Untung Samsuri (1)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto
KORAN TEMPO
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.
“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya.
Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. “Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkanUntung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”
Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Untung Samsuri (2)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (2)
KORAN TEMPO
Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi
Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya.
Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
“Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu. Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa. “Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi Batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa,” kata Suhardi. Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948.
“Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.” Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia, sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Untung Samsuri (3)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (3)
KORAN TEMPO
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….” Menurut Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya, pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. “Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio.
Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya. Dari mana Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio. Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.
Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Untung Samsuri (4)
Kisah Perwira Kesayangan Soeharto (4)
KORAN TEMPO
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional. Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Dalam perjalanan pulang, Soeharto seperti diyakini Subandrio dalam bukunya, sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh para jenderal itu.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya. Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak menghormat lagi.
“Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada. Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut.
Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya. Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman-lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo. Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta. “Itu tak
masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Untung Samsuri (5)
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul
KORAN TEMPO
Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya.
Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.
Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.
Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.
Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. “Ibunya pemain wayang orang desa kami,” kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.
Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, “Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri,” kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan.
Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.
Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.
Untung Samsuri (6)
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung Bajul (2)
KORAN TEMPO
Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. “Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu.” Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. “Pesta paling meriah waktu itu,” kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. “Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung,” kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. “Dia punya banyak kuli,” ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.
Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.
Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. “Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya,” kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.
Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. “Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar,” kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.
Untung Samsuri (7)
Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel
KORAN TEMPO
Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali, yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943. Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah.
Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. “Ada satu melati putih di pangkatnya.” Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan dibuatnya benderang. “Belanda tertipu,” kata Sadali. “Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota.” Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.
Prestasi di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.
Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung. “Jenderal Untung dikenal karismatis,” Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya Jenderal Untung. “Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat,” ujar Asibun, 40 tahun.
Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.
“Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov,” kata Syukur, yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. “Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto.” Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab.
Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.
Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. “Ia menjadi kasepuhan atau paranormal,” kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.
Untung Samsuri (8)
Sebuah Kunci dari Swedia
KORAN TEMPO
Letnan Kolonel Untung Samsuri diyakini ditanam Sjam Kamaruzzaman di Tjakrabirawa melalui Kapten Rochadi. Kapten itu eksil dan meninggal di Swedia.
30September 1965. Jam menunjuk pukul 7 malam di Istora Senayan, Jakarta. Tamu besar, Presiden Soekarno, sudah datang untuk menutup Musyawarah Kaum Teknisi Indonesia. Terasa benar Istora kian bungah.
Wakil Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan tak ikut larut pada pesta yang berlangsung hingga tengah malam itu. Ia makin waspada. Malam itu, dialah yang bertanggung jawab menjaga keselamatan Presiden. Atasannya, Brigadir Jenderal Moch. Saboer, sedang ke Bandung. Sekali lagi ia memeriksa setiap jengkal gedung itu.
Lhakadalah…, satu pintu yang mestinya tertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriak kepada seorang anak buahnya. Tentara itu kekarnya setanding dengan dia, namun lebih pendek. “Kenapa pintu itu terbuka?” Maulwi menghardik.
Yang ditegur menjawab singkat, lalu menjalankan perintah Maulwi. Dialah Letnan Kolonel Untung Samsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa.
Kepada Tempo dua pekan lalu, Maulwi menceritakan kembali kisah ini. Inilah pertemuan terakhirnya dengan Untung, sebelum peristiwa penculikan para jenderal beberapa jam kemudian. Maulwi mengaku sempat heran atas kelalaian Untung kala itu. “Dia itu tahu tugasnya apa. Saya heran, kenapa malam itu dia bisa sangat ceroboh dan lalai begitu,” ujarnya.
Tapi ia tak memperpanjang urusan tersebut. Ia tahu Untung sebenarnya dapat diandalkan. Untung memang tentara bermutu kelas satu. Dalam Operasi Mandala di Irian Jaya, ia menerima anugerah Bintang Sakti. Di medan tempur itu, cuma ada satu orang lagi yang menerima penghargaan tertinggi untuk tentara tersebut. Dia adalah L.B. Moerdani, yang juga pernah digadang-gadang untuk menjadi Komandan Tjakra di awal berdirinya resimen ini.
Tapi Heru Atmodjo, mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, menduga bergabungnya Untung dengan Tjakra tak semata karena prestasinya. “Ia bagian dari strategi Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI,” ujarnya. Heru—namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi—menyatakan penaut Untung dan Sjam adalah Kapten Sujud Surachman Rochadi. “Sjam yang memasukkan Untung ke Tjakrabirawa melalui Rochadi,” ujar Heru.
“Dia itu agen yang disusupkan Sjam ke Tjakra.” Nama Rochadi juga disebut anggota Provoost Tjakrabirawa, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. “Ke-PKI-an Rochadi dibina langsung oleh Sjam,” ujarnya.
Suhardi mengatakan informasi soal Rochadi-Sjam didapatnya dari Kapten Soewarno, komandan kompi lainnya di Batalion I Kawal Kehormatan. Soewarno mengaku kepadanya bahwa ia bersama Rochadi sering bertandang ke mes tentara Jalan Kemiri di bilangan Senen. “Di tempat itulah Sjam melakukan pembinaan terhadap keduanya,” kata Suhardi.
Jelas Rochadi orang penting PKI. Namun, menurut Heru, namanya tak pernah disebut dalam berbagai cerita tentang Gerakan 30 September 1965, “Karena pada 26 September ia berangkat ke Peking (sekarang Beijing) untuk menghadiri peringatan Hari Nasional RRC.”
Untung Samsuri (9)
Sebuah Kunci dari Swedia (2)
KORAN TEMPO
“Ia berangkat bersama Adam Malik dan tak kembali lagi ke Indonesia,” katanya. “Posisinya di Tjakra waktu itu digantikan oleh Dul Arief, yang memimpin operasi penculikan para jenderal.” Cerita ini membikin Maulwi heran. Mengaku tak ingat ada anak buahnya yang bernama Rochadi, dia mengatakan keikutsertaan seorang Tjakrabirawa dalam sebuah delegasi tak lazim terjadi.
“Tjakra hanya bertolak ke mancanegara jika Presiden berangkat ke luar negeri,” ujarnya. Heru juga menggarisbawahi soal ini. Rochadi, yang cuma seorang kapten, tak mungkin ikut delegasi itu jika bukan orang penting—resmi maupun tak resmi.
Tempo tak menemukan dokumen yang berkaitan dengan keberangkatan Rochadi kala itu. Namun, soal ini sudah diverifikasi Heru. Dia bahkan telah menemukan jejaknya di Swedia. Di sana ia sebagai eksil. Namanya sudah berganti menjadi Rafiudin Umar. Heru bercerita, saat ia mengontak Rochadi lewat telepon dan memanggil dengan nama aslinya, Rochadi langsung menutup telepon itu.
Ahli sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, juga pernah mencari Rochadi di Swedia setelah ia mendengar kisah Heru. Gagal. Dari para eksil Indonesia di negeri itu diperoleh keterangan bahwa Rochadi tak pernah bergaul dengan orang-orang yang diasingkan pemerintah Orde Baru.
“Orangnya disebut-sebut agak misterius. Dia juga tak pernah bercerita alasan sampai ia melarikan diri ke Eropa,” ujar Asvi. Jejak Rochadi dibaca Asvi dalam sebuah otobiografi di perpustakaan Institut Sejarah Sosial Indonesia yang diperoleh sejarawan asal Universitas Columbia, John Roosa, saat menulis buku tentang G-30-S/PKI. Dalam riwayat hidup setebal 31 halaman bertahun 1995 itu, tertulis Rochadi lahir pada 1927 dari pasangan Umar dan Kartini. Pada usia 17 tahun, ia masuk Heiho.
Di masa-masa awal kemerdekaan, ia bergabung dengan pasukan Divisi IV/Panembahan Senopati. Menjelang peristiwa Madiun 1948, divisinya sempat bentrok dengan Divisi Siliwangi, yang dikirim pemerintah untuk meredam gerakan Musso dan Amir Sjarifuddin.
Mengacu pada catatan itu, Rochadi tampaknya sejak awal sudah “kekiri-kirian” dan bersimpati pada gerakan Amir Sjarifuddin. Bagi Rochadi, peristiwa itu bukan pemberontakan PKI, melainkan provokasi dari pemerintah pusat yang disokong oleh Blok Amerika Serikat untuk memberangus PKI.
Dalam catatan itu, Rochadi tak menulis nama kesatuannya di Panembahan. Namun, menurut Heru, dia berada di Batalion Mayor Sudigdo. “Di sanalah awal pertautan Rochadi dan Untung,” kata dia. Rochadi berhasil lolos dari pembersihan PKI di tubuh Batalion Sudigdo, yang dilakukan Gatot Subroto, karena Belanda keburu melakukan agresi yang kedua.
Seusai agresi itu, dia ikut operasi penumpasan gerakan separatis Republik Maluku Selatan pada akhir 1950. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi komandan kompi Cadangan Umum (sejak 1963 namanya menjadi Kostrad) Resimen 15, yang kemudian digabungkan dalam Batalion Raiders 430 di bawah Komando Daerah Militer VII Diponegoro.
Pada Februari 1963, setahun setelah Tjakrabirawa berdiri, kompinya diboyong ke Jakarta untuk bergabung dalam Resimen Tjakrabirawa. Menurut buku Himpunan Peraturan-peraturan Resimen Tjakrabirawa, Rochadi diangkat sebagai salah satu komandan kompi Batalion I Kawal Kehormatan pada 3 April tahun itu. Pangkatnya letnan satu. Salah satu bawahan langsungnya adalah Boengkoes, yang pada penculikan para jenderal menembak mati Mayjen M.T. Harjono.
Untung Samsuri (10)
Sebuah Kunci dari Swedia (3)
KORAN TEMPO
Otobiografi Rochadi berhenti pada 1964. Setelah tahun itu, jejaknya di Tjakra tak jelas. “Ia meninggal empat tahun lalu di Swedia. Sayang, pada periode itu, ia disebut-sebut tengah memainkan peran penting karena ikut menentukan seleksi anggota Tjakra, termasuk memasukkan Untung,” ujar Asvi.
Tempo mencoba mendapatkan cerita dari putranya, yang kini tinggal di Swedia. Soalnya, menilik bagian pembukaan otobiografi itu, Rochadi menujukkannya bagi anaknya. Sayangnya, hingga tulisan ini diterbitkan, putranya tak bisa dihubungi. Namun, dari cerita yang didapatkan Asvi dari komunitas eksil di Swedia, putra Rochadi juga tak tahu banyak tentang kehidupan ayahnya.
“Jadi peran Kapten Rochadi ini masih samar-samar,” ujar Asvi. “Sungguhpun begitu, kemunculan namanya itu bagus karena berarti ada banyak hal yang masih bisa diungkap dari peristiwa 30 September.” Dari Maulwi—yang tak menampik kemungkinan Tjakra disusupi tentara kiri atau tentara yang sudah dipengaruhi Sjam—ada versi lain soal kedatangan Untung ke Tjakra. Dia mengatakan Tjakra tak ikut menentukan seleksi anggotanya.
“Semua keputusan seleksi anggota Tjakra ada di angkatan masing-masing. Jadi kami terima bersih,” katanya. Maka Maulwi melihat, yang paling berperan atas masuknya Untung ke Tjakrabirawa adalah para perwira tinggi di Angkatan Darat. Keputusan mengangkat Untung sebagai komandan batalion, ujarnya, diambil pada sebuah rapat di Markas Besar Angkatan Darat. “Untung lolos dari sana karena ia kesayangan (Ahmad) Yani dan Soeharto. Yani, Soeharto, dan Untung juga berasal dari Kodam Diponegoro.”
Tapi Maulwi menduga kuat Soehartolah yang paling berperan merekomendasikan Untung masuk Tjakrabirawa. Pasalnya, Batalion Raiders berada di bawah kendali Kostrad. Apalagi Untung dan Soeharto—yang sudah saling kenal jauh sebelum Operasi Mandala—memang dekat.
“Terbukti, saat Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah, Soeharto dan istrinya naik jip dari Jakarta ke Kebumen untuk menghadiri resepsinya,” ujar dia. Ada kisah dari Boengkoes, yang mendukung cerita Maulwi tentang peran Soeharto. Boengkoes mengatakan, ketika mengikuti seleksi Tjakra, dia sudah mengaku menderita wasir dan disentri sehingga langsung meninggalkan rumah sakit militer di Semarang. Eh, besoknya dia diberi tahu bahwa dia sehat dan lulus.
Kala itu, kata Boengkoes, ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. “Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi,” ujar Boengkoes.
Mana yang benar? Wallahualam. Tapi, menurut Asvi, menyusupkan orang ke Tjakrabirawa adalah bagian penting dari strategi. “Karena gerakan dijalankan dengan alasan menyelamatkan presiden, yang paling cocok menjalankannya adalah pasukan pengawal presiden.”
Untung Samsuri (11)
Yang Terbaik Lalu Terbalik
KORAN TEMPO
Idul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden. Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun kemudian.
Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongan di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam. Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan pengawal presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekarno.
Namun, kali ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di semua negara. Karena tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu, Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya. Masing-masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak Tjepat.
Angkatan Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B. Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah digadang-gadang sebagai komandan di kesatuan itu. Namun, pasukan elite ini menolak tugas tersebut dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya, mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.
Batalion ini sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini. Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu. Ia memberi nama Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.
Setahun kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih. Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa setelah itu cuma berisi tragedi.
Untung Samsuri (12)
Yang Terbaik Lalu Terbalik (2)
KORAN TEMPO
Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang jahat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1 Oktober 1965, ujar Suhardi kepada Tempo, ia—saat itu kapten—menemukan, di markasnya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Jawa Barat dan Jawa Timur. “Harusnya ada empat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-duanya tidak ada.”
Belakangan, sebagian anggota kompi itu tertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksi makarnya gagal, mereka melakukan long march ke pangkalannya di Srondol, Semarang, di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di Kota Udang, pasukan ini kehabisan ransum. Berdasarkan pemeriksaan di Cirebon oleh Mayor Soetardjo, diketahui bahwa yang terlibat gerakan Untung hanya 86 orang.
Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dake dalam bukunya, Soekarno File, ada banyak Tjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyiapkan kedatangan Soekarno ke Halim sehari sebelum 30 September. Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. Menurut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarno ke Halim diambil semata-mata agar dia dekat dengan pesawat kepresidenan Jet Star, yang mangkal di sana.
Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkan pengamat politik militer Australia, Ulf Sundhaussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Saelan memimpin Tjakrabirawa pergi ke Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak penculikan atas perintah Soekarno.
“Itu kebohongan yang menjijikkan,” ujar Maulwi. “Seperti laporan Soetardjo, yang terlibat hanya 86 orang.” Ia memang ke Lubang Buaya bersama pasukannya. Tapi ini berkat informasi dari agen polisi Sukitman, yang terculik bersama para jenderal dan kemudian ditemukan oleh pasukannya. Ketika memeriksa lokasi yang disebut Sukitman—yang sudah mereka serahkan ke Kostrad—pasukannya menemukan sumur tempat para jenderal itu dibuang.
Gara-gara aksi Untung, resimen ini bahkan coreng-moreng oleh perbuatan yang tidak mereka lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra dituduh menembak mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalam bukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, menulis, penembaknya sebetulnya anggota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.
Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret 1966. “Tugas kalian sudah selesai,” kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean kepada para petinggi resimen ini di Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggota Tjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putra terbaik angkatan), kembali ke kesatuannya. Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkan pengawalan presiden kepada Polisi Militer Angkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masih berlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilang tak berbekas. Anggota kompinya dijebloskan ke rumah tahanan militer.
Memang banyak anggota Tjakra yang tak dipenjara dan dipulangkan ke kesatuan lamanya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya, mereka rata-rata disisihkan. “Kami yang diperintahkan setia kepada Presiden dianggap kekuatan Soekarno yang harus disingkirkan,” ujar Maulwi. “Saya kasihan pada anggota Tjakra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada di posisi salah.”
“Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjaduad,” Maulwi menambahkan. “Tjaduad hanya tempat untuk tentara yang sudah masuk kotak… seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan.”
Untung Samsuri (13)
Tjakrabirawa, Dul Arief, dan ‘Madura Connection’
KORAN TEMPO
Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah “komunitas Madura”, yang di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.
Lelaki tua itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi. Dengan susah payah ia menyuapkan nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai. Sudah enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat tidur. Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat Tempo di rumah anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa hidupnya di atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam tragedi 30 September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam sebuah wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar pukul 15.00. “Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang akan ‘mengkup’ Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, menurut saya.”
Ia menyangka perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul 03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul lagi. “Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. Harjono,” ujar Boengkoes. Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T.
Harjono. “Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul Arief.” Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.
Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1950-an.
Perihal apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya mengagetkan: “Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo,” kata Heru kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
Dalam paper Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian dihadangnya.
Untung Samsuri (14)
Tjakrabirawa, Dul Arief, dan ‘Madura Connection’ (2)
KORAN TEMPO
Ben menemukan fakta bahwa ternyata Boengkoes telah mengenal akrab Dul Arief sejak 1947. Saat itu mereka bergabung dalam Batalion Andjing Laut di Bondowoso. Boengkoes mengawali karier semasa revolusi di Batalion Semut Merah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situbondo.
Setelah Semut Merah dihancurkan Belanda pada Juli 1947, ia bergabung dengan Batalion Andjing Laut di Bondowoso dengan pangkat prajurit satu. Sebagian besar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat keturunan Madura.
Selama clash kedua dengan Belanda, Boengkoes bertempur di sejumlah daerah, seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta. Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada 1953, pasukan Andjing Laut ditarik dari Seram. Seluruh personel Andjing Laut tak kembali ke Brawijaya, melainkan bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Di Divisi Diponegoro, nomor batalion berubah dari 701 menjadi 448. Namun, nama Andjing Laut tetap mereka pertahankan. Kemudian Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Hampir seluruh personelnya berdarah Madura. “Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoes berada dalam satu batalion 448 Kodam Diponegoro,” kata Heru Atmodjo. Dan yang mengejutkan lagi: “Komandannya waktu itu Kolonel Latief,” kata Heru.
Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwa Kolonel Latief pun sudah mengenal para eksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Setelah menyelesaikan Sekolah Kader Infanteri, Boengkoes dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga. Cadangan Umum adalah gabungan pasukan Garuda I dan II yang baru pulang bertugas di Kongo. Ada dua unit pasukan Cadangan Umum di Semarang, yakni baret hijau di Srondol dan baret merah di Mudjen. Dan informasi yang mengagetkan lagi: komandan baret hijau di Srondol saat itu, menurut Boengkoes, adalah Untung!
Ketika bertugas di Cadangan Umum inilah Boengkoes direkrut masuk Banteng Raiders I di Magelang. Tak lama kemudian ia direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meski sudah bersama dengan Untung sejak di Banteng Raiders, Boengkoes mengaku kepada Ben Anderson baru bertemu dengan Untung ketika sudah di Jakarta. “Saya belum kenal dia waktu di Srondol,” tuturnya.
Boengkoes tidak menghadapi kesulitan saat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boengkoes menderita wasir dan disentri. “Penyakit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya, saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadi saya senang.” Boengkoes tak sendirian. Ada seratusan personel Banteng Raiders yang juga lolos seleksi. “Dari Jawa Tengah, jumlah kami yang lolos seleksi cukup untuk membentuk satu kompi,” ujar Boengkoes. Tugas mereka menggantikan Polisi Militer berjaga di Istana Presiden.
Kepada Ben, Boengkoes menyebut Dul Arief sebagai kawan sehidup-semati. Keduanya kerap berbincang dalam bahasa Madura. Bongkoes bercerita, suatu waktu dia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke Pasar Senen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, ada warung cendol. Di papan namanya tertulis “Dawet Pasuruan”. Ada dua gadis berparas manis yang membantu pedagang cendol itu.
“Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum senyum. Saya mulai curiga,” ujar Boengkoes. Ternyata kemudian, pemilik warung tersebut mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.
Dan kedua gadis tersebut mengerti bahasa Madura. “Wah, mati aku,” ujar Boengkoes. Yang aneh, menurut Ben Anderson, setelah tragedi September itu Dul Arief, si anak angkat Ali Moertopo, dan Djahurup seolah hilang tak berbekas. Menurut Heru, beberapa hari setelah G-30-S dinyatakan gagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa berusaha lari dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon, pasukan CPM menghadang mereka. Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, menceritakan ke-60 orang tersebut mampir di sebuah asrama TNI di Cirebon karena tidak membawa bekal makanan. Salah satu prajurit di asrama tersebut berinisiatif melapor kepadanya. “Saya perintahkan mereka untuk ditahan dulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput,” kata Maulwi.
Tapi kemudian Dul Arief dan Djahurup hilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono, bawahan Dul Arief, yang kemudian disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa pada 1966 dan dituduh bertanggung jawab atas penculikan para jenderal tersebut.
“Dul Arief dan Djahurup tidak bisa dihadirkan dalam persidangan (Mahmilub),” kata Heru. Apakah keduanya “diamankan” Ali Moertopo? Entahlah.
Untung Samsuri (15)
Stroke Mengalahkan Penyuka Keroncong Itu
KORAN TEMPO
“Gelap. Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan putih lari. Anak buah saya berteriak, ‘Pak, ada bayangan putih.’ Saya mengangkat senjata dan dor….”
Hernawati baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur mata sapi. Meski rapuh, lelaki tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan dengan tangannya sendiri. “Sambil melatih tangan,” kata Hernawati, 50 tahun.
Lelaki yang kini berusia 82 tahun itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Pangkat terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, adalah sersan mayor. Menurut Hernawati, anak kedua Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah karena stroke. Ia susah berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Hernawati tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet Wagiyanto, 30 tahun, anak keduanya, untuk memotret sang kakek. “Percuma, Bapak tidak bisa bicara dan ingat apa pun,” ujar Hernawati. Boengkoes tinggal di Situbondo setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.
Hernawati berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu, Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang. “Ayamnya sekarang tinggal tiga ekor karena nggak ada yang ngerawat lagi,” kata Hernawati.
Hobi lain lelaki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong. Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati, hanya itulah kegiatan Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya sesama mantan tahanan politik.
Kepada anak-anaknya pun ia tak pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara atau saat berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau menambah beban keluarganya. Dulu, setiap tahun beban itu terasa makin berat ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah. Hampir seisi kampung tahu Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Namun, sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnya tak bersalah. “Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah atasan,” tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, “Nggak ada, tentara kok merasa bersalah, mana ada….”
Boengkoes kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.