Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1)
Imam Pemberontak dari Malangbong
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah “Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.
Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.
Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung abangan,” kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.
Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.
Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.
Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan “kiri”. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo. Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.
Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium” itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya. Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.
Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.
KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.
Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (2)
Imam Pemberontak dari Malangbong (2)
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.
Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.
Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.
Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.
Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.
Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (3)
Santri Abangan dari Hutan Jati
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo dan belukar hutan jati. Sang ayah, Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok adalah Kartodikromo, Lurah Cepu. Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di belakang pasar lama, kini telah musnah.
Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga besar Kartodikromo. “Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami,” kata Nuk Mudarti, 75 tahun, keponakan Sekarmadji.
Pada usia enam tahun, Sekarmadji masuk Inlandsche School der Tweede Klasse Cepu, sekolah yang biasa disebut sekolah ongko loro (angka dua).
Sebagai anak pegawai pemerintah, Sekarmadji hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Selain di Cepu, ayahnya pernah berdinas di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sekarmadji melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School. Ketika pindah ke Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1919, ia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus anak Belanda. Hanya pribumi cerdas yang boleh masuk. Di kala libur, Sekarmadji kerap bermalam di rumah Jalan Raya Cepu 15.
Pada 1923, Sekarmadji meneruskan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School, sekolah kedokteran Belanda di Surabaya. Saat itu Sekarmadji sudah hafal Al-Quran berikut tafsirnya. Kemampuan ini dikembangkan ketika dia kuliah di Surabaya dan mempertemukannya dengan tokoh Islam, Ha-ji Oemar Said Tjokroaminoto.
Masa kecil Sekarmadji dihabiskan di lingkungan abdi dalem pemerintah Belanda. “Kami keturunan birokrat,” kata Nuk. Ronodikromo, kakek buyut Sekarmadji, adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu. Soal keyakinan beragama, “Keluarga Kartodikromo cenderung abangan,” kata Nuk. “Kami priayi feodal.”
Meski priayi feodal, keluarga Kartodikromo demokratis. Perbedaan prinsip, pandangan politik, dan ideologi dihargai. Anak-anak diajari berpendirian teguh. “Itulah mengapa Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip.”
Mas Marco, satu dari tujuh anak Kartodikromo, meninggal di pengasingan Digul karena menentang pemerintah Belanda. Marco dikenal sebagai aktivis kiri di era kolonial. Sekarmadji memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Keislaman Sekarmadji banyak dipengaruhi ajaran Notodihardjo, pemuka Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Padangan, Bojonegoro. Pikiran kritis Sekarmadji terus bertumbuh ketika dia kuliah di Surabaya.
Suatu malam pada 1948, Sekarmadji datang ke rumah nomor 15. Nuk Mudarti masih mengingatnya. Kehadiran pamannya ini mencemaskan orang serumah. Jika Sekarmadji datang, polisi dan intelijen mengitari rumah. “Menakutkan,” kata Nuk. “Saya masih kecil, tak tahu mengapa intel menguntitnya.” Sejak 1940-an, Sekarmadji tak pernah lagi singgah di rumah induk. “Hingga kami mendengar dia merantau ke Malangbong,” kata Nuk. Hubungannya dengan Cepu putus.
Soemarti alias Dora, saudara kandung Sekarmadji, turut hijrah ke Malangbong, Garut, Jawa Barat. Dia pernah mengajak keluarga Cepu berkunjung ke Malangbong. Oleh-oleh hasil bumi sudah disiapkan. Tapi kunjungan itu tak pernah terwujud.
Saat meletus peristiwa pemberontakan DI/TII, keluarga Cepu menutup diri. Ketertutupan berlanjut sampai zaman Orde Baru. Keluarga besar Cepu, yang rata-rata pegawai pemerintahan, khawatir disangkutpautkan dengan gerakan Sekarmadji.
“Kami jadi kepaten obor, kehilangan jejak,” kata Kusparyono, 55 tahun, keponakan Sekarmadji di Cepu. Sardjono, putra bungsu Sekarmadji, membenarkan soal putusnya hubungan keluarga ini. “Sejak Ayah hijrah ke Malangbong, tak pernah lagi ke Cepu,” katanya.
Zaman berganti. Kini perjalanan hidup Sekarmadji justru membuat keluarga Cepu bangga. “Kami rindu bertemu anak-cucu Sekarmadji,” kata Nuk. Sardjono merasakan hal yang sama. “Kami tak punya bayangan bagaimana Cepu itu,” ujarnya.
RUMAH tua di Jalan Dr Soetomo, Pengkok, Padangan, Bojonegoro, itu kosong, tak terurus. Bangunan besar berwarna merah dengan lis abu-abu itu milik Mashudi (almarhum), pengusaha transportasi, anggota PSII pada 1940-an. “Ini rumah bersejarah,” kata Yunani, 58 tahun, putra Mashudi.
Sebelum masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati Notodihardjo alias Abdurrahman, aktivis PSII yang bergabung dengan Muhammadiyah. Saban bulan, Noto mengadakan pengajian sambil mengumpulkan bantuan untuk kaum fakir. Warga Bojonegoro, Ngawi, Blora, dan Cepu datang menghadiri pengajian. “Mbah Noto ini guru ngaji Sekarmadji,” kata Yunani. “Beliau punya mesin tik.”
Murid Noto lainnya adalah Suroatmodjo, juga anggota PSII. Putranya, Slamet, 67 tahun, berkisah tentang sang guru ngaji berdasarkan penuturan ayahnya. Noto berasal dari Surakarta. Istrinya dari Montong, Tuban. Tutur katanya halus, dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop. “Katanya, Noto keturunan Keraton Mangkunegaran,” ujar Slamet.
Rumah ayah Slamet, Suroatmodjo, di Dusun Sale, Sumembramum, Ngraho, sekitar 45 kilometer di barat Bojonegoro. Rumah ini kerap digunakan sebagai tempat rapat tokoh PSII. “Kami menyebutnya pertemuan rahasia, sering dihadiri orang tak dikenal,” kata Slamet.
Pada 1950-an, sebulan penuh Noto diperiksa polisi Ngawi. Polisi tidak menemukan bukti keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII. Hubungan Noto dan Sekarmadji dianggap hanya bersifat keagamaan. Pensiunan sinder kehutanan itu pun bebas dari tuduhan.
Tak jelas benar kapan persisnya Sekarmadji berguru pada Noto. Mungkin ketika Sekarmadji masih tinggal bersama ayahnya, atau ketika dia kuliah di Surabaya. “Kami tak tahu,” kata Nuk Mudarti.
Haji Damamini, 81 tahun, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah di Ngraho, bercerita tentang sosok Noto. Menurut dia, Noto tersohor di seantero Cepu dan kota-kota di sekitarnya. “Dia punya indra keenam,” kata Damamini. Kemampuan itulah yang menerbitkan simpati dan hormat banyak orang kepada Noto.
Hubungan Noto-Sekarmadji banyak diwarnai kisah yang susah ditelusuri kebenarannya. Ahmad, 60 tahun, salah satu santri Noto, pernah mendengar kisah pertemuan Noto-Sekarmadji di tepi Bengawan Solo pada 1948. Ketika itu, sang murid hendak mengambil keputusan penting: hijrah ke Malangbong.
Dalam perenungan guru-murid, menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana. Noto meminta muridnya memperdalam agama dulu. Namun Sekarmadji nekat dan memilih pergi ke Malangbong. “Mereka lalu berpisah,” kata Ahmad.
Noto terus mengajar ngaji hingga wafat, pada 1971. Dia dimakamkan di Padangan. Jejak Sekarmadji pun semakin kabur sepeninggal sang guru. Ahmad mengenang, “Hanya Mbah Noto yang tahu hati Sekarmadji.”
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (4)
Murid Tjokroaminoto di Peneleh
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. “Lantainya saja masih dari semen,” kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.
Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.
Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.
Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.
Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.
Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.
Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah “bawaan”. “Kartosoewirjo itu kan orang Cepu,” ujarnya. “Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian.” Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.
Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.
Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.
Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.
Akibat “menganggur”, Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. “Saya tertarik pada pidato-pidatonya,” kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.
Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.
Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto “diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia,” kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. “Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto,” kata Bahtiar Effendy.
Tjokroaminoto menggem-bleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.
Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban demi membela agama Islam.
Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.
Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.
Pada 1929, “kursus” ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (5)
Mampir di Masyumi
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.
Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.
Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia baru bersama “keluarga Asia Timur Raya.”
Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif. “Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia),” tulisnya.
Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan.
Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toda, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya, Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan ideologi.
“Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda,” katanya. Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.
Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.
Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda, yang nyata-nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.
Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut menghantam.
Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, “Barangkali saudara belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami.”
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (6)
Akar yang Terserak
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. “Setelah itu, saya senang sekali,” kata Soerjadi. “Seperti sudah kenal lama.”
Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk mengumpulkan kembali keluarga besar “Imam”-panggilan Kartosoewirjo-yang terserak. “Selama ini silaturahmi terputus,” kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor 20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.
Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. “Bahkan fotonya saja saya ndak punya,” katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti kecil mendapat nama panggilan Belanda: Dora. “Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora,” kata Soerjadi. Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. “Ibu saya selalu menutupi.”
Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak Kartosoewirjo, pegawai perusahaan kehutanan milik Belanda. Mereka tumbuh dan mengecap pendidikan di sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini, nama ibu mereka tidak pernah diketahui. “Saya juga tidak tahu,” kata Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.
Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Soemarti terus menetap di Rembang. Soemarti menikah dengan Soero Dipo Menggolo, yang bekerja sebagai mantri guru-semacam kepala sekolah. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi Dewi Siti Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa, sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-hari bercakap dalam bahasa Sunda.
Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo, pemuda asal Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri Rahayu Siti Jumilah dan R. Handoyo. Setelah bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal Rembang. Ia melahirkan dua anak, yakni Bambang Soerjadi dan Bambang Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan Soeryanto, asal Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan Endang Irowati.
Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih hidup. “Dia kena stroke dan sulit berkomunikasi,” kata Soerjadi tentang saudara tirinya itu. Soerjadi juga tidak mengetahui keberadaan keturunan saudara-saudaranya yang lain.
Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling unik. Dia memeluk agama Kristen, mengikuti agama istrinya, Iswati, asal Semarang. Dari pernikahan itu, lahir tiga anak yang kini menetap di Semarang, yakni Rony, Arianto, dan Fifi. “Saya tidak pernah bertemu mereka dan kehilangan kontak,” Soerjadi menerawang.
Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi dengan Sasanti, yang juga beragama Kristen. Dari pernikahan itu, lahir dua anak: Emi dan Bagus. Dengan keluarga satu kota ini pun Soerjadi tidak punya kontak. Bahkan, pada saat Lebaran, keponakannya tidak ada yang datang menjenguknya. “Paling cuma papasan bertemu di jalan,” ujar Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta dengan keluarga lainnya.
Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama anak perempuan dan dua cucunya. Ia pernah datang ke Malangbong, pada 1980-an, untuk menemui Eyang Dora, yang di Malangbong lebih dikenal sebagai Wak Mantri. “Ternyata (waktu itu) sudah meninggal,” katanya. Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak 1960-an setelah bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di pemakaman keluarga di Malangbong. “Nisannya tak bernama,” kata Herman.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (7)
Kekasih Orang Pergerakan
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.
Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.
Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong-kendati tak kesampaian.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat membekas di hati dia.
Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914, seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.
Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia di Garut.
Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.
Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Sekarmadji menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia Ardiwisastra mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif kepartaian. “Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting,” kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.
Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan kekuasaan setelah pamor Demak merosot.
Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah berdebat dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. Kartosoewirjo tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo memilih jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.
Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam keislaman dan kepartaiannya.
Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,” kata Dewi kepada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, “Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.
Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita duka bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun lalu itu tanpa emosi.
Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan,” kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.
Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu menghibur. “Kok, sedih amat sih!” Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang bermuram durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (8)
Kenang-kenangan Institut Suffah
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
JAGUNG, kelapa, ilalang, dan perdu-perduan liar. Kalau Anda datang ke Desa Bojong, Malangbong, Jawa Barat, tak terlihat bahwa di kebun itu pernah ada sebuah pesantren. Padahal di situlah, dulu, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah, pesantren yang mengajarkan agama, politik, dan kemiliteran.
Di Malangbonglah awal Kartosoewirjo mempelajari Islam. Ia berguru kepada mertuanya, Ajengan Ardiwisastra, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, juga Kiai Yusuf Tauziri dari Wanaraja, yang boleh dibilang sangat berpengaruh terhadap sikap religius Kartosoewirjo.
Keakraban Kartosoewirjo dengan Kiai Yusuf Tauziri terjalin antara 1931 dan 1938, saat sang Kiai duduk dalam Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Kiai Yusuf kemudian menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo. Kadang Yusuf, yang berkecenderungan berat ke tasawuf, dianggap bertanggung jawab atas kegemaran Kartosoewirjo pada mistik. Bahkan beberapa peneliti mengatakan Kiai Yusuf sebenarnya pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari gerakan Darul Islam pada tahap permulaan. Ia membantu gerakan itu dari segi keuangan dan militer.
Pada 1936, dalam Kongres PSII di Batavia, Kartosoewirjo terpilih sebagai wakil ketua partai. Kongres ke-22 PSII itu menjadi momentum penting dalam karier politik Kartosoewirjo. Pada 1938, dalam kongres partai yang ke-24, diputuskan akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama Suffah PSII. Rencananya, lembaga yang bertujuan menjadi sarana pendidikan politik bagi kaum muslim ini akan dibuka pada 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai Wakil Ketua PSII.
Namun rencana itu tak berjalan mulus. Pada 1939 terjadi perpecahan dalam tubuh PSII. Puncaknya, dalam kongres partai ke-25 di Palembang, Januari 1940, Kartosoewirjo yang berseberangan dengan para petinggi partai akhirnya dipecat melalui keputusan Dewan Eksekutif PSII. Ia juga dituduh telah menyalahgunakan dana partai.
Bersama Kiai Yusuf Tauziri, ia kemudian membentuk Komite Pembela Kebenaran (KPK) PSII, yang menurut dia merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari PSII.
Pada 24 Maret 1940, Kartosoewirjo mendirikan Institut Suffah yang sempat tertunda. Nama itu diambil dari bahasa Arab, suffah, yang berarti “menyucikan diri”. Menempati area perbukitan sekitar empat hektare milik Ardiwisastra, lembaga pendidikan ini berada di sekitar jalan raya Malangbong-Blubur Limbangan. Tempatnya terpencil dari keramaian kota, di tengah-tengah kebun kelapa, dan masuk beberapa meter dari jalan raya.
Lembaga itu mirip pesantren. Siswanya menetap di sana. Selain mendapat pengajaran ilmu pengetahuan umum dan pendidikan agama, para siswa dididik ilmu politik. Kartosoewirjo sendiri mengajar bahasa Belanda, ilmu falak (astronomi), dan ilmu tauhid kepada siswanya yang berasal dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Dalam masa pendudukan Jepang, KPK-PSII-nya Kartosoewirjo di Malangbong dibubarkan Jepang. Meski begitu, Kartosoewirjo tetap memfungsikan Institut Suffah. Tapi dengan fokus pendidikan kemiliteran, karena saat itu Jepang getol memberi pelatihan militer. Siswa yang dilatih kemiliteran di Suffah lalu menjadi laskar Islam, Hizbullah dan Sabilillah, yang menurut sejumlah sejarawan kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Dalam perjalanannya, Institut Suffah berujung tragis. Pada 1948, bangunan lembaga itu dihancurkan tentara Belanda, dan hanya menyisakan puing-puing batu bata. Belakangan batu bata reruntuhan itu pun dijual istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, untuk membiayai pendidikan putra bungsunya, Sardjono. “Meski memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti, apa boleh buat saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono,” kata Dewi, seperti dikutip majalah ini edisi 5 Maret 1983.
Kini bekas Institut Suffah yang berada di belakang rumah Sardjono di Desa Bojong, Malangbong, itu tak sedikit pun menyisakan jejak kejayaan pesantren yang didirikan Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (9)
Ratu Adil Bermodal Keris
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, “Imam Negara Islam Indonesia”, diringkus tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.
Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.
“Komandan Batalion” dan “Komandan Resor Militer” Tentara Islam Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. “Saya tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak,” tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli lalu.
Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak. “Saya perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah,” ia mengenang, dengan nada pahit. “Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan salat.”
Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia terpikat janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam Indonesia memikat ribuan orang pada mulanya.
Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu mengobarkan semangat jihad dan memerangi “pemerintahan kafir” Soekarno.
Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan Jati Rokek. Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang hutannya masih tersisa hingga kini.
Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi Sekretaris Partai Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini didukung banyak ulama di Jawa Barat.
Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua laskar itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada Februari 1948. Merasa mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.
Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari strategi Karto menggunakan ajaran tasawuf. “Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan,” katanya.
Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini disebut riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.
Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat “wahyu cakraningrat”-sinar terang yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Sinar itu disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima Tentara Islam Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa dengan “wahyu cakraningrat” Karto mengklaim dirinya sebagai “khalifatullah”. Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.
Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan Kelak, Kartosoewirjo menulis, “Heru Tjokro” merupakan “makhluk Allah yang suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu Negara Islam Indonesia.” Heru Tjokro juga diartikan sebagai: “penyapu masyarakat jahiliah”. Pemerintah Soekarno dianggap kafir karena tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus diperangi.
Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad menghadapi perlawanan kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya memerangi pemerintah.
Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah “D-Satu”-daerah yang sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud bersama. Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi “menggapai wangsit dari langit”.
Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan pengaruh tasawuf, apalagi yang berbau mistik. “Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke mulut,” katanya.
Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo, seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam Indonesia dituntut tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh, Tentara Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan Tentara Islam Indonesia.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (10)
Menumpang Momentum Renville
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
Kecewa terhadap perjanjian dengan Belanda, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam. Merasa penguasa de facto di Jawa Barat.
KEDUA tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kecewa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.
Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta.
Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka untuk tak mudah percaya kepada taktik penjajah. Cornelis van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi.
Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur menulis, tentara resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan Sabilillah ini memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak dilucuti kerap melawan.
Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Menurut Pinardi, dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948.
Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus besar Masyumi Jawa Barat. Salah satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam.
Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu pengusulnya, Komandan Teritorial Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar dunia saat itu. “Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya,” kata Kasman. “Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam, untuk menyelamatkan negeri ini.”
Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. Pasukan Tentara Islam ini memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.
Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII. Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.
Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.
Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.
Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci, perang total melawan penjajah. Dalam kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi. Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk tentara resmi-yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti. Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.
Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.
Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu, seperti tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid II. Ia menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah menjual negara. Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949.
Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan yang pertama kali bagi Kartosoewirjo. Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri, memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia. “Namun permintaan itu ditolak Yusuf,” Pinardi menulis.
Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat. Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu yang berpendidikan Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. “Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan keislamannya,” kata Bahtiar.
Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan perjanjian-perjanjian berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah Soekarno-Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu untuk memproklamasikan NII.
Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan ayahnya berlandaskan ideologi Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto. “Perjanjian Renville hanya momentumnya,” katanya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (11)
Upaya Hampa Natsir
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
PERLAWANAN Kartosoewirjo bersemai ketika Indonesia mengikat perjanjian dengan Belanda. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.
Kartosoewirjo kecewa. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.
Melihat ini, Perdana Menteri Mohammad Hatta menunjuk Mohammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup kenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo beberapa kali berjumpa di rumah guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.
Natsir, dalam wawancara dengan Tempo, Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berkali-kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. “Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik,” kata Natsir.
Namun baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia tak terhindarkan. Kontak senjata pertama terjadi 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Pertempuran pecah akibat masing-masing pihak mengklaim diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.
Bagi Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat berarti peluang mendirikan Negara Islam. Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu persis dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo. Ketika itu, 4 Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel, kemudian meminta tolong A. Hassan menyampaikan ke Kartosoewirjo. Apa daya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. “Ya, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan,” kata Natsir, 21 tahun lalu.
Menurut Natsir, Kartosoewirjo dijaga ketat pengawal. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun diminta menunggu beberapa hari. Kalaupun tiba tepat waktu, tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. “Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri,” kata Natsir.
Kartosoewirjo terus bergerilya. Tapi hubungan Kartosoewirjo-Natsir tetap tersambung. Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.
Surat pertama dikirim 22 Oktober 1950, berisi pujian atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan kepada pemerintah melawan komunisme. “Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehidup semati,” katanya. Namun Kartosoewirjo memberikan syarat: pemerintah harus mengakui Darul Islam.
Usaha Natsir melunakkan hati sang Imam tak berhenti. Pada Juni 1950, Natsir mengutus Wali Al-Fatah menemuinya. Ia teman lama Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang Imam menyatakan hanya bersedia menerima pejabat tinggi Indonesia, bukan utusan. Memang bukan Natsir yang menaklukkan sang Imam. Ia peluru yang menembus dada Kartosoewirjo pada September 1962 di Teluk Jakarta.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (12)
Kartosoewirjo Vs Alex Kawilarang
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
AWAL 1950. Satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung rapat sebuah rumah di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasukan bersiaga di segenap penjuru. Semua senapan teracung ke arah rumah itu. Di situlah diduga tinggal salah satu perwira Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Haji Syarif alias Ghozin.
Tak menunggu lama, perintah tembak berkumandang. Peluru pun berhamburan. Sang target utama, Ghozin, malah luput dan berhasil melarikan diri. Hanya istri dan pembantu Ghozin yang bisa dibekuk.
Aneh. Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi, yang dua hari kemudian datang memeriksa, menaruh syak. “Harusnya seekor ayam pun tidak akan bisa kabur,” kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu “Imam” Darul Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Alex meminta semua anggota pasukan yang terlibat pertempuran itu diperiksa. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan beberapa anggota pasukan Siliwangi punya hubungan kerabat dengan tokoh Darul Islam. Hubungan kerabat itulah yang membuat prajurit Siliwangi terkesan ragu melawan tentara Kartosoewirjo.
“Cerita itu tidak benar,” kata Kolonel (Purnawirawan) Suhanda, 82 tahun, mantan Komandan Kompi C Batalion 328 Kujang. Anak buah Suhanda, yakni Sersan Mayor (Purnawirawan) Dana, 68 tahun, juga ragu akan kesaksian Sardjono. Dua belas tahun setelah peristiwa pengepungan itu, Juni 1962, Kompi C berhasil menangkap Kartosoewirjo.
Tentara Islam ini memang liat dan ulet. Persenjataannya ala kadarnya dan pasokan logistik pun ekstraseret. Mereka bertahan bergerilya, dari gunung ke gunung, selama belasan tahun.
Dana mengakui keuletan Tentara Islam. Tapi ada juga faktor lain. “Fokus TNI terpecah karena banyak pemberontakan lain di luar Jawa,” ujar Dana.
Pada awal pemberontakan Tentara Islam, semula pasukan Siliwangi belum menemukan taktik yang jitu. Kolonel Alex menilai pasukan yang dipakai untuk menumpas tentara Kartosoewirjo terlalu besar. “Mobilitasnya jadi kurang. Lamban sekali,” kata Alex dalam biografinya. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal pemeberontakan dia sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam bulan saja. Dia kemudian meminta pasukannya membentuk tim patroli dalam jumlah lebih kecil, tapi lebih gesit. “Cukup satu peleton saja, tapi harus terus bergerak, baik siang maupun malam.”
Patroli dalam tim-tim kecil ini pun kurang memadai menghadang pasukan Kartosoewirjo. Sebagian warga Priangan yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi Tentara Islam. Alex menganalisis situasi pihak lawan menguasai medan dan didukung sebagian rakyat. Strategi yang dibutuhkan, menurut Alex, adalah strategi antigerilya.
Alex sudah kenyang pengalaman dalam perang gerilya dari penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan. Dia melatih anak buahnya berbagai jurus antigerilya, terutama hinderlaag (penghadangan), juga menentukan gevechtstelling atau posisi tempur. Strategi inilah yang akhirnya mematahkan perlawanan Tentara Islam.
Dua peneliti, Cornelis van Dijk dan Karl D. Jackson, punya sejumlah teori kenapa perlawanan Tentara Islam Indonesia bisa bertahan lama, bahkan jauh lebih lama dibanding Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta, yang digerakkan sejumlah tokoh politik dan perwira militer.
Dukungan rakyat terhadap Darul Islam memang lebih kuat ketimbang respons masyarakat terhadap PRRI, yang elitis. Pada akhir 1960-an, Jackson meneliti 19 desa di Jawa Barat. Kesimpulannya, enam desa memihak Darul Islam, tujuh desa condong ke Pemerintah Republik, dan sisanya hanya mengikuti “arah angin”.
Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan simbol Islam yang digunakannya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (13)
Jejak Gerilya di Belantara Priangan
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
SARDJONO Kartosoewirjo-putra mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo-menegakkan posisi duduknya dan mengencangkan volume pemutar musik di mobil itu. Suara penyanyi balada Amerika, John Denver, terdengar melantunkan Take Me Home, Country Roads.
Almost heaven, West Virginia
Blue Ridge Mountains
Shenandoah River…
Mobil yang ditumpanginya memasuki gugus pegunungan di pinggiran Kota Bandung. “Saya anak hutan, lahir dan tumbuh di hutan,” kata pria 48 tahun itu. Sardjono dilahirkan ketika ayahnya bergerilya setelah memproklamasikan Negara Islam Indonesia dan baru keluar dari hutan pada usia lima tahun.
Pertengahan Juli lalu, Sardjono bersama Tempo melakukan napak tilas menyusuri daerah gerilya Kartosoewirjo. Rombongan berangkat dari Jakarta siang hari, senja sampai Bandung, dan masuk pegunungan Jawa Barat saat rembang petang.
Mendekati daerah Malangbong, Garut, sekitar satu jam perjalanan dari Bandung, Sardjono membaca selarik sajak dengan suara bergetar. “Di jalan ini kami pernah menerobos pagar betis tentara, mau ketemu Bapak di gunung seberang,” katanya. Ayahnya dieksekusi regu tembak di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, Jakarta.
MOBIL tumpangan itu terseok-seok melintasi daerah pegunungan. Hujan deras mengganggu penglihatan dan pendengaran. Sardjono, yang duduk di kursi depan, terus bercerita tentang masa kecilnya. Jalanan naik-turun berkelok tajam, kanan-kiri berselang-seling area permukiman dan hutan. Di rerimbunan hutan, 60 tahun lalu Kartosoewirjo bersama para pengikutnya menggalang kekuatan. Hutan tempat gerilya terbentang luas di gugus pegunungan Priangan-Ciamis, Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya.
Pemberontakan Kartosoewirjo dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah pusat, juga oleh hasil perundingan pemerintah pusat dan Belanda yang dinilai merugikan. Perjanjian Renville pada 1949, misalnya, yang berisi kesepakatan membagi daerah kekuasaan Indonesia dengan Belanda, mendorong pasukan Siliwangi di Jawa Barat melakukan long march ke Jawa Tengah, di daerah kekuasaan Republik. Kartosoewirjo dan pengikutnya menolak ikut serta.
Batas daerah kekuasaan Republik dengan Belanda dipisahkan garis Van Mook-yang memanjang di daerah Tasikmalaya sepanjang Sungai Citanduy. Daerah kekuasaan Indonesia berada di sebelah timur sungai, termasuk Ciamis. Daerah di sebelah barat, termasuk Tasikmalaya, menjadi wilayah Belanda. Di Jalan Dr M. Hatta terdapat jembatan yang melintasi sungai itu. Papan reklame komersial bertebaran di sekitarnya. Di daerah aliran sungai, pepohonan masih rimbun.
Jejak garis Van Mook kini juga direpresentasikan Jembatan Cirahong, 15 menit perjalanan dari pusat Kota Tasikmalaya. Jembatan sepanjang 200 meter itu dibagi dua. “Separuh masuk Ciamis, separuhnya masuk Tasik,” kata warga pengatur arus kendaraan di mulut jembatan.
Karena perlintasan hanya searah, kendaraan yang lewat harus meluncur bergantian. Bagian bawah jembatan merupakan jalan kendaraan umum, dan bagian atasnya untuk lintasan kereta api. Air sungai terletak 30 meter di bawah.
JOHN Denver telah mengganti lagunya menjadi Forest Lawn. Mobil tumpangan itu kini melintasi jalan tanah berbatu 10 kilometer di sekitar Gunung Galunggung. Di sekeliling terlihat gerombolan kera berkerumun. Dari jalanan terlihat tebing yang menyangga punggung gunung. “Atas gunung itu dulu dijadikan tempat pemantau,” Sardjono mengisahkan. Dari sana, petugas mengamati gerakan pasukan musuh. Komunikasi antarpetugas menggunakan siulan atau suara burung.
Daerah bawah punggung gunung dijadikan markas karena tersembunyi dan dekat dengan aliran sungai. Kebutuhan sehari-hari cukup tersedia. Itu adalah markas terbesar-menampung sang Imam, julukan Kartosoewirjo, dan 500 orang pengikutnya, termasuk pengawal dan keluarga.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (14)
Jejak Gerilya di Belantara Priangan (2)
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
Durasi menetap rombongan Kartosoewirjo di satu tempat bergantung pada potensi ancaman. Di daerah yang tak aman, mereka tinggal hanya dua malam. Di tempat sebaliknya, mereka bertahan hingga setahun. Kawasan hutan itu kini masih lebat oleh pohon. Ketika bergerilya dulu, rombongan Kartosoewirjo masuk jauh ke dalam hutan. “Di atas sana,” kata petugas wisata Cipanas Galunggung menunjuk ke arah pedalaman.
Banyak kegiatan membunuh sunyi. Salah satunya olahraga. “Favoritnya senam lantai,” kata Sardjono. Dalam masa berpindah-pindah itu, peralatan senam berupa ring besar selalu dibawa. Nantinya ring digantungkan di tangkai pohon yang besar. Saat senggang, Kartosoewirjo senam bergelantungan. “Tangannya kekar, lebih kuat dari kakinya.”
Kartosoewirjo dan timnya juga mendekati penduduk desa, merekrut anggota, sekaligus mencari tambahan logistik. Pernah ada cerita tentang suami-istri dari desa pinggir hutan yang menitipkan bayinya ke rombongan Kartosoewirjo. Mereka khawatir si bayi bakal dimangsa harimau karena sang ayah mendalami ilmu pamacan-kesaktian yang bisa meningkatkan kemampuan diri hingga mirip macan. Setiap malam, pasukan Kartosoewirjo bergantian menjaga si bayi dengan tombak yang ujungnya dibebat kain yang dibakar. Naas, di malam ke-40, semua penjaga ketiduran. “Esoknya, tinggal ibu jari bayi yang tersisa,” Sardjono mengisahkan.
Kegiatan rutin lain adalah bergerilya menghindari kepungan tentara, terutama ketika Operasi Pagar Betis digelar. Ada saatnya rombongan harus menyeberangi pagar betis tentara. Barikade tentara Republik sangat ketat. Setiap 10 meter ada posko pasukan. Tali penghubung antarpos digantungi kaleng-kaleng sehingga berisik bila terlanggar.
Kisah lucu menerobos pagar betis pernah terjadi saat rombongan Kartosoewirjo akan menyeberang ke daerah Garut. Sekitar 200 orang mengendap-endap di malam hari. Memasuki area perkebunan, kendaraan patroli tentara mondar-mandir. Pemimpin rombongan di depan memberikan pesan dengan berbisik secara beruntun. Awalnya, pesan berbunyi: “Hati-hati ada patroli.” Tapi, sampai tengah, pesan mulai menyimpang, dan sampai ke belakang menjadi: “Aya huwi, aya huwi”-bahasa Sunda yang berarti “ada ubi”. Sebagian anggota rombongan berhamburan mengejar fatamorgana. “Untung tidak tertangkap,” kata Sardjono geli.
KEMAL masih fasih melafalkan cukilan ayat Al-Quran-”Dan tidaklah engkau melempar ketika melemparkan, Allah yang melempar.” Dulu, ayat itu selalu dibacanya setiap kali akan meletupkan senjata mesin otomatis sesuai dengan petunjuk komandannya. “Saya pemegang bren,” katanya. Waktu muda perkasa, Kemal adalah tentara Darul Islam. Sekarang dia sudah renta, ringkih. Ia hanya bisa berbahasa Sunda.
Rumahnya di Ciakar, Cibeureum, Tasikmalaya. Kampungnya berbatasan dengan hutan, tepat di kaki Gunung Galunggung. Saat disambangi, dia sedang menunggu magrib: bersarung, dengan peci hitam dan sorban merah lusuh. Kemal tak tahu tahun kapan dilahirkan. Dia hanya ingat usianya 17 tahun ketika bergabung dengan Kartosoewirjo.
Awalnya, Kemal masuk Institut Suffah, lembaga pendidikan Islam yang didirikan Kartosoewirjo pada 1940-an, yang berlokasi di jalan Malangbong-Blubur Limbangan. Orang tua Kemal terpesona oleh ajaran Kartosoewirjo sehingga menyekolahkan anaknya di sana. Selama menjadi tentara, Kemal sering bertugas menyusup ke desa-desa pinggir hutan. Karena itu, dia jarang bertemu dengan Kartosoewirjo. Yang jelas, “Setiap perintah Imam harus kami laksanakan,” katanya.
Di matanya, Kartosoewirjo adalah pribadi yang keras dan bijaksana. Dalam banyak kesempatan di markas, dia selalu memberikan pengajian dan tuntunan kepada anak buahnya. “Rujukannya Al-Quran. Kartosoewirjo dasarnya Islam. Kalau Soekarno kan Pancasila,” ujar Kemal.
Selain mengajarkan agama, Kartosoewirjo menggelar latihan kemiliteran bagi laki-laki dan keterampilan khusus untuk perempuan. “Seperti jahit-menjahit,” kata Dudung, 85 tahun, bekas tentara Darul Islam yang kini tinggal di Kampung Padakarya, Sariwangi, Tasikmalaya.
Mendapat ajaran agama, para anggota menggebu. “Kami berjuang menegakkan Islam,” kata Kemal. Tapi Operasi Pagar Betis pelan-pelan melemahkan mereka. Pasokan logistik terhenti, ruang gerak menyempit. Satu per satu anggota menyerah. Kartosoewirjo akhirnya menginstruksikan turun gunung. “Kembalilah bertani di kampung,” kata Kemal menirukan sang Imam.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (15)
Misteri Ki Dongkol dan Ki Rompang
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggang pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 3 Juni 1962.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar 1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo, salah satu putra Kartosoewirjo.
Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.
Syahdan, kedua pusaka itu menjadi salah satu senjata andalan Kartosoewirjo menanamkan pengaruhnya di daerah pegunungan Jawa Barat. Banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa orang yang memiliki kedua pusaka itu adalah seorang Ratu Adil Kawedal atau Ratu Adil yang “baru muncul”.
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo karangan Pinardi H.Z.A., salah satu bekas panglima kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. “Hanya kadang-kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaannya yang bernama Raspati,” katanya.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung, Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang.
Namun keampuhan kedua pusaka itu dibantah oleh Sardjono. Menurut dia, pada kedua pusaka itu sama sekali tak ada unsur gaib. “Senjata biasa saja, bahkan yang satunya rompang, makanya jadi sebutan,” katanya. Ia juga menampik jika disebutkan kedua pusaka tersebut selalu terselip di pinggang Kartosoewirjo. “Masak Imam ke mana-mana selalu bawa-bawa barang, yang bawa pembantunya, namanya Bajuri. Kadang-kadang saja diselipkan di pinggang,” katanya.
Sardjono mengakui banyak orang yang selalu bertanya-tanya akan keampuhan kedua pusaka itu. Bahkan pernah sekali waktu salah satu pengawal Kartosoewirjo, Kadar Sulihat, menanyakan kepada Kartosoewirjo soal kedua pusaka yang selalu dibawanya itu. Dengan lugas Kartosoewirjo menjawab, “Pusaka ini menjadi pengingat. Dulu orang berjuang hanya dengan pisau, sekarang dengan senjata modern. Harus lebih berani.”
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (16)
Tiga Berpayung Kecewa
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan “daftar hitam” itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.
Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo-pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.
Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. “Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh,” kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. “Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama.”
Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.
Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu “menyihir” orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.
Abu-demikian Daud Beureueh biasa dipanggil-mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.
Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. “Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam,” kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal.
Pascapembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.
Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.
Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.
Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama.
Katosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.
Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.
Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.
Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. “Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah,” kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah “Darul Islam” untuk menggantikan sebutan Negara Islam.
Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. “Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda,” katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.
Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. “Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan,” kata Hasan.
Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, “Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum.”
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (17)
Lubang Peluru di Menara Masjid
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.
Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan. Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. “Serangannya mendadak,” katanya kepada Tempo.
Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju pesantren.
Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara masjid, lalu melempar granat. Para santri di bawah bersiaga dengan senapan dan batu. Bentrok berlangsung sampai pukul tiga dinihari. Masjid 30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para santrinya. “Desingan pelurunya masih terdengar sampai sekarang,” tutur Sholeh.
Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren. Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun tak cukup. Kiai Yusuf dan pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat. Karena kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya menembak sasaran yang mendekat.
Suara salawat dan takbir bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak terdengar. Kepanikan memuncak ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat masjid dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal, sekitar 40 sentimeter dengan fondasi batu satu setengah meter.
Serangan mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tak bisa ditembus. Tentara Siliwangi pun datang membantu Kiai Yusuf. Namun pasukan bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di tikungan jalan, sekitar 1,5 kilometer dari masjid.
Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan madrasah baru berani keluar setelah matahari meninggi. Semua jendela madrasah pecah kena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar masih terlihat. Dari 50 rumah semipermanen di sekitar masjid, hanya tiga yang utuh.
Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di sekitar pesantren pun berwarna kemerahan.
Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari. Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka pun tak mau makan ikan. “Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual,” ujar Sholeh.
Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa. Cipari kembali pulih. Peristiwa malam itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf di puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-Wanaraja sepanjang enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan KH Yusuf Tauziri. Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.
Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika Serikat, menyebutkan hubungan mereka akrab. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.
Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.
Kepada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.
Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.
Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.
Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan keponakannya sebagai pelajar.
Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon. Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang terpisah dari republik ini.
Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik terlalu jauh. Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo. Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung penduduk yang tak mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.
Pesantren pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa Cipari lebih dari 46 kali. Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952. Kepungan di Desa Cipari tak membuyarkan Pesantren Darussalam.
Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Bekas tembakan dibiarkan di dinding menara bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi 20 meter ini. Banyak penduduk memanjat menara. “Mereka hanya ingin tahu, sekalian berdoa,” ujar Sholeh.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (18)
Dodol Garut dan Susu dalam Gubuk
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
GUBUK kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi orang dewasa. Tapi di dalamnya ada makanan yang jarang ditemui Sersan Ara Suhara di rumah orang biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan susu.
Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di samping makanan mewah itu, Ara, prajurit Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi, langsung berpikir kakek itu pasti orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang ia buru selama ini? Ara pun bertanya, memastikan: “Pak Karto?”
Si kakek merangkul Ara. “Iya, Nak,” katanya mengakui.
Jawaban Kartosoewirjo itu tak hanya mengakhiri perburuan Ara selama berhari-hari untuk menemukan Kartosoewirjo sekaligus menunjukkan keberhasilan strategi perang wilayah tentara Indonesia.
Dengan taktik itu, tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan, sehingga Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini bernama Brata Yuda, tapi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis. Digelar mulai April 1962, operasi ditargetkan kelar setengah tahun, tapi baru tiga bulan dilangsungkan Ara sudah menangkap Kartosoewirjo.
Salah satu kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga kepungan terhadap DI/TII sangat rapat dan bisa dikatakan tak tertembus. Keterlibatan rakyat ini yang membuat operasi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis.
Dalam operasi, militer meminta para pemuda dan pamong desa di sekitar wilayah operasi bersiaga. “Mereka yang berangkat diinstruksikan untuk membawa bekal logistik sendiri secukupnya,” kata Abdul Mahmud Latif, warga Desa Cilampung Hilir, Leuwisari, Tasikmalaya, yang saat operasi digelar berusia 25 tahun.
Sebagai pemuda, ia ikut menjadi pagar betis. “Tiga hari saya di sana,” katanya. Di lokasi yang ditentukan, Mahmud, para tetangganya, dan tentara membuat sejumlah tenda mengelilingi hutan di sekitar Galunggung.
Toto Toriah, nenek yang saat masih muda menemani suaminya yang menjadi pengikut Kartosoewirjo, Adang, saat ini 82 tahun, mengungkapkan masalah pagar betis ini bagi pasukan Kartosoewirjo. “Sulit sekali makanan masuk,” kata Toto, yang sekarang tinggal di Desa Linggarsari, Sariwangi, Tasikmalaya. Sebelumnya, warga yang bersimpati kepada mereka terkadang mengirim beras, jagung, gula, atau garam.
Di luar makanan itu, pasukan Kartosoewirjo juga belajar hidup dengan memanfaatkan apa saja yang ada di hutan. Pasukan Kartosoewirjo mengandalkan makanan bongborosan, seperti pisang, honje, kapulaga, jahe, atau lengkuas sebagai bahan makanan setiap hari. “Singkong rebus tambah gula merah ataupun garam mungkin menjadi menu favoritnya,” kata suami Toto, Adang.
Mereka juga berburu burung, kancil, atau ikan untuk lauk. Sayuran kegemaran lain adalah daun reundeu. “Daun ini bisa langsung dimakan bila keadaan perut prajurit sudah tidak kuat menahan lapar,” kata Adang.
Para tentara DI/TII juga gemar merokok. Favorit mereka adalah Escort, merek rokok nonkretek populer di Indonesia sejak zaman Belanda hingga 1970-an. Jika sudah kehabisan rokok, tutur Dudung, 85 tahun, rekan Adah Djaelani, ia tidak segan-segan meminta kepada Raden Oni Syahroni, kepala Resimen I DI/TII yang terkenal. “Beliau terkadang hanya memberi kami Rp 5,” kata Adah. “Itu sudah cukup bagi kami untuk membeli rokok.”
Tapi Operasi Pagar Betis menghentikan hubungan mereka dengan dunia luar. Pemerintah Jakarta pun menawarkan amnesti bagi pasukan DI/TII yang menyerah pada 1961. Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan keluar yang bagus, yakni amnesti, kekuatan DI/TII mulai berkurang.
Para pejabat kelompok pemberontak ini mulai satu per satu menyerahkan diri. Yang terakhir, Mei 1962, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang komandan wilayah, juga menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung Cibitung. Praktis sejak saat itu Kartosoewirjo tinggal ditemani segelintir pengikut setianya.
Operasi ini juga memaksa istri dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya. Salah satunya Sardjono, anak Kartosoewirjo yang saat itu baru lima tahun dan diasuh Musti’ah.
Sardjono menuturkan ia beserta rombongan perempuan dan anak-anak itu hanya makan daun-daunan seadanya di hutan. “Kami sudah tidak makan seminggu, di gunung buahnya pahit semua,” katanya mengenang.
Selain itu, pasukan pengawal mereka merasa bahwa mereka malah menjadi beban. Akhirnya diputuskan para perempuan itu turun gunung alias menyerah. Si komandan dan pasukannya akan mencoba membuat kontak dengan induk pasukan.
Selain pagar betis yang dijaga warga sebagai benteng pasif, tentara juga aktif memburu pasukan Kartosoewirjo seperti yang dilakukan Ara dan Kompi C yang dipimpin Letnan Dua Anda Suhanda-tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari desa ke desa dan hutan ke hutan. Saat beristirahat dan menginap di Joglo, Majalaya, setelah tiga hari berpatroli dengan berjalan kaki, mereka mendengar ada penggarongan. Aksi itu terjadi di Desa Pangauban, beberapa kilometer sebelah barat Joglo.
Mereka mengikuti jejak penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak. Saat pertama mengejar, mereka memulai dari Pangauban di barat Rakutak. Tapi hari berikutnya mereka sampai Sungai Ciharus, tempat mereka kehilangan jejak.
Ara meminta izin atasannya, Suhanda, untuk menyeberang sungai dan mencari sendiri jejaknya. Setelah berapa lama, ia menemukan jejak itu. Ia segera menjadi pelacak hingga sampai ke lembah Geber di sekitar Gunung Rakutak, tempat ia menemukan sepasukan anak buah Kartosoewirjo.
Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju. Ia sempat menembak salah satu penjaga pos pengintai. Ia sempat berhadapan dengan Aceng Kurnia, dan salah satu tangan kanan Kartosoewirjo itu kemudian angkat tangan. Tidak terjadi banyak perlawanan karena kelompok Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi.
Agak jauh, sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di depan gubuk itu ada pemuda yang ternyata, tiada lain, adalah Dodo Muhammad Darda, salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk Ara menemukan makanan mewah dan Kartosoewirjo yang tergeletak sakit.
Ara-meninggal pada Juni silam tapi sudah menuliskan ceritanya dalam satu buku yang disimpan keluarganya-menuturkan bahwa Kartosoewirjo mengaku sudah tahu Ara bakal datang. Kartosoewirjo bahkan mengatakan tahu istri Ara sedang mengandung dan akan punya anak laki-laki.
Ara tidak pernah melupakan kejadian pada 4 Juni itu. Anak yang tengah dikandung istrinya itu kemudian lahir dan, seperti “ramalan” Kartosoewirjo, laki-laki. Ara memberi nama anak itu Asep Sekar Ibrahim. Ibrahim dari nama Panglima Kodam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie. Sekar? Ara mengambil dari nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (19)
Asimilasi Setelah Eksekusi
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
PAGI masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono berjalan terseok-seok menuruni lereng. Ditemani Musti’ah, sang pengasuh, tiga anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata. Masih terngiang ucapan pengawal yang sebelumnya mengiringi mereka. “Kalian turun, serahkan diri ke pagar betis.”
Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah berjaga di sebuah lahan terbuka. Keempatnya ditangkap dan dibawa ke markas Batalion 328 Siliwangi di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah diberi pertolongan, mereka menjalani serangkaian interogasi. Awalnya Musti’ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu. Menjelang malam baru penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana. “Tentara gembira setelah mengetahui siapa kami ini,” kata Sardjono Kartosoewirjo, yang saat itu baru berusia lima tahun.
Penyerahan diri Sardjono, kini 53 tahun, dan dua saudarinya berjarak sebulan dari Maklumat Kartosoewirjo pada 6 Juni 1962. Dalam pengumuman yang dikeluarkan dua hari setelah Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung itu, sang Imam memerintahkan pengikutnya menghentikan tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. “Kami turun selain menaati maklumat juga lantaran logistik menipis,” ujar Sardjono, bungsu dari 12 bersaudara buah pernikahan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kalsum.
Peristiwa itu pula yang mengawali babak baru kehidupan keluarga Kartosoewirjo setelah bertahun-tahun hidup di tengah rimba. Sardjono ingat, selepas masa penyidikan, mereka mulai merasakan hidup di kawasan urban: Bandung.
Ketiga anak Karto dan Musti’ah ditempatkan di Wisma Siliwangi, Jalan Ciumbuleuit 134. Di tempat itu mereka mendapat perlakuan baik, makanan layak, dan pelayanan medis. Mereka juga dibekali sejumlah uang. Namun mereka tak bebas penuh. “Kami jadi semacam tahanan rumah. Penginapan dijaga ketat dan pergaulan dibatasi,” kata Sardjono.
Di tempat itu pula Sardjono dan kedua kakaknya bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka setelah terpencar sekian lama. Belakangan diketahui, “penahanan” di Wisma Siliwangi terkait dengan pengadilan Kartosoewirjo di Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang. Pada akhir persidangan, Kartosoewirjo divonis melakukan makar dan berencana membunuh Presiden. Ia dihukum mati, 5 September 1962.
Sepeninggal Kartosoewirjo, pemerintah bersikap lunak kepada Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Setelah beberapa bulan tinggal di Ciumbuleuit, mereka pun dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Banda 21, tak jauh dari Gedung Sate. Di sinilah keluarga gerilya ini mulai membaur dengan masyarakat. Sardjono menuturkan, ketika itu tempat tinggal mereka tak lagi dijaga ketat. Fasilitas yang diberikan lumayan banyak, di antaranya mobil dan sopir. Anak-anak bebas ke luar rumah untuk bergaul dengan warga sekitar. “Saya sering bermain bola dengan anak-anak sekitar situ,” ujar Sardjono.
Para tetangga bersikap baik. Sekalipun mengetahui Sardjono dan kedua kakaknya anak pemimpin gerakan yang dicap gerombolan pemberontak, warga tak pernah mempersoalkannya. Rupanya, penempatan keluarga Kartosoewirjo di tengah kota ialah cara Kodam Siliwangi mengetahui sejauh mana reaksi masyarakat. “Belakangan saya tahu dari tentara, ini persiapan kami untuk bebas,” ujar Sardjono.
Namun segala kenyamanan ini tak menghilangkan keresahan Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Proses asimilasi terasa tak sempurna. Silaturahmi dengan sanak famili terdekat malah tak terjalin. Sewaktu Dewi memilih pulang ke kampung halamannya di Malangbong, Garut, tak satu pun kerabat mau menjemput lantaran takut. Sialnya lagi, tanah warisan ayahnya, Kiai Ardiwisastra, tersisa kurang dari separuhnya. Sebagian dikuasai saudara, selebihnya diserobot tentara.
Setelah lama menunggu, datanglah Titi Aisyah, sepupu Dewi. “Bibi saya itu berani datang lantaran suaminya perwira TNI,” ujar Sardjono. Titi, menurut Sardjono, tak lain dari ibunda penyanyi Raden Terry Tantri Wulansari alias Mulan Jameela. Di Malangbong, perlahan-lahan mereka menata kehidupan.
Jejak Kartosoewirjo dan keluarganya di Bandung kini lenyap tak berbekas. Wisma Siliwangi di Ciumbuleuit yang sempat mereka tempati telah dihancurkan sejak 1999. Di lahan 500 meter persegi yang ditutupi pagar seng itu tak lagi ada sisa bangunan. Sedangkan rumah di Jalan Banda kini dijadikan tempat kursus bahasa Inggris.
Kisah itu makin pudar lantaran juga tak ada catatan di Kodam Siliwangi. Kepada Tempo, Mayor Paiman, Kepala Badan Pelaksana Sejarah Dinas Pembinaan Mental, mengatakan catatan yang ada hanya seputar penumpasan pemberontakan DI/TII. “Hanya ada sejarah yang umum,” katanya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (20)
Sidang Kilat Kawan Soekarno
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir, Jakarta Pusat, 14 Agustus 1962. Hari itu, sidang pertama Imam Besar Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus dibentuk. Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Wartawan dilarang masuk.
Seperti laiknya persidangan militer, TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai majelis hakim: Letnan Kolonel Ckh Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua anggota, Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota tim pembela Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara: empat orang pengacara dipimpin Wibowo, SH.
Tentara hanya butuh dua bulan untuk mempersiapkan sidang besar ini. Kartosoewirjo ditangkap pada awal Juni 1962 dan langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan persidangan. Sardjono, putra bungsunya, mengaku keluarganya sama sekali tidak diberi tahu. “Kami ditahan di Bandung, tidak bisa ke mana-mana,” katanya, dua pekan lalu. “Kami baru tahu vonis Bapak setelah sidang selesai.”
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang disusun Pinardi pada 1964, disebutkan bahwa bahan-bahan persidangan disiapkan oleh Komando Daerah Militer Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Buku ini bisa dibilang sumber sahih informasi dari tentara soal persidangan Kartosoewirjo. Kepala Staf Angkatan Bersenjata ketika itu, Jenderal Abdul Haris Nasution, menulis sambutan dalam buku tersebut.
Karena sidang dinyatakan tertutup, sulit memperoleh gambaran mengenai jalannya sidang dari media massa ataupun sumber tak berpihak lain. Sumber resmi tentara-yang banyak dikutip koran-koran-menyebutkan bahwa pada sidang perdana, Kartosoewirjo ditanyai soal kejelasan identitas dan perkara yang dia hadapi. “Jangan sampai yang dihadirkan di sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin gerombolan,” kata salah satu pengacara, pembela terdakwa.
Jaksa menuntut Kartosoewirjo-yang saat disidangkan berusia 55 tahun-dengan pasal berlapis. Dia dituduh hendak menggulingkan pemerintah yang sah, memberontak melawan Negara Republik Indonesia, dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno. Untuk menguatkan dakwaannya, jaksa Sutarjono menghadirkan enam saksi-semuanya anak buah Kartosoewirjo di Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Mereka adalah Djaja Sudjadi alias Widjaja (Menteri Keuangan Negara Islam Indonesia), Mardjuki (Bupati Tasikmalaya NII), Asbar (Komandan Resimen Tentara Islam Indonesia), Agus Abdullah (perwira berpangkat brigadir jenderal di TII), Sanusi Fikrap, dan Kamil Ali. Dua yang disebut terakhir adalah tersangka yang tersangkut insiden percobaan pembunuhan Presiden Soekarno saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada 14 Mei 1962.
Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Kartosoewirjo. Mereka mengakui peran sang Imam dalam mengatur dan mengendalikan operasi perlawanan NII di hutan-hutan Jawa Barat. Sejumlah peristiwa diangkat khusus, misalnya penyerangan di Garut pada Juli 1961 dan bentrok di Sumedang pada November 1961. Pada dua insiden penyerangan tentara Kartosoewirjo ke desa-desa di sekitar wilayah gerilya mereka itu, TNI mengklaim ada ratusan warga yang menjadi korban.
Jaksa juga menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah satu saksi, Asbar, mengaku mendapat perintah langsung dari Kartosoewirjo, yang dikuatkan dengan sebuah gigi junjungannya itu. “Gigi itu dianggap sebagai jimat dan tanda kepercayaan Kartosoewirjo untuk melaksanakan perintah itu,” kata jaksa, sebagaimana terungkap dalam risalah sidang yang dimuat media. Asbar kemudian meneruskan perintah itu kepada Mardjuki, Bupati Tasikmalaya dalam struktur NII. Dalam sidang, Mardjuki membenarkan adanya perintah itu.
Selain oleh tiga peristiwa itu, dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan kerugian dan korban jiwa selama pemberontakan DI/TII. Jaksa menyebutkan, pada periode 1953-1960 saja, ada 22.895 orang yang tewas serta 115.822 rumah yang musnah, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta.
Tak begitu dijelaskan bagaimana angka-angka itu diperoleh. Namun, dalam risalah persidangan, dinyatakan bahwa pemberontakan Kartosoewirjo mengganggu upaya pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: pemenuhan sandang-pangan, penjagaan keamanan, dan operasi perebutan Irian Barat. “Biaya yang seharusnya digunakan untuk operasi Irian Barat jadi digunakan untuk memulihkan keamanan akibat pemberontakan gerombolan ini,” kata hakim dalam putusannya.
Tak tercatat ada saksi meringankan dalam persidangan ini. Namun, ketika diminta membela diri, Kartosoewirjo dilaporkan menyangkal tuduhan bahwa ia melawan Negara Republik Indonesia dan merencanakan pembunuhan Soekarno. Dia hanya menerima tuduhan pertama: menyerang pemerintah yang sah. “Dari Ibu, saya diberi tahu bahwa jaksa memang mengejar tuntutan ketiga: terlibat pembunuhan presiden, karena ancaman hukumannya mati,” kata Sardjono mengenang.
Pembelaan dan penyangkalan Kartosoewirjo diabaikan majelis hakim. Dalam sidang tertutup, didampingi tim pembela yang tidak dia pilih sendiri, Kartosoewirjo memang terpojok. “Alat bukti dan keterangan saksi cukup untuk mengabaikan penyangkalan terdakwa,” kata ketua majelis hakim Letnan Kolonel Sukana.
Saking tertutupnya, berita mengenai persidangan Kartosoewirjo sama sekali tak ada di halaman-halaman koran. Baru pada Sabtu, 19 Agustus 1962, dua hari setelah vonis dibacakan, Harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis hukuman mati untuk Kartosoewirjo.
Diletakkan di bagian bawah halaman pertama, koran yang terbit di Bandung, Jawa Barat, itu juga memasang foto kecil Kartosoewirjo dengan rambut awut-awutan. Keterangan foto yang bertulisan “Pendam VI” alias Penerangan Kodam VI Siliwangi menandakan sumber informasi utama berita itu hanya berasal dari tentara.
Dalam berita itu, Kartosoewirjo dilaporkan menghadapi sidang pembacaan vonis dengan tenang. Dengan kemeja putih lengan panjang, celana biru, dan sepatu hitam, dia tampak klimis. “Rambutnya, yang panjang saat ditangkap, sudah dipotong,” tulis koran itu. Sejumlah pejabat tinggi hadir dalam sidang tersebut. Ada Menteri Kehakiman Sahardjo, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, dan Jaksa Agung Kadarusman.
Setelah palu hakim diketuk, barulah Kartosoewirjo bereaksi. Wajahnya pucat pasi dan tangannya gemetar. “Dua polisi militer sampai harus memapahnya ke luar sidang,” tulis Pikiran Rakjat. Pengacaranya, Wibowo, sempat berujar akan meminta grasi sebelum sidang kilat itu ditutup.
Tapi Sardjono punya cerita lain soal akhir sidang ayahnya. Menurut dia, Kartosoewirjo sempat ditanya apa wasiat atau permintaannya yang terakhir. “Dia minta bertemu perwira terdekatnya, namun ditolak hakim,” katanya. Lalu Kartosoewirjo mencoba meminta jenazahnya nanti dikuburkan di makam keluarganya di Malangbong, Garut. Ini juga ditampik. “Akhirnya, terakhir, Bapak cuma minta bertemu keluarga,” ujar Sardjono. Ini pun tak dikabulkan.
Setelah eksekusi, keluarga Kartosoewirjo hanya mendapat kiriman barang-barang pribadinya. Ada piyama bermotif kotak-kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker, tempat rokok cap Kuda, dan gigi palsu.
Dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno berujar tentang hukuman mati Kartosoewirjo, “Menandatangani hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan kepadaku. Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku yang baik. Di tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama,” katanya. Namun putusan harus diambil. “Seorang pemimpin harus bertindak, tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang ditempuh,” ujar Soekarno.
Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dieksekusi di depan regu tembak, setelah permohonan ampunnya ditolak. Dia ditembak bersama lima anak buahnya, yang dituduh terlibat percobaan pembunuhan presiden. Sebagian dari mereka yang dieksekusi hari itu bersaksi memberatkan Kartosoewirjo dalam persidangan sebulan sebelumnya.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (21)
Masih Misteri Setelah 45 Tahun
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
PERAHU kayu bercat biru dengan tudung terpal di bagian tengah itu melaju membelah laut menuju Pulau Onrust, meninggalkan tepian Muara Kamal di Jakarta Utara. Dua buah mesin tua berkekuatan masing-masing 40 tenaga kuda meraung di bokong kapal pada Selasa siang akhir Juli lalu.
Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai kapal yang sedikit lebih tinggi. Tak ada kursi di perahu yang kini melaju ke utara itu. “Ini pertama kalinya saya ke sana.” Sardjono mengenakan baju hangat lengan panjang berwarna cokelat bergaris kuning serta celana hitam dan sepatu karet sewarna. Ia membawa tas berisi baju koko dan kopiah putih.
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari tepi utara daratan Kota Jakarta. Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan ada di Marina Ancol dan Muara Angke.
Onrust dalam bahasa Belanda berarti tanpa istirahat (sibuk). Pada pertengahan abad ke-16, di pulau ini terdapat galangan kapal yang lumayan besar. Ia melayani ratusan kapal, terutama milik kongsi dagang Belanda (VOC) Saat itu, Onrust dikuasai Pangeran Jayakarta, kemudian dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu kepada VOC.
Pulau ini dilengkapi gudang-gudang untuk menyimpan muatan kapal yang sedang diperbaiki. Belakangan, pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membangun tak kurang dari 35 barak haji bagi penduduk yang hendak berangkat ke Mekah. Pulau ini lantas menjadi tempat karantina jemaah yang kembali sebelum pulang ke rumah.
Ketika itu, Onrust masih seluas sekitar 12 hektare dan penuh dengan pepohonan besar. Kayunya banyak digunakan untuk pembuatan kapal. Sebuah benteng segi lima sempat dibangun Belanda di sini sebagai pertahanan menghadapi Inggris. Juga sebuah penjara. Westerling, perwira Belanda yang dikenal karena pembunuhan puluhan ribu warga Sulawesi, sempat ngendon di sini sebelum melarikan diri.
Beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia juga sempat dipenjarakan di sini. Nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tertoreh di salah satu sudut gedung museum yang belakangan dibangun pemerintah Indonesia. Gedung itu tadinya rumah dokter dan perawat yang bertugas mengurusi kesehatan jemaah haji. “Namanya tertulis di dalam semacam pigura,” kata Muhammad Giri, cucu Kartosoewirjo, yang pernah datang sekitar tahun 2000.
PERAHU melamban mendekati dermaga kecil Pulau Onrust. Dadang, pemilik kapal yang merangkap nakhoda, meminta dua adiknya yang menjadi anak buah kapal menstabilkan perahu dengan berpegangan pada perahu lain yang sedang ditambat.
Tak ada petugas yang berjaga di pulau yang hampir tidak berpenghuni ini. Hanya ada dua warung mi instan dan sebuah bangunan semipermanen dari kayu di sisi timur, yang ditempati para nelayan yang sedang beristirahat. Sebuah tugu hitam berbentuk batu besar menyambut setiap orang yang datang. Di permukaannya tertulis ringkasan sejarah pulau.
Sardjono berjalan perlahan menapaki konblok. Seseorang yang baru saja kelar memancing memberitahukan arah menuju makam. “Di depan bangunan itu, lalu belok kiri,” katanya. “Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai makam.”
Melewati pemakaman Belanda, Sardjono sempat berhenti sebentar. Di bawah pohon besar di tengah makam, ia lalu mengeluarkan baju koko dan melepaskan baju hangatnya. Setelah bersalin, ia kembali berjalan mengikuti petunjuk arah tadi.
Di sisi barat pemakaman ini terdapat pemakaman pribumi, yang melintang dari utara ke selatan. Ini berbeda dengan pemakaman Belanda, yang memanjang dari timur ke barat. Di sisi paling barat kompleks pemakaman pribumi ini, ada bangunan dari bambu beratap asbes. Bangunan tua itu miring dan bambunya sudah menghitam.
Di sisi kiri pintu masuk terdapat plang berwarna biru bertuliskan informasi bahwa ada tokoh Darul Islam yang dimakamkan di dalam. Pada sisi kanan bangunan, botol-botol kosong air bunga mawar tergeletak. Pohon-pohon pinus tumbuh menaungi makam ini. Di bagian dalam pondok bambu ini terdapat dua makam, yang permukaannya telah dilapisi porselen biru.
Sardjono lalu melangkah masuk ke tengah makam dan menghadap ke makam sebelah kanan. Makam ini tidak memiliki batu nisan. Hanya ada batu apung yang dibungkus kain putih. Sedangkan pada kuburan di sebelahnya terdapat papan nisan bertulisan “H”-Hasan. Ia lalu berjongkok memegang batu nisan dengan tangan kiri dan mulai berdoa.
Sekitar 15 menit kemudian, ia usai berdoa. “Setelah 45 tahun terpisah,” katanya tenang. “Ini anugerah yang tidak ternilai bagi saya.” Sardjono terpisah dengan ayahnya saat ia masih berusia sekitar lima tahun. Ketika itu, Kartosoewirjo tertangkap pasukan Siliwangi saat bergerilya di hutan perbukitan.
PADA suatu hari 1-2 tahun setelah kabar eksekusi Kartosoewirjo diterima keluarga, datang seorang lelaki membawa sepucuk surat. Surat berkops tentara itu merupakan laporan tentara kepada Presiden Soekarno mengenai lokasi eksekusi Kartosoewirjo, yaitu di Pulau Ubi. “Saat itu Umar Wirahadikusumah menjadi Pangdam Jaya,” kata Sardjono meyakini surat itu.
Keluarga kemudian berembuk untuk mendatangi pulau yang terletak dua-tiga kilometer di sebelah utara Pulau Onrust itu. Meski mereka meyakininya, niat ini akhirnya diurungkan. Alasan utamanya adalah keluarga masih khawatir bahwa surat itu merupakan jebakan aparat untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya kekuatan para pengikut sang Imam.
Ini adalah satu informasi dari sekian banyak informasi yang diterima keluarga mengenai keberadaan Kartosoewirjo setelah ditangkap militer. Ada orang yang mengaku melihat sang Imam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. “Ada yang mengaku bertemu beliau di Banten.” Namun informasi tentang makam di Pulau Ubi dan belakangan berubah menjadi Pulau Onrustlah yang diyakini keluarga.
Menurut Muhammad Giri, sang cucu, informasi mengenai keberadaan makam tidak pernah dibicarakan secara terbuka di dalam keluarga. “Saya juga hanya mendengar kalau orang tua bicara,” katanya. Ia pun mencari informasi di Internet. “Saya baca adanya di Pulau Onrust,” kata Giri, yang sempat datang bersama 20-an temannya sambil bertamasya.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pulau Onrust Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Husnison Nizar, informasi mengenai makam ini memang disampaikan di dalam museum di pulau itu. Namun ia juga mengakui bahwa hingga saat ini belum ada penelitian ataupun dokumen resmi yang mendukung hal itu. “Baru sebatas keyakinan masyarakat,” katanya.
Menurut wartawan senior Alwi Shahab, makam Kartosoewirjo memang terletak di Pulau Onrust. Informasi ini ia peroleh dari Solichin Salam, penulis buku Bung Karno Putra Fajar, yang terbit pada 1966. Menurut Alwi, Solichin sempat menanyakan hal ini langsung kepada Bung Karno.
Makam itu, menurut Alwi, adalah salah satu dari dua makam yang dinaungi pondok bambu tersebut. “Belum tahu yang kiri atau yang kanan,” katanya. Makam itu ada dua untuk menghindari penyembahan atau sesajen yang terkadang dibawa masyarakat. Sesajen merupakan hal terlarang dalam ajaran Islam. “Jadi makamnya disamarkan,” ujarnya.
Sardjono berharap pemerintah memperhatikan kejelasan makam ini karena menyangkut rangkaian sejarah bangsa. “Lebih baik jika ada tes genetik,” katanya. Jika hasil tes menunjukkan positif bahwa itu makam sang ayah, Sardjono ingin melakukan satu bakti terakhir. “Pesan beliau agar dimakamkan di makam keluarga.”
Di salah satu sisi pulau, sehabis berziarah, Sardjono membaca puisi yang dipersembahkan untuk sang ayah, Kematian Adalah Sebuah Misteri. Di bawah rintik hujan, ia berteriak:
Kuburmu dicari
Jejakmu diselusuri
Ajaranmu dikaji
Mujahid tidak pernah mati.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (22)
Jihad Sebatang Korek
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
Komando Jihad menjadi awal kebangkitan sekaligus perpecahan pentolan DI/TII. Intelijen menggembosinya dari dalam.
PANGGILAN dari kantor Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jawa Barat membuat Sardjono Kartosoewirjo bergetar. Waktu itu, pada 1975, anak bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini baru kelas tiga sekolah menengah atas. Dipanggil tentara pada zaman ketika Orde Baru menancapkan pengaruhnya sungguh membuat kecut remaja 18 tahun ini.
Bersama ibu, dua kakak, dan pentolan Darul Islam seperti Danu Muhammad Hasan, Ateng Jaelani, Adah Djaelani, dan Aceng Kurnia, Sardjono diterima Letnan Kolonel Pitut Soeharto. Dengan gaya kalemnya, Direktur III Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) tersebut menyodorkan kertas yang harus diteken 11 orang itu. Isinya ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasas Pancasila. “Meski masih anak-anak, saya diminta ikut tanda tangan karena saya bisa dianggap simbol DI/TII,” katanya tiga pekan lalu.
Sardjono tak mengerti, ikrar itu adalah upaya pemerintah meredam aksi teror yang dilancarkan pentolan eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di pelbagai daerah. Gaos Taufik, misalnya, mengebom sejumlah hotel dan rumah sakit Kristen, merampok bank, dan membunuh sejumlah orang. Gaos adalah Komandan Perang Wilayah Besar Darul Islam Sumatera Utara.
Pitut mengaku diutus lang-sung oleh Presiden Soeharto untuk secara rahasia mendekati pentolan-pentolan Darul Islam. “Pak Harto menawarkan amnesti penuh kepada mereka asal tak ada lagi aksi teror,” kata Pitut, kini 81 tahun. Bentuk pengampunan itu antara lain tawaran menjadi anggota DPRD dari Fraksi Golkar jika partai ini menang dalam Pemilihan Umum 1971.
Darul Islam memang sudah memaklumatkan diri menjadi pendukung Golkar setelah Bakin mengumpulkan pemimpin dan anggota DI di rumah Danu Muhammad Hasan di Jalan Situ Aksan 120, Bandung, pada 1971. Pertemuan tiga hari tiga malam ini dihadiri 3.000 orang dengan deklarasi dukungan terhadap partai pemerintah itu. Meski Golkar menang dalam pemilu, mereka tak pernah menjadi legislator di parlemen pusat ataupun daerah.
Tanpa setahu Pitut, tokoh-tokoh ini diam-diam mendiskusikan kemungkinan kembali ke cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. Tak semua setuju, memang. Beberapa orang kecewa karena ada isu reuni dibiayai Bakin yang ditandai kehadiran Pitut sebagai pejabat telik sandi itu.
Kepada Tempo, Pitut membantah membiayai reuni lintas generasi Darul Islam itu. “Duit dari mana? Kami tak punya uang,” katanya. Ia mengaku datang hanya untuk menyaksikan acara karena ini pertemuan terbesar pertama setelah Kartosoewirjo meninggal pada 1962.
Diskusi tersembunyi itu berlangsung alot. Djaja Sudjadi, bekas menteri Negara Islam Indonesia, menolak ide kembali ke jalan jihad. Ia menyatakan keluar dan mendirikan DI Fillah, kelompok yang menentang perjuangan bersenjata. Sebaliknya, Aceng dan Danu setuju menghidupkan semangat Kartosoewirjo dan membentuk DI Fisabilillah.
Rencana pun dimatangkan. Pada 1974, dibentuk Komando Perang Wilayah Besar yang dibagi tiga: Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Sulawesi dipegang oleh Ali A.T., Sumatera oleh Gaos, dan Jawa oleh Danu Hasan. Aksi pertama adalah merekrut anggota Darul Islam baru dari kalangan muda, sebelum jihad benar-benar dikobarkan. Gaoslah yang pertama akan beraksi. Dia kemudian meledakkan acara Musabaqah Tilawatil Quran di Medan, disusul pengeboman rumah sakit Kristen di Bukit Tinggi.
Namun aksi itu tak direspons sama sekali oleh Jawa Barat. Danu dan Aceng, yang merestui gerakan Gaos, hanya bungkam. “Padahal Jawa Barat sudah berjanji, ‘walaupun dengan sebatang korek api, jihad akan disambut oleh Jawa’,” kata Solahudin, peneliti DI/TII. “Kenapa Jawa Barat tak merespons, masih misterius.”
Ada dugaan, Jawa Barat memang sudah gembos sebelum jihad terjadi secara masif. Pernyataan ikrar di hadapan Pitut itu salah satunya. Belakangan diketahui bahwa Danu ternyata bisa dibina Bakin. “Ada tiga yang ikut saya: Danu, Ateng, dan Dodo Muhammad Darda,” kata Pitut. Dodo adalah kakak Sardjono Kartosoewirjo.
Kepada Danu dan Aceng, Pitut memberikan modal untuk berdagang. Tapi Danu, yang lama bergerilya di hutan, tak paham cara ambil untung. Usahanya bangkrut. Pitut lalu menawarkan kerja di Bakin dengan ruang kantor dan gaji rutin. Sedangkan Ateng dan Adah Djaelani sukses sebagai penyalur minyak tanah untuk seluruh Jawa Barat di bawah perusahaan PT Taman Sebelas.
Gampangnya Danu dibujuk juga tak lepas dari peran Ali Moertopo, Deputi Kepala Bakin waktu itu. Ali dan Danu sama-sama pejuang di zaman revolusi kemerdekaan. Juga ada nama lain yang bisa “dibina”, yakni Haji Ismail Pranoto, yang populer dipanggil Hispran. Dia memimpin Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam, organisasi di bawah Golkar, dan menjadi kontraktor yang kerap bekerja sama dengan Ahmad Rivai, tokoh DI Lampung.
Tapi Hilmi Aminuddin menyangkal pernyataan bahwa ayahnya bisa dibina dengan mendapat gaji dari Bakin. Menurut Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera ini, Danu Hasan mendapat tunjangan dan beras dari Komando Daerah Militer Jawa Barat sebagai eks pejuang 1945. “Saya yang ambil amplop dan berasnya,” kata Hilmi kepada Tempo.
Menjelang Pemilihan Umum 1977 memang terjadi penangkapan besar-besaran eks Darul Islam. Menurut Pitut, itu terjadi karena tenggat menyerah bagi anggota Darul Islam telah habis. Sebab, pentolan yang tak bisa dibujuk Pitut masih menjalankan gerilya di hutan-hutan Tasikmalaya dan Garut, seperti Ules Sudja’i. Ia menyangkal penangkapan itu berkaitan dengan Pemilu 1977 untuk menggembosi suara umat Islam ke Partai Persatuan Pembangunan. “Mereka ditangkap untuk dibina, bukan dibui atau isu pemilu,” katanya.
Entah siapa yang pertama memunculkannya, penangkapan oleh Kodam Siliwangi di bawah komando Mayor Jenderal Himawan Soetanto itu dituding sebagai penumpasan gerakan “Komando Jihad” atau “Neo-DI”. Sebab, yang ditangkap bukan hanya mereka yang belum bisa dijinakkan, melainkan juga Danu, Hispran, Aceng, dan Ateng. Belakangan Jaksa Agung Ali Said mengklarifikasi sebutan “Komando Jihad” untuk segala jenis teror yang merongrong Pancasila.
Kalangan Darul Islam sendiri tak mengenal istilah ini. “Itu istilah pemerintah,” kata Sardjono. Namun penangkapan ini menandai babak baru Darul Islam. Di pengadilan, para terdakwa saling tuding telah menjadi pengkhianat sehingga tentara menangkapi mereka. “Ada tokoh DI yang dibina Bakin,” kata Ateng Jaelani saat bersaksi di pengadilan Hispran. Yang dia maksud tentu Danu Muhammad Hasan.
Sebaliknya, Hispran menuding Ateng juga binaan intelijen dengan menikmati hidup sebagai penyalur minyak tanah. Ia meminta maaf telah memprovokasi jemaahnya untuk kembali kepada cita-cita Negara Islam Indonesia.
Rupanya, reuni 1971 di rumah Danu Hasan memang benar-benar dijadikan pijakan untuk menghidupkan Negara Islam Indonesia. Namun gerakan sporadis di Jawa Tengah dan Timur ini berantakan sebelum mencapai target. “Komando Jihad” menjadi pertanda kebangkitan sekaligus keterpurukan pengikut Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (23)
Negara Setengah Hati
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan bara. Di kampung berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.
Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. “Saya hanya meneruskan perjuangan Bapak,” kata Sensen.
Keberadaan NII di kampung itu memang tak lepas dari peran ayah Sensen, Bakar Misbah. Dialah Bupati NII Garut di masa NII pertama diproklamasikan.
Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, adalah basis pergerakan Darul Islam. Sekitar 500 meter dari sana, terdapat pesantren Darussalam yang didirikan KH Yusuf Tauziri, saudara Bakar Misbah. Pendiri pesantren itu pernah menjadi teman seperjuangan Kartosoewirjo, lalu pecah kongsi dan melawan Darul Islam.
Setelah Kartosoewirjo menyerah pada Batalion Kujang, Juni 1962, pengikut Darul Islam kocar-kacir. Mereka bersembunyi karena diburu tentara Indonesia. Setelah situasi aman, mereka yang selamat keluar dari persembunyian, termasuk Bakar Misbah. Ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan bersama kelima anaknya. Bakar meninggal pada 1993.
Sepeninggal sang ayah, Sen-sen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain. Mereka menghidupkan kembali NII di kampung para petani itu. Sensen, anak kedua Bakar, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15. Rumahnya dijadikan pusat komando. Berukuran 11 x 11 meter, berdinding bambu, dan berlantai papan, rumah itu menjadi pusat pemerintahan atau istana negara NII.
Saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu, tidak tampak simbol kenegaraan di sana. Tak ada simbol NII, apalagi simbol RI seperti gambar presiden dan burung Garuda. Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto. “Semua simbol negara kami dirampas pemerintah Indonesia,” kata Sensen.
Dalam menjalankan pemerintahan, Sensen dibantu para menteri. Ada menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri pertahanan, dan menteri pendidikan. Bersama para pembantunya, lulusan Institut Agama Islam Negeri Bandung, Jawa Barat, ini menggelar rapat kabinet di rumahnya. “Sama seperti istana presiden di Indonesia,” katanya.
NII, Sensen mengaku, memiliki alat pertahanan yang kuat. “Kami punya pesawat tempur tipe F-16 dan Sukhoi,” katanya. Namun ia tak mau memberitahukan keberadaan pesawat eksklusif itu-rahasia negara. Sensen dan warganya memiliki usaha ternak ayam potong. Ini usaha bersama yang keuntungannya digunakan untuk operasional dan buat menopang ekonomi negara. “Rakyat NII,” Sensen berujar, “tak dibebani pajak seperti di negara lain.”
Akses transportasi dan jaringan telepon yang dimiliki NII, menurut Sensen, digunakan untuk meluaskan jangkauan. Sensen menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42 kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. Saat ini jumlahnya 3.000-an orang. “Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan Darul Islam,” kata Sensen.
Darsun Sudrajat, 48 tahun, warga NII dari Kampung Papandak, Desa Sukamenak, Kecamatan Wanarja, berkomentar tentang hidup sebagai warga NII. “Hidup di sini lebih damai karena saling mendidik, berbeda dengan di Indonesia,” katanya.
Awalnya, aktivitas NII di Babakan tertutup. Barulah pada 17 Januari 2008, masyarakat tahu apa yang terjadi. Saat itu, Sensen dan dua menterinya mengibarkan bendera NII, merah-putih bergambar bulan-bintang, di depan rumahnya.
Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap “terganggu”. Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008.
Kendati ada yang masuk penjara, gerakan mereka tak kendur. Mei lalu, pemimpin NII di Desa Purbayani, Wowo Wahyudin, berkirim surat ke pejabat desa setempat. Mereka meminta warga NII tidak dimasukkan ke daftar pemilu presiden. “Kami sudah punya imam,” kata Wowo. Mereka pun menolak sensus penduduk beberapa bulan lalu.
Gesekan pun terjadi. Masyarakat setempat bereaksi. Puncaknya terjadi pada 4 September 2009. Kepolisian Resor Garut mengamankan 16 warga NII dari amuk massa saat menggelar musyawarah di Kantor Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng.
Amuk massa itu buah kejengkelan warga melihat aktivitas ibadah NII. Di Kampung Situ Bodol pada 4 September 2009, misalnya, warga NII melakukan salat Jumat dengan membelakangi arah kiblat. Mereka juga mengubah kata “Muhammad” dengan “Sensen Komara” dalam kalimat syahadat dan azan.
Akibatnya, tiga pentolan NII di Purbayani, termasuk Wowo, divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Garut. Setelah rentetan kejadian itu, warga NII mulai tiarap karena diawasi ketat kepolisian. Arah kiblat pun kembali seperti sedia kala. “Supaya tidak rame lagi,” kata Sensen. Tapi syahadat dan lafal azan masih tetap versi NII.
Kendati dianggap menyimpang dari ajaran yang lazim, masyarakat sekitar tak terlalu hirau. Salaf Sholeh, sesepuh pesantren Darussalam, menilai ajaran NII tak perlu dihiraukan. “Karena imamnya gila,” katanya.
Paham kenegaraan Sensen juga unik, lebih tepatnya pragmatis. Kendati menolak eksistensi Negara Indonesia, warga NII tetap mengurus kartu tanda penduduk serta menerima bantuan langsung tunai, pembagian beras untuk orang miskin, bahkan pembagian jatah kompor gas gratis.
Mereka juga tak malu menagih kepada pamong setempat jika tak kebagian jatah gratisan. “Masak, pemberian ditolak,” ujar Sensen.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (24)
Pasang-Surut Pesantren Darul Islam
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
RENCANANYA, menara Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Pesantren Al-Zaytun akan tegak 145 meter. Tapi hingga kini tingginya baru setengahnya. Marmer Cina dan Spanyol untuk pelapis tembok menara sampai saat ini belum tersedia.
Pembangunan pondok pesantren di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, ini sebenarnya sudah dimulai pada 1996 oleh pendirinya, Syekh Abdussalam Panji Gumilang. Tiga tahun kemudian, pesantren ini diresmikan Presiden B.J. Habibie. Tapi proyek di atas lahan 1.200 hektare itu belum berhenti. Cuma, prosesnya tersendat-sendat lantaran biaya mulai menipis. “Uangnya sudah seret karena pengikutnya tak sebanyak dulu,” tutur Sofwan, bekas juru warta di media milik Ma’had Al-Zaytun.
Al-Zaytun didirikan dengan obsesi menjadi pesantren terbesar di Asia Tenggara. Muridnya pernah tercatat 5.300 orang, dari dalam dan luar negeri. Pesantren ini menggelar pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga universitas. Untuk masuk ke sana, calon murid harus lulus serangkaian tes: hafalan Juz Amma, tes kesehatan, tes psikologi, dan wawancara. Para siswa tak cuma belajar bahasa Inggris dan Arab, tapi juga bahasa Rusia, Cina, dan Prancis. Ratusan unit komputer dan notebook melengkapi fasilitas belajar.
Untuk ongkos belajar selama enam tahun, Al-Zaytun menarik US$ 3.500 atau sekitar Rp 31,5 juta. Orang tua santri juga diminta menyumbangkan bibit pohon jati. Dalam waktu enam tahun, International Accreditation and Recognition Council, yang berkedudukan di Australia, memberi Al-Zaytun sertifikat bintang empat, sebuah penghargaan internasional di bidang pendidikan.
Al-Zaytun adalah pesantren modern yang lengkap. Semua ruangannya berpenyejuk udara, dapur komplet dengan peralatan masak listrik, serta ada binatu, supermarket, dan saluran telepon internasional.
Seribu hektare lahan dikhususkan untuk pengembangan pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan, juga pabrik garmen. Kebutuhan sandang-pangan sekitar 10 ribu penghuninya terpenuhi secara swasembada.
Untuk urusan kesehatan, tersedia tenaga dokter dan paramedis, psikiater, serta tim konseling. Pesantren juga dilengkapi dengan aneka sarana olahraga: lapangan sepak bola, atletik, hoki, voli, basket, dan tenis, juga kolam renang, plus stadion berkualitas Olimpiade internasional.
Sukses Al-Zaytun tak lepas dari tangan dingin Syekh Abdussalam Panji Gumilang, 64 tahun. Lelaki kelahiran Gresik, Jawa Timur, ini adalah tokoh Negara Islam Indonesia. Dia aktivis Gerakan Pemuda Islam, juga pengikut Lembaga Kerasulan pimpinan Karim Hasan-lembaga yang berafiliasi kepada NII.
Sebelum Al-Zaytun berdiri, Panji Gumilang dikenal dengan nama Abdussalam Toto atau Abu Toto. Pada 1996, ia menerima mandat dari Adah Djaelani, sesepuh NII, untuk memimpin NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW-9).
Penunjukan Abu Toto ditentang keras kalangan internal NII, yang berujung pada pembatalan Adah sebagai Imam NII. Tapi Abu Toto maju terus dan mengembangkan Harakat Qurban-program penggalangan besar-besaran dana umat untuk gerakan. Wilayah KW-9 meluas dengan pola rekrutmen yang “seperti multi-level marketing,” kata Sofwan, yang ikut gerakan itu ketika baru kuliah semester pertama di Institut Teknologi Indonesia. Syarat masuk NII KW-9 adalah ikut pengajian, mengakui gagasan negara Islam, mengingkari Negara Republik Indonesia, dan bersedia dibaiat.
Menurut Sofwan, NII KW-9 Abu Toto bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka, misalnya, menggelar pengajian tertutup serta tidak mewajibkan jemaahnya melakukan salat lima waktu dan menutup aurat. Jemaah juga diwajibkan menyetor uang kepada kelompok sebagai biaya hijrah dari situasi kafir menjadi Islam.
Kebijakan Abu Toto itu ditentang bekas aktivis NII lainnya. “Itu Darul Islam gadungan yang mencemarkan NII,” ujar Kastolani, bekas komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah. Kartosoewirjo pun tak mengajarkan bahwa orang di luar kelompoknya adalah orang kafir. “Kalau pemerintahannya kafir, iya, tapi bukan orangnya,” ucap Kastolani.
Ketika perekrutan dan penggalangan dana mulai menggelisahkan di awal dekade 2000, gelombang anti-Zaytun pun bermunculan. Ratusan orang mengadu sebagai korban ke Forum Ulama Umat yang dibentuk ulama Jawa Barat. Forum mengeluarkan fatwa sesat terhadap gerakan NII KW-9 Panji Gumilang.
Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) dan Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII KW-9, Al-Zaytun, dan Abu Toto (SIKAT) dibentuk masyarakat. Tak ada yang tahu persis berapa total anggota jemaah NII KW-9. SIKAT pernah memperkirakan jumlahnya sekitar 100 ribu. Tak jelas pula berapa nilai duit yang sudah dikumpulkan kelompok ini.
Investigasi majalah Tempo pada 2002 menemukan bahwa ada setoran Rp 7 miliar per bulan hanya dari satu wilayah. Di seluruh Indonesia ada 28 wilayah kerja NII. Jurnal Van Zorge menyebutkan pendapatan tahunan Al-Zaytun adalah Rp 162 miliar. Perhitungan tim investigasi Tempo menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi: sekitar Rp 770 miliar.
“Berapa persisnya, ya, cuma Syekh dan Tuhan yang tahu,” ucap Sofwan. Uang umat yang dia duga hingga triliunan itu, menurut Sofwan, disimpan di sembilan rekening Bank CIC-kini menjadi Bank Century.
Panji Gumilang menolak permintaan wawancara Tempo. Pengurus Al-Zaytun juga melarang Tempo mengunjungi pesantren besar itu. “Kami tidak memperbolehkan siapa pun masuk tanpa izin pimpinan,” kata seorang anggota staf humas Al-Zaytun. Tapi pada 2002, kepada Tempo, Panji Gumilang mengatakan sumber dana Al-Zaytun adalah “sedekah” umat Islam di Indonesia dan luar negeri.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (25)
Surat Perpisahan dari Johor Bahru
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari, menghidupkan motor bebek, lalu memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih ia bawa. “Enggak tega saya setelah melihat dia,” ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di rumahnya di Bandung tiga pekan lalu.
Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari asalnya di Cianjur, Jawa Barat.
Ia bertemu dengan sang Imam di rerimbunan tanaman singkong dan ubi jalar. Di sekelilingnya empang lele seluas 600 meter persegi. Ajengan Masduki alias Damhuri, ketika itu 63 tahun, sedang santai di empangnya. Menyambut Hadi, Damhuri melepas caping, mengangguk, tersenyum, dan menghampiri.
Hadi Surya bukan orang asing bagi Ajengan. Sejak 1980-an, Hadi sering datang mengaji ke tempatnya. Pada saat yang sama, Hadi juga mengaji ke Abdullah Sungkar di Solo. Sang guru yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Malaysia itu telah banyak bergaul dengan aktivis dari Afganistan, Yaman, dan Arab Saudi. Dia menekuni ajaran salafi jihadi dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Kepada murid-muridnya, Sungkar menyatakan sejumlah ajaran Ajengan Masduki menyimpang dari Islam.
Kepada Tempo, Hadi mencontohkan, Ajengan mengajarkan kisah Raja Zulkarnaen yang bertanduk. Juga cerita lembah di Pandeglang, Rangkas Bitung, yang menjadi tempat bertemunya roh Sembilan Wali. “Kalau berdoa di sana, niscaya dikabulkan,” kata Hadi.
Surat yang dikirim Abdurohim Toyib berisi pernyataan pemisahan diri Abdullah Sungkar dari Darul Islam. Tapi hati “sang kurir” menjadi luluh demi melihat Ajengan. Di ujung jalan, Hadi tertegun: “Ke mana surat itu mesti saya kasih?” Dia pun menuju rumah orang kepercayaan Ajengan, Kholid Sarbini. Surat diterima Abdul Gofar anaknya. “Saya wanti-wanti agar surat itu disampaikan ke Ajengan,” kata Hadi.
Surat perpisahan itu diketik dan ditandatangani Abdul Halim alias Abdullah Sungkar dan Abu Somad alias Abu Bakar Ba’asyir. Sekitar 20 tahun bergabung di Darul Islam, keduanya keluar dan membentuk Jamaah Islamiyah pada Januari 1995. Abdul Halim menjadi amir dan Abu Somad menjadi wakilnya.
Menurut Solahudin, peneliti Darul Islam, Sungkar dan Ba’asyir masuk Darul Islam pada 1975-1976, setelah direkrut Haji Ismail Pranoto. Setahun sebelumnya, Darul Islam melakukan konsolidasi dan merekrut banyak aktivis muda Islam. Sungkar dan Ba’asyir lari ke Malaysia pada 1985. Di Johor Bahru, mereka mendirikan Pesantren Lukmanul Hakiem. Pengikutnya kebanyakan anggota Darul Jawa Tengah dan Indonesia Timur, tempat Sungkar menjadi komandan.
Hubungan Sungkar dan Ba’asyir di Malaysia semakin luas. Akses ke Timur Tengah pun terbuka. Sejak 1987, Sungkar aktif dalam pengiriman anggota Darul Islam untuk berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Kegiatan ini melancarkan akses ke aktivis Islam internasional. Sejak 1990, Sungkar menjadi komandan tertinggi Darul Islam dan orang kedua di bawah Ajengan Masduki.
Meski beberapa literatur menyebutkan Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993, menurut Hadi, ketika itu masih berupa gagasan Sungkar dan Ba’asyir. Setahun kemudian, Sungkar mengubah organisasinya menjadi Ring Darul Islam. “Masih dalam keluarga Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, tapi sudah berbeda ajaran,” katanya.
Ba’asyir berulang kali menyangkal keterlibatannya dengan Jamaah Islamiyah. Dia hanya mengakui berbeda pandangan dengan Ajengan Masduki. “Kami berpendapat Negara Islam itu sudah tak ada, namanya tak perlu disebut-sebut lagi,” ujarnya dua pekan lalu usai berceramah di Masjid Iqwanul Qorib, Bandung.
Kendati begitu, Ba’asyir mengakui memiliki hubungan dengan orang-orang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia karena kesatuan paham. “Kami kadang-kadang ziarah ke sana. Mereka orang-orang yang perjuangannya lurus,” ujarnya.
Pengikut Darul Islam yang bergabung ke Jamaah Islamiyah dibaiat lagi. Sungkar memformalkan struktur organisasi seperti markaziah, mantiqiah, wakalah, dan katibah. Organisasi baru ini dibagi menjadi dua mantiqiah: satu untuk urusan luar negeri, dipimpin Hambali, dan lainnya urusan dalam negeri, dipimpin Anshori alias Ibnu Thoyib atau Abu Fatih.
Mukhlas atau Ali Ghufron, kader yang cemerlang dan baru pulang dari Afganistan, bergabung dengan Hambali. Begitu juga Amrozi, adik Mukhlas. Ketika itu, 2.000 lebih kader telah dikirim ke Afganistan. Sebagian besar dari Jawa Tengah. Hambali pun jadi orang penting. Ia berhubungan dan mendapatkan dana dari Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Sebelum Jamaah Islamiyah terbentuk, Darul Islam sudah pecah menjadi tiga. Satu faksi dipimpin Ajengan, satu dipimpin Abdul Fatah Wiranagapati, dan lainnya KW-9 yang dipimpin Abi Karim. Layaknya partai politik, perpecahan dipantik masalah jabatan.
Awalnya pada 1974, ketika Darul Islam memutuskan kembali ke gerakan bersenjata. Daud Beureueh diangkat menjadi imam pertama. Tapi, tahun berikutnya, ia ditangkap dan dibui. Adah Djaelani tampil menggantikan Daud Beureueh.
Pada 1980, Adah juga dijebloskan ke penjara. Ia dianggap terlibat sepak terjang Warman, pemimpin pasukan khusus Darul Islam, yang mencari modal dengan melakukan fai-alias merampok-di berbagai tempat di Jawa Barat. Warman juga membunuh Djaja Sudjadi, pentolan Darul Islam masa Kartosoewirjo yang menolak bergabung dengan gerakan fisabilillah pimpinan Beureueh. Masduki pun mengambil alih pimpinan.
Adah menolak bergabung dengan Ajengan. Ia menganggap pengangkatan imam baru itu tak sesuai dengan prosedur karena tak melalui mekanisme dewan syura. Beberapa pengikut Adah, terutama Abi Karim, yang menguasai KW-9-Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Banten-ikut menolak Ajengan.
Begitu juga Abdul Fatah Wiranagapati, yang mengklaim pengikut paling murni Kartosoewirjo. Ia menganggap mereka yang mengklaim diri sebagai pentolan tak berhak lagi menjadi anggota Darul Islam. “Alasannya, para pentolan itu menandatangani perjanjian 1962 yang menyatakan Darul Islam batal,” kata Solahudin.
Hingga 2000, ada tujuh kelompok Darul Islam yang masih memegang prinsip fisabilillah, dengan konsep amal, hijrah, dan jihad yang diajarkan Kartosoewirjo. Salah satunya dipimpin Tahmid Rahmat Basuki, putra Kartosoewirjo. Tahmid awalnya bergabung dengan Adah Djaelani. Dia dan pengikutnya marah ketika Adah menggantinya dengan Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai kepala staf umum.
Tahmid kemudian menjadi imam hasil pemilihan dewan syura di Cisarua, Jawa Barat. Langkah ini tak memuaskan Gaos Taufik, pentolan Darul Islam Sumatera, yang menganggap lebih pantas menjadi pemimpin. “Gaos merasa lebih senior,” kata Solahudin.
Darul Islam pimpinan Tahmid juga tak mulus. Pengikutnya, Akdam alias Jaja, tak puas dengan keputusan Tahmid menyetop pengiriman kader Darul ke Mindanao, Filipina Selatan. Pengiriman kader ini dianggap penting setelah kamp pelatihan Afganistan tak beroperasi lagi.
Pada 1999, setahun setelah Sungkar dan Ba’asyir kembali ke Indonesia, pecah konflik Ambon. Inilah momentum kader Jamaah Islamiyah diterjunkan. Dipimpin Zulkarnaen alias Arif Sunarso, sebagian besar yang dikirim ke Ambon berasal dari Mantiqi Satu. Mantiqi Tiga yang berbasis di Sulawesi pun dibentuk.
Yang berangkat ke Ambon, selain anggota Jamaah Islamiyah, juga anggota Darul Islam yang tadinya masih mengakui kepemimpinan Ajengan. Menurut Solahudin, penolakan terlibat di Ambon membuat DI Ajengan pecah lagi. Yang ingin berjihad disebut DI Akram-diambil dari nama tokohnya. Di Ambon, DI Akram bersatu dengan Jamaah Islamiyah. Dan dalam kamp pelatihan di Mindanao pada 1993-1999, semua kader Darul yang terpecah-pecah bersatu kembali. Mereka seperti melupakan klaim “pengikut Kartosoewirjo paling murni”.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (26)
Dua Tahap Revolusi
TEMPO INTERAKTIF | 16 Agustus 2010
TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-an.
Karena itu, meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.
Ada memang ia menyelipkan info terbaru seperti penemuan planet Pluto pada 1930 ketika membahas perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsa ke Sidratulmuntaha. Menurut Kartosoewirjo, tujuh lapis langit tujuh lapis bumi yang disebut Quran tak lain dari susunan planet di antariksa yang berjumlah tujuh buah. Informasi itu ia peroleh karena mendengarkan siaran radio di seluruh dunia dari radio Zenit yang memakai 52 baterai kering, yang ia bawa ke mana pun pergi.
Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia, dibutuhkan dua tahap revolusi.
Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi sosial”. Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.
Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi.
Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya,” tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah (1953).
Tapi, sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode “revolusi individu”. Para cerdik cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia sebagai imamnya.
Maka ia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.
Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan “perang suci” menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.
Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya “sama-sama di luar dugaan dan perhitungan manusia”. Dalam Sikap Hidjrah (1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan yang terbukti keliru.