedua Pendudukan kampus yang kedua, saya ke kampus dengan ketidak-tahuan bahwa pendudukan dilakukan oleh Pasukan Kodam Brawijaya yang baru pulang dari Timtim. Saat itu saya masih mengira, kami para mahasiswa bisa “berbaikan” dengan tentara seperti pendudukan yang pertama. Ternyata, pada saat sampai di jln Ganesha di depan asrama, tengah terjadi pengejaran mahasiswa, yang sedang berjalan kaki ataupun naik motor, menggunakan “Jeep vietnam”. Istilah Jeep Vietnam adalah sebutan kami waktu itu untuk jip khusus milik tentara.
Didepan saya, terjadi adegan yang mengejutkan. Salah satu motor mahasiswa ditabrak sengaja oleh jip Vietnam tersebut dari belakang, sehingga pengemudinya terjatuh tak bergerak. Saya panik sekali dan berbalik, lalu dengan mengebut masuk ke tempat kost salah satu teman di Jl Taman Sari bawah. Sorenya saya keluar dari rumah tersebut dan mengetahui bahwa sang pengemudi sepeda motor terpaksa di rawat di RS Borromeus karena patah tangannya (saya juga lupa siapa korban itu) dan pada saat itu terdapat 3 mahasiswa yang menjadi korban dirawat inap. Mahasiswa ITB kemudian melakukan aksi mogok kuliah selama beberapa bulan alias memulai libur yang sangat panjang
Kisah Dana pamilih – kamar diacak-acak tentara pada saat pendudukan kedua
Pada pendudukan kedua, saya mendapat informasi bahwa tentara yang dikirim kali ini dari Kodam Brawidjaja yg baru pulang dari Timtim. Jadi mereka memang terkesan lebih kejam dan berjiwa perang dibanding dengan tentara dari Kodam Siliwangi yang mungkin mempunyai keterikatan emosional dengan mahasiswa/i ITB.
Sewaktu pulang dari Jakarta, & masuk tempat kost di Jalan Dago 212, saya sempat ter-kaget-kaget dan sedih melihat kamar saya bisa begitu porak poranda. Rupanya kamar saya telah diacak-acak oleh tentara.
Kisah Dewi utami – terinjak-injak oleh tentara
Aku pernah dikejar-kejar tentara sampai-sampai kakakku yang tidak sekolah di ITB-pun ikut dicari-cari dan diuber-uber dengan di-srempet mobil. Sehingga aku berdua dan kakak-ku ditampung oleh keluarga Soerono (orang tua Iwan dari Jurusan Elektro angkatan 1977) sampai 2 minggu dan baru
kemudian dengan bantuan senior-senior ITB dapat ticket kereta pulang ke Madiun untuk mengantar kakak-ku kerumah sakit.
Sebenarnya, aku tidak tahu persis kenapa aku dicari dan akan ditangkap.
Mungkin karena mereka tidak mau ada catatan orang meninggal di kampus ITB, maka aku jadi dicari-cari, bukan untuk di-interview, seperti teman-teman yang waktu itu masuk penjara, tapi mungkin hanya untuk meyakinkan bahwa aku tidak mati. Alhamdullilah, waktu itu saya hanya pingsan saja.

Penolakan Soeharto sebagai Presiden kembali di ITB, 16 Januari 1978. Dan ini berbuntut panjang pada agresi aparat keamanan masuk ke dalam kampus ITB.

Di gambar ini adalah Boulevard – jalan yang membelah kampus ITB. Terlihat tentara berada di pintu gerbang utama kampus, siap merangsek ke dalam kampus.
Digambar ini, mahasiswa di pagar betis dan dilakukan pemeriksaan KTM.

Penjagaan gerbang-gerbang kampus sejak suksesnya invasi aparat ke dalam kampus.

Pemeriksaan massal yang berujung pada penahanan beberapa mahasiswa.
* Penolakan Soeharto : 16 Januari 1978
* Agresi Militer Pertama : 1 Februari 1978
* Agresi Militer Kedua : 2 – 9 februari 1978
Sebagian orang masih mengingat kasus NKK – BKK di era 70-an ini, dikenal dengan nama Normalisasi Kehidupan Kampus. Awal dari infiltrasi kekuatan politik penguasa Orde Baru dalam struktur kehidupan kampus. Dimana adanya bentukan Senat-senat di dalam kampus oleh pemerintah untuk mengontrol kehidupan mahasiswa.
Photo lainnya dari era-70-an.

Prosesi pemakaman Rene Conrad, korban penembakan karena gesekan mahasiswa dengan militer di tahun 1970

Ibu dari Rene Conrad menunjuk Awaludin Jamin, Kapolri saat itu.

jenazah Rene Conrad

pemakaman Rene Conrad

AKSI DI JAKARTA SETELAH RENE CONRAD DITEMBAK POLISI
Rene Conrad tidak ada kaitannya dengan gerakan 78 ITB secara langsung. Almarhum adalah korban penembakan di 1970 oleh aparat keamanan, yang disinyalir adalah Taruna AKABRI Kepolisian. Namun proses hukum dialihkan ke seorang Brimob – karena isu sang Taruna Akpol adalah anak seorang Jenderal.
Kejadian tersebut memanaskan situasi, salah satu alasan di tahun-tahun kedepannya mahasiswa-mahasiwa ITB anti terhadap setiap sikap represif militer, memuncak di 1978 tersebut.
yang menjabat sbg Kapolri tahun 1978-1982 adalah Awaludin Jamin .

memang ada benarnya apabila tugas utama mahasiswa itu belajar, tapi sudah seharusnya memang mahasiswa tetap menjadi kelompok yang juga paling dekat dengan masyarakat…
Kisah Arya Rezavidi – Kisah tentang Dewan Mahasiswa ITB yang ketuanya ditangkap
Pada saat saya masuk ITB pada tahun 1977, suasana kampus saat itu sedang bergolak karena masalah politik. Suasana memang tidak terlalu kondusif untuk belajar, karena hampir setiap saat selalu ada orasi politik yang dilakukan oleh mahasiswa yang dilakukan di lapangan basket. Setelah memasuki kampus ITB, setiap mahasiswa diwajibkan mengikuti paling tidak 2 jenis kegiatan ekstra kurikuler. Pada saat itu saya mengikuti 2 kegiatan yakni karate (KKI) dan PSIK (Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan). Di PSIK ini saya berkenalan dengan Pudji Asmoro (sesama angkatan 1977) dan
kemudian hari saya juga banyak mengenal beberapa tokoh mahasiswa yang menjadi anggotanya. Salah satu yang saya kenal adalah Anton Leonard (dari jurusan Geodesi). Saya sendiri tidak tahu apakah beliau anggota PSIK atau bukan, yang jelas pada saat itu sering kumpul-kumpul berdiskusi dengan tokoh-tokoh mahasiswa lainnya termasuk para pejabat Dewan Mahasiswa-ITB (DM-ITB). Pada saat itu sedang dilakukan pemilihan Ketua DM-ITB yang baru dan akhirnya terpilih Heri Akhmadi. Dalam kepengurusan DM ini, Anton Leonard menjadi Ketua Departemen penerangan DM-ITB.
Seiring berjalannya waktu dan kemudian terjadi 2 kali pendudukan kampus oleh tentara, serta kemudian banyak pimpinan DM-ITB yang dibui termasuk juga Heri Akhmadi, maka kepengurusan DM-ITB akhirnya untuk sementara dijabat oleh sebuah presidium dengan salah satu ketuanya adalah Jusman SD, mahasiswa jurusan Mesin angkatan 1973 dan sekarang menjabat Menteri Perhubungan. Jusman terpaksa harus mengoperasikan organisasinya diluar kampus. Pada saat kepengurusan DM berada di luar kampus inilah, saya diminta Anton untuk membantu tugas-tugas Departemen Penerangan DM-ITB.
Terus terang saja karena saya sendiri masih awam dalam masalah kemahasiswaan dan karena saya sendiri belum genap setahun menjadi mahasiswa ketika terjadinya pendudukan kampus, maka keterlibatan saya ketika itu saya rasakan hanya sekedar ikut-ikutan dan tidak memiliki visi yang jelas benar sebenarnya kemana akan arah dari pergerakan mahasiswa ketika itu. Yang saya tahu hanyalah bahwa mahasiswa menuntut agar Presiden Soeharto tidak mencalonkan lagi menjadi presiden dalam SU-MPR berikutnya. Ketika kampus diduduki ini, kepengurusan DM beberapa kali membuat rapat di luar kampus berpindah dari rumah ke rumah, diantaranya yang saya ingat pernah ikut rapat di jalan Cipaganti, di jalan Tirtayasa dan bahkan pernah juga di kompleks Sesko ABRI di jalan Gatot Soebroto, Bandung. Saya tidah tahu rumah siapa saja yang dipakai rapat ini. Saya juga akhirnya berkenalan dengan Gembos, dari jurusan Geodesi angkatan 1975, yang bersama-sama Anton Leonard berada di Departemen Penerangan DM-ITB.
Kisah Arya rezavidi – Mencetak buku Putih I
Pihak Dewan Mahasiswa (DM) memutuskan untuk tetap berkomunikasi dengan seluruh mahasiswa yang ketika itu terpencar di luar kampus karena kampus diduduki tentara. Pihak DM menginginkan agar secara rutin menyebarkan selebaran untuk menunjukkan eksistensi mereka di luar kampus. Bersama-sama Anton dan Gembos, saat itu kami mencari beberapa lokasi untuk menempatkan mesin stensil milik DM, sampai akhirnya sampai di rumah Alex Supeli di Ciumbuleuit. Di tempat ini saya pertama kali berkenalan dengan Karlina Supeli, dari jurusan Astronomi angkatan 1977, adik dari rekan Alex. Selebaran sempat dicetak di rumah Alex Supeli ini, namun karena alasan keamanan Karlina menyarankan agar mesin stensil ini dipindahkan ke rumah Budiman Kresnaedi, teman seangkatan dari jurusan Planologi, yang biasa dipanggil Engkis. Kebetulan rumah Engkis tidak jauh dari rumah Alex yakni di jalan Panumbang Jaya, Ciumbuleuit.
Akhirnya kami menuju ke rumahnya dan di rumah ini juga tinggal beberapa angkatan 1977 lainnya yakni Agus Dana, dari jurusan Biologi yang masih saudara sepupu Engkis, dan juga Ahmad Syamsi dari jurusan Fisika. Engkis tidak keberatan mesin ditempatkan di sana dan mulailah malam itu juga semua hasil rapat DM-ITB diperbanyak dan dijadikan selebaran stensilan untuk disebarkan keesokan harinya. Pengetikan selebaran dilakukan di tempat lain dan tugas kami hanya mencetak di atas mesin stensil tersebut. Hampir setiap malam tangan kami belepotan hitam kena tinta stensil. Salah satu yang kemudian kami cetak juga adalah Buku Putih I yang penyusunan dan pengetikannya saya sendiri juga tidak tahu persis oleh siapa dan dimana. Yang pasti tugas kami hanyalah mencetak dan mencetak terus.
Suatu saat Anton dan Gembos meminta saya untuk mengambil sumbangan dari seseorang, untuk membeli mesin stensil yang baru karena dengan hanya 1 mesin dirasakan kurang, tertutama pada saat mencetak Buku Putih I. Saya tidak tahu rumah siapa pada saat itu, tapi saya dibawa ke sebuah rumah di jalan Wastukancana. Di rumah ini Gembos menerima sejumlah uang yang menurut saya untuk saat itu ukurannya cukup banyak. Belakangan saya baru tahu bahwa rumah yang kami datangi tadi adalah rumah keluarga Panigoro. Dengan uang sumbangan tadi kami bisa membeli mesin stensil baru, tinta dan kertas-kertas yang semuanya kami beli di toko Gestetner di jalan Tamblong, Bandung. Dengan tambahan mesin stensil ini tugas kami mencetak semakin mudah dan cepat.
Kisah Karlina Supelli – terpaksa pindah tempat untuk pencetakan buku putih
Agus Dana dan Budiman (Engkis) dulu serumah di kawasan Ciumbuleuit. Di rumah merekalah “Buku Putih” ITB dan berkas-berkas sumber “Gerakan 1978” dibuat dan diperbanyak pakai mesin stensil, lalu disebar ke perguruan tinggi lain di Jawa. Beberapa mahasiswa ITB ditangkap di Jawa Tengah dan Jawa Timur ketika sedang membawa Buku Putih itu. Saya ingat karena saya dan Alex ikut mengerjakan penerbitan gelap itu.
Semula pengetikan dan perbanyakan dikerjakan di rumah kami, tetapi karena terlalu menyolok dan mulai didatangi intel, kami pindah ke rumah Engkis yang lebih terpencil tetapi masih di kawasan sama. Kegiatan di rumah Engkis dan Agus ini sangat menegangkan karena selalu dikerjakan tengah malam. Setelah selesai dicetak, berkas kemudian dibungkus, diangkut naik mobil atau motor secara diam-diam dan disebarkan. Buku putih ini merupakan salah satu sumber informasi bagi gerakan mahasiswa saat itu.
Kisah Agus Purnomo – mendistribusikan buku putih
Saya teringat sewaktu dikejar-kejar tentara dan punya KTP sampai 3 buah dengan nama yang berbeda-beda. Yang pasti, saya masih sedih mengingat cerita Kiswanti diseret dengan ditarik rambutnya oleh tentara yang dikirim dari Kodam Brawijaya pada saat pendudukan kampus. Terus ada juga yang mengalami patah tangan karena berhadapan dengan tentara, tapi rasanya bukan dari angkatan 1977.
Salah satu dongeng kegiatan “perjuangan mahasiswa” -adalah bagaimana, Halim Mangunjudo (jurusan Elektro), Arie (Jurusan Sipil), June (Jurusan Teknologi Industri), Didi (Jurusan Arsitektur), Budi Kawi, Burhan, Goenarso (jurusan Teknik Industri) dan banyak teman angkatan 1977 lainnya melakukan operasi pencetakan dan pendistribusian buku-buku pleidoi dan “buku putih” di Motel di Karang Setra. Bagaimana mobil VW warna oranye punya Arie jebol mesin-nya di Jagorawi karena dipakai ke Jakarta pulang-pergi untuk dropping buku pleidoi. Padahal mobil itu pergi ke Jakarta tanpa meminta izin ke orang tua Arie.
Kisah Husein Akil dipenjara bersama Tapol G-30-S & Gerakan DI-TII
Ketika baru menginjak tahun ke 2 sebagai mahasiswa ITB yaitu tahun 1978 terjadi gejolak mahasiswa dalam menentang pemerintahan Soeharto. Bagi angkatan saya pada saat itu pembagian jurusan belum dilaksanakan sehingga saat itu masih sebagai mahasiswa TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Meskipun demikian, cukup banyak mahasiswa seangkatan yang juga terlibat dalam pergerakan tersebut. Melakukan demonstrasi (unjuk rasa) saat itu dilarang sehingga melakukan penyebaran pamflet, poster dan spanduk sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap pemerintah tidak dapat dilakukan secara terbuka.
Salah satu cara dalam melakukan penyebaran/penempelan poster di tempat-tempat strategis di kota Bandung dilakukan dengan cara yang saat itu disebut bergerilya yaitu dilakukan pada waktu dini hari menjelang subuh (serangan fajar). Saya bersama sdr. Halim Mangunjudo, teman seangakatan
dari jurusan Elektro, ketika melakukan serangan fajar mengendarai vespa tertangkap polisi tibum (ketertiban umum) kemudian dimasukkan ke kendaraan truk terbuka dan ditahan sementara di kantor kodim baru di sore harinya kami dibawa ke penjara tahanan politik Cimahi diinapkan di sana selama 35 hari. Kami bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa ITB lainnya yang mereka juga tertangkap sedang melakukan serangan fajar di tempat lain.

Penjara Tahanan Politik Cimahi 1978
http://kaskusnews.us/