Biografi M Jusuf
Tidak Lengkap Memberi Informasi Supersemar
M Jusuf SM/dok
13 Maret 2006
SEJARAH pada awalnya selalu memihak kepada mereka yang tengah berkuasa. Namun seiring berjalannya waktu, fakta baru bisa saja mencuat meski hal ini juga bisa diperdebatkan, terutama ketika saksi pelakunya menutup diri atau tidak meninggalkan wasiat kesaksiannya. Kontradiksi seperti itulah yang selalu menarik diperbincangkan manakala membicarakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Supersemar 1966 bisa diibaratkan sebagai tiket yang memungkinkan Letnan Jenderal TNI Soeharto, kala itu, berkuasa penuh. Bahkan menjadi presiden lebih dari tiga dekade menggantikan Presiden Soekarno.
Namun bagaimana proses terbitnya, siapa yang menyimpannya hingga saat ini, dan bagaimana situasi yang terjadi 40 tahun lalu itu, tetap menjadi misteri. Terlebih para pelaku yang langsung terlibat hanya tinggal Soeharto.
Mantan presiden Soekarno sudah meninggal. Kemudian tiga jenderal yang ikut berperan dan diperkirakan mengetahui proses lahirnya Supersemar, Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M Jusuf sendiri, juga sudah kembali ke alam baka. Begitu pula pengetik naskah Supersemar, Brigjen Sabur.
Atmadji Sumarkidjo, melalui buku yang ditulisnya, Jenderal M Jusuf Panglima Para Prajurit, mencoba mengungkapkannya kembali berdasarkan kedekatannya dengan mantan Pangab itu.
Hanya, dalam buku lebih dari 458 halaman itu nyaris tidak ada hal baru, selain sekadar melengkapi cerita yang sudah ada. Namun temuan yang diungkap Atmadji bisa menimbulkan gambaran lain.
Jenderal Andi Muhammad Jusuf Amier, nama lengkap M Jusuf, ketika masih hidup pernah memiliki rencana memaparkan informasi yang disimpannya. Diharapkan, itu merupakan jawaban terhadap persepsi banyak orang seputar Supersemar yang masih meragukan apakah saat itu terjadi kudeta atau tidak terhadap Presiden Soekarno.
Namun belum sempat diungkap, sang jenderal keburu meninggal. Karena itu, Atmadji Sumarkidjo dibantu tim yang diketuai Mar'ie Muhammad serta melibatkan sejumlah pakar seperti Prof Dr Taufik Abdullah, Prof Dr Emil Salim, Prof Dr Salim Said, dan Dr Anhar Gonggong, mencoba meruntutnya kembali fakta seputar Supersemar.
Tidak Lengkap
Pengamat politik CSIS Dr J Kristiadi, melihat sosok M Jusuf sebagai sosok yang terkenal sebagai orang yang jujur, setia, penuh atensi, dan disiplin di republik ini.
''Dia merupakan bapak yang sebenarnya di mata prajurit karena perhatiannya. Namun dia adalah sosok yang tetap memegang disiplin. Ini membuat dirinya disegani. Sosok yang menarik perhatian ini, jadi lebih mendapat perhatian publik karena juga terkait dengan peristiwa besar yaitu Supersemar,'' katanya kepada Suara Merdeka, Sabtu (11/3) malam.
Dengan kredibilitasnya yang sudah diakui, Kristiadi tidak yakin kalau Jusuf berbohong soal Supersemar. Kristiadi merasa lebih pas mengatakan Jusuf adalah seorang yang memosisikan diri sebagai pemberi informasi yang tidak lengkap, namun untuk tujuan yang lebih besar atau mulia.
''Jadi berbeda dengan berbohong. Bohong berkonotasi negatif. Tapi kalau mengatakan tidak benar atau mengatakan tidak lengkap, itu masih berkonotasi positif. Misalnya, saya dengan tujuan melarang anak saya merokok, lalu berkata yang tidak benar atau melebih-lebihkan. Kalau kamu merokok maka kamu mati muda, itu kan masih bertujuan baik,'' ujarnya.
Adapun tujuan Jusuf untuk tidak memberitahukan secara gamblang, mungkin untuk menghindari perpecahan atau hujat-menghujat dalam kehidupan bangsa ini. Mengingat sentimen bahkan dendam masa lalu di negeri ini masih mudah dihidupkan kembali.
Selain itu posisi Supersemar sendiri juga sangat strategi dan sensitif. Karena itu, adalah modal awal untuk melemahkan posisi Bung Karno.
Namun demi ilmu pengetahuan dan kebenaran sejarah bangsa ini, kajian terhadap Supersemar menurut Kristiadi harus tetap dihidupkan dalam konteks ilmiah.
''Oleh karenanya saya tidak setuju kalau kajian terhadap Supersemar lalu dihentikan dengan alasan takut membuka luka lama atau menumbuhkan dendam. Silakan saja karena ini adalah topik yang sangat menarik sebagai bahan kajian kita bersama, dalam rangka mencari kebenaran, tentunya'' jelas dia.
Menurut penuturan M Jusuf, sebagaimana ditulis Atmadji, Supersemar memiliki dua versi yang secara substansial berbeda jauh. Pada awalnya Jusuf, yang meninggal dunia pada 2002, menyebut naskah Supersemar hanya satu kopi dan diketik oleh Komandan Tjakrabirawa, Brigjen Sabur. Namun, kepada Jusuf Kalla (sekarang wakil presiden), Jusuf konon pernah menyebutkan, Sabur membikinnya rangkap tiga.
Lembar pertama ditandatangani Bung Karno yang dikirim kepada Letjen Soeharto, tindasan kedua diambil Sabur, tindasan terakhir disimpan Jusuf. Akan tetapi 23 tahun setelah peristiwa itu, Jusuf berusaha tidak mengungkap lagi sehingga konfirmasi atas versi yang pernah dia ceritakan tak bisa diungkap.
Menurut Atmadji, naskah asli dan juga dua tindasan hasil ketikan Sabur sampai hari ini lenyap. Pada sisi lain, meski dalam persoalan di atas sikap Jusuf tidak konsisten, yang tetap dia pegang teguh adalah penegasan bahwa naskah Supersemar terdiri atas dua lembar.
Yang jelas berdasarkan Supersemar itu Soeharto mengeluarkan surat keputusan, di Jakarta, tertanggal 12 Maret 1966. Keputusan Presiden/Pangti ABRI/ KOTI Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya di seluruh Indonesia. Disusul 18 Maret, keputusan menahan 15 menteri dan mengangkat sejumlah menteri ad interim menggantikan menteri yang dipecat.
Pembubaran PKI adalah soal prinsip, khususnya pascaperistiwa G30S, bahkan telah menjadi isu tarik-ulur antara Bung Karno dan lawan politiknya. Keputusan pembubaran PKI telah disebarluaskan. Namun tidak dijelaskan bagaimana Soekarno merestui pembubaran PKI yang sebelumnya dibela terus-menerus.
Buku biografi yang ditulis Atmadji itu juga membeberkan konflik dan ''pecah kongsi'' Soeharto dan Nasution. Dilukiskan saat pelantikannya sebagai presiden, Soeharto berpakaian pantalon dan memakai peci. Sementara itu, Nasution hanya mengenakan baju sederhana lengen pendek warna putih.
Bagi sejarawan Anhar Gonggong, apa pun fakta yang ditemukan dan bagaimana persepsi orang mengenai lahirnya Supersemar, tidak akan memiliki implikasi politik. Apalagi Soeharto dan Orde Baru tidak lagi berkuasa. Waktu tak mungkin diputar ulang. (Wahyu Atmaji, Hartono Harimurti-64v). http://www.suaramerdeka.com