Gerakan mahasiswa tahun 1978 (dari kacamata dosen)

Gerakan mahasiswa tahun 1978 (dari kacamata dosen)

Ini adalah kutipan pengalaman seorang dosen ITB
sewaktu kampus ITB diduduki oleh ABRI


(dicuplik dari Buku "Aura Biru: Catatan Para Pelaku Sejarah ITB", hal 140-143)

Pada tanggal 21 Januari 1978 kira-kira jam tujuh pagi, Hariadi Soepangkat, Dekan FMIPA ITB, muncul di depan rumah saya untuk memberitahukan bahwa kampus diduduki tentara. Iskandar Alisjahbana ingin segera mengadakan Rapim. Saya langsung pergi ke ITB Pusat, dan mendapati bahwa halamannya telah dipenuhi oleh dosen, karyawan dan mahasiswa yang tidak diperbolehkan tentara masuk kampus. Rapimpun digelar.

Karena tentara menduduki kampus sejak dini hari, tidak banyak informasi yang dapat diolah oleh rapat untuk penilaian situasi. Oleh karena itu Rektor akan coba masuk ke kampus untuk melakukan sendiri penilaian situasi. Karena situasi menyeluruh penuh ketidakpastian, Rapim mengambil langkah untuk mempersiapkan seorang menjadi pemangku jabatan rektor (PJR) untuk menjamin bahwa ITB tetap mempunyai pemimpin seandainya terjadi sesuatu pada diri Iskandar Alisjahbana sebagai rektor.

Saya mengusulkan agar mandat PJR diberikan kepada Saswinadi Sasmojo, Sekretaris Badan Pengembang ITB, karena di antara semua sekretaris ITB pada waktu itu, Sas adalah yang paling misterius dan tidak banyak dikenal di luar ITB. Lainnya sudah banyak dikenal seperti Prof Sosrowinarso (Sekretaris Bidang Akademis), Prof. Matthias Aroef (Sekretaris ITB Bidang Administrasi dan Keuangan), Prof. Soepangat Sumarto (Sekretaris Bidang Kemahasiswaan), dan Drs. But Moechtar (Sekretaris Bidang Komunikasi). Saya sendiri sebagai Sekretaris Bidang Penelitian dan Pengembangan sudah terlalu banyak exposed pada waktu Tekno-ITB 77. Usul saya diterima dan mandat "supersemar" untuk Sas pun diketik oleh Usman Sastranegara, Kepala Biro Rektor, dan ditanda tangani oleh Iskandar Alisjahbana.

Sesudah rapat, Iskandar Alisjahbana ingin cepat-cepat masuk ke kampus untuk melihat keadaan di sana. Siapa lagi kalau bukan saya yang diajak Iskandar Alisjahbana untuk ikut bersama dia. Sesudah mendapat lampu hijau dari komandan pasukan pendudukan, kira-kira jam 10.00 pagi masuklah Iskandar Alisjahbana dan saya melalui pintu gerbang Jl. Ganesha dengan berjalan kaki. Memang banyak tentara terlihat pada posisi-posisi tertentu di dalam kampus dan ada yang berjalan berkelompok seperti sedang patroli.

Tidak jauh sesudah kami melewati gerbang yang ada jam di atasnya maka terlihatlah kira-kira dua ratus orang mahasiswa yang telah disandera, disuruh duduk rapi dalam beberapa baris di lantai lapangan basket, tanpa pakai kemeja, sedang dijemur di panas matahari.

Belum sempat Iskandar Alisjahbana berbicara lama dengan mahasiswa datanglah kurir membawa berita bahwa Rektor ITB dipanggil ke Kodam Siliwangi dan diminta segera datang.

Waduh, mau diapakan Iskandar Alisjahbana ini pikir saya. Saya terus disuruh ikut menemani dia dan sewaktu kami tiba di ruang rapat Kodam Siliwangi, di sana sudah ada Rektor Unpad dan Rektor Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) beserta jajaran masing-masing. Dari ITB Sosrowinarso dan Soepangat Sumarto pun sudah hadir juga dan bergabung duduknya dengan Iskandar Alisjahbana. Rapat dipimpin oleh Mayjen Himawan Soetanto, Pangdam Siliwangi, yang menjelaskan kampus-kampus mana saja yang diamankan oleh ABRI dan bahwa yang mendorong ABRI untuk melakukan pengamanan kampus-kampus tersebut adalah berbagai kegiatan mahasiswa yang anti Pemerintah. Pendudukan kampus akan segera diakhiri karena maksudnya adalah sebagai warning saja kepada civitas akademika. Rapat berlangsung sampai sore hari lewat jam 17.00 wib.

Sehabis rapat, Iskandar Alisjahbana buru-buru mau masuk lagi ke kampus untuk melihat mahasiswa. Yang menjadi pikiran yang merisaukan waktu itu adalah potensi terjadinya konflik dan kekerasan antara mahasiswa dan tentara di dalam kampus dalam kegelapan malam hari.

Apalagi kalau mengingat kebiasaan mahasiswa ITB yang suka meledeki orang. Tentara yang diledek kan bisa ngamuk? Sesudah mendapat ijin masuk lagi dari komandan pasukan pendudukan, sesampainya dekat lapangan basket Iskandar Alisjahbana dan saya langsung diberi tepuk tangan dan sorakan oleh mahasiwa yang jumlahnya sudah menggelembung menjadi kira-kira dua kali lipat dari yang kami temui pada paginya.



Mahasiswa dikumpulkan di lapangan bola untuk didata.

Mereka juga sudah lebih santai dan ada yang sedang tiduran di atas rumput mendengarkan radio transistor, yang telah berhasil diseludupkan masuk ke kampus. Rupanya tambahan mahasiswa itu telah masuk menyusup dari rumah-rumah di Jl. Juanda yang berbatasan dengan bagian Timur kampus, antara lain, melalui halaman rumah Jenderal Mashuri.

Tiba-tiba ada mahasiswa yang berteriak ke arah Iskandar Alisjahbana dan saya "Rektor ITB sudah ditangkap."

Langsung dijawab Iskandar Alisjahbana, "Siapa yang bilang. Saya kan ada di sini." Si mahasiswa menjawab "Radio Australia pak." Lalu Iskandar Alisjahbana mengatakan "Jangan percaya semua yang disiarkan radio Australia."

Iskandar Alisjahbana meminta para mahasiwa untuk tenang dan tidak memprovokasi kemarahan tentara. Iskandar Alisjahbana berjanji akan menyelesaikan masalah secepatnya sehingga kampus dapat normal kembali. Melihat keadaan mahasiswa yang sudah lebih rileks, Iskandar Alisjahbana dan saya pun agak tenang sewaktu meninggalkan mereka bermalam bersama tentara di dalam kampus.

Saswinadi, sebagai pemangku "supersemar ITB", dalam pada itu telah memobilisasi para ibu, isteri dosen ITB, untuk menyumbangkan makanan dan minuman untuk para mahasiswa yang di sandera di dalam kampus. Dengan ijin Jenderal Mashuri, Saswinadi kemudian menyampaikan makanan dan minuman melalui alur penyusupan mahasiswa masuk ke kampus, dan juga membagikannya kepada tentara pasukan pendudukan.

Keesokan harinya, Iskandar Alisjahbana, Saswinadi dan saya mengadakan pertemuan di rumah Iskandar Alisjahbana di Jalan Sulanjana. Karena Heri Akhmadi sudah ditangkap, delegasi Dewan Mahasiwa dipimpin oleh Jusman Sjafei dan Hafis. Iskandar Alisjahbana meminta mahasiswa untuk ikut mendinginkan suasana demi menyelamatkan kampus dan kegiatannya.

Entah bagaimana tafsir intel pada waktu itu mengenai pertemuan dengan mahasiswa ini, pada malam harinya rumah Iskandar Alisjahbana, tempat diadakannya pertemuan, ditembak oleh orang tak dikenal.

Beberapa hari kemudian, kalau tidak salah tiga hari kemudian, Rektor Iskandar Alisjahbana dan jajarannya diminta datang pada dini hari ke Jalan Ganesha untuk menerima kembali kampus ITB dalam suatu acara serah terima.

Rupanya warning dari penguasa dengan pendudukan kampus yang pertama tidak menyurutkan perjuangan dan aksi-aksi mahasiswa yang menentang kelanjutan kepresidenan Pak Harto. Padahal akhir Maret kian mendekat, yaitu masa untuk Presiden "terpilih" akan dilantik oleh MPR.

Maka terjadilah pendudukan kampus yang kedua pada 9 Februari 1978. Kali ini dilakukan oleh tentara yang didatangkan dari luar Jawa Barat oleh Pangkowilhan Jawa-Madura, Jenderal Soedjono Djono. Tentaranya bukan dari Divisi Siliwangi. Kali ini lebih mencekam karena mereka tidak ramah seperti pasukan Siliwangi.

Pada tanggal 11 dan 12 Februari 1978 diadakan rapat Senat Guru Besar untuk mencari solusi atas adanya "masalah antara ITB dan Pemerintah" yang menyebabkan terjadinya pendudukan kampus kembali oleh ABRI. Dalam rapat terjadi perdebatan-perdebatan seru dan Senat menjadi terbagi dua. Selama sidang berlangsung, sebentar-sebentar Oetarjo Diran pergi keluar ruang rapat untuk menerima telepon dari Jakarta. Entah dari siapa.

Singkatnya, pada tanggal 12 Februari 1978 siang telah dicapai kesepakan Senat untuk membentuk Dewan Pimpinan ITB (Rektorium), suatu kepemimpinan ITB yang kolektif, sebagai solusi terhadap "masalah ITB." Dewan ini diketuai oleh Rektor Iskandar Alisjahbana, dengan anggota-anggota Sudjana Sapiie, Mudomo, Wiranto Arismunandar, dan Djuanda Suraatmadja. Hasil kesepakatan Senat Guru Besar ini disampaikan sebagai rekomendasi kepada Menteri Departemen P & K Syarif Thajeb dengan harapan dapat dikukuhkan menjadi ketetapan.

Pada kira-kira jam 14.00, Usman Sastranegara, Kepala Biro Rektor, melalui fax menerima Ketetapan Menteri persis seperti yang direkomendasikan oleh Senat Guru Besar dan memperlihatkannya kepada Saswinadi. Mengapa Saswinadi? Karena sebagai pemangku "supersemar ITB" mandatnya tidak pernah dicabut sesudah tentara yang melakukan pendudukan pertama ditarik keluar dari kampus.

Namun, setengah jam kemudian, Ketetapan Menteri yang sama diterima lagi oleh Usman, tapi kali ini tanpa nama Iskandar Alisjahbana sebagai Ketua Dewan Pimpinan.

Dengan ketetapan kedua ini, Iskandar Alisjahbana telah diberhentikan oleh Syarif Thajeb sebagai Rektor ITB. Saswinadi meminta Usman menyimpan Ketetapan Menteri Syarif Thajeb yang pertama diterima tadi, di mana nama Iskandar Alisjahbana masih tercantum sebagai Ketua Dewan Pimpinan ITB. Mestinya dokumen ini masih ada dalam file di Biro Rektor ITB.
http://www.kaskus.us