Oleh: Harsutejo
“TEORI” PRESIDEN SUKARNO SEBAGAI DALANG G30S
Bung Karno (BK) yang sejak remaja berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia, pada puncak kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia, tiba-tiba dituduh dan diperlakukan sebagai orang yang hendak melakukan perebutan kekuasaan alias kudeta, bahkan sebagai pemberontak. Betapa absurdnya! Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menulis, “Pada 1 Oktober 1965 beberapa kelompok pemberontak berkumpul di Pangkalan Udara Halim. Kelompok Cenko menempati gedung Penas, Presiden beserta pengikut-pengikutnya menempati rumah Komodor Udara Susanto, dan kelompok ketiga (yang lebih kecil jumlahnya), yang terdiri dari Ketua PKI Aidit beserta pembantunya, menempati rumah Sersan Dua Udara Suwardi” Seperti kita ketahui keberadaan BK di Halim pada 1 Oktober 1965 berdasarkan prosedur baku penyelamatan Presiden, karena di Halim selalu siap pesawat yang dapat membawanya ke mana pun pada saat keadaan memerlukan. Presiden Sukarno dituduh melakukan pemberontakan dan kudeta. Kudeta itu dilakukan terhadap pemerintahan Presiden Sukarno, untuk menjatuhkan dirinya dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Betapa kacau balaunya jalan pikiran Pak Profesor yang ahli filsafat sejarah ini, tidak masuk akal dan tidak tahu malu. Tak aneh jika Pak Profesor ini pula yang berusaha menghapuskan gambar BK dalam foto bersejarah detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, Jakarta, seolah BK tak pernah hadir di sana. Doktor sejarah ini telah memperlakukan ilmu sejarah dan sejarah sebagai milik pribadinya ketika ia ikut kemaruk kekuasaan yang sedang berkibar, seperti lupa bahwa masih ada pakar sejarah lain di samping dirinya serta pelajar sejarah di kemudian hari maupun kaum awam yang cukup cerdas membaca sejarah. Apa yang dituduhkan oleh sejarawan Orde Baru tersebut dioper dalam analisis terhadap G30S yang dilakukan oleh Jenderal Nasution (dengan “bijak” Jenderal Suharto tidak ikut menuduhnya secara terbuka) dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, 1988. Nasution menggunakan dua hal, pertama pidato BK di Senayan pada malam hari 30 September 1965 yang mengambil dunia pewayangan antara lain BK mengutip nasehat tokoh Kresna kepada ksataria Arjuna bahwa tugas itu tidak menghitung-hitung korban [ia menghubungknnya dengan G30S yang sedang dipersiapkan]. Lalu disebutkan bahwa BK bergembira ria malam itu dengan menyanyi-nyanyi dan menari [maksudnya menyongsong kemenangan G30S]. Selanjutnya ia juga menggunakan kesaksian Kolonel KKO Bambang Wijanarko, salah seorang pengawal Presiden Sukarno dalam interogasi yang dilakukan oleh Kopkamtib tentang penerimaan surat oleh BK di Senayan malam itu dari Letkol Untung [yang notabene sedang mempersiapkan pasukan G30S untuk menculik para jenderal]. Analisis tersebut menjadi dongeng semacam kisah detektif yang dirangkai murahan. Seluruh rakyat Indonesia, bahkan seluruh dunia, mengenal BK sebagai orator yang selalu berpidato berapi-api sejak muda dengan mengutip kata-kata bijak banyak tokoh dunia, juga kisah pewayangan yang sangat disukainya. Beliau pun menyukai bernyanyi dan menari bergembira ria dalam banyak kesempatan. Jadi kisah Jenderal Nasution tentang hal itu mengenai BK sama sekali bukan hal baru. Kisah itu sekedar menggiring pembacanya yang dapat dibodohi dan ditipu untuk mendapatkan persepsi bahwa BK terlibat G30S, bahkan dalangnya. Apa yang dikemukakan Jenderal Nasution di atas kemudian dikemas secara lebih “ilmiah” dan dijadikan “teori” oleh Antonie Dake dalam bukunya In the Spirit of Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking, 2002. Lalu diperbarui dalam bukunya Sukarno File – Berkas-Berkas Sukarno1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan, 2005. Bahwa inisiatif G30S untuk mengambil tindakan terhadap sejumlah jenderal datang dari Presiden Sukarno, selanjutnya Aidit cs menggunakan kesempatan untuk membonceng. Boleh dibilang “teori” Dake ini semata-mata didukung oleh bahan interogasi terhadap Bambang Wijanarko. tanpa mengupas bagaimana suatu kesaksian dapat dikorek dan disusun oleh penguasa militer yang memperlakukan mereka bagai nyamuk yang dapat dijentiknya setiap saat tanpa perlindungan. Mereka yang berpengalaman dengan interogasi model rezim ini mengetahui benar kesaksian macam apa yang mungkin diberikan oleh Wijanarko yang dikutip Dake dan dijadikan pilar teorinya. Dake menambahkan kenyataan ketika 1972 ia datang ke Indonesia, ia mendapati pemerintah Suharto memandang Sukarno tidak tersangkut dalam peristiwa G30S. Dengan begitu kemungkinan kesaksian Wijanarko direkayasa untuk merugikan Sukarno terbantah meski masih terbuka kemungkinannya. Agaknya Dake kurang dapat menangkap roh rezim Orba. Setiap pelajar politik mengetahui, pada saat diperlukan jika para pembantu Suharto bicara tentang Sukarno, mereka pun hendak merangkul dengan cara “menghibur” jutaan rakyat yang masih tetap mencintai BK dengan ungkapan Jawa yang digemari Suharto, mikul dhuwur mendhem jero. Kesaksian Bambang Wijanarko tersebut dibantah keras oleh Kolonel Pomad Maulwi Saelan, Wadan Cakrabirawa yang malam itu, 30 September 1965 di Senayan, tidak pernah beranjak dari dekat BK sampai kembali ke istana, tak ada gerak gerik BK yang lepas dari pengamatan Saelan. Ia menganggap hal itu sebagai aneh dan direkayasa. Keterangan yang direkayasa ini mendapat imbalan, Bambang Wijanarko tidak ditahan dan Saelan yang di depan pemeriksa membantah keras keterangan Bambang Wijanarko ditahan selama lebih dari 4 tahun. “Teori” di atas selanjutnya dikembangkan oleh Victor M Fic dengan memasukkan unsur romantik ke dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi yang melibatkan buah diskusi antara Aidit dengan Mao Dzedong yang juga mirip dengan kisah detektif, yang pernah menghebohkan Jakarta pada 2005 yang lalu.
Yang Keblinger
Menurut analisis Presiden Sukarno tentang G30S yang sebelumnya juga disebut dengan Gestok, sebagai yang tercantum dalam pidato pelengkap Nawaksara, “ditimbulkan oleh ‘pertemuannya’ tiga sebab, yaitu: a) keblingernya pimpinan PKI, b) kelihaian subversi Nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’”. Menurut sementara orang apa yang dikatakan BK ini sangat merugikan PKI karena melegitimasi tuduhan Jenderal Suharto dan pendukungnya terhadap PKI sebagai dalang G30S, dengan demikian memberikan andilnya yang penting dalam penghancuran PKI termasuk pembantaian massal.
Bemarkah begitu? Kesimpulan ini jauh dari kenyataan yang terjadi. Pidato tersebut disampaikan BK pada 10 Januari 1967 di Istana Merdeka dan tercantum dalam surat pelengkap pidato Nawaksara kepada pimpinan MPRS pada tanggal yang sama. Ketika itu PKI sudah dihancurlumatkan oleh Jenderal Suharto pada 1965-1966, jutaan orang telah dibantai, ratusan ribu ada dalam penjara dan kamp tahanan di seluruh Indonesia. Sedang yang masih selamat di luar lari lintang-pukang mencari selamat atau menjadi buron sambil mencari makan dan tanpa perlindungan dari pihak mana pun kecuali dari perorangan. Setiap saat mereka yang di luar maupun di tahanan terancam kawan mereka sendiri yang menjadi cecunguk Orba termasuk sejumlah pimpinan teras. Penghancuran PKI dan pembunuhan massal itu sudah dalam perencanaan dan dipersiapkan jauh sebelumnya jika kita cermati dokumen rahasia CIA dan kejadian di berbagai tempat pada permulaan Oktober 1965 seperti di Sumatra Utara, Banten dan sejumlah tempat di Jawa Tengah dan Timur.
Seperti kita ketahui gerakan militer G30S di Jakarta hanya berlangsung kurang dari 24 jam setelah dihadapi oleh pasukan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie. Pada 1 Oktober 1965 Presiden Sukarno memerintahkan semua pihak menghentikan gerakan, pimpinan militer untuk sementara dipegangnya. Hal ini tidak dihiraukan oleh Jenderal Suharto, karena dia memang bagian dari mereka yang kemudian disebut BK sebagai ‘oknum tidak benar’ yang lebih keblinger lagi. Ia melakukan tindakan militer lebih jauh lagi dengan pembantaian. Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap sang penyambung lidah rakyat akan segera memberikan perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum sang pembangkang lebih bersimaharajalela dan menjerumuskan negeri ini. Sukarno tidaklah sebodoh dongengan Jenderal Nasution bahwa beliau melakukan kasak-kusuk dan avonturisme kekanak-kanakan yang tidak bermutu. Sukarno seorang negarawan yang terus-menerus mendambakan dan memperjuangkan persatuan rakyat Indonesia. Negarawan besar itu pada saat-saat terakhir telah mempertaruhkan kekuasaan dan pribadinya untuk mempertahankan persatuan yang sedang dipoteng-poteng oleh rezim militer Jenderal Suharto. Jenderal Suharto justru menggunakan ‘celah’ pihak BK guna melakukan langkah selanjutnya untuk menjinakkan BK serta meringkusnya. BK selalu mendambakan persatuan dan anti kekerasan, dan terus-menerus menjaganya sampai detik terakhir kekuasaannya, justru memberi peluang kepada Jenderal Suharto untuk melakukan kekerasan berdarah besar-besaran dan secara sistimatis membasmi sekelompok rakyat Indonesia yang setia mendukung BK, praktis tanpa perlawanan berarti bagaikan menyerahkan leher mereka masing-masing untuk digorok. Sampai detik terakhir BK menolak usulan para pengikutnya terutama dari kalangan Angkatan Bersenjata untuk melakukan perlawanan terhadap langkah-langkah kekerasan berdarah Jenderal Suharto.
Taktik yang digunakan Jenderal Suharto dalam pembantaian PKI dan gerakan kiri sebagai kekuatan politik yang tangguh, kemudian diikuti sasaran berikutnya: Presiden Sukarno, dipuji oleh AS dalam catatan rahasia dokumen CIA untuk Presiden Johnson setelah suatu pertemuan dengan Dubes Green tertanggal 23 Februari 1966 sebagai brilian.
Setelah Jatuhnya Presiden Sukarno
Setelah dijatuhkannya BK maka sejarah Indonesia menyimpang dari garis-garis yang telah diletakkan dan diperjuangakan olehnya sejak muda, Indonesia telah terjungkirbalik menjadi negara penuh penindasan, menjadi negeri tergantung hampir dalam segalanya. Budaya korupsi telah benar-benar mencengkeram seluruh aspek kehidupan bangsa dengan mengkhianati ajaran Trisakti, bebas dalam politik, berdiri atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Pancasila yang dikumandangkan oleh penggalinya sebagai alat pemersatu seluruh potensi bangsa telah dijadikan alat pecahbelah oleh rezim militer Orba, alat manipulasi dalam berbagai bidang. Jadilah Pancasila azas tunggal dengan tafsir tunggal rezim militer Jenderal Suharto menurut kepentingan sang rezim, dengan demikian Pancasila justru dijadikan alat pecahbelah dan diskriminasi terhadap bangsa sendiri disertai budaya kekerasan yang melekat sampai saat ini.
Sang pakar sejarah Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto bahkan bersikeras menyatakan penggali Pancasila bukanlah BK, Pancasila tidak lahir pada 1 Juni 1945 dengan pidato BK yang tersohor yang kemudian diberi judul “Lahirnya Pancasila”. Setiap orang yang belajar sejarah dan membaca tulisan-tulisan BK sejak muda, sejak 1926, akan tahu Pancasila yang kemudian dirumuskan dalam pidato 1 Juni 1945 itu suatu perkembangan wajar dari seluruh gagasan BK tentang dasar-dasar negara Indonesia Merdeka. Pancasila bukanlah suatu gagasan baru yang tiba-tiba lahir, tetapi sesuatu yang telah lama menjadi berbagai wacana tulisan dan gagasan BK selama puluhan tahun dalam berbagai tulisan dan perdebatan yang kemudian disampaikan secara lebih lengkap dalam pidato1 Juni tersebut di atas. Selanjutnya intisari pidato Pancasila itu dirumuskan kembali secara bersama menjadi Pembukaan UUD 1945. (Harsutejo, petikan dari naskah belum terbit).
Mengenang Malam Jahanam (15)
Oleh: Harsutejo
DN AIDIT, PKI dan G30S
Pemimpin Muda yang Enerjetik
Sudah sejak muda, sejak jaman penjajahan Belanda, Aidit dalam umur belasan tahun telah ikut serta dalam gerakan melawan penjajahan dalam berbagai bentuknya. Sudah sejak muda pula ia gemar membaca dan tertarik pada marxisme. Di masa revolusi fisik ada sebutan populer di kalangan kaum kiri, “mabuk marxisme” dalam artian positif, giat belajar teori dengan membaca, berdiskusi dan berdebat serta kursus-kursus politik sejak masa pendudukan Jepang, serta menerapkannya dalam praktek perjuangan. Selanjutnya juga menuliskan berbagai gagasannya. Di Menteng 31 bersama banyak pemuda yang lain ia digembleng para pemimpin nasional. Sejumlah pemuda di antara mereka itu di kemudian hari menjadi tokoh komunis, di samping DN Aidit, di antaranya Wikana (salah seorang tokoh pemuda yang berperan penting dalam “penculikan” Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945), MH Lukman, Sidik Kertapati dsb. Jadi tidak benar jika sejarawan Prof Dr Brigjen Nugroho Notosusanto menyatakan kaum komunis tidak punya peran dalam Proklamasi 17 Agustus 1945, ini bagian dari pemalsuan sejarah. Pada usia 38 tahun pada 1951 Aidit menjadi pemimpin tertinggi PKI bersama MH Lukman dan Nyoto. Pada 1952, setahun setelah kepemimpinannya, anggota PKI terdiri dari 8.000 orang. Tetapi pada 1964 mereka telah menghimpun jutaan anggota. Dalam pemilu demokratis pertama pada 1955 PKI keluar sebagai partai terbesar keempat, dalam pemilu di Jawa pada 1957 PKI meningkat sebagai partai terbesar pertama. Ini sungguh suatu prestasi luar biasa yang dicapai para pemimpin PKI muda usia. Oleh karenanya pihak pimpinan AD tidak menyukai pemilu semacam itu. Sebelum tragedi 1965 PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota dengan 20 juta pengikut dan simpatisan, di antaranya terhimpun dalam organisasi massa. PKI menjadi partai komunis terbesar di luar kubu sosialis. Dengan demikian Aidit menjadi tokoh komunis internasional yang suaranya tidak dapat diabaikan oleh kawan maupun lawan. Namanya berkibar dalam iklim perang dingin antara blok kapitalis dengan blok komunis, perang ideologi antara komunis “murni” dan komunis “revisionis”, persaingan dan perkelahian antara blok Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Dalam perselisihan ideologi ini PKI di bawah pimpinan Aidit cs berusaha bersikap netral secara politik.Sebagai partai massa PKI memiliki disiplin tinggi, keanggotaannya diatur secara berjenjang yang dimulai dengan calon anggota sebelum seseorang diterima sebagai anggota penuh yang didampingi seorang pembina. Hal itu di antaranya didasarkan pada ideologi seseorang serta pengalaman perjuangan dan kontribusinya terhadap Partai. Dengan kriteria semacam itulah seseorang dapat menduduki kepengurusan Partai maupun jabatan dalam pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Untuk hal-hal penting semacam di atas, butir kredit buat pemimpin kolektif tertinggi PKI, utamanya pada tokoh Aidit. Pemimpin muda ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.
Teori Kudeta, Retorika Revolusi
Aidit berada dalam rombongan delegasi Indonesa keluar negeri dalam rangka KAA di Aljazair yang gagal pada akhir Juni 1965, karena kudeta Kolonel Boumedienne terhadap Presiden Ben Bella yang baru saja terjadi. Delegasi melanjutkan perjalanan ke Paris,. di kota ini Aidit bertemu dengan enam orang kameradnya pelarian dari Aljazair. Ia menganjurkan mereka kembali ke negerinya untuk mendukung Kolonel Boumedienne. Kudeta itu disebutnya sebagai kudeta progresif. Jika kudeta itu didukung oleh paling tidak 30% rakyat maka hal itu dapat diubah menjadi revolusi rakyat. Demikian kata Aidit sebelum bertolak ke Moskow. Barangkali ia pun mengambil model Revolusi Oktober 1917 yang digerakkan Lenin dan Trotsky berupa pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan militer. Sekalipun demikian banyak pihak di kalangan kaum komunis yang tidak setuju dengan teori baru ini, dikatakan sebagai bertentangan dengan teori marxis. Konon hal ini juga menjadi perdebatan di Moskow. Perkembangan politik di tanahair yang relatif damai ketika itu dengan arus pokok berpihak kepada PKI. Dalam bulan Agustus 1965, koran PKI Harian Rakjat memuat pernyataan Aidit berupa isyarat yang mengatakan biarlah mangkok, piring, gelas berpecahan untuk kepentingan revolusi. Pada 9 September 1965, di depan sukwati Deppen Aidit menyatakan kaum revolusioner bagaikan bidan dari masyarakat baru yang hendak dilahirkan, sang bayi pasti lahir dan tugas mereka untuk menjaga keselamatannya dan agar sang bayi cepat menjadi besar. Hal ini disambut dengan pernyataan petinggi PKI yang lain, Anwar Sanusi, tanahair sedang hamil tua. Sementara itu serangkaian sidang Politbiro dan Politbiro yang diperluas selama bulan Agustus dan September 1965 membicarakan tentang sakitnya Presiden Sukarno dan rencana pukulan dari pihak Dewan Djenderal (DD) ketika BK tak lagi dapat menjaga keseimbangan politik. Selanjutnya dilaporkan oleh Aidit adanya sejumlah perwira maju yang hendak mendahului guna mencegah kudeta DD. Sangat menarik pesan Aidit kepada kedua adiknya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit yang bertemu di Beijing dalam bulan Agustus 1965. “…Dan juga ingat, sementara ini, mungkin bertahun-tahun ini, jangan dulu memikirkan pulang! …tanahair dalam keadaan gawat dan semakin akan gawat…”. “…kita ini dalam keadaan ancaman… dari pihak tentara… Angkatan Darat.” Sedang kepada Asahan setelah mengetahui adiknya baru akan pulang setahun lagi, ia menyatakan sayang karena ia takkan dapat ikut revolusi. “Revolusi tidak akan menunggumu.” Dalam dua catatan dari dua orang berdasarkan ingatan setelah sekian puluh tahun berlalu itu secara implisit mengandung persamaan penting yakni disebut akan terjadinya sesuatu yang gawat, malah yang ke dua disebut sebagai revolusi.
Sementara itu selama bulan September 1965 terjadi juga serangkaian pertemuan sejumlah perwira militer (Letkol Inf Untung, Kolonel Inf Latief, Mayor Udara Suyono, Mayor Inf Agus Sigit, Kapten Art Wahyudi) yang juga dihadiri oleh Ketua Biro Chusus (BC) PKI Syam beserta pembantunya Pono. Gerakan ini berlanjut dengan penculikan dan pembunuhan 6 orang jenderal AD dan seorang perwira pertama pada dini hari 1 Oktober 1965 oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Gerakan 30 September sesuai dengan apa yang diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi harinya.
Diculik atau Dijemput untuk Memimpin Gerakan?
Dalam salah satu kesaksiannya dr Tanti Aidit, pada 30 September 1965 malam hari DN Aidit, suaminya, diculik tentara. Murad Aidit yang juga sedang berada di rumah yang sama tidak memberikan gambaran kecuali “dibawa dengan mobil oleh orang yang tidak kukenal” bersama ajudannya Kusno. Memori seorang anak berumur 6 tahun, Ilham Aidit, agaknya lebih jernih, “Ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah” (Tempo 7 Okt.2007:76). Salah seorang yang menjemputnya ialah Mayor Udara Suyono (dengan seragam AU warna biru) dan membawa DN Aidit ke lingkungan PAU Halim. Di Halim ia kemudian ditemui oleh Ketua BC PKI Syam. Apakah Aidit diculik bersama pengawalnya? Itu mokal, tidak ada adegan kekerasan di rumahnya di Jl. Pegangsaan, ia pun kemudian “bebas” pergi ke Yogya bersama pegnawalnya dengan pesawat pada tengah malam 2 Oktober 1965. Apa itu sesuai dengan kehendak dan rencana dirinya? Ini sulit dijawab karena terbukti segala rencana dilakukan oleh Ketua BC Syam, ia toh pembantu Ketua PKI Aidit. Apakah dia tidak mengetahui rencana G30S? Mokal jika dia tidak tahu, bisa saja pengetahuan dirinya kemudian dimanipulasi oleh Syam. Apalagi jika kita hubungkan dengan teori Aidit tentang kudeta tersebut di atas, lalu retorika sejumlah petinggi PKI selama bulan Agustus dan September 1965 serta topik sejumlah sidang Politbiro serta pesannya kepada kedua adiknya di Beijing. Apakah dia memimpin G30S? Ini tidak ada buktinya, sebab yang terbukti gerakan ini di lapangan dipimpin oleh Letkol Untung (yang mungkin sekali sekedar wayang), di baliknya lagi-lagi Ketua BC Syam. Apa Syam pun bukan sekedar wayang? Dari mana Syam menerima segala instruksi? Lagi-lagi ini sulit dijawab. Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Salah satu saksi kunci, DN Aidit telah dilenyapkan dengan buru-buru atas instruksi Jenderal Suharto, tentu dengan suatu alasan kuat. Ada kepentingan apa Jenderal Suharto menghendaki Aidit cepat-cepat dibungkam? Adakah informasi yang dapat mencelakakan diri Suharto jika Aidit diberi kesempatan bicara di depan pengadilan, pengadilan sandiwara sekalipun? Saksi kunci yang lain, Jenderal Suharto, telah melenyapkan banyak hal dan memanipulasi segala sesuatu. Apa yang bisa diharap dari kesaksiannya? Apa dia masih punya hati nurani untuk bicara yang sebenarnya terjadi ketika belum “pikun”? Sementara sejumlah pelaku seperti Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Mayor Udara Suyono dieksekusi mati dengan segera maka Syam yang ditangkap pada 1967, dijatuhi hukuman mati pada 1968, menurut catatan resmi baru dieksekusi pada 1986. Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Syam menyatakan seluruh perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman dan dekrit yang disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1 Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2, rendah mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang melintang secara nasional dan internasional, pemimpin komunis kaliber dunia. Dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian diperjuangkan oleh pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuannya dengan Presiden Sukarno, kekuasaan negara diambilalih oleh Dewan Revolusi, kabinet Presiden Sukarno didemisionerkan. Apa mungkin Aidit mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu.
Pembelaan Sudisman dan KOK
Tidak ada pihak di lingkungan PKI [setidaknya yang pernah saya ketahui], di dalam maupun di luar negeri yang meragukan kesahihan dokumen Kritik Otokritik (KOK) Politbiro CC PKI, terlepas di mana dan siapa saja penyusunnya. Sesuai dengan namanya, dokumen ini disusun oleh Politbiro CC PKI dengan sejumlah anggota yang pada akhir 1965 masih hidup sebagai buron rezim militer. Dewasa ini masih ada saksi hidup dalam hal proses penyusunan dokumen ini. Selanjutnya ada dokumen lain berupa pembelaan yang dibacakan Sudisman di depan Mahmillub pada 21 Juli 1967 yang diberi judul “Uraian Tanggungjawab.” Dari tangan Sudisman masih ada satu dokumen lagi berupa pernyataan politik (yang belum selesai ditulis) sebelum ia dieksekusi mati beberapa bulan sesudah Oktober 1968. Sejauh ini juga belum ada pihak yang meragukan kesahihan dokumen yang disusun oleh orang nomor satu PKI ini setelah dibunuhnya DN Aidit, Nyoto dan MH Lukman [sekali lagi setidaknya yang pernah saya dengar]. Dalam pembelaannya Sudisman dengan tegas mengakui “Saya pribadi terlibat dalam G30S yang gagal.” Adakah ini berarti Sudisman atau Aidit terlibat langsung pada operasional gerakan militer G30S, setidaknya memberikan arahan politik? Tidak ada bukti yang mendukungnya. Di bagian lain Sudisman juga dengan tegas menyatakan “tokoh-tokoh PKI, [maksudnya pemimpin teras PKI, hs]…. terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai Partai tidak terlibat….” Mari kita cermati, Sudisman memisahkan antara pimpinan teras PKI dengan partai bernama PKI, artinya memisahkan pimpinan itu dengan jutaan anggota dan puluhan juta massa PKI. Bukankah di sini antara lain letak keblingernya pimpinan PKI, sejak kapan pimpinan PKI harus dipisahkan dengan Partai-nya, anggota dan massanya, melangkah sendiri tanpa keterlibatan anggota dan massa pendukung? Ataukah kata-kata Sudisman ini sekedar upaya terakhir untuk menyelamatkan Partai yang dia ketahui telah berantakan? Instruksi yang dibawa para utusan dari Jakarta atas petunjuk Aidit, “dengarkan pengumumam RRI pusat dan sokong Dewan Revolusi [DR].” Dan itulah yang dilakukan sejumlah massa kiri di Yogyakarta pada 2 Oktober 1965 melakukan demonstrasi yang kepancal kereta, ketika gerakan di Jakarta telah berhenti sehari sebelumnya dan situasi sudah berada dalam genggaman Jenderal Suharto. Instruksi untuk mendukung DR tidak dijalankan di tempat lain. Sudisman juga menyatakan, “Dalam mengatur gerakan sangat dibutuhkan di samping keberanian adanya kepandaian revolusioner dalam menentukan waktu yang tepat dan memimpin gerakan. Faktor-faktor ini tidak dipenuhi oleh G30S sehingga menyebabkan kegagalannya. Ditambah lagi gerakan itu terpisah sama sekali dari kebangkitan massa.” Dapatkah dikatakan menurut Sudisman secara implisit, setidaknya secara politik, G30S dipimpin oleh para petinggi PKI yang terpisah dari massa anggota dan pendukungnya? Selanjutnya Sudisman menghubungkan hal tersebut dengan kelemahan dan kesalahan PKI di bidang ideologi, politik dan organisasi sebagaimana dibahas dalam KOK. Ada keterangan menarik, ketika Aidit baru saja sampai dari Jakarta, ia mengatakan, “Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto.” Demikian yang diceritakan oleh seseorang yang pernah bekerja di kantor CC PKI. Sayang keterangan ini tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain yang memadai. Ketika PKI dan seluruh organisasi massa pendukungnya diobrak-abrik oleh pasukan militer Jenderal Suharto dengan dukungan massa kanan, maka ada instruksi dari pimpinan PKI yang tersohor di kalangan anggota bawah, yakni apa yang disebut “defensif aktif.’ Suatu istilah yang tidak dikenal dalam yargon mereka, instruksi kabur yang membingungkan tanpa keterangan jelas. Umumnya mereka menafsirkan sebagai “selamatkan diri, jangan melakukan perlawanan apa pun.” Karena tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri dan berlindung maka berbondong-bondonglah orang menyerahkan diri kepada musuh, sebagian dengan ilusi akan mendapatkan perlindungan. Kenyataan tiadanya perlawanan sebagai yang digembar-gemborkan pimpinan PKI semasa damai ini cukup mengejutkan pihak pasukan Suharto dan para aktivis kanan. Maka tidak aneh jika sejarawan Jacques Leclerc kemudian menyebut PKI sebagai raksasa berkaki lempung. Tetapi hampir dapat dipastikan Leclerc akan menulis yang lain jika ia lakukan sebelum tragedi, terlebih apabila ia menghadiri parade 45 tahun PKI pada 23 Mei 1965. Bagaimanapun PKI sebuah partai politik, tidak memiliki barisan bersenjata. Di pihak lain pimpinan PKI mengklaim memiliki pengaruh besar di kalangan angkatan bersenjata. Dalam kenyataannya pengaruh ini tidak punya peran dalam memperkecil korban. Sejumlah batalion yang disebut “merah” yang ditarik dari Kalimantan dalam rangka konfrontasi, kemudian dilucuti dan dijebloskan ke penjara. Pembersihan di kalangan angkatan bersenjata dilakukan bertahap dan sangat sistimatis. Sebagian besar pendukung BK terutama di kalangan angkatan bersenjata sampai akhir 1965 dan permulaan 1966 berharap BK akan segera memberikan perintah untuk menindak keras para pembangkang, Jenderal Suharto cs, sebelum mereka lebih merajalela dan menjerumuskan negeri ini. Itulah yang juga ditunggu pimpinan PKI untuk waktu tertentu, setidaknya suatu penyelesaian politik yang tidak kunjung tiba, sampai PKI hancurluluh. Sebagaimana diuraikan dalam KOK, pimpinan PKI tidak bertindak independen, tetapi menggantungkan diri pada Presiden Sukarno.
Diukur dari ajaran BK maka apa yang telah dilakukan Jenderal Suharto sepenuhnya keblinger, kita tak dapat berharap yang lain dari dirinya. Para pemimpin lain yang memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap kegiatan berdarah Jenderal Suharto serta menghentikannya juga telah keblinger karena praktis membiarkan Suharto bersimaharajalela.