Peristiwa Tertembaknya Rene Louis Coenraad 6 Oktober 1970 (dari kacamata dosen)

Pada bulan Oktober 1970 banyak terlihat kadet Akabri Kepolisian di jalan-jalan kota Bandung. Mereka sedang praktek lapangan, antara lain, ada yang mengatur lalu lintas dengan sempritan dan entah apa lagi. Pada waktu itu mode yang populer bagi para pemuda adalah rambut gondrong ala hippy termasuk mahasiswa ITB dan mereka sering dirazia oleh para kadet polisi tersebut. Konon ada yang sampai digunting rambutnya secara paksa di pinggir jalan.

Suasana menjadi tegang antara mahasiswa dan para kadet. Mahasiswa menyebut para kadet itu "prit jigo". Suasana tegang dan panas ini ingin didinginkan dan dikendurkan oleh Pimpinan ITB. Sesudah berkonsultasi dengan Pimpinan Kepolisian di kota Bandung dicapai kesepakatan untuk mendamaikan mahasiswa dan para kadet dengan mengorganisir suatu pertandingan sepak bola persahabatan di lapangan bola yang pada waktu itu ada di tengah kampus ITB. Untuk menjaga terjadinya hal-hal yang tak diinginkan para kadet dan Pembinanya tidak boleh membawa senjata api ke dalam kampus.

Pada tanggal 6 Oktober 1970, pertandinganpun dilangsungkan kedua tim lengkap dengan para supporters mahasiswa ITB di satu fihak dan para kadet polisi dipihak lain. Seperti biasa para supporters ini berteriak-teriak mendukung timnya masing-masing sambil meledek. Dan kalau soal meledek ini kan mahasiswa ITB paling ahli. Pada waktu tim mahasiswa ITB berhasil memasukkan gol pertama pertandingan ada ledekan yang merendahkan harkat para kadet yang kira-kira bunyinya "IQ rendah sih, karena itu hanya bisa masuk akademi polisi" sambil meniupkan sempritan. Para kadet juga membalas dengan ucapan-ucapan serupa.

Suasana semakin panas dan terjadilah perkelahian antara para supporters tim mahasiswa ITB dan tim kadet polisi. Tindakan cepat segera diambil dengan menghentikan pertandingan. Tim kadet polisi diamankan dan digiring keluar melalui pintu belakang kampus. Para kadet yang menjadi supporter dikumpulkan dan digiring ke gerbang depan kampus menunggu bis polisi yang akan mengangkut mereka pergi dari kampus. Beberapa bis yang dikawal brimob kemudian datang dan para kadet masuk ke bis dan mulai bergerak meninggalkan gerbang kampus. Mahasiswa ITB pun bubar dan mulai pergi pulang.

Rene Louis Coenrad, seorang mahasiswa elektro berbadan tinggi dan berperawakan besar seperti seorang Indo meluncur mengendarai sebuah motor besar, kalau tak salah Harley Davidson, di sebelah bis polisi kedua yang berisi kadet dan telah sampai di depan asrama Rumah A di Jalan Ganesha.

Konon ada kadet yang meludahi Rene, sehingga Rene pun berhenti dan mendatangi bis yang masih bergerak pelan karena ada kerumunan mahasiswa yang pulang jalan kaki.

Terjadilah ribut-ribut di tengah kerumunan banyak orang dan Rene ditembak hingga terkapar jatuh di tepi jalan dekat batang pohon angsana.

Tidak jelas apakah ditembak oleh kadet atau anggota brimob yang mengawal. Jasad Rene, tidak jelas apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, cepat-cepat diangkat polisi dan dimasukkan ke bak salah satu truk pasukan brimob dan dibawa pergi.

Dalam pada itu hari sudah menjelang magrib berangsur gelap. Gubernur Jawa Barat Solihin GP, Kapolda dan Rektor Doddy Tisna Amidjaja berkumpul di gerbang depan ITB di bawah jam untuk mengendalikan suasana yang kian tak menentu dan berpotensi rusuh. Tujuannya untuk menenangkan mahasiswa yang menganggap Rene diculik oleh polisi.

Saya tidak tahu detilnya, tetapi seperti diceritakan oleh Mandi Kartasasmita, yang pada waktu itu mahasiwa dan anggota Resimen Mahawarman ITB, ia menyelamatkan seorang mayor polisi yang menjadi Pembina para kadet polisi itu dari sanderaan para mahasiswa di kantor Dewan Mahasiswa dan membawanya keluar kampus dan akhirnya menyerahkannya kepada intel polisi di pertigaan Jalan Ganesha dengan Jalan Dago di depan Rumah Sakit Santo Borromeus. Mayor Polisi itu ternyata adalah seorang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Rektor Doddy Tisna Amidjaja.

Pada malam harinya baru diperoleh berita bahwa Rene telah meninggal dan mayatnya ada di kompleks kepolisian Komtabes Bandung, di Jalan Merdeka. Mayatnya kemudian dijemput dan diserahkan kepada Mandi dan teman-temannya dari Resimen Mahawarman, lalu disemayamkan di Aula Barat, dan besoknya diarak keliling ke tengah kota Bandung sampai Alun-Alun dan kemudian dibawa ke Jakarta untuk dikebumikan oleh keluarga.

Keesokan harinya krisis ini mendorong Rektor Doddy Tisna Amidjaja menggelar rapat di gedung Balai Pertemuan Ilmiah (BPI) ITB di Jalan Surapati untuk menenangkan keadaan dengan menggemboskan rasa marah para anggota sivitas akemika. Peserta rapat diminta berbicara untuk mengeluarkan isi hati dan perasaannya atas insiden tertembaknya Rene. Saya juga angkat bicara agak keras mengeluarkan perasaan saya. Banyak yang mempertanyakan mengapa senjata polisi yang dibeli dengan uang rakyat dipakai untuk menembak rakyat sendiri.

Dalam pada itu Pembantu Rektor Urusan Mahasiswa, Wiranto Arismunandar, merekrut para dosen untuk piket menjaga kampus kalau-kalau ada serbuan dari luar oleh pihak-pihak yang pro polisi.

Maklumlah informasi yang beredar pada waktu itu simpang siur. Ada isu bahwa mahasiswa ITB itu serem-serem tampangnya dan bengis. Benar saja, ada beberapa pawai yang mendukung polisi yang lewat di depan ITB sebagai ungkapan kecaman terhadap ITB, antara lain oleh Legiun Veteran Jawa Barat.

Dari ungkapan-ungkapan sivitas akademika dalam rapat, Rektor Doddy Tisna Amidjaja mengambil tindakan dengan membentuk Panitia Ad-Hoc ITB untuk Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai wahana untuk lebih lanjut menyalurkan kekesalan dan kemarahan para anggota sivitas akademika ITB. Guess what? Saya dijadikan Rektor Doddy ketua Panitia Ad-Hoc ini dengan anggota-anggotanya, antara lain, M.T. Zen, Median Sirait, Rochadi Gapar dll.

Mungkin Pak Doddy mengamati bahwa ungkapan saya dalam rapat adalah yang paling galak dan penuh emosi. Maklumlah baru pulang dari Amerika Serikat di mana nyawa seorang manusia itu dihargai sangat tinggi. Apa sebenarnya HAM itu? Saya hanya tahu samar-samar. Karena itu saya memboyong sebanyak mungkin anggota Panita Ad Hoc dan beberapa mahasiswa untuk menemui Adnan Buyung Nasution di rumahnya untuk mendapat kursus cepat mengenai HAM.

Tiba di rumah Adnan Buyung Nasution, yang pada waktu itu masih di dekat bioskop Menteng, kedatangan Panitia Ad-Hoc ITB sudah ditunggu oleh tokoh-tokoh HAM seperti Yap Thiam Hien dan Tasrif. Melengkapi crash course dari tokoh-tokoh HAM ini, sewaktu pulang ke Bandung pada larut malam kami dibekali dengan banyak literatur mengenai HAM, termasuk buku kecil PBB mengenai Universal Human Rights.

Bagaimana akhir cerita ini?

Seorang tamtama Brimob diajukan sebagai terdakwa yang melakukan penembakan terhadap Rene, diadili dan dihukum beberapa tahun. Tamtama polisi ini dibela oleh Adnan Buyung Nasution. Adnan Buyung itu adalah paman saya. Kali itu kami berada di pihak yang sama, tapi pada beberapa kasus lain kami sering mengambil posisi yang bertentangan. Dalam sidang-sidang pengadilan banyak anggota sivitas akademika ITB, termasuk ibu-ibu isteri dosen ITB antara lain Mary Harahap, yang menyempatkan hadir di ruang pengadilan untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap tamtama polisi yang tengah diadili itu. Kebanyakan orang ITB percaya bahwa penembak Rene itu bukanlah tamtama yang diadili itu, tetapi salah seorang kadet polisi. Tamtama itu hanyalah kambing hitam. Bagaimana karir dari kadet yang diperkirakan menembak Rene itu sesudah lulus Akabri? Untuk melengkapi cerita ini hanya pihak kepolisianlah yang dapat melakukannya. In retrospect: ITB lah yang termasuk pertama-tama maju membela HAM di negeri ini, terutama hak-hak asasi mahasiswa.
sumber: "Aura Biru: Catatan Para Pelaku Sejarah ITB", hal 100-103.