Oleh: Ishak Salim (Peneliti Active Society Institute)
Saya memperbaiki posisi duduk saat Saleh Abdullah mengajak nonton sebuah film pendek, garapan Roem Topatimasang. Seorang guru rakyat yang mendedikasikan hidupnya untuk orang-orang terpinggirkan lebih tiga puluh tahun terakhir. Saleh begitu antusias ingin memperlihatkan film tersebut kepada kami dari Makassar. Bagi banyak aktivis gerakan sosial yang mengenal Roem dan pernah melihat beberapa esei-esei visual garapannya, menyaksikan produk terbarunya adalah satu kenikmatan tersendiri.
Saleh mematikan lampu di ruangan ‘Mansour Fakih’ di kantor INSIST – Pakem, Sleman. Ruang pertemuan yang sering digunakan berdiskusi bagi banyak pelaku gerakan sosial selama lima tahun ini. Saat itu, Roem ada di antara kami. Duduk di sebuah kursi lipat sambil mengisap kretek dan wajahnya terlihat sumringah.
Judul film itu adalah ‘La Nueva Cancion: Puisi, Musik dan Perlawanan di Amerika Latin’.
Sekian detik kemudian, dalam gelapnya ruangan, di layar tertera kalimat berikut: Violeta Parra, penyair dan penggubah musik dan penyanyi balada asal Chili meninggal tragis bunuh diri pada bulan Februari 1967 pada usia 50 tahun.
Demikian film ini diawali. Sebuah foto hitam putih Violeta Parra yang menyandang gitar dan melempar senyuman tampil di sisi kanan atas.
Ia adalah seorang perintis dan pemuka gerakan ‘Nyanyian Baru’ (Nueva Cancion), gerakan kebudayaan yang berakar pada lagu-lagu rakyat dan irama musik lokal khas Amerika Latin. Ironis, karena dialah yang menggubah musik dan menulis lirik lagu yang kemudian menjadi salah satu lagi paling sohor dari gerakan Nueva Cancion. Lagu itu justru tentang mensyukuri hidup ini: Gracias a la vida (terima kasih pada kehidupan).
Suara Violeta Parra mulai mengalun setelah dentingan gitarnya mengantar musik balada ini.
Gracias a la vida que me ha dado tanto. Me dio dos luceros que cuando los abro. Perfecto distingo lo negro del blanco. Y en el ancho cielo su fondo estrellado. Y en las multitudes el hombre que yo amo.
Di setiap bait lagu tertera teks spanyol dan terjemahan Indonesia di setiap kalimatnya. Unsur puitis dan kedalaman lagu itu tak hilang, didukung pilihan beberapa gambar cuplikan perjalanan Roem di desa-desa yang mengiringi setiap bait-bait itu.
Terima kasih pada hidup yang telah memberi sangat banyak. Yang telah memberi saya dua mata yang ketika saya buka. Saya bisa membedakan dengan jelas antara hitam dan putih. Saya bisa melihat di langit yang tinggi ada bintang-bintang yang jauh. Saya bisa melihat dikerumunan manusia ada orang-orang yang saya cintai.
Lirik lagu ini menampilkan kebersahajaan, kedamaian, sekaligus sebentuk perlawanan atas penderitaan banyak orang. Konteks sosial di mana lagu ini digubah memang menunjukkan satu realitas penderitaan yang sedang terjadi. Saat itu, Violeta Parra terlibat dalam gerakan progresif dan Partai Sosialis Chili. Violeta Parra menghidupkan kembali Peña yang kini dikenal sebagai La Peña de Los Parra, sebuah pusat komunitas bagi seni dan aktivisme politik. Beberapa orang berpikir bahwa dialah yang mendirikan ‘Peña‘, tetapi menurut catatan dari the Royal Academy of Spanish Language, tempat-tempat seperti ini telah ada sejak 1936.
Selama pemerintahan Presiden Salvador Allende ada banyak Pena Chili. Gerakan ini kemudian dilarang oleh rezim militer Augusto Pinochet yang menggulingkan pemerintahan Allende. Seluruh masyarakat artistik dan intelektual Chili dibuang dan menjadi tahanan politik. Namun demikian, masih banyak Pena yang beroperasi di Chili, Amerika Latin, Amerika Utara, bahkan Eropa, dan Australia. Mereka terus melayani orang-orang yang melarikan diri setelah kudeta Chili pada tanggal 11 September 1973 yang menggulingkan Presiden Salvador Allende.
*****
Saat kudeta berlangsung di Chili, di belahan bumi lain, sekira 20 ribu kilometer jauhnya, Roem sedang melewati masa awal remajanya.
Saat itu, rezim Soeharto sedang dalam fase akhir konsolidasi kekuasaan. Di banyak tempat di Indonesia, keadaan sosial begitu tenang. Tak banyak kegaduhan politik yang meronrong wibawa pemerintah. Kekuatan militer bersatu padu menopang kuasa Soeharto dan menundukkan banyak kuasa lokal. Akibatnya, kemauan apapun dari Jakarta, orang daerah tak bisa menolak sama sekali. Tinggal riak gaduh mahasiswa yang masih menjadi sisa duri yang belum benar-benar dibersihkan oleh Soeharto. Salah satunya adalah peristiwa Malari 1974.
Di satu kota kecil di Sulawesi Selatan, Palopo. Roem tumbuh di lingkungan perdesaan yang kental dengan komunalitas dan kebersahajaan. Ia beruntung saat itu—di sekolahnya SMP/SMA Muallimin Muhammadiyah Palopo—bisa menikmati membaca di perpustakaan sekolah atau di pondok guru bujang yang selalu terbuka untuknya. Di bawah asuhan guru-guru spartan, ia melahap banyak buku sastra dan perdebatan-perdebatan pemikir sosial dan politik Indonesia.
Nama-nama seperti Cokroaminoto, Agussalim, dan Tan Malaka ia dengar dari Pak Arifin, gurunya yang mantan aktifis pergerakan mahasiswa dan pemuda Syarikat Islam. Ia membaca majalah yang dipasok kepada Pengurus Muhammadiyah cabang, seperti Panji Masyarakat dan Gema Islam, dan juga berbagai cerita pendek seperti karya sastrawan Perancis, Guy de Maupassant.
Seiring perkembangan usia, ia dan kawan-kawannya mulai melirik bacaan-bacaan dalam kategori ‘berat’ semisal karya Hamka, Musyaffa Basyir, Sidi Gazalba, Zakiah Darajat, Abdullah Aidit, dan sebagainya. Di pondok guru bujang itu, ia menemukan dan membaca karya beberapa sastrawan terkenal seperti penulis angkatan Balai Pustaka sampai Pujangga Baru dan setelahnya.
Karya Armijn Pane, Belenggu, dan karya Achdiat K. Mihardja, Atheis, atau karya Pramoedya Ananta Toer, Mereka yang Tak Diuntungkan, bahkan ia baca berulang-ulang. Belum lagi karya-karya Rendra, Balada Orang-orang Tercinta yang menghanyutkannya dan Suman Hs yang membuatnya terpingkal-pingkal lewat tulisan Mencari Pencuri Anak Perawan atau Keajaiban di Pasar Senen, karya Misbach Yusa Biran yang banyak mengisahkan kehidupan para seniman yang mangkal di Pasar Senen di tahun 1950-60an.
Untungnya, selain tersedia bahan bacaan, Roem juga memiliki guru-guru yang cakap sehingga waktu-waktu tertentu ia bisa bertanya atas hal-hal yang membigungkannya dalam membaca. Ia menyebut nama Engku Guru Syafei, salah satu gurunya tempat ia bertanya usai membaca karya-karya semisal Soekarno, Tan Malaka, Hamka, Mohammed Iqbal, Muhammad Abduh, dan lainnya.
Sementara buku-buku dari pemikir dunia lainya ia lahap saat berkali-kali mengunjungi perpustakaan gereja Katolik di Palopo yang saat itu dipimpin oleh Pastor Groen asal Belanda. Pastor ini ia kenal secara tak sengaja saat bermain bola di alun-alun kota. Melihat Roem yang sedang membawa sebuah buku, ia lalu bertanya pada Roem. Jika ia suka membaca maka ia bisa ke perpustakaan pribadinya di halaman belakang gereja tempat ia bertugas melayani ummat Kristiani. Di gereja inilah, Roem berkenalan dengan penulis-penulis semisal Alexander Milne, Jules Verne, Mark Twain, hingga Ernst Hemingway, dan Multatuli.
Semakin hari, kemampuan Roem semakin berkembang. Bukan saja pengetahuan bahasa asingnya, tapi juga pemahamannya akan substansi bacaan. Ia akhirnya tiba pada karya monumental semisal Muqaddimah buah karya Ibnu Khaldun, atau La Divina Commedia karya Dante Alighieri. Bahkan, walau masih terbata-bata, ia memberanikan diri membuka-buka Das Kapital milik Karl Marx hingga karya Thomas Aquinas Summa Theologia. Tak begitu tuntas tentu saja (lihat Roem, dalam ‘Catatan Lepas Tiga Kali Pulang Kampung’, 2008).
*****
Roem, si pembaca, meninggalkan Palopo pada 1975 dan menjadi mahasiswa IKIP Bandung. Ia mengambil studi di Fakultas Ilmu Pendidikan dan belajar filsafat dan perencanaan pendidikan. Saat itu, hubungan politik antara mahasiswa dan penguasa Orde Baru dalam keadaan kritis. Akhir 1977 dan awal 1978 ketegangan hubungan keduanya memuncak. Salah satu pemicunya adalah adanya praktek kecurangan Pemilu 1977 dan rencana pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden di Sidang Umum MPR.
Di masa ketegangan itu, Roem telah tumbuh menjadi seorang demonstran. Ia aktif menyiarkan pikiran-pikiran kritis kepada mahasiswa, baik melalui radio kampus maupun koran kampus. Di Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) IKIP, ia bekerja sebagai tenaga honorer lepas dan memanfaatkan kesempatan itu untuk merancang media bagi orang-orang desa dan melakukan penelitian-penelitian lapangan untuk mendukung analisa sosial kontekstualnya dalam gerakan kampus.
Soeharto yang jengkel dengan sikap kritis mahasiswa memutuskan melakukan penjinakan kampus. Salah satunya melalui penerapan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini bertujuan memberangus organisasi-organisasi kemahasiswaan independen yang berkegiatan dalam kampus. Tapi, mahasiswa Indonesia menolak tunduk. Ketegangan terjadi di banyak kampus dan gejolak tak dapat dihindari.
Sekali lagi, Soeharto mengerahkan tentaranya untuk meredam gejolak. Di Bandung, di bawah Komando Daerah Militer (KODAM) Siliwangi, tentara memasuki kampus ITB pada malam 21 Januari 1978. Panglimanya, Mayor Jenderal Himawan Soetanto, yang menolak cara kekerasan Soeharto memilih dialog begitu menduduki kampus. Mahasiswapun menyambut kedatangan Mayor Jenderal Himawan Soetanto. Namun, karena Soeharto tidak puas dengan cara Himawan, Ia mengalihkan komando pendudukan ke KODAM Brawijaya.
Pasukan dari KODAM Brawijaya adalah tentara-tentara yang baru kembali dari pendudukan di Timor-Timur. Mental berperang masih membara dalam diri mereka. Akhirnya, pada 9 Februari 1978 pendudukan kedua berlangsung dengan beringas. Beberapa saksi yang menuliskan kesaksiannya menceritakan kebengisan tentara ini seperti menarik paksa mahasiswa untuk keluar dari barisan di mana mereka berkumpul. Setelah terpisah dari barisan, mereka lalu di bawah ke markas dan selanjutnya diminta pulang. Lainnya, yang tetap bertahan di kampus diperlakukan tidak manusiawi. Mereka diinjak-injak, dipukul dengan popor senapan, bahkan beberapa ditabrak dengan jeep Vietnam (istilah untuk Jeep tentara) saat lari dengan motor (‘Gerakan mahasiswa tahun 1978: Kisah-kisah ketika kampus ITB diduduki oleh tentara, para aktifis dipenjarakan, dan diadili serta mahasiswa mogok kuliah).
Pada peristiwa penyapuan besar-besaran itu, tentara menangkap banyak pengurus Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia dan memenjarakan mereka. Roem, sebagai Ketua Dewan Mahasiswa IKIP saat itu juga menjadi salah satu tawanan militer. Sekira dua tahun berikutnya mereka dilepaskan dan penguasa militer mewajibkan para aktifis ini tetap melapor. Status mereka adalah ‘tahanan rumah’ atau ‘tahanan kota’ hingga beberapa tahun setelahnya.
Dalam kenangannya yang kemudian dituliskan oleh Dan La Botz, Roem menyatakan “I was tortured, not physically, but psychologically. In the first eight weeks, we were imprisoned in underground cells, right under the railroad trains, and when the train passed over our cells, it caused us to panic. Every day for three months we were taken to interrogation, and then sent back to our cells, though we never understood the reason for it” (Dan La Botz, ‘Made In Indonesia: Indonesian Workers Since Suharto’, 2006).
Karena aktivitasnya mempertahankan gerakan mahasiswa dan Dewan Mahasiswa sebagai ‘organisasi terlarang’ masa itu, ia dipecat sebagai mahasiswa. Namun, ia tak pernah mengetahui alasan pasti pemecatannya. Ia bahkan tidak pernah melihat ada surat keputusan resmi. Faktanya, ia tidak diperbolehkan ikut kuliah lagi atau menyelesaikan yudisium akhir akademik. Ketimbang melewati hari tanpa kejelasan nasibnya dengan terkatung-katung beberapa bulan, Roem memutuskan berhenti jadi mahasiswa dan keluar dari kampus! Padahal, saat itu ia telah merampungkan seluruh kewajibannya sebagai mahasiswa, bahkan menyelesaikan skripsinya tentang perencanaan lokasi dan alokasi bangunan ideal sekolah-sekolah di daerah pedesaan terpencil.
Roem tak memusingkan konsekuensi atas aktifitas politiknya selama mahasiswa. Ia lebih mementingkan proses yang ia dan kawan-kawannya bangun. Sebelum ia menduduki posisi ketua Dewan Mahasiswa, ia tumbuh dari organisasi ekstra yang bukan dari organisasi utama semisal HMI, PMII, atau PII. Melainkan organisasi independen yang ia bangun secara bertahap dan matang. Alih-alih aktif dalam organisasi mahasiswa mapan ini, ia justru menggeser dominasi HMI dalam kancah internal gerakan kemahasiswaan. Proses ini, jika diamati secara seksama, dapat menjadi rujukan ideal bagaimana sebuah gerakan kemahasiswaan diorganisir.
Awal ceritanya begini. Semasa kuliah, Roem tinggal di asrama mahasiswa bersama sembilan orang kawannya. Mereka berasal dari Jawa, Papua, Batak, Bugis, dan tentu saja dari latar agama yang berbeda. Hal yang menyatukan mereka hanyalah karena mereka semuanya miskin! Roem tertawa saat mengenang sahabat-sahabatnya ini. “Tapi, mereka pintar-pintar.” Buru-buru Roem menyematkan kata sifat kepada kawan-kawan miskinnya ini.
Suatu hari, ada kesempatan untuk memperoleh beasiswa. Beberapa rekannya ini mengajukan diri. Namun, amat disayangkan, rupanya yang memperoleh beasiswa itu justru mahasiswa yang masih memiliki hubungan keluarga (anak, ponakan, saudara) atau kenalan dekat dari para dosen dan pejabat atau pegawai di kampus.
“Ini ketidak adilan!” Demikian Roem mengenangnya pada suatu malam, awal Oktober 2009, di desa Tassese, Gowa, Sulawesi Selatan.
Ia dan kawan-kawannya memikirkan secara serius ketidakadilan ini. Ia menyebut ini sebagai satu langkah awal lebih memahami sebuah permasalahan, rethingking!
Mahasiswa-mahasiswa miskin ini lalu larut dalam diskusi dan membaca buku. Mereka melahap teori-teori sosial dan mulai memikirkan jalan keluar. “kalau ia melakukan ini, maka akan dapat itu”, “kalau ia menempuh cara ini, maka akan tiba ke arah sana.” Dan demikian pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Ia menyebut langkah ini sebagai sebuah idealisasi hidup! Sebuah proses menemukan hal-hal ideal dari sebuah pencapaian.
Begitu seriusnya Roem dan kawan-kawannya ini mencari jalan keluar, mereka tiba-tiba menyadari bahwa rupanya mereka tak punya apa-apa untuk makan. Ada pula kawannya sudah 3 bulan tak ganti baju karena memang tak punya baju.
Mereka memutuskan mencari makan. Jalan paling pragmatis adalah ke pesta perkawinan yang diadakan di gedung auditorium kampus yang disewakan pada setiap hari minggu atau hari libur. Tapi mereka tidak memilih sekedar sebagai ‘penumpang gelap’. Mereka menawarkan diri menjadi pekerja alias tukang cuci piring. Rupanya, disinilah mereka menemukan satu ide cemerlang yang kelak mempengaruhi kehidupan kemahasiswaan di IKIP Bandung.
Bagi Roem dan kawan-kawannya, ini peluang kerja. Mahasiswa-mahasiswa miskin bisa mendapatkan kerja. Akhirnya mereka mendirikan sebuah kelompok yang disebut ‘Student Employment Centre’ (SEC) atau kelompok yang ditujukan bagi mahasiswa-mahasiswa miskin di kampusnya. Sebagai ‘pangkalan’, mereka menggunakan salah satu ruang kosong kantor Dewan Mahasiswa di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Rupanya, hasilnya sangat mengejutkan. Roem tertawa sebelum ia menyebutkan jumlah pendaftar saat itu. Delapan ratus orang!
“Rupanya, di kampus ini ada ratusan orang serupa dengan kami. Padahal selama ini kami menganggap diri yang paling merana dan paling miskin.” Sisa tawanya masih ada. Di ruang tamu Kepala Sekolah SMP SATAP Tassese, Pak Ruddin, malam itu kami juga turut tertawa lebar.
Bagi banyak mahasiswa ini, memiliki pekerjaan adalah penting. Untuk itu, Roem dan kawan-kawannya lalu mengorganisir pencarian kerja. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang mungkin dikerjakan oleh mahasiswa. Mereka mendatangi kantin-kantin, tempat parkir kampus, dan perpustakaan. Dari sana mereka memperoleh jumlah sekian angkatan kerja yang dapat terserap di kampus. Lalu, mereka menemui Pembantu Rektor III dan menjelaskan bahwa ada sekian mahasiswa membutuhkan pekerjaan dan sekian posisi pekerjaan yang bisa mereka isi. Setelah data-data itu diajukan, pembantu rektor pun mengabulkan permohonan mereka.
Organisasi mahasiswa miskin ini semakin besar. Dari 800 nama yang pernah mendaftar, mereka memilih dan mulai dari 30 orang yang benar-benar serius dan sangat membutuhkan pekerjaan. Karena berhasil mendapatkan pekerjaan, semakin banyak yang ikut bergabung sampai mencapai lebih 400 orang setelah hampir dua tahun berjalan. Tidak semua bisa diusahakan memperoleh pekejaan tetap. Karena itu, mereka mengatur diri bekerja secara bergiliran, misalnya, satu pekerjaan tertentu digilir bersama oleh 3-4 orang, sehingga hampir semuanya memperoleh kesempatan yang sama. Dan sebagai organisasi ekstra-kampus, lembaga ini mulai disegani oleh organisasi mahasiswa mapan sekelas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Menjelang pemilihan ketua Dewan Mahasiswa IKIP Bandung pada 1976, pentolan HMI datang mengajukan tawaran politik. Posisi kosong dua (Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa) siap dibagi oleh HMI jika SEC mau mendukung mereka dalam pemilihan nanti.
Roem berpikir, sebuah organisasi mestilah matang secara internal terlebih dahulu. Urusan politik atau urusan eksternal baru bisa ditempuh jika urusan dapur organisasi terselesaikan. “Mengurus kekuasaan itu urusan kedua.” Demikian tandasnya. Tawaran pentolan HMI itupun mereka tolak. Mereka lebih memilih mengurusi para mahasiswa miskin yang belum memperoleh kerja ini.
Tahun berikutnya, setelah organisasi telah tumbuh dan sehat, barulah Roem dan kawan-kawannya berpikir untuk ‘mengurusi kekuasaan’. Saat itu calon dari SEC maju bersaing dengan calon HMI untuk memperebutkan posisi kosong satu (Ketua Presidium Dewan Mahasiswa). Singkat cerita mereka berhasil menggeser dominasi HMI dalam urusan politik kemahasiswaan. Dari kedudukan inilah, mereka kemudian mengubah kebijakan yang peruntukannya untuk kemaslahatan mahasiswa.
Demikianlah, Roem yang sejak remaja adalah seorang pembaca, di masa mahasiswa ia tampil sebagai seorang demonstran. Tapi sebagai demonstran yang dengan sabar melakukan pengorganisasian ia tetaplah seorang pembaca. Di bangku kuliah ini, ia gandrung pada bacaan-bacaan kritis Amerika Latin, terutama karya-karya Ivan Illich dan Paulo Freire. Sebuah pemikiran yang membuatnya menulis tulisan kritis atau meminjam istilah Roy Tjiong ‘pamflet Illichian’] terhadap kemunduran peran sekolah, seperti ‘Sekolah: dari Athena ke Cuernavaca’, ‘Sekolah Sana-sini’, ‘Dirikanlah Sekolah’, dan lain-lain (‘Sekolah itu Candu’, 1998).
*****
Setelah memutuskan berhenti kuliah. Ia lalu berangkat ke Jakarta. Roem bertemu beberapa senior mantan aktivis mahasiswa era 1960an akhir, antara lain Adi Sasono (sebagai Direktur Lembaga Studi Pembangunan, LSP), Dawam Rahardjo (sebagai Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, LP3ES), dan Utomo Dananjaya (sebagai Direktur Lembaga Pengembangan Usaha Kecil, LPUK) saat itu.
Persentuhannya dengan para pemikir alternatif ini, khususnya dengan Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Utomo Dananjaya adalah pertemuan yang merupakan arena pembelajaran besar bagi Roem. Utomo Dananjaya yang usianya terpaut 20 tahun lebih tua darinya adalah orang yang mendukung prakarsa-prakarsa Roem dalam melakukan terobosan. Saat itu, mereka sedang mendesain Metodologi Pendidikan Orang Dewasa.
Dalam diskusi panjangnya, mereka merambah jauh dari sekedar metodologi pendidikan melainkan menukik hingga ke akar pemikiran di sebaliknya, mulai dari ijtihad Mu’tazilah, tafsiran Ali Ashgar Engineer, pemikiran filsafat Krishnamurti, Teologi Pembebasannya Gustavo Guiterres, dan teori perubahan sosialnya Andre Gunder Frank maupun Sekolah Frankfurt. Jadi bila Roem memaparkan pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich, maka di sisi lain ia menyerap pemikiran Islam alternative dari para seniornya ini (‘Berani tidak terkenal’, dalam A Living Bridge, 2005).
Pertengahan era 1980an, LP3ES dan LSP merintis pendirian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada tanggal 18 Mei 1983. Perhimpunan ini didirikan bersama para kyai pengasuh beberapa pesantren terkemuka di Indonesia dan beberapa aktivis LSM tahun 1980an. Sejumlah pesantren yang terlibat sejak awal dalam P3M, di antaranya Pesantren Al-Nuqoyah (di Galuk-Galuk, Madura); Pesantren Maslakhul Huda (di Kajen, Pati, Jawa Tengah); pesantren Tebuireng (di Jombang, Jawa Timur), Pesantren Dar al-Falah (di Bogor, Jawa Barat); Pesantren Pabelan (di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah); dan Pesantren As-Syafi’iyah (di Pondok Gede, Jakarta) (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/ Perhimpunan_pengembangan_pesantren_dan_masyarakat).
Bersama Mansour Fakih yang kemudian menjabat sebagai Kordinator Program Pendidikan & Pengembangan P3M, Roem bergabung sebagai relawan anggota perhimpunan, khusus untuk merancang kurikulum, metodologi, dan media pendidikan masyarakat sekitar pesantren. Salah satu program utama mereka adalah Institut Pengembangan Masyarakat (IPM) di Pesantren Pabelan. Roem menghabiskan waktunya selama 1-2 minggu setiap bulan disana, bekerjasama dengan Kyai Hamam Dja’far (pemimpin Pondok), Mochtar Abbas (saat itu sebagai Kepala Desa Pabelan), dan Sugeng Setyadi (Yayasan Mandiri, Bandung). Nama-nama seperti Arief Budiman, Romo Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, dan Dawam Rahardjo sering mampir di Pabelan sebagai narasumber, memberi studium generale berkala bagi para santri IPM.
Salah seorang santri alumnus IPM dan Pesantren Pabelan, Yunianti Chuzaifah (sekarang Sekretaris Eksekutif KOMNAS Perempuan di Jakarta), yang merasakan manfaat program pendidikan alternatif ini di masa-masa awal aktifitas P3M, mengenang masa penggemblengan yang berhasil membuat para santri memahami realitas sosial sesungguhnya (sumber: http://yunislavender.blogspot.com/2008/0…).
Demikian pula di Jakarta, di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Budhy Munawar-Rachman, seorang intelektual Muslim lulusan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan memimpin Jurnal ‘Kalam‘ Lembaga Studi Agama & Filsafat (LSAF), juga menjelaskan bagaimana Roem berhasil mengajarkan kepadanya ‘filsafat kiri’ dalam kajian-kajian kritis ketika ia mengikuti program sebagai mahasiswa santri di As-Syafi’iyah (sumber, http://alphaamirrachman.blogspot.com/200…).
Selain itu, Roem juga aktif sebagai relawan di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama Zumrotin K.Susilo, Erna Witoelar, dan Suhartini Hadad. Di Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Roem menjadi tenaga relawan Bersama Hira Jhamtani –aktivis dan pengamat tajam politik ekonomi lingkungan internasional yang aktif di Third World Network (TWN) yang berbasis di Penang, Malaysia—dan S. Indro Tjahjono, kawan lamanya dari Bandung, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa ITB. Disini lah ia mulai dekat dengan Saleh Abdullah, lulusan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang beberapa tahun kemudian, bersama Sri Bintang Pamungkas, menjadi salah seorang deklarator sekaligus Sekretaris Jenderal pertama Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), partai politik pertama di masa Orde Baru yang menentang pembatasan dan pelarangan pembentukan partai politik di luar yang direstui oleh pemerintah. Bersama beberapa aktivis SKEPHI lainnya dan almarhum H.J.C.Princen –pejuang gigih hak asasi manusia dan langganan penjara politik sejak era Seokarno sampai Soeharto—Roem, Indro dan Saleh merintis pendirian Indonesian Front for the Defense of Human Rights (INFIGHT).
Namun Roem tak berhenti di panggung ruang pelatihan dan organisasi besar yang berbasis di Jakarta. Dalam rentang 1980 – 1987, Roem mulai masuk ke desa-desa untuk melakukan pengorganisasian rakyat dengan membumikan pengetahuannya di level praktis. Seperti yang diutarakannya kepada penulis Made in Indonesia, Dan La Botz, Roem menyatakan bahwa ia pertama-tama menuju Timor Barat dan tinggal selama setahun di sana, sebagai relawan membantu sahabatnya, Erwin Panjaitan (almarhum, meninggal tahun 1994) dan Pendeta Itja Frans. Lalu, di tahun berikutnya ia masuk ke Timor Timur untuk mengorganisir petani-petani miskin, kemudian ke Irian Jaya (Papua), membantu kawan dekatnya yang lain, biarawan asal Belanda, Bruder Jan Bouw (almarhum, meninggal dalam kecelakaan pesawat Garuda di Medan, 1997), melakukan pengorganisasian agar masyarakat lokal berdaya secara politik sehingga mampu berhadapan dengan kekuatan di luar dirinya, seperti korporasi dan negara. Pergaulannya dengan para aktivis gereja di Timor dan Papua ini lah yang mendorongnya menerjemahkan dan menyunting buku karya penulis Perancis, Michael Lowy, Teologi Pembebasan: Marxisme Kritis & Kritik Marxisme (terbit 2001).
Sembari pengorganisasian rakyat Papua berjalan, ia juga masuk di Kepulauan Maluku, khususnya di Kepulauan Kei, Pulau Haruku, dan Pulau Yamdena untuk berhadapan dengan Liem Sioe Liong (kroni Soeharto) yang memperoleh konsesi dari pemerintah untuk menebang hutan milik komunal rakyat. Dari sinilah cikal-bakal terbentuknya Baileo Maluku, jaringan organisasi masyarakat adat lokal yang didirikan pada 1994 oleh Roem dan kawan-kawannya seperti Pieter Elmas, Nus Ukru, Eliza Kissya, dan almarhum J.P.Rahail. Roem menyunting satu buku kumpulan tulisan kawan-kawannya di Maluku tersebut, ‘Orang-orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (terbit 2004), satu buku yang kemudian menjadi rujukan para aktivis gerakan masyarakat adat lokal nusantara.
Pada akhir 1987, Roem berkesempatan ke luar Indonesia. Ia menuju Ancona, Italia, untuk belajar tentang pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (community-based natural resources management); suatu program kerjasama antara University of Ancona and the Italian Institute of Development Studies (IIS). Ia mengagumi Italia yang penduduknya ramah dan menyebutnya sebagai ‘Negeri Melayu di Eropa’. Setelah itu, setahun berikutnya ia ke Jerman untuk belajar tentang gerakan koperasi buruh dan petani di Jerman di Pusat Pelatihan Internasional oleh pemerintah Jerman Barat di Feldafing, Negara Bagian Bavaria. Sepulang dari Eropa ia mengikuti program pertukaran relawan (volunteers exchange) oleh International Network of South Initiatives (INSI) di beberapa negara di Asia Tenggara dan Selatan.
Selama enam tahun berikutnya (1990–1996), ia aktif sebagai relawan fasilitator dan organizer senior untuk Program Komunikasi Kerakyatan Asia Tenggara (South East Asia Popular Communication Programme, SEAPCP) yang bermarkas di Manila, Filipina, dan kemudian pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia. Ia terutama aktif berkeliling di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Ia semakin sering menghabiskan waktunya di desa-desa melakukan pengorganisasian dengan menggunakan ragam alat partisipasi untuk melibatkan banyak orang yang selama ini suaranya dipaksa bungkam oleh represi kekuasaan negara.
Walaupun keluar masuk desa, Roem masih menyempatkan diri menemui kawan-kawan lamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Saat itu, di kisaran 1993, Mansour Fakih, sahabatnya yang telah menyelesaikan S3 di Universitas Massachussetts dan menjabat Country Director OXFAM-UK/I, bersama Don Marut dan Galuh Wandita, melakukan pembenahan internal OXFAM agar tidak sekedar tampil sebagai sebuah LSM-Internasional ‘asing’, namun ‘lebih Indonesia’, mengembangkan model pengorganisasian rakyat yang partisipatif serta analisa sosial yang lebih kontekstual dan mendalam. Menguatnya proses pengorganisasian yang terbuka, berbasis komunitas, dan partisipatif dalam kinerja OXFAM di Indonesia saat itu—tanpa menafikan peran yang lain—tak lepas dari pengaruh Roem Topatimasang dan sahabat dekatnya, almarhum Erwin Panjaitan. Di kisaran tahun-tahun ini juga, bersama dengan karib lainnya, Roem mendirikan PT. REMDEC (Resources Management & Development Consultants) di Jakarta.
Hingga akhir masa jabatan Mansour Fakih di OXFAM pada 1997, masih bersama Don Marut, Roem dan kawan-kawan mendirikan sebuah ‘warung kopi’ yang kemudian diberi nama INSIST. Untuk menyebut beberapa yang terlibat dalam pendirian ‘warung kopi’ ini, selain mereka bertiga adalah Rizal Malik, Sita Kayam, Sri Koesyuniati, Wilarsa Budiharga, dan Fauzi Abdullah. Namun, karena didukung oleh sumberdaya manusia yang mampu dan keragaman keahlian analisa dan lapangan, INSIST kemudian tampil lebih formal dan ‘terjerumus’ dalam kerja-kerja lapangan. Sesuatu yang Roem hindari sejak awal. Ia mengharapkan siapa saja bisa dan boleh datang ke warung kopi ini untuk berbagi pemikiran, gagasan dan menyusun konsepnya tanpa harus terjebak dalam formalisme dan kerumitan administrasi.
Kesadaran ini kemudian memuncak pada Nopember 2003. Di Jogjakarta, hampir semua pendiri dan penggagas awal hadir dan menghasilkan keputusan final bahwa INSIST mesti kembali ke khittah nya. Lalu terbentuklah tim khusus yang dinamakan ‘Komite Pembaruan INSIST’, terdiri dari Wilarsa Budiharga, Roem Topatimasang, Roy Tjiong, Fauzi Abdullah, Toto Rahardjo, Koesyuniati, Pieter Elmas, dan Don Marut. Dalam tugasnya, tim ini mengumpulkan berbagai informasi dan mendiskusikannya secara internal untuk kemudian merekomendasikan terbentuknya panitia khusus yang dinamakan Dewan Konstituante yang terdiri dari Roem Topatimasang (mewakili pendiri), Wilarsa Budiharga (mewakili komunitas Salemba, Jakarta), Pieter Elmas (mewakili komunitas Maluku), Sulistyono (mewakili komunitas Nusa Tenggara dan Bali), dan Roy Tjiong (mewakili FORUM INSIST).
Saat Dewan Konstituante ini bekerja, peristiwa yang tak disangka-sangka terjadi di bulan Februari 2004: Mansour Fakih meninggal dunia!
Dalam suasana duka itu, INSIST kembali ke khittahnya, dengan mengganti kata Institute for Social Transformation menjadi Indonesian Society for Social Transformation. Menurut Roem, “INSIST adalah masyarakat yang tidak melembaga dan tidak berbadan hukum, tetapi seperti satu asosiasi atau konfederasi dari banyak organisasi-organisasi yang mempunyai visi yang sama sebagai anggota-anggotanya. Dan anggota-anggota itulah yang berhak melaksanakan kegiatan-kegiatan proses perubahan sosial di tempatnya masing-masing. INSIST akan berfungsi sebagai pendukung dalam bentuk-bentuk kajian-kajian, penelitian, proses-proses pendidikan. Dengan perubahan tersebut sesungguhnya kita sudah meletakkan dasar-dasar desentralisasi, terutama di enam wilayah: Maluku, Jakarta, Nusa Tenggara-Bali, Papua, Kalimantan Tengah dan Selatan, Sumatera Utara dan Sumatera Bagian Selatan”.
Hingga kini, Roem masih menjaga INSIST agar tetap melaju sesuai dengan relnya. Usai menunaikan tugasnya sebagai Dewan Pengurus INSIST sebagai Wakil Ketua, bersama Mahmudi (sebagai Ketua), dan Saleh Abdullah (sebagai Sekretaris Jenderal) serta Etik Mei Wati (Bendahara), dalam Majelis Umum ke-3 INSIST (20 Juli 2011) ia kembali terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus, ditemani oleh Saleh Abdullah (Wakil Ketua), dan Wahyu Basjir (Sekretaris Jenderal) serta Bonar Saragih (Bendahara), dengan anggota jaringan INSIST yang sudah bertambah, termasuk dengan komunitas ININNAWA di Sulawesi Selatan—yang secara personal telah berinteraksi dengan Roem sejak 2005.
Roem yang masih sering mengunjungi desa-desa ini banyak dikenal oleh orang-orang muda sebagai ‘Bapak Gerakan Sosial’. Kiprahnya dalam dunia pengorganisasian rakyat dengan banyak sekali alat pengorganisasian berbasis komunitas yang ia buat telah memudahkan banyak orang. Untuk menyebut beberapa diantaranya adalah video komunitas, esai-esai visual, dan koran komunitas.
Selain mengorganisir, ia juga kerap menulis tulisan-tulisan pendek yang kritis yang sarat dengan analisa sosial dan politik. Demikian pula tulisan-tulisan yang berfungsi sebagai pengantar bagi buku-buku kritis yang diterbitkan oleh INSIST Press. Catatan menarik atau pamfletnya yang kemudian dibukukan untuk pertama kalinya pada 1998 dan sudah dicetak kembali berkali-kali [kini sudah ditambah beberapa artikel terbaru dari desa-desa yang telah didatanginya tahun 2000an] mempengaruhi banyak orang, khususnya mahasiswa di Indonesia.
Salah seorang aktifis mahasiswa dari Fakultas Ekonomi UNHAS angkatan 2006, mengatakan pada saya, bahwa ia membaca buku ‘Sekolah itu Candu’ di awal semester tiga. Hasilnya, ia malas kuliah dan nilai-nilainya di semester berikutnya hancur. Tapi, ia tak menyesal membaca ‘hasutan kritis’ Roem. Sejak itu ia jadi pembaca akut, mengorganisir gerakan mahasiswa, hingga akhirnya ia meraih gelar Sarjana Ekonomi dan kini mendirikan sebuah rumah baca bersama rekan-rekannya di Makassar, bernama ‘Philosopia’, dan melanjutkan gerakan pendidikan kritis. Seperti yang ia kemukakan pada suatu malam diskusi di rumah baca itu, ia ingin ‘mengajari’ dosen-dosen ekonomi UNHAS agar tak melulu berpikir dalam bingkai ‘ekonomi pertumbuhan’ sehingga lebih memiliki ideologi keberpihakan kepada ‘korban-korban pembangunan’.
*****
Roem yang terus belajar dan membangun jejaring gerakan sosialnya. Suatu waktu di awal 2010, mengenang sahabatnya almarhum Fauzi Abdullah alias Wan Oji (pejuang buruh bersahaja; meninggal 2009). Saat itu, pertengahan Oktober 1996, di pantai pasir putih Tarwa, pulau kecil di tengah Laut Banda. Keduanya, ia dan Wan Oji sedang asyik saling menyampaikan pengetahuan dan ketertarikan akan puisi. Wan Oji dengan William Blake nya, dan Roem dengan Matsuo Munefusa, Hafiz al-Shirazi, dan Rabi’ah al-Adawiyah.
Roem mengagumi cara Wan Oji memaparkan bagaimana puisi-puisi mistisisme Blake yang tak lepas dari kenyataan sosial di sekitarnya, dan selalu mempertanyakan hakikat hidup dan kemanusiaan yang penuh paradoks. Dalam buku mengenang Wan Oji, Roem menampilkan dua puisi Blake yang amat disukai Wan Oji, The Lamb dan The Tiger. Dua buah puisi yang menunjukkan makna kehidupan dalam The Lamb dan makna kematian dalam The Tiger.
Dari paparan pendeknya di buku itulah, saya ketahui kalau Roem menyukai puisi. Puisi Jepang yang khas, haiku, dan puisi Persia, ghazal. Saya awam puisi, apalagi puisi-puisi yang bermakna dalam dan mampu mempengaruhi hidup seseorang, seperti Roem dan Wan Oji. Tapi, dalam penelusuran singkat di tapak-tapak maya, saya menemukan informasi tentang tiga sastrawan yang disukai Roem.
Matsuo ‘Basho’ Munefusa, seorang master haiku pada periode Edo di Jepang (1644–1694). Ia mengenal puisi sejak muda, dan setelah mengintegrasikan dirinya ke dalam kancah intelektual Edo, ia dengan cepat dikenal di seluruh Jepang. Dia hidup sebagai guru yang meninggalkan gemerlapnya kehidupan sosial kota dan mengembara di seluruh negeri, menuju ke barat, timur, dan jauh ke padang gurun utara untuk mendapatkan inspirasi untuk menulis. Puisi-puisi nya dipengaruhi oleh pengalaman langsung tentang dunia di sekelilingnya.
Dari Syamsuddin Hafiz al-Syirazi (1316 – 1390), Roem mengagumi ghazal Persia yang menampilkan pengetahuan irfan atau tasawwuf dengan kecintaan pada Ilahi yang tinggi. Syamsuddin Hafiz al-Syirazi adalah seorang alim yang hidup sebagai penyair dengan tingkat pencapaian mistisime yang tinggi. Ia dipandang sebagai orang dengan keluhuran irfan yang dalam sehingga tak banyak muridnya yang mampu mendalami kepelikan mistisisme dalam sonetanya. Namun, berbeda dengan Matsuo Basho yang pengelana, Hafiz adalah penyendiri dan memilih tinggal di Syirazi sampai akhir hayatnya.
Sementara itu, Rabi’ah al-Adawiyah (717-801) dari Basrah, Irak bagian Selatan, adalah perempuan sufi yang mempunyai pengaruh besar dalam memperkenalkan cinta kepada Ilahi ke dalam mistisme Islam. Cinta bagi para sufi menjadi inti ajaran dalam tasawuf. Cinta adalah jalan sufi atau keadaan rohani yang paling tinggi dan penting dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Rabi’ah adalah orang pertama yang menjadikan cinta Ilahi sebagai objek utama puisi-puisinya. Bahkan, menurut Abu Al-Wafa’ Al Ghanami dalam bukunya ‘Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf’ menyimpulkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah bukan hanya mempopulerkan kata ‘cinta’, tetapi dia pula yang pertama-tama menganalisis dan menguraikan pengertian cinta. Begitu besarnya kecintaannya pada Allah, hingga selama hidupnya Rabi’ah tidak pernah menikah.
Dari ketiga sastrawan klasik yang disukai Roem, ada sepenggal karakter kemudian bisa disebut melekat pada diri dan keseharian Roem. Dari Matsuo Basho yang tak menyukai kota dan pengelana, jelas sekali ada pada diri Roem. Lalu, dari Hafiz al-Syirazi yang penyendiri, yang karakter itu sewaktu-waktu menjadi milik Roem, utamanya saat mengerjakan pekerjaan serius hingga siapapun tak berani mendekat, atau ia tiba-tiba pergi tak tau kemana rimbanya. Sementara dari Rabi’ah al-Adawiyah yang begitu dalam dan konsisten pencariannya akan cinta pada Ilahi, sehingga rela tidak menikah, demikian halnya Roem yang terus menerus mengabdikan dirinya untuk orang-orang desa hingga usianya yang ke-53 juga tak menikah.
Roem memang seorang pengelana. Ia bukan hanya mengunjungi kampung-kampung di negaranya sendiri, tapi juga di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Kamboja, Vietnam, Thailand, Burma, Timor Lorosae, bahkan sampai ke pedalaman Nepal dan Cina bagian utara (Mongolia Dalam). Namun ia tidak sekadar melancong, melainkan juga menetap melakukan pengorganisasian petani. Pengalaman-pengalamannya di beberapa negara Asia Tenggara bersama sahabatnya Jo Hann Tan (yang tidak seluruhnya membuahkan hasil maksimal) dapat dilihat dalam buku yang menjadi rujukan banyak pengorganisir rakyat, ‘Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara’ (2003).
Di Indonesia, ia masuk ke desa-desa bukan hanya karena ia membenci kota. Di desa ia merasa menemukan ketenangan, dan di desa ia melakukan pergulatan hidup yang sesungguhnya. Suatu waktu, dalam perjalanan survei petani cengkeh lokal, saat memandangi gunung Lokon di Minahasa dari sebuah penginapan, Puthut EA bertanya seolah menguji Roem. “Adakah kabupaten di Indonesia ini yang desa-desanya belum Pernah Pak Roem datangi?” sejenak Roem berpikir. Mengenang panjang perjalanannya. Dengan tenang dan nada suaranya yang berat, ia menjawab, “Tidak ada.”
*****
Violeta masih bernyanyi, Gracias a la vida que me ha dado tanto. Me ha dado el sonido y el abecedario, con él las palabras que pienso y declaro: madre, amigo, hermano, y luz alumbrando la ruta del alma del que estoy amando… me ha dado la marcha de mis pies cansados; con ellos anduve ciudades y charcos, playas y desiertos, montañas y llanos, y la casa y tu calle y tu patio.
“Terima kasih pada hidup. Yang telah memberi sangat banyak. Yang telah memberi saya suara dan aksara. Juga kata-kata hinggga saya dapat berpikir dan berbicara. Memberi saya ibu, teman, saudara, dan cahaya yang menerangi. Menerangi jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang yang saya cintai…, Yang telah membuat kaki saya yang letih tetap terus melangkah. Bersama mereka yang saya cintai melewati kota-kota dan jalan berlubang. Melewati pantai-pantai dan gurun tandus, gunung-gunung dan tanah datar. Melewati rumahmu, jalan kampungmu, dan pekaranganmu.”
Lirik ini benar-benar menunjukkan suatu perjalanan. Mungkin Violeta sedang mengekspresikan dirinya sebagai seorang penggerak sosial. Tapi di satu sisi, pembacaan saya justru adalah bahwa lirik itu sedang menggambarkan Roem dengan semua yang melekat di dirinya. Pengelana, pengorganisir rakyat, dan tentu saja pencinta kehidupan dan orang-orang desa.
Usai lagu itu, saya hanya terkesima. Membaca baris demi baris arti lirik Gracias a la Vida, lagu ini memang layak menjadi sebuah lagu gerakan sosial. Muatannya yang sederhana justru menghadirkan daya magis yang bisa menggerakkan diri seseorang untuk menolong. Daya gerak yang selalu disebut Roem dalam bahasa Inggris: compassion!
Setelah sekian detik. Tertera kalimat berikutnya: Gracias a la Vida menjadi sangat populer setelah Mercedes Sosa, rekan violeta di Argentina, pembela hak-hak sipil dan penentang gigih rezim diktator militer Amerika Latin, merekamnya dengan kekuatan suara yang khas dan penghayatan prima.
Film masih berputar. Mercedes Sosa mulai bernyanyi dan Roem tak lagi menampilkan foto-foto jepretan dari sebagian kecil perjalanannya. Ia menggunakan cuplikan film Baraka arahan sutradara Ron Friecke di sepanjang lagu kedua ini yang tanpa teks. Daya magisnya bertambah. Dukungan kuat dari cuplikan film Baraka itu menampilkan sisi spiritualitas manusia memberi efek lain. Mystikos!
Film ini berdurasi 53 menit 34 detik. Mercedes Sosa tampil dengan beberapa penyanyi lain dan terus menerus mempopulerkan lagu ini. Ia tampil dengan Joan Baez, seorang penyanyi lagu-lagu protes dan ikon budaya perlawanan ‘Generasi Bunga’ tahun 1960-1970an. Ia juga tampil dengan Luciano Pavarotti (1935 – 2007), seorang penyanyi opera bersuara tenor asal Italia. Keduanya tampil ekspresif dan sungguh-sungguh seolah saling bersaing satu sama lain. Demikian pula, Shakira Isabel Mebarak Ripoll (lahir 2 Februari 1977), atau yang dikenal saja sebagai Shakira, seorang penyanyi penari asal Kolombia.
Setelah film itu usai, saya meraih sebatang kretek milik Saleh Abdullah. Membakarnya lalu keluar menatap pekatnya malam di Pakem. Saya berusaha mencerna film itu. Mengapa selalu saja saya merasa bahwa Roem sedang mengkspresikan dirinya dalam lagu itu? Saya memilih tak langsung menanyakan kepadanya.
Esoknya, saat kami bertemu lagi di pendopo ‘Mansour Fakih’ ini, akhirnya saya bertanya padanya. “Pak Roem, mengapa sampai membuat film Nueva Cancion ini?”
“Film ini saya mau putar di Maluku dan Papua. Teman-teman disana itu kan suka menyanyi. Jadi dengan menonton film itu saya harap mereka bisa membuat lagu-lagu dan nyanyian yang bisa menggerakkan semangat mereka!” Demikian jawabnya.
Ah, ternyata dugaan saya salah yang menganggap bahwa melalui film itu sebenarnya Roem sedang mengekspresikan diri[].