Tulisan oleh James Luhulima ini dimuat di Kompas, pada 27 Oktober, 2004
Kompas, 27 Oktober 2004 - SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi.
Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain.
Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red).
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu.
Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.
Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.
Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama".
Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan "perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat dalam peristiwa G30S.
Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September 1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan "gerakannya".
Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam Karuzzaman. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.
Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa G30S.
Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu, Panglima Kostrad).
Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S.
Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional, Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad. Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil (toilet).
Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang penembakan tersebut.
Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut."
Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan jelas…"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Utara.
Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.
Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi secara langsung. Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana.
Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya.
Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya. Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S.
Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS.
Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965.
Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada.
Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang. http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/