Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara

Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (1)
 “Pola reaksi dan cara kekuasaan yang salah dalam menanggapi sikap kritis mahasiswa, yakni dengan gaya militeristik yang makin dikembangkan pasca 1973, telah mendorong kekuatan kritis di masyarakat, terutama mahasiswa, secara perlahan namun pasti sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan yang ada tak boleh tidak pada akhirnya harus diakhiri. Apalagi makin terlihat betapa kekuasaan telah menjelma menjadi lebih keras dari waktu ke waktu, ibarat mengerasnya kulit kerang dalam rendaman air laut yang bergaram dan oleh sorotan sinar matahari”.

SASARAN utama yang ingin dilumpuhkan kalangan kekuasaan setelah Peristiwa 15 Januari 1974, adalah kekuatan mahasiswa yang berbasis kampus. Seluruh kampus perguruan tinggi di Ibukota Jakarta dan di Bandung dinyatakan ditutup dan tak boleh dipakai untuk kegiatan apapun. Beberapa kampus di Ibukota bahkan dimasuki satuan-satuan tentara dan ditempatkan dalam pengawasan. Beberapa sekolah di Jakarta juga ditutup untuk jangka waktu tertentu. Sasaran berikut adalah melumpuhkan pers yang kritis dan lebih menjinakkan yang tersisa. Mahasiswa sendiri, khususnya di Bandung, setelah Januari 1974 tampaknya sangat menyadari bahwa untuk sementara perlu menghindari benturan terbuka dengan pihak penguasa yang tampaknya telah menjadi semakin otoriter dan mengandalkan kekuasaan. Bagaikan tiarap, mahasiswa Bandung dan mahasiswa di beberapa kota perguruan tinggi lainnya, pun makin mengokohkan aktivitasnya melalui diskusi-diskusi intensif yang dilakukan dalam bingkai akademik untuk kedalaman wawasan. Tetapi kegiatan inipun tidak mudah karena hampir selalu terbentur masalah perizinan yang tak kunjung keluar.

Tekanan-tekanan yang dijalankan penguasa terhadap kampus dan kehidupan mahasiswa, sejak keberhasilan ‘menumpas’ apa yang mereka berhasil gambarkan sebagai makar Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), secara kasat mata terlihat begitu berhasil. Kehidupan kampus dan kegiatan mahasiswa berhasil ditempatkan dalam suatu supresi yang amat efektif. Nyaris tak ada kegiatan kritis, apalagi berupa aksi-aksi protes terbuka, yang terjadi. Tapi berangsur-angsur mahasiswa bangkit dari tiarapnya, dan tak sampai empat tahun kemudian terjadi lagi benturan terbuka mahasiswa dengan kalangan kekuasaan yang mengakibatkan pendudukan kampus oleh satuan-satuan tentara mulai pada akhir Januari 1978 dan berlangsung hampir selama dua bulan hingga 25 Maret.

SALAH satu penyaluran pengganti kegiatan lainnya yang efektif, selain diskusi, adalah penerbitan-penerbitan kampus. Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran misalnya, sejak Pebruari 1974 telah menerbitkan tabloid bernama ‘Aspirasi’, yang sepintas penampilannya mengingatkan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pada bulan Januari 1974 baru saja dibreidel oleh penguasa. Setidaknya, ‘Aspirasi’ berhasil bertahan tak kurang dari setahun lamanya, hingga 1975. Isinya tampaknya terpaksa dibuat dengan sangat mengurangi sikap agresif yang biasanya menjadi ciri pers mahasiswa. Hal serupa juga terjadi pada beberapa media pers mahasiswa lainnya di berbagai kampus Indonesia.

Beberapa tulisan dalam ‘Aspirasi’ kendati dibuat oleh aktivis-aktivis, seperti Prabowo Djamal Ali, Ketut Ritiasa dan Syamsir Alam, serta beberapa penulis kampus lainnya seperti Ilsa Sri Laraswati, Didin Damanhuri, Harry K. Sudarsono, terasa lebih kuat dan lebih banyak unsur ‘mengendalikan’ diri daripada mengikuti hasrat kritis. Isi tulisan-tulisan itu lebih banyak bersifat ‘otokritik’ atau pembahasan-pembahasan ke dalam diri perguruan tinggi dan kehidupan mahasiswa. Meskipun sedikit, masih terasa kehadiran selipan-selipan suggestif yang tampaknya bersifat menjaga ‘stamina’ pandangan kritis kampus. Selipan untuk menjaga ‘stamina’ itu misalnya disampaikan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Ilsa Sri Laraswati dalam tulisannya mengenai ‘Organisasi Mahasiswa’ dengan menuliskan “Yang kita harapkan pada kalangan mahasiswa adalah adanya suatu kegelisahan, suatu keinginan untuk mengungkapkan lebih jauh, mencari lebih dalam nilai-nilai kebenaran. Suatu kegelisahan yang menimbulkan dinamik, suatu ketegangan yang positif”. Sedang Ketut Ritiasa, mahasiswa jurusan Farmasi, mengingatkan “bahwa mahasiswa karena identitasnya, wajib tanpa diminta memperhatikan dan memperjuangkan  kepentingan masyarakat”. Dan dari Prabowo, aktivis senior dalam pergerakan awal 1970-an ada selipan untuk mengingatkan bahwa “penghayatan idealisme membuahkan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan sejarah”. Lalu, Syamsir Alam (aktivis dari ITB) mencatatkan kembali faktor kepekaan terhadap masalah-masalah sosial yang harus dimiliki mahasiswa, “yang muncul dalam perhatian kepada masalah-masalah kampus, kesadaran akan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang sedang terjadi, kemampuan mengeritik secara bijaksana dan masuk akal, kesediaan memikul tanggung jawab sebagai warga negara”.

Dalam suatu sindiran yang lebih jelas sasarannya, Al Maiyura (tampaknya, nama samaran salah seorang aktivis), masih pada bulan Maret 1974 menulis “Menjadi pemimpin itu memang tidak gampang. Bukan sekedar duduk di kursi kekuasaan. Dulu lebih ‘gampang’, tapi tidak adil karena kepemimpinan diwariskan berdasarkan keturunan, bukan karena kecakapan dan persaingan sehat. Asalkan keturunan Brawijaya, lalu bisa jadi Brawijaya berikutnya dan seterusnya, kecuali kalau ada musibah, umpamanya ada makar. Ken Arok sebagai contoh, naik karena makar, pun jatuh karena makar. Untuk memelihara kekuasaan, gudang dan pundi-pundi raja lazimnya padat”. Dan kepada mahasiswa lalu diingatkan “Maka tatkala masih jadi mahasiswa, baik-baiklah melatih diri. Kalau berminat jadi pemimpin di kelak kemudian hari, rajin-rajinlah menanamkan dan mengembangkan jiwa demokratis dalam diri. Kebetulan pula perguruan tinggi adalah lembaga yang bersendikan kemerdekaan berfikir, kebenaran dan akal sehat, dan bukannya panggung permainan wayang atau tari topeng. Kalau banyak kalangan lebih tua sudah sukar menyelamatkan diri dari karat feodalisme (tapi gemar melengkapi diri dengan topeng bagus-bagus), biarlah. Barangkali sudah takdirnya. Pokoknya yang muda-muda jangan ketularan. Jadilah manusia tanpa topeng yang menganut prinsip keterbukaan, agar masa depan tidak menjadi masa yang celaka”.

Ungkapan-ungkapan para penulis kampus ini, jika disampaikan pada tahun-tahun kritis sebelumnya, pastilah dikategorikan sebagai tulisan yang lunak, dan merupakan ungkapan-ungkapan yang lumrah saja. Tetapi untuk masa sesudah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam situasi kampus yang dicekam oleh supresi kekuasaan, ungkapan-ungkapan itu sudah tergolong ‘berbahaya’. Begitu pula gugatan yang dilontarkan dalam Tajuk Rencana ‘Aspirasi’ bulan April 1974, yang agaknya ditulis Ketua DM Unpad Hatta Albanik, bahwa gerakan-gerakan kritis mahasiswa –berupa tuntutan-tuntutan kecil sampai kepada perubahan-perubahan besar di tingkat nasional– pada beberapa kondisi seringkali dinilai sebagai semata-mata dari nilai politis yang ditimbulkannya. Perlakuan politis dengan segala tipu daya pun coba diperlakukan baginya. Sikap itu lalu menimbulkan rangsangan untuk menumbuhkan militansi sikap mahasiswa untuk lebih reaktif lagi, karena tesis akan menimbulkan anti tesis.

Apa yang diutarakan dalam tajuk ini, kelak cukup terbukti kebenarannya. Pola reaksi dan cara kekuasaan yang salah dalam menanggapi sikap kritis mahasiswa, yakni dengan gaya militeristik yang makin dikembangkan pasca 1973, telah mendorong kekuatan kritis di masyarakat, terutama mahasiswa, secara perlahan namun pasti sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan yang ada tak boleh tidak pada akhirnya harus diakhiri. Apalagi makin terlihat betapa kekuasaan telah menjelma menjadi lebih keras dari waktu ke waktu, ibarat mengerasnya kulit kerang dalam rendaman air laut yang bergaram dan oleh sorotan sinar matahari. Dan bila sampai 1975-1976 masih ada yang melihat kemungkinan adanya suatu pilihan tengah, maka sesudahnya sejalan dengan fakta makin mengerasnya pola reaksi dari rezim kekuasaan maka kalangan kritis pada akhirnya menyimpulkan tak ada lagi pilihan tengah sebagai alternatif. Hanya tersisa satu alternatif, jatuhkan dan ganti Soeharto dengan Orde Baru buatannya.

Kampus-kampus lain seperti ITB, juga gigih mempertahankan sejumlah penerbitan mahasiswa yang mereka miliki seperti BB ITB (Berita-berita ITB) dan Majalah Scientiae yang dengan sengaja juga dirubah bentuknya menjadi tabloid. Untuk seberapa lama, penerbitan-penerbitan kampus ini bisa cukup leluasa dan bebas terbit, karena tidak diperlukan surat izin terbit atau surat izin cetak dari instansi-instansi resmi. Cukup dengan ‘restu’ intern dari lingkungan perguruan tinggi. Tapi pada saat kalangan kekuasaan merasa bahwa penerbitan-penerbitan kampus ini pada akhirnya bisa juga menjadi duri baru dalam daging, akhirnya dikeluarkan lagi satu ketentuan baru bahwa penerbitan kampus pun perlu melengkapi diri dengan izin-izin resmi dari Departemen Penerangan (dengan rekomendasi Kopkamtib tentunya) seperti halnya dengan penerbitan-penerbitan umum. Satu lagi ‘kebebasan berekspresi’ berhasil dicabut penguasa dari kehidupan kampus perguruan tinggi.

Bersamaan dengan pengetatan terhadap pers kampus, penguasa pun makin keras terhadap pers nasional. Budaya telpon dari kalangan penguasa kepada redaksi berbagai media pers untuk menegur tumbuh dan makin menjadi dari waktu ke waktu. Atas nama Kopkamtib atau instansi militer dan kekuasaan lainnya, cukup seorang Mayor yang menelpon untuk mengatur apa yang boleh dimuat dan apa yang tidak boleh dimuat sebagai berita. Lama kelamaan, isi pemberitaan pun bisa didiktekan arahnya, dan bahkan sampai kepada suruhan pemutarbalikan fakta. Martabat pers betul-betul didorong ke tingkat yang paling rendah. Pers dengan sendirinya tidak mampu lagi menjadi alat mediasi kepentingan masyarakat dan kebenaran. Kalau pun unsur pers ingin memperjuangkan kebenaran dan keadilan, itu harus dilakukan dengan ‘bergerilya’ melalui formulasi penyajian yang sangat taktis dan halus terselubung. Terakhir, sejak tahun 1980-an kalangan penguasa bahkan secara jelas masuk ke dunia pers melalui penguasaan permodalan. Banyak sanak keluarga dan kerabat kalangan kekuasaan terjun menguasai media cetak dan elektronik. Beberapa stasiun televisi swasta besar didirikan dengan topangan uang keluarga kalangan kekuasaan puncak. Semuanya, demi pengendalian.


Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (2)
 “Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus”. “Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi”.

MASIH pada pertengahan 1974, suatu sorotan yang terkait dengan militer kembali muncul di kalangan perguruan tinggi Bandung mengulangi sorotan di tahun 1970 tentang hubungan sipil-militer dan 1973 mengenai ketidakberesan pelaksanaan Wajib Latih Mahasiswa (Walawa). Kali ini menyangkut Wajib Militer yang lebih dikenal dengan singkatan Wamil. Beberapa pers kampus menempatkan masalah tersebut sebagai fokus sorotan. ‘Aspirasi’ misalnya menempatkan judul “Wamil: Bhakti atau Momok ?”. Ketua DM ITB yang baru, Prasetyo Sunaryo (1974-1975) yang terpilih setelah berakhirnya kepengurusan DM ITB 1973-1974 yang dipimpin Muslim Tampubolon, menyoroti konsep Wajib Militer yang dijalankan saat itu “belum jelas dan belum matang”. Menurut Prasetyo, di ITB, pemanggilan untuk mengikuti Wajib Militer ditujukan langsung kepada individu. Ini menunjukkan belum tertibnya prosedur pemanggilan. Di perguruan tinggi lainnya, seperti di Universitas Padjadjaran, pemanggilan Wamil melalui pimpinan fakultas tanpa sepengetahuan pimpinan universitas. Prasetyo menyangsikan urgensi dari Wamil. Hal ini menurutnya dapat bersumber dari masalah apakah tepat seorang sarjana yang merasa tidak mampu berkarier militer, dipanggil untuk Wamil. Dalam bahasa seorang dokter lulusan Universitas Padjadjaran, “yang saya tidak setujui dari Wamil adalah cara pemanggilan yang berupa paksaan”. Hal lain yang diprotes adalah mengenai jenjang kepangkatan. Bisa terjadi bahwa seorang sarjana lulusan 1974 dan sudah menjadi mahasiswa sejak 1967, seperti dicontohkan dr Ridad Agus, dalam kesatuan militernya terpaksa harus memberi hormat karena kalah pangkat kepada seorang lulusan Akabri 1973 yang baru lulus SMA pada tahun 1969.

Sorotan terhadap masalah Wamil pada pertengahan 1974 ini, sebagaimana sorotan serupa pada Mei 1973, tidak mendapat solusi dan jawaban yang jelas dari kalangan kekuasaan. Hal ini tak lain menunjukkan bahwa selain terdapatnya begitu banyak perbedaan pandangan kalangan perguruan tinggi dengan kalangan kekuasaan, khususnya militer, penguasa memang tidak ‘menyenangi’ kritik. Bagi penguasa, kritik hanya akan merintangi hasrat ‘memenangkan’ keinginannya sendiri diatas keinginan pihak lain. Penguasa hanya butuh mobilisasi dukungan untuk makin memperkokoh kekuasaan. Hal serupa berlaku dalam berbagai pokok persoalan lainnya, termasuk ke dalam hal yang lebih serius seperti mengenai masalah demokrasi. Dan sebagai bagian dari hasrat anti demokrasi dari kalangan kekuasaan, selain sekedar pengekangan terhadap kampus-kampus sebagai salah satu sumber utama sikap kritis, maka kampus pun perlu ‘diobrak-abrik’. Alat yang paling tepat untuk itu tak lain dari operasi-operasi intelejen sampai ke dalam kampus. Bila sebelum 1974, operasi-operasi intelejen yang dilancarkan ke kampus-kampus masih cukup terselubung, maka pada masa-masa sesudah Malari operasi-operasi intelejen itu dilakukan secara lebih terbuka.

Perbedaan pandangan antara kalangan perguruan tinggi dengan kalangan militer yang mendominasi rezim Soeharto, bukan hanya mengenai pokok soal seperti soal Wamil, tetapi meluas dan memasuki wilayah yang lebih prinsipil yakni mengenai masalah demokrasi dan kemanusiaan. Begitu kuat tekanan yang diberikan penguasa, sehingga di dalam menjawab tekanan tak jarang para mahasiswa harus ‘memainkan’ taktik dan diplomasi yang berkadar cukup tinggi. Mereka pun harus ekstra hati-hati karena kerap kali pula kata-kata mereka dibuat ‘salah’ mengerti oleh pers tertentu sehingga melahirkan judul-judul berita yang memberi pengertian terbalik, tetapi cukup aneh bahwa kesalahan seperti itu serentak dilakukan dua atau tiga media pers ‘lunak’ dan atau dikenal sangat ‘tunduk’ kepada kekuasaan.

DM ITB misalnya pada bulan Nopember 1974 pernah ditampilkan dalam berita seolah-olah mempersalahkan para aktivis 1973-1974, bahwa adanya kesalahan yang mengakibatkan Peristiwa 15 Januari di Jakarta telah membawa pengaruh tidak kecil terhadap aktivitas mahasiswa di Indonesia. Lalu menurut berita itu Ketua DM ITB (1974-1975) yang baru terpilih, Prasetyo Sunaryo dan kawan-kawan –Joseph Manurung, AM Tomo, Sahala R. Rajagukguk, M. Ismirham dan Junus Situmorang– diberitakan atas nama seluruh mahasiswa berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan rekan-rekannya beberapa bulan lalu itu. Dalam pemberitaan Kompas (19 Nopember 1974) yang lebih bisa dipercaya, justru para fungsionaris DM ITB itu diberitakan menyatakan di depan Komisi IX DPR kerisauan mereka “bahwa pembinaan generasi muda oleh pemerintah dewasa ini dirasakan menghambat kreativitas generasi muda itu sendiri”, misalnya dengan keharusan bergiat melalui wadah KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Seyogyanya segala kegiatan mahasiswa sejauh mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi –Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat– tidak dihambat atau dibatasi. Sebelumnya, para mahasiswa itu mengungkap bahwa Menteri P&K Sjarif Thajeb menyatakan kepada mereka kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar kampus diperbolehkan sejauh kegiatan itu mencerminkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan disetujui rektor.

Tapi berdasarkan pengalaman empiris setelah beberapa bulan ‘bersama’ Sjarif Thajeb, para mahasiswa menyadari, banyak hal dari ucapan sang Menteri pada akhirnya ternyata tak dapat dijadikan pegangan. Perlahan namun pasti, wujud penguasa di mata kalangan perguruan tinggi, adalah penguasa yang makin militeristik, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Setelah tercekam dalam supresi selama beberapa lamanya, mahasiswa perlahan-lahan bangkit dan makin meningkatkan sikap kritisnya secara lebih nyata hingga 1976. Setelah Pemilihan Umum 1977, sejumlah dewan dan senat mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Bandung, mencetuskan Memorandum Mahasiswa Bandung yang berisi tuntutan perbaikan tubuh MPR/DPR-RI. Memorandum itu mereka sampaikan tepat pada hari pelantikan anggota MPR/DPR baru hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977. Sebelumnya, 13 September 1977, sejumlah mahasiswa ITB, IPB dan UI bahkan membentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat Sementara’ mengganti DPR yang sedang reses, untuk mengisi apa yang mereka anggap sebagai ‘kekosongan’ ketatanegaraan setelah ‘non aktif’nya DPR lama sementara DPR baru belum dilantik. Laksus Kopkamtibda Jaya merasa perlu untuk menahan 8 mahasiswa anggota ‘DPR Sementara’ ini, sebagai bagian dari tindakan represif yang tak dapat ditawar lagi. Sikap represif kalangan penguasa, memicu aksi-aksi mahasiswa yang lebih besar dan lebih besar lagi. Dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1977, usai upacara peringatan, ribuan mahasiswa dan pelajar Bandung turun berbaris ke jalan-jalan kota Bandung dalam ‘kawalan’ panser tentara.

Suatu ketegangan baru telah terpicu. Tatkala kritik mahasiswa makin meningkat, kalangan kekuasaan yang merasa ‘berhasil’ dengan cara-cara keras dalam memadamkan Peristiwa 15 Januari 1974, kembali mengulangi sikap-sikap keras dengan kadar yang semakin tinggi.


Pendudukan Kampus 1978: Luka Ketiga Dalam Hubungan Mahasiswa-Tentara (3)
 “Penanganan yang sangat represif dan militeristik ini, menjadi luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik”. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’.

DENGAN memberi judgement bahwa gerakan mahasiswa menjelang dan pada awal tahun 1974 adalah bagian dari konspirasi dan makar, dan setelah itu kalangan kekuasaan lalu menjalankan penanganan-penanganan dengan treatment konspirasi –yang berlanjut lagi dalam penanganan selanjutnya terhadap gerakan-gerakan mahasiswa berikutnya– kalangan kekuasaan telah menggiring para mahasiswa ke suatu lubang kesimpulan bahwa kalangan kekuasaan itu tak cukup hanya dikoreksi, tetapi harus diganti. Maka sesudah 1974, hingga 1978, terlihat bahwa mahasiswa, khususnya di Bandung, sampai kepada tuntutan-tuntutan untuk mengganti Soeharto. Dan demi mematahkan gerakan dan tuntutan untuk menurunkan serta mengganti Soeharto yang makin gencar dilancarkan para mahasiswa Bandung generasi pasca 1974 itu, rezim Soeharto memilih suatu jalan kekerasan dengan kadar tinggi yang belum pernah dilakukan sebelumnya – bahkan di zaman Soekarno-Orde Lama sekalipun, betapapun diktatornya mereka digambarkan oleh Soeharto dan Orde Baru-nya.

Pada bulan Januari 1978 menuju bulan Pebruari, Menteri P&K Sjarif Thajeb mengikuti perintah Kopkamtib, membubarkan DM ITB (1977-1978) yang dipimpin oleh Heri Akhmadi. Sebab musabab utama pastilah karena keluarnya pernyataan mahasiswa 16 Januari 1978 yang menyatakan tidak setuju kursi Presiden diduduki dua kali berturut-turut oleh orang yang sama. Ini berarti, mahasiswa tidak setuju Soeharto menjadi Presiden untuk kedua kalinya –dihitung dari periode MPR/DPR hasil Pemilihan Umum 1971– dalam pemilihan presiden pada SU-MPR yang akan berlangsung Maret 1978. Di depan kampus ITB terpampang jelas spanduk yang dibuat mahasiswa: Tidak berkehendak dan tidak menginginkan pencalonan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersamaan dengan pernyataan penolakan itu, mahasiswa mengeluarkan ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978’. Penguasa segera melarang secara resmi Buku Putih tersebut. Tindakan pembubaran dan aneka tekanan lainnya dilakukan pula terhadap DM-DM yang lain di Bandung, terutama pada beberapa perguruan tinggi utama seperti antara lain Universitas Padjadjaran, Universitas Parahyangan dan IKIP.

Tampaknya saat itu tekanan utama ditujukan ke ITB. Tanggal 21 Januari 1978 Radio ITB 8-EH yang dianggap sebagai corong suara mahasiswa, disegel oleh Laksus Kopkamtibda Jawa Barat. Bersamaan dengan itu beberapa tokoh mahasiswa, terutama dari ITB, ditangkapi dan dikenakan penahanan. Muncul gelombang protes sebagai tanda solidaritas dari mahasiswa Bandung. DM ITB lalu menyerukan suatu mogok kuliah melalui “Pernyataan tidak mengikuti kegiatan akademis’ (28 Januari 1978). Mereka juga menuntut segera membebaskan mahasiswa-mahasiswa yang ditahan, mencabut pembungkaman pers, dan menarik tuduhan-tuduhan sepihak terhadap mahasiswa.

Pers yang banyak memberi tempat dalam pemberitaannya mengenai pergolakan kampus ikut mendapat ‘gempuran’ kemarahan rezim Soeharto. Titik paling sensitif yang menyangkut kekuasaannya telah tersentuh oleh mahasiswa, dan pers dianggap ikut memberi angin dengan memberi tempat dalam kolom-kolom pemberitaannya bagi gerakan-gerakan mahasiswa itu. Sekaligus tujuh suratkabar harian di ibukota dikenakan tindakan pemberhentian terbit pada 25 Januari 1978. Dan keesokan harinya, dalam suatu ‘pertempuran’ tersendiri untuk menjaga agar eksistensi mereka tidak diputus untuk selama-lamanya para pemimpin redaksi dari 7 media itu terpaksa menjalankan taktik ‘mengibarkan’ bendera putih. Dalam satu surat bersama yang ditujukan kepada Presiden Soeharto mereka menyampaikan semacam permintaan maaf namun tanpa menggunakan satu pun kata maaf di dalam surat mereka itu.

“Kami dapat memahami tindakan yang diambil oleh Kopkamtib tersebut dalam rangka mencegah berlarut-larutnya keadaan yang dapat mengganggu stabilitas nasional yang dinamis, yang kami sadari bersama juga menjadi tanggung jawab pers dan setiap lembaga masyarakat lainnya. Dengan kesadaran rasa tanggung jawab yang demikian itu maka kami bertekad untuk selalu mengadakan introspeksi dan mawas diri, yang juga menjadi kewajiban setiap warga negara, lembaga masyarakat dan pemerintah sesuai dengan anjuran Bapak Presiden”, tulis mereka dalam surat. “Atas dasar itu maka kami mengharapkan kiranya Bapak Presiden berkenan memberi kesempatan agar suratkabar-suratkabar tersebut diijinkan terbit kembali dengan mengindahkan, memenuhi dan menjalankan segala ketentuan-ketentuan sebagaimana telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan, Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan-ketentuan lainnya. Dalam menilai sesuatu keadaan, baik yang berbentuk ulasan maupun berita, kami akan berusaha menahan diri sesuai dengan azas pers bebas dan bertanggungjawab”. Para penandatangan surat adalah Jacob Oetama (Kompas), Soebagio Pr (Sinar Harapan), R.P. Hendro (The Indonesia Times), Tribuana Said (Merdeka), HM  Said Budairy (Pelita), Charly T. Siahaan (Sinar Pagi) dan HS Abiyasa (Pos Sore). Di bawah tanda tangan mereka tercantum tanda tangan dua orang yang menyetujui yakni Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Harmoko dan Ketua SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) Djamal Ali SH.

Permohonan untuk terbit kembali dikabulkan beberapa waktu kemudian. Para pemimpin suratkabar ini berada dalam suasana dilematis. Di satu sisi mereka memikirkan fungsi-fungsi idealistik dari pers berdasarkan keadilan dan kebenaran, tapi di sisi lain mereka pun memikirkan nasib ratusan karyawan mereka serta kelangsungan eksistensi mereka sebagai media pers. Memang benar juga, bahwa bilamana seluruh pers yang dibreidel itu –tujuh media– akan dimatikan untuk seterusnya, dunia pers Indonesia akan mengalami kehilangan dan kekosongan yang panjang. Tapi bagi seorang wartawan muda seperti Jus Soemadipraja, surat permohonan kepada Soeharto yang dilayangkan para seniornya itu, amat mengusik hati nurani. Baginya, para pemimpin redaksi itu seakan mengakui telah melanggar sendiri kode etik jurnalistik Indonesia, dan telah melakukan pula segala rupa penyimpangan dari tugas dan tanggung jawab pers Indonesia sendiri, “dan dengan demikian telah menghukum diri sendiri”. Jus yang semula adalah wartawan Harian Indonesia Raya yang dibreidel empat tahun sebelumnya segera setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dan kemudian diterima Jacob Oetama sebagai wartawan Harian Kompas, karena tak dapat mendamaikan hal itu “dengan bisikan hati nurani”nya, saat itu memilih untuk mengundurkan diri dari dunia kewartawanan.

Kampus ITB pada hari-hari terakhir Januari 1978 itu dipenuhi poster, dan mahasiswa betul-betul mogok kuliah. Mahasiswa memasang spanduk yang bertuliskan “Turunkan Soeharto !”. Lalu DM ITB mengeluarkan suatu deklarasi yang menyatakan tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, tepat di akhir Januari 1978. Untuk berjaga-jaga terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan mahasiswa ITB melakukan penjagaan dan pengawasan atas pintu-pintu kampus, agar tidak dimasuki oleh orang-orang luar kampus yang tidak diinginkan. Namun jawaban penguasa adalah lain sama sekali. Tentara menyerbu kampus dengan mengerahkan pasukan-pasukan bersenjata lengkap dipimpin sejumlah komandan muda yang kelak akan menduduki posisi-posisi penting dalam jajaran militer dan kekuasaan. Dengan popor dan bayonet mereka merasuk ke dalam kampus dan menduduki kampus. Mereka mengerahkan pula tank dan panser serta memblokade kampus. Beberapa kampus utama Bandung lainnya juga mengalami hal yang sama dan ditempatkan dalam pengawasan militer. Pendudukan kampus ITB, Universitas Padjadjaran, IKIP dan kampus Bandung lainnya berlangsung hingga 25 Maret 1978, hampir dua bulan lamanya. Telah tercipta Luka Ketiga dalam hubungan tentara dan kekuasaan dengan mahasiswa.

Rezim mengerahkan pasukan dengan komandan-komandan muda –hasil regenerasi tentara, lulusan akademi militer– seperti Feisal Tanjung dan Surjadi Sudirdja, menduduki beberapa kampus utama di Bandung yakni ITB, Universitas Padjadjaran dan IKIP serta ‘pengawasan’ terhadap kampus-kampus lainnya. Pendudukan dilakukan oleh beberapa SSK (satuan setingkat kompi) dengan cara-cara kekerasan, menggunakan popor, bayonet dan tendangan mengatasi perlawanan mahasiswa Angkatan 1978. Betul-betul khas militeristik, yang menambah lagi daftar luka traumatik dalam sejarah. Pertama kalinya sejarah Indonesia mencatat pendudukan kampus perguruan tinggi sepenuhnya oleh kekuasaan militer hanya karena berbeda pendapat dan konsep tentang kekuasaan. Sesuatu yang oleh kolonial Belanda sekalipun tak pernah dilakukan. Merupakan ironi bahwa peristiwa ini terjadi di wilayah Kodam Siliwangi yang perwira-perwiranya dari waktu ke waktu secara historis memiliki kedekatan dengan mahasiswa. Panglima Siliwangi saat itu, Mayjen Himawan Sutanto, rupanya tak berkutik menghadapi perintah Jakarta. Saat pecahnya Peristiwa Malari 1974 di Jakarta tentara juga ‘memasuki’ kampus, namun itu berlangsung hanya dalam waktu ringkas dan bentuk yang sedikit berbeda.

Inilah awal yang kelak membuat hampir tidak pernah ada perwira militer generasi penerus lulusan akademi militer yang mempunyai keberanian untuk tampil berkomunikasi dengan kampus-kampus perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Di tangan generasi baru ABRI ini jurang komunikasi dengan kampus telah menjadi semakin menganga. Apalagi setelah secara nyata para perwira produk akademi ABRI ini ‘bersimpuh’ kepada Soeharto, ikut menikmati kekuasaan dan menjadi kaki dan tangan bagi Soeharto dengan Orde Baru-nya yang telah tergelincir korup penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak pelak lagi banyak di antara perwira generasi baru ini kemudian secara tragis dicatat sebagai ‘musuh’ rakyat. Banyak dari mereka kemudian dijuluki sebagai musuh demokrasi, penindas hak asasi manusia dan pengabdi kekuasaan otoriter serta menjadi pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Beberapa tokoh gerakan mahasiswa Angkatan 78 ditangkap dan dipenjarakan, seperti antara lain Heri Akhmadi dan Hindro Tjahjono. Salah satu tokoh lainnya, Rizal Ramli, meloloskan diri dan tidak harus masuk mengalami ‘romantika’ dalam penjara politik. Penanganan yang sangat represif dan militeristik inilah yang kemudian dicatat sebagai luka ketiga dalam hubungan mahasiswa-tentara, setelah ‘Insiden 6 Oktober 1970’ dan ‘Peristiwa 15 Januari 1974’. Luka ketiga ini pada akhirnya memperkuat keyakinan para mahasiswa dan menjadi persepsi yang berkelanjutan di kalangan generasi berikutnya, bahwa kekuasaan adalah suatu ‘lubang hitam’ yang menelan segala, dan karenanya memang harus dilawan, dijatuhkan dan diganti, tidak cukup sekedar dikoreksi dan dikritik. Generasi terbaru mahasiswa bahkan sampai kepada terminologi ‘potong satu generasi’. Tapi pada dirinya sendiri, terminologi ini bisa bermakna harus turun tangan mengambil kekuasaan, sesuatu yang sebenarnya ada di luar hakekat, jangkauan kemampuan, dan martabat sebagai satu lapisan kekuatan moral bangsa. Meski berdasar pengalaman paling aktual, pada saat meluncurkan gerakan reformasi, dengan beberapa kelemahan konseptual, gerakan reformasi dan benefitnya telah diambil alih oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dari tangan para mahasiswa untuk tiba pada posisi kekuasaan baru.

(-Diolah kembali dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1975, Penerbit Buku Kompas, 2004).