Setelah para jenderal staf Angkatan Darat diculik, Letnan Kolonel Untung angkat bicara. Dia mungkin merasa kelangsungan Indonesia ada ditangannya, tanpa bermaksud jadi penguasa dan cari keuntungan tentunya.
Bagaimanapun dirinya hanya seorang prajurit. Dia Cakrabirawa, jadi dia harus mengenyahkan segala bahaya yang mengancam Presiden, tanpa harus Presiden Sang Pemimpin Besar Revolusi meminta.
Letkol Untung mengeluarkan sebuah dekrit. Di kala kondisi Indonesia mencekam. Begini bunyinya:
DEKRIT No. I
TENTANG PEMBENTUKAN DEWAN REVOLUSI INDONESIA
Demi keselamatan Negara Republik Indonesia, demi pengamanan pelaksanaan Pantja Sila dan Panitya Azimat Revolusi seluruhnja, demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata pada umumnja, pada waktu tengah malam hari Kemis tanggal 30 September 1965 di Ibukota Republik Indonesia Djakarta, telah dilangsungkan gerakan pembersihan terhadap anggota-anggota apa jang menamakan dirinja buh “Dewan Djenderal” jang telah merentjanakan coup mendjelang Hari Angkatan Bersendjata 5 Oktober 1965.
Sedjumlah Djenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi dan objek-objek vital lainnja di Ibukota telah djatuh sepenuhnja kedalam kekuasaan “Gerakan 30 September”. “Gerakan 30 September” adalah gerakan semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat untuk mengachiri perbuatan sewenang-wenang Djenderal-Djenderal anggota Dewan Djenderal serta perwira-perwira lainnja jang mendjadi kakitangan dan simpatisan anggota Dewan Djenderal. Gerakan ini dibantu oleh pasukan-pasukan bersendjata diluar Angkatan Darat.
Untuk melantjarkan tindak-landjut daripada 30 September 1965, maka oleh pimpinan Gerakan 30 September akan dibentuk Dewan Revolusi Indonesia jang anggotanja terdiri dari orang-orang sivil dan orang-orang militer jang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Untuk sementara waktu, mendjelang Pemilihan Umum Madjelis Permusjawaratan Rakjat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Dewan Revolusi Indonesia mendjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Dewan Revolusi Indonesia adalah alat bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mewudjudkan Pantja Sila dan Panca Azimat Revolusi seluruhnja. Dewan Revolusi Indonesia dalam kegiatannja sehari-hari akan diwakili oleh Presidium Dewan jang terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September.
Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ketangan Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner. Sampai pembentukan Dewan Menteri oleh Dewan Revolusi Indonesia, para bekas Menteri diwadjibkan melakukan pekerdjaan-pekerdjaan rutine, mendjaga ketertiban dalam Departemen masing-masing, dilarang melakukan pengangkatan pegawai baru dan dilarang mengambil tindakan-tindakan jang bisa berakibat luas. Semua bekas Menteri berkewadjiban memberikan pertanggungan djawab kepada Dewan Revolusi Indonesia c.q. Menteri-menteri baru jang akan ditetapkan oleh Dewan Revolusi Indonesia.
Sebagai alat dari pada Dewan Revolusi Indonesia, didaerah dibentuk Dewan Revolusi Provinsi (paling banjak 25 orang), Dewan Revolusi Kabupaten (paling banjak 15 orang), Dewan Revolusi Ketjamatan (paling banjak 10 orang), Dewan Revolusi Desa (paling banjak 7 orang), terdiri dari orang-orang sivil dan militer jang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Dewan-Dewan Revolusi Daerah ini adalah kekuasaan tertinggi untuk daerah jang bersangkutan, dan jang di Provinsi dan Kabupaten pekerdjaannja dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) masing-masing, sedangkan di Ketjamatan dan Desa dibantu oleh Pimpinan Front Nasional setempat jang terdiri dari orang-orang jang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve.
Presidum Dewan Revolusi Indonesia terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September. Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September adalah Ketua dan Wakil-Wakil Ketua dewan Revolusi.
Segera sesudah pembentukan Dewan Revolusi Daerah, Ketua Dewan Revolusi jang bersangkutan harus melaporkan kepada Dewan Revolusi setingkat diatasnja tentang susunan lengkap anggota Dewan. Dewan-Dewan Revolusi Provinsi harus mendapat pengesahan tertulis dari Presidum Dewan Revolusi Indonesia, Dewan Revolusi Kabupaten harus mendapat pengesahan tertulis dari Dewan Revolusi Provinsi, dan Dewan Revolusi Ketjamatan dan desa harus mendapat pengesahan tertulis dari Dewan Revolusi Kabupaten.
KOMANDO GERAKAN 30 SEPTEMBER
Djakarta, 1 Oktober 1965.
Komandan : Letnan Kolonel Untung
Wakil Komandan : Brigdjen Supardjo
Wakil Komandan : Letnan Kolonel Udara Heru
Wakil Komandan : Kolonel Laut Sunardi
Wakil Komandan : Adjun Komisaris Besar Polisi Anwas
Diumumkan oleh Bagian Penerangan Gerakan 30 September pada tanggal 1 Oktober 1965.
Pada waktu dan ditempat sebagaimana diuraikan diatas, telah ditandatangani sendiri kedudukannja sebagai Komandan gerakan 30 September” merangkap “Ketua Dewan Revolusi Indonesia” berturut “Keputusan No 1 tentang susunan Dewan Revolusi Indonesia” dan “Keputusan No 2 tentang penurunan dan penaikan pangkat” dan telah mengirimkan/menjuruh mengirimkan untuk disiarkan selalui siaran Sentral Radio Republik Indonesia dengan maksud tudjuan membudjuk masyarakat pada umumnya dan tamtama serta bintara Angkatan Bersendjata Republik Indonesia pada chususnja untuk mendukung Gerakan 30 September.
Isi Keputusan No I dan Keputusan No 2 adalah sebagai berikut:
KEPUTUSAN No. I
TENTANG SUSUNAN DEWAN REVOLUSI INDONESIA
Memenuhi isi Dekrit No I tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia, maka dengan ini diumumkan anggota-anggota lengkap dari Dewan Revolusi Indonesia:
Letnan Kolonel Untung, Ketua Dewan
Brigdjen Supardjo, Wakil Ketua Dewan
Letnan Kolonel Udara Heru, Wakil Ketua Dewan
Kolonel Laut Sunardi, Wakil Ketua Dewan
Adjun Komisaris Besar Polisi Anwas, Wakil Ketua Dewan
Omar Dhani, Laksamana Madya Udara
Sutjipto Judodihardjo, Inspektur Djenderal Polisi
E. Martadinata, Laksamana Madya Laut
Dr Subandrio
Dr. J Leimena
Ir. Surachman
Fatah Jasin (golongan Agama)
K.H. Siradjudin Abas (golongan Agama)
Tjugito (golongan Komunis)
Arudji Kartawinata
Sjiauw Ghiok Tjan
Sumarno S.H.
Hartono, Majdjen KKO
Sutarto, Brigdjen Polisi
Zaini Mansur (Front Pemuda Pusat)
Jahja S.H (Front Pemuda Pusat)
Sukatno (Front Pemuda Pusat)
Bambang Kusnohadi (PPMI)
Rahman (Wakil Sekdjen Front Nasional)
Hardojo (Mahasiswa)
Basuki Rachmat, Majdjen
Ryacudu, Brigdjen
Solichin, Brigdjen
Amir Machmud, Brigdjen
Andi Rivai, Brigdjen
Sudjono, Major Udara
Leo Watimena, Komodor Udara
Dr. Utami Surjadarma
A. Latief, Kolonel
Umar Wirahadikusuma, Majdjen
Nj. Supeni
Nj. Mahmudah Mawardi
Nj. Suharti Suwarto
Fatah, Kolonel
Suharman, Kolonel
Samsu Sutjipto, Kolonel Laut
Suhardi (Wartawan)
Drs. Sumartono, Komisaris Besar Polisi
Djunta Suwardi
45. Karim D.P. (Persatuan Wartawan Indonesia)
Ketua dan Wakil-Wakil Ketua merupakan Presidium Dewan Revolusi Indonesia jang diantara dua sidang lengkap Dewan bertindak atas nama Dewan.
Semua anggota Dewan Revolusi Indonesia dari kalangan sivil diberi hak memberi hak memakai tanda pangkat Letnan Kolonel atau jang setingkat. Anggota Dewan Revolusi Indonesia dari kalangan Angkatan Bersendjata tetap dengan pangkat lama, ketjuali jang lebih tinggi dari Letnan Kolonel diharuskan memakai jang sama dengan pangkat Komandan Gerakan 30 September atau jang setingkat.
KOMANDAN GERAKAN 30 SEPTEMBER
Ketua Dewan Revolusi Indonesia
ttd.
(Letnan Kolonel Untung)[1]
Tentang Untung
Siapa Letkol Untung sebelum membacakan Maklumatnya? Dia bukan Jenderal. Paling tinggi dia hanya memimpin sebuah Batalyon. Dia adalah sosok pendiam. Bagi para prajurit yang mengenalnya, Untung adalah seorang perwira berpengalaman sejak zaman revolusi. Dimana dia memulai karirnya dari bawah sekali. Hingga selama hampir 20 tahun menjadi tentara dirinya bisa meraih pangkat Letnan Kolonel.
Terlahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, 3 Juli 1926. dengan nama Kusman. Bukan dari keluarga berada. Malangnya lagi, dia harus menjadi bocah brokenhome. Sebuah siksaan terbesar bagi seorang bocah. Tidak heran jika dirinya begitu pendiam.
Tubuhnya yang gempal membuatnya cocok dengan profesi tentara. Dimulai menjadi Heiho (Pembantu Tentara) zaman pendudukan Jepang. Ketika Indonesa merdeka, dirinya bergabung dengan TNI. Dengan menjadi bintara yang hanya berpangkat Sersan. Ketika dirinya bergabung dengan kelompok kiri menjelang Madiun Affair, pangkatnya sudah Sersan Mayor. Sebagai orang yang terlibat pemberontakan Madiun, dirinya tidak sempat ditindak karena Tentara Belanda keburu menyerang Jogja yang menjadi ibukota RI dimasa revolusi.[2]
Untung terus menjadi tentara dibawah komando KODAM Diponegoro, Jawa Tengah. Dirinya pernah terlibat operasi penumpasan Pemberontakan PRRI di Sumatra Barat.[3] Selanjutnya, pada 1963 Untung telah menjadi komandan batalyon 454 Diponegoro, di Srondol dan ikut terlibat dalam pembebasan Irian Barat.[4] Dua operasi tadi adalah operasi penting dalam sejarah Indoesia. Tidak heran jika dirinya kemudian ditarik ke Cakrabirawa-yang mengawal keselamatan Presiden sekaligus Pemimpin Besar Revolusi.
Bagi seorang Untung, gerakan kudetanya adalah upaya penyelamatan presiden yang menurutnya terancam. Semuanya mungkin bermula pada pagi 4 Agustus 1965, Soekarno beberapa kali pingsan hingga beberapa dokter Keresidenan harus berada di Istana demi kesehatan Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigadir Jenderal Saboer juga berada tidak jauh dari Presiden yang harus dia jaga keselamatannya.
Ketika Soekarno sedang sadar, Letnan Kolonel Untung mendekati Presiden dan terjadi percakapan singkat antara keduanya. Pada Untung, Presiden bertanya, “apa dirinya mau menerima perintah yang akan mencakup tindakan terhadap para Jenderal yang tidak loyal”. Untung pun menyatakan kesediannya. “Jika Bapak membiarkan kita menindak terhadap para Jenderal, saya akan melaksanakan perintah apapun dari Pemimpin Besar”, jawab Untung pada Soekarno. Percakapan itu disaksikan oleh Brigadir Jenderal Saboer. Percakapan itu dibeberkan oleh kolonel Bambang Wijanarko, Ajudan Presiden Soekarno dari KKO, seperti ditulis dalam Soekarno File karya Antonie Dake.[5]
Perintah yang menindak, menurut isi kepala Untung dan Sukarno tentu berbeda. Penafsiran Untung, menindak bisa berarti menculik, bahkan membunuh. Akhirnya para Jenderal AD yang dianggap tidak loyal pun dijemput paksa di rumahnya pada malam 30 September 1965. Dan para jenderal tadi pun ditemukan tewas di Lubang Buaya.
Bagaimanapun, sejarah Indonesia selalu menyalahkan Untung semata. Dan mencapnya sebagai pengkhianat sejati. Walaupun Untung juga punya jasa dan pernah bertaruh nyawa untuk Indonesia juga. Dalam persidangannya, Untung masih menampakan sikap gentleman layaknya prajurit.[6] Dan dirinya mengaku bersalah karena menggerakan orang untuk membunuh, namun tidak terima jika dirinya dianggap menggulingkan negara.[7]
Bagi Untung, tuduhan menggulingkan negara adalah hal aneh, karena dirinya merasa ingin melindungi Presiden tanpa Presiden meminta atau tidak meminta. Untuk tuduhan yang tidak pernah diakuinya, untung akhirnya divonis mati Mahkamah Militer Luar Biasa dan dieksekusi di Cimahi. Tidak diketahui dimana gentleman Diponegoro itu dikubur
[1] Gerakan 30 September Dihadapan Mahmilub 2 Di Djakarta (Perkara Untung), Jakarta, Pusat Pendidik Kehakiman AD (AHM_PTHM),hlm 252-317.
[2] Wawancara Julius Pour dengan Soehardi di Kompas, Jum’at, 19 September 2009
[3] Audrey Kahin, Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesia Policy 1926-1998, ab. Azmi & Zulfahmi, Dari Pemberontakan ke Integrasi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 366.
[4] Robert Edward Elson, Suharto: a political Biography, ab. satrio Wahono & I.G. Harimurti, Suharto: Sebuah Biograf Politik, Jakarta, Minda, 2005., hlm. 167&172.
[5] Anthony Dake, Soekarno File ab Loek Pattiradjawane, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967: Kronologi Keruntuhan Soekarno, Jakarta, Aksara Karunia, 2006, hlm. 31.
[6] Misbach Yusa Biran, Kenang-kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas bambu, 2009, hlm. 169-170.
[7] Gerakan 30 September Dihadapan Mahmilub 2 Di Djakarta (Perkara Untung), Jakarta, Pusat Pendidik Kehakiman AD (AHM_PTHM),hlm 252-317.