Sepenggal Kahar Muzakkar di Parung Bingung
Catatan: Tulisan-tulisan berikut diambil dari Situs Berita Rakyat Merdeka (www.rakyatmerdeka.co.id), diawali kabar kematian Susana Corry van Stenus pada hari Sabtu, 1 April 2006. Dia adalah salah seorang istri Kahar Muzakkar–seorang yang pernah dikenal sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, sebelum akhirnya “divonis” sebagai pengkhianat.
Istri Kahar Muzakkar Meninggal di Cinere Pagi Tadi
Istri Kahar Muzakkar, Susana Corry Van Stenus, tadi pagi (Sabtu, 1/4) meninggal dunia di usia 85 tahun.
Corry yang akrab disapa Mami meninggal di kediamannya di Jalan Raya Parung Bingung, Cinere, Depok, beberapa saat usai menunaikan shalat shubuh sekitar pukul 05.00 WIB.
Selama hayatnya, Mami Corry setia mendampingi suaminya Kahar Muzakkar yang merupakan pimpinan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sulawesi Selatan.
Oleh para pengikut Kahar Muzakkar, si Mami dikenal sebagai Srikandi dari Sulawesi.
Kahar membentuk PRRI pada tahun 1950 karena ketidakpuasan kepada pemerintah pusat. Pemberontakan yang terjadi dimana-mana menyusul kesenjangan yang sangat mencolok antara pusat dengan daerah.
Tidak saja Kahar, saat itu pun meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DII/TII) pimpinan SM Kartosuwiryo, di Jawa Barat.
Pemberontakan Kahar Muzakkar dan Kartosuwiryo berakhir dengan kematian. Kahar ditembak pasukan Siliwangi di hutan Sulawesi Selatan pada 3 Februari 1965.
Sedangkan pasukan Siliwangi menangkap Karto pada 4 Januari 1962 dan menembaknya hingga mati pada 16 Agustus 1962 di Ancol. [t]
15 Tahun Corry Dampingi Kahar di Hutan Sulawesi
Jenazah Susana Corry van Stenus dimakamkan di TPU Parung Bingung, Depok, Jawa Barat, siang tadi (Sabtu, 1/4). Istri kedua Kahar Muzakkar itu meninggal dunia usai menunaikan shalat shubuh di kediamaannya.
Corry adalah blasteran Belanda-Klaten. Dia yang kerap dipanggil si Mami menikah dengan Kahar Muzakkar tahun 1947 di kota Klaten, Jawa Tengah. Di kota itu pula beberapa tahun sebelumnya Kahar muda yang lahir di Palopo, kota kecil di dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan, sempat menuntut ilmu di Madrasah Mualimin Mualimat.
Begitu menikah, dan masuk Islam, Corry memilih mengikuti kemanapun langkah Kahar Muzakkar. Tahun 1950 Kahar Muzakkar bergabung dengan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, dan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI), serta mengobarkan api pemberontakan terhdap pemerintahan. Bersama Kahar Muzakkar, Corry pun memilih masuk hutan.
Selama 15 tahun dia berjuang bersama Kahar di belantara Sulawesi. Corry memegang peranan penting selama masa gerilya itu, sebagai pemimpin Gerakan Wanita Islam (Gerwais), salah satu organisasi di bawah PRRI.
Seminggu sebelum pemberontakan PRRI berakhir, menurut kabar, Kahar Muzakkar menceraikan Corry. Dia meminta agar Corry keluar dari hutan menuju ke arah selatan. Sementara Kahar Muzakkar melanjutkan gerilya menuju tenggara.
Corry dan empat anak hasil perkawinannya dengan Kahar Muzakkar mengetahui kabar kematian Kahar dari pamflet yang disebarkan pemerintah Republik Indonesia.
Selain menyampaikan kabar kematian Kahar Muzakkar, dalam pamflet yang disebarkan dari udara itu pemerintah Republik Indonesia juga meminta agar para pengikuti Kahar meletakkan senjata dan kembali ke pangkuan republik.
Dalam wasiatnya, Corry yang oleh pengikut Kahar Muzakkar dijuluki sebagai Srikandi dari Sulawesi itu meminta agar jenazahnya digotong saat menju pemakaman. Dan begitulah, puluhan orang bergantian menggotong jenazah Corry menuju tempat peristirahatan terakhir, sekitar dua kilometer dari rumahnya.
Liang lahat Corry tertutup bersamaan dengan alunan azan yang terdengar dari masjid di dekat TPU Parung Bingung. [t]
Corry Sampaikan Surat Kahar Muzakkar untuk Sukarno
Susana Corry Van Stenus, wanita blasteran Belanda-Klaten yang wafat di Parung Bingung, Depok, tadi pagi (Sabtu, 1/4) , memainkan peranan penting selama konflik antara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan pemerintahan Sukarno di kurun 1950-1965.
Selama kurun waktu tersebut, istri kedua Kahar Muzakkar ini ikut sang suami bergerilya di hutan-hutan Sulawesi. Dia adalah Ketua Gerakan Wanita Islam (Gerwais), sebuah organisasi di bawah PRRI.
Kahar Muzakar bukanlah sosok asing bagi pemerintahan Sukarno. Laki-laki kelahiran Palopo, sebuah kota kecil di dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan itu ikut mengawal kemerdekaan Republik Indonesia.
Kahar yang sejak usia muda merantau ke Pulau Jawa ikut mengawal pidato bersejarah Sukarno pada 19 September 1945 di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (Ikada) yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng di seberang kompleks Departemen Keuangan.
Kahar Muzakkar juga berperan penting setelah pemerintahan Republik mundur ke Jogjakarta. Murid Panglima Besar Jenderal Sudirman ini ikut bertarung mengusir Belanda yang masuk ke Jogjakarta pada Agresi Militer Pertama (1947) dan Agresi Militer Kedua (1948). Dia juga berperan saat menghadapi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, September 1948.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Kahar angkat senjata dan melawan Soekarno yang sebelumnya dia bela. Pertama, dia tidak bisa menerima perlakukan pemerintah terhadap anak buahnya yang tergabung dalam Brigade Hasanuddin. Tak semua dari mereka diterima sebagai anggota TNI, walau telah berjuang untuk republik.
Alasan kedua yang lebih fundamental adalah kecenderungan Sukarno menerima ideologi komunis.
Pada 7 Agustus 1953, saat Republik Indonesia masih berusia delapan tahun, Kahar menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan 10 tahun kemudian dia mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII).
Pada 1963, Kahar mengutus Corry menemui Sukarno di Jakarta. Dalam perjalanan itu, Corry yang ditemani anak bungsu mereka, Abdullah, membawa sepucuk surat dari Kahar untuk Sukarno.
Di dalam surat itu Kahar menyatakan dirinya bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan republik dengan dua syarat. Pertama, Sukarno membubarkan PKI. Dan kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai asas negara.
Tetapi, Sukarno memilih tak memenuhi permintaan itu.
Corry pun kembali ke belantara Sulawesi. Dalam perjalanan pulang, dia sempat ditahan Pangdam XIV/Hasanuddin Kolonel Muhammad Jusuf di Makassar.
Hasan, putra sulung pasangan Kahar-Corry, berdiri di samping makam ibunya yang masih merah basah, siang tadi (Sabtu, 1/4).
“Ibu kami adalah wanita yang berjasa pada bangsa dan negara,” katanya.
Abdullah yang menyertai perjalanan Corry, 43 silam, juga tampak di sana. Seperti kakaknya, si anak bungsu ini pun tekun memanjatkan doa. [t]
Kahar Muzakkar Masih Hidup?
Pemberontakan Kahar Muzakkar tumpas di tangan Operasi Kilat. Pada 3 Februari 1965, ia ditembak mati di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.
Dalam situs resmi Pusat Sejarah TNI disebutkan bahwa sebelum memberontak, pemerintahan Bung Karno mengutus Letkol Kahar Muzakkar untuk menghadapi Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang terdiri dari bekas laskar yang ikut berperang sepanjang revolusi fisik.
Tetapi, Kahar belakangan menuntut agar KGSS dijadikan Brigade Hasanuddin di bawah pimpinannya. Tak lama, dia menyatakan bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Untuk menghentikan gerakan Kahar, pemerintah menempuh dua cara. Pertama melancarkan operasi militer, dan kedua menawarkan amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII yang mau menghentikan pemberontakannya.
“Sejak awal September 1961, akibat operasi-operasi militer yang dilancarkan TNI, kedudukan DI/TII semakin sulit,” tulis Pusrah TNI.
Pada 21 Oktober 1961 Kahar mengirim utusan untuk bertemu dengan Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf. Tak lama, kedua pihak yang bertikai menggelar pertemuan di Bonepute, sebelah selatan Palopo.
Juga disebutkan bahwa dalam pertemuan itu Kahar menyampaikan keikhlasan, keinsyafan dan kepatuhannya terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam masalah penyelesaian keamanan dan penyaluran anggota DI/TII.
“Ternyata, Kahar Muzakkar mengingkari janjinya. Pertemuan itu tidak lebih dari suatu siasat untuk mencegah kehancuran DI/TII dengan taktik mengulur-ulur waktu,” demikian Pusrah TNI.
Tetapi kabar lain yang beredar beberapa tahun terakhir mengatakan, Kahar Muzakkar masih hidup. Benarkah? Wallahualam.
Adalah almarhum Muhammad Jusuf yang memegang kebenaran cerita ini. Jenderal Jusuf, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dan menyayangi prajurit ini, adalah bekas ajudan Kahar di staf Komando Markas ALRI Pangkalan X Jogjakarta, di masa-masa awal kemerdekaan.
Jusuf lah yang dipasang pemerintah sebagai penguasa militer di kawasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara selama masa-masa pemberontakan Kahar Muzakkar. Untuk menangkap bekas komandannya, Jusuf menggelar Operasi Kilat.
Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar ditembak mati Kopral II Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Hari itu, 3 Februari 1965.
Tetapi menurut cerita lain yang berkembang, saat mengetahui Kahar tertangkap, Jusuf segera menuju TKP. Lalu berdua mereka masuk hutan. Di dalam hutan itulah Jusuf melepas Kahar, dan membiarkannya menghilang.
Benarkah cerita itu? Sekali lagi, wallahualam.
Jusuf membawa mati cerita itu, bersama cerita lain yang juga menjadi kunci dalam sejarah republik ini: Supersemar.
Seperti Jusuf yang wafat di Makassar pada September 2004 lalu, Susana Corry van Stenus yang wafat di Parung Bingung, pagi tadi (Sabtu, 1/4) pun meninggalkan dunia fana ini dengan setumpuk cerita tentang sosok Kahar Muzakkar.[t]
Sakit Gula, “Kahar Muzakkar” Meninggal Dunia
TANPA diketahui banyak orang, Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah telah meninggal dunia. Dia menghembuskan nafas terakhir di usia ke-83 tahun pada hari Sabtu lalu (5/8).
Syamsuri wafat dalam perjalanan menuju RS Persahabatan, Jakarta Timur, sekitar pukul 20.45 WIB. Imam Besar Majelis An Nadzir itu dimakamkan di Pondok Pesantren An Nadzir, Dumai, yang dipimpinnya.
Siapa Syamsuri? Sebagian orang percaya dia adalah Kahar Muzakkar, tokoh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang memberontak pada kurun 1950-1965 di selatan dan tenggara Sulawesi.
Selain Kahar, pemberontakan lain yang cukup memusingkan pemerintahan Sukarno ketika itu adalah pemberontrakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau biasa disingkat DI/TII yang dipimpin RM Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Dalam sejarah resmi disebutkan bahwa Kartosoewirjo lebih dahulu dilumpuhkan TNI. Pasukan Siliwangi menangkap Kartosoewirjo tanggal 4 Januari 1962. Dan dalam buku The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy mengatakan Kartosoewirjo dieksekusi di sebuah lokasi di Ancol, Jakarta Utara, saat hari masih gelap.
Bagaimana dengan kematian Kahar? Dalam situs resmi Pusrah TNI disebutkan bahwa Kahar Muzakkar tewas tanggal 3 Februari 1965. Dia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.
Kembali ke Syamsuri. Redakasi Situs Berita Rakyat Merdeka memperoleh kabar kematian Syamsuri dari salah seorang pengikutnya, Hamzah. Menurut Hamzah, Syamsuri meninggal dunia karena komplikasi sejumlah penyakit.
Dan yang paling parah, sebut Hamzah, adalah penyakit gula yang diderita Syamsuri. Beberapa saat menjelang wafat, indikator kadar gula dalam darah yang selalu dibawa Syamsuri kemanapun dia pergi tak dapat lagi membaca kadar gula darahnya yang amat tinggi.
Tetapi, benarkah Syamsuri adalah Kahar Muzakkar? Bukankah Kahar Muzakkar telah mati 41 tahun lalu?
Misteri Kahar Muzakkar
USAI Shalat shubuh, 1 April lalu, Susana Corry Van Stenus meninggal dunia di Parung Bingung, Cinere-Depok, Jawa Barat. Wanita blasteran Belanda-Klaten ini adalah istri kedua Kahar Muzakkar. Mereka menikah di tahun 1947.
Setelah menikah Susana masuk Islam, dan sejak saat itu, Susana yang biasa dipanggil Mami, juga oleh anak buah Kahar, ikut kemanapun Kahar melangkahkan kaki.
Di tengah hutan, bersama suaminya yang memimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Susana ikut memanggul senjata. Dia menjadi pemimpin Gerakan Wanita Islam (Gerwais), salah satu sayap gerakan PRRI/Permesta.
Redaksi Situs Berita Rakyat Merdeka menerima kabar kematian Susana langsung dari Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah. Syamsuri sendiri dikabarkan meninggal dunia hari Sabtu pekan lalu (5/8). Selama ini dia diduga banyak kalangan sebagai Kahar Muzakkar. Kok bisa?
Ketika menyampaikan kabar kematian Corry, Syamsuri yang biasa disapa dengan sebutan Abah oleh para pengikutnya berbicara dengan nada terbata-bata. “Mami Corry meninggal dunia. Innalillahi wainailaihi rajiun,” katanya menahan tangis. Dia lalu menyerahkan hand phone kepada salah seorang ajudannya, yang kemudian menjelaskan lokasi kediaman almarhumah Corry.
Di rumah duka, Syamsuri tampak sibuk mengatur segala persiapan pemakaman jenazah Corry. Hari itu dia mengenakan kaos hitam dan celana loreng, serta baret hitam. Rambutnya dicat warna merah. Begitu juga dengan janggutnya. Walau berduka, senyumnya tetap mengembang. Namun sesekali, tampak juga sinar matanya menyiratkan kesedihan.
Sesekali dia bercerita tentang perjalanan hidup Corry saat mendampingi Kahar Muzakkar di hutan belantara Sulawesi. Sesekali Syamsuri juga bercerita tentang sakit gula yang dideritanya. Kalau sudah begitu, dia membuka gulungan celana lorengnya untuk memperlihatkan bekas luka yang telah berwarna hitam akibat kadar gulanya yang tinggi.
Syamsuri pun menjadi imam dalam shalat jenazah untuk Corry. Dan dia ikut jalan kaki mengiringi jenazah Corry menuju TPU Parung Bingung. Dalam wasiat sebelum meninggal, Corry memang menyampaikan permintaan agar setelah wafat jenazahnya digotong menuju kuburan. Di tengah jalan, nafas Syamsuri tersengal-sengal. Tak lama, sebuah mobil berhenti di sebelahnya, dan Syamsuri melanjutkan perjalanan dengan menumpang mobil itu.
Di lokasi pemakaman, Syamsuri ikut memasukkan jenazah Corry ke liang lahat bersama Hasan dan Abdullah, dua dari empat anak hasil perkawinan Corry dengan Kahar Muzakkar. Aziz Kahar Muzakar, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, anak Kahar Muzakkar dari isteri yang lain juga hadir dalam pemakaman itu.
Setelah pemakaman usai, sebelum meninggalkan TPU Parung Bingung, Syamsuri berbicara serius dengan anak-anak Kahar Muzakkar. Setelah itu dia naik Panther warna biru bersama lima orang pengawal yang juga mengenakan pakaian seperti dia: kaos hitam, celana loreng dan baret hitam. Tak lupa, rambut dan jenggot dicat merah.
14 Bulan di Belantara Sulawesi, Sadeli Menembak Kahar Tiga Kali
KOPRAL Dua Ili Sadeli bersembunyi di balik sebatang pohon. Pagi itu, 3 Februari 1953, sekitar pukul 06.00 WITA. Pasukan TNI dari Divisi Infanteri Kujang 330/Siliwangi yang berkekuatan 19 orang tengah mengepung markas Kahar Muzakkar.
Hari itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Setelah 14 bulan menyisir belantara Sulawesi akhirnya mereka menemukan markas sang Imam,pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Untuk mempersempit ruang gerak Kahar Muzakkar, pasukan Sadeli menggunakan formasi tapal kuda.
Ketika menceritakan kisah ini puluhan tahun kemudian (Pikiran Rakyat, 5 April 2003), Sadeli yang terakhir berpangkat sersan mayor itu mengaku dirinya tidak mengetahui wajah Kahar Muzakkar si yang menjadi target utama mereka hari itu.
Yang dia tahu, di markas itu ada sekitar 20 anggota kelompok pemberontak, selain 140-an penduduk sipil.
Dari balik pohon itu, Sadeli melihat seorang anggota kelompok pemberontak keluar dari sarang. Laki-laki ini menenteng bren dan dua ransel besar, masing-masing di punggung dan dada. Baru saja Sadeli hendak mengejar laki-laki yang menenteng bren, seorang anggota kelompok pemberontak lainnya menyusul keluar dari rumah danmendekati pohon tempat Sadeli bersembunyi dan mengintai.
Tak mau kecolongan, Sadeli menyergap dan menangkap laki-laki itu. Secepat kilat ia menyarangkan tiga tembakan pistol hingga menembus jantung lawan. Laki-laki itu pun roboh.
Setelah lawan pertama terkapar, Sadeli melanjutkan niatnya mengejar laki-laki pertama yang menenteng bren dan dua ransel. Tetapi kali ini Thompson yang hendak dipakainya untuk menghabisi laki-laki itu ngadat. Dia akhirnya memilih kembali ke pohon yang tadi digunakannya sebagai tempat bersembunyi dan memeriksa kondisi mayat laki-laki kedua yang keluar dari markas di tengah hutan.
Sadeli masih ingat laki-laki itu memakai jam tangan bermerek Titus. Sadeli juga masih ingat sebuah pulpen Pelican terselip di kantong baju lelaki itu. Selain Titus dan Pelican, sadeli juga menemukan uang tunai sebesar Rp 65.000, jumlah yang amat besar saat itu.
Sesaat kemudian dia tersadar bahwa yang dihabisinya bukanlah pemberontak biasa. Melainkan sang Kahar Muzakar.
“Kahar beunang, Kahar beunang,” teriaknya ke arah kawan-kawannya yang juga telah melumpuhkan anggota kelompok pemberontak itu.
Selanjutnya sebuah helikopter dikirim untuk menjemput mayat Kahar. Sadeli ikut mengawal mayat itu hingga ke Makassar. Di atas helikopter, dia sempat berfoto dengan hasil buruannya.
“Rasanya amat bangga bisa menunaikan tugas-tugas negara, apalagi sudah 14 bulan hidup di tengah-tengah hutan,” kata Sadeli.
Sampai di situ Sadeli tak tahu lagi nasib mayat sang Kahar dibawa. Ia hanya hanya mendengar kabar mayat Kahar Muzakkar dibawa pihak lain yang tidak dikenalinya. Sejak itulah (mayat) Kahar hilang. Tidak jelas dimana makamnya.
Cerita Sadeli ini kembali diangkat untuk melengkapi kisah tentang misteri Kahar Muzakkar dan seputar kematiannya yang sampai hari ini masih menyimpan misteri.
Hari Sabtu dua pekan lalu (5/8), seorang lelaki yang selama ini dikenal dengan nama Imam Besar Majelis An Nadzir Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah meninggal dunia.
Beberapa tahun terakhir, oleh pengikutnya Syamsuri disebut-sebut sebagai Kahar Muzakkar yang selamat dari kepungan pasukan TNI yang berusaha menangkapnya hidup atau mati di Hari Raya Idul Fitri 1965 M.
Kisah ini belum lagi selesai.
“Dia Bukan Kahar Muzakkar, Dia Orang Banjar”
JENDERAL M Jusuf dipercaya menjadi kunci yang dapat menguak misteri Kahar Muzakkar, selain Supersemar. Sayang, sampai akhir hayatnya, September 2004, bekas Panglima ABRI yang dikenal dekat dengan prajurit itu sama sekali tak buka mulut tentang misteri kematian Kahar Muzakkar, juga tentang Supersemar.
Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf punya hubungan yang terbilang dekat. Dalam sebuah tulisan, wartawan senior Rosihan Anwar yang menjadi saksi banyak peristiwa sejarah di republik ini menuliskan sebuah catatan.
“Pada akhir tahun 1945 seorang pemuda bangsawan Bugis usia 17 tahun naik perahu pinisi di Makassar berlayar menuju Pulau Jawa dengan tujuan bergabung dengan pemuda pejuang untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus terhadap serangan Belanda Kolonial. Pemuda itu ditampung oleh Kahar Muzakkar yang berada dalam KRIS (Kebaktikan Rakyat Indonesia Sulawesi) dan kemudian menjadi ajudan Letkol Kahar Muzakkar di Staf Komando Markas ALRI Pangkalan X di Yogyakarta.”
Pemuda yang dimaksud Rosihan adalah Jusuf muda yang kelak menjadi salah seorang jenderal berpengaruh di tubuh angkatan bersenjata kita.
Hamid Awaluddin, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini jadi Menteri Hukum dan HAM juga punya catatan tentang hubungan Kahar Muzakkar dan Jenderal Jusuf.
“Namun, ketertutupan M Jusuf tentang misteri ini, amat logis dan gampang dipahami. M Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar demi menghindari pertumpahan darah. M. Jusuf menutupi ini untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan bagi pengikut atau orang yang sefaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa dijadikan jalan menuju apa saja.”
Menurut Hamid, kala itu, ketika pemerintah pusat melalui tangan Jenderal Jusuf berusaha menghentikan pemberontakan Kahar Muzakkar, yang dikerahkan adalah pasukan dari Jawa, banyak orang yang bertanya-tanya. Mengapa Jusuf membiarkan orang yang satu suku dengan dirinya dihantam suku lain?
“Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti memiliki tali temali kekeluaragaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.”
Begitulah. Cerita tentang (kematian) Kahar Muzakkar dibawa Jenderal Jusuf hingga ke liang lahat.
Sementara itu, ada versi lain tentang “kematian” Kahar Muzakkar. Konon, Kahar Muzakkar (tanpa mengurangi rasa hormat kepada Serma (pur) Ili Sadeli yang menembak mati Kahar Muzakkar) tidaklah tertembak mati. Dia ditangkap hidup-hidup. Setelah mendengar penangkapan itu Jenderal Jusuf mendatangi lokasi penangkapan. Dia dan Kahar yang pernah jadi atasannya kemudian masuk hutan. Di tengah hutan itulah, Kahar dilepas dengan satu syarat: jangan pernah lagi menampakkan diri. Anggaplah sudah mati.
Cerita ini mahsyur di kalangan orang yang merasa Kahar Muzakkar masih hidup. Antara lain, orang-orang yang dekat dengan Syamsuri Abdul Madjid yang meninggal dunia dua pekan lalu (5/8).
Apakah benar Kahar Muzakkar baru meninggal dunia Agustus 2006, bukan Februari 1965?
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan, Aziz Kahar Muzakkar, mengatakan dirinya tak percaya dengan spekulasi yang menyebut bahwa Syamsuri adalah ayahnya, sang Kahar Muzakkar.
Ketika dihubungi Situs Berita Rakyat Merdeka, Aziz mengatakan dirinya mendengar bahwa beberapa jam sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Syamsuri membuat pengakuan. “Saya bukan Kahar Muzakkar. Saya orang Banjar,” kata Aziz mengutip pengakuan Syamsuri yang didengarnya.
Menurut Aziz, sejak lama mereka menyakini bahwa ayahnya telah wafat puluhan tahun lalu. Walau mengenal Syamsuri, dia dan keluarganya tidak percaya Syamsuri adalah Kahar Muzakkar.