Jumat, dini hari, 30 September 1965. Rangkaian adegan itu masih bergerak perlahan di kepala mereka. Itulah terakhir kali mereka melihat ayahanda masing-masing: meninggalkan rumah, bersama pasukan berseragam Cakrabirawa. Mereka, anak-anak Pahlawan Revolusi, masih remaja. Tapi, empat puluh dua tahun berselang, trauma belum juga pergi. Mereka merasa D.N. Aidit bertanggung jawab atas kejadian berdarah di malam mengerikan itu, tapi mereka sepakat tidak membalas dendam. Sebaliknya, mereka membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa, guna mencari kebenaran di balik peristiwa itu. Berikut ini tanggapan anak-anak Pahlawan Revolusi tentang kejadian itu, juga tentang D.N. Aidit.
Amelia Achmad Yani
Amelia, putri ketiga Letnan Jenderal Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Ia menyaksikan sejumlah tentara Cakrabirawa bersenjata lengkap menghabisi nyawa ayahnya pada pagi buta di rumah mereka di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Amelia, kini 58 tahun, semula tidak tahu persis siapa dalang pembunuhan ayahnya. Belakangan, dia tahu pelakunya adalah G-30-S/PKI pimpinan Dipa Nusantara Aidit. ”Aidit ingin merebut kekuasaan dan menganggap Yani dan jenderal lainnya sebagai penghalang,” kata Amelia, yang sekarang jadi pengusaha di Yogyakarta. Perseteruan dengan Aidit, kata Amelia, bermula dari ketidaksetujuan Yani dengan keinginan PKI mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Hal ini telah disampaikan beberapa kali oleh Yani kepada Presiden Soekarno. Namun kedekatan Aidit dengan Soekarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu saja. ”Mereka melihat Angkatan Darat sebagai penghalang mereka,” ujar Amelia. Sehingga diam-diam mereka melancarkan serangan propaganda untuk menghabisi TNI Angkatan Darat, terutama Yani dan jenderal-jenderal lain yang pernah bersekolah di Amerika.
Dalam pidato di depan taruna TNI Angkatan Laut pada 1964, Aidit menyebut jenderal lulusan Amerika sebagai jenderal Pentagon berkulit sawo matang yang berbahaya. Mereka diisukan akan berkhianat.
Tidak hanya itu, kata Amelia, yang sering mendengar percakapan politik antarjenderal di rumahnya, PKI juga menyebarkan isu Angkatan Darat telah membentuk Dewan Jenderal untuk melancarkan usaha kudetanya terhadap Presiden. Puncaknya, PKI membunuh beberapa prajurit TNI di sejumlah daerah, di antaranya Pembantu Letnan Satu Sudjono di Bandar Betsi, Sumatera Utara. Amelia mengaku tidak banyak tahu soal Aidit. Ia hanya melihat Aidit sebagai ahli propaganda ulung yang sangat berambisi untuk berkuasa. ”Dia sudah hitung-hitungan siapa yang berkuasa jika Presiden Soekarno meninggal. Yang jelas, bapak saya tidak boleh hidup karena akan menghalanginya,” ujar Amelia. ”Kekuatan PKI saat itu luar biasa. Tukang jahit kami saja ikut baris-berbaris di siang bolong mengikuti rapat raksasa PKI,” ujar Amelia. Sayang, kata Amelia, PKI tidak cerdik dalam strategi. ”Jadinya pontang-panting setelah pembunuhan itu,” ujarnya. Dengan kekalahan dalam waktu singkat itu, Amelia menilai PKI sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa. ”Mereka hanya berlindung (di belakang Soekarno—Red.) dan menggunakan Soekarno,” katanya.
Salomo Pandjaitan
”Suara tembakannya saja masih terngiang sampai sekarang,” kata Salomo Pandjaitan, kini 55 tahun, putra ketiga Brigadir Jenderal Donald Ishak Pandjaitan. Pembunuhan D.I. Pandjaitan memang paling tragis. Waktu itu Salomo masih 13 tahun. Pasukan Cakrabirawa, yang datang di pagi buta ke rumah mereka, melesakkan peluru ke kepala Pandjaitan saat jenderal bintang satu itu berdoa. Pandjaitan baru saja melipat tangan ketika senapan meletus. ”Bagaimana saya tidak benci dia? Di depan kepala saya, otak ayah saya berhamburan, dihantam peluru panas pasukan Cakrabirawa,” kata Salomo. ”Ada 360 peluru ditemukan di rumah kami, yang luasnya 700 meter persegi.” Bagi pensiunan karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ini, ”Aidit adalah pengkhianat, yang ingin membelokkan ideologi negara. Salah satunya dengan mendekati dan mempengaruhi Presiden Soekarno.” Aidit, di mata Salomo, adalah dalang Gerakan 30 September.
Semua berawal dari perseteruan TNI Angkatan Darat dengan PKI. Tidak mudah menyingkirkan kekuatan politik Angkatan Darat saat itu. Apalagi Achmad Yani, pemimpin Angkatan Darat, kesayangan Soekarno. Karena itu, cara terbaik adalah membunuh mereka. ”Satu-satunya cara, ya, dengan kekerasan,” ujar Salomo.
D.N. Aidit akhirnya berhasil menjalankan rencananya, ”Karena waktu itu PKI merupakan partai paling kuat dengan anggota yang sangat militan,” kata Salomo. Dalam ingatan Salomo, Aidit selalu mencari pengaruh, pandai mengobarkan semangat anggota-anggotanya. Ia juga berpidato seperti Soekarno, selalu berapi-api. PKI juga kuat karena didukung Soekarno dan negara luar seperti Cina dan Rusia. ”Waktu itu, saya belum merasakan pengaruh PKI pada diri saya. Justru pembunuhan terhadap para jenderal yang memacu saya jadi antikomunis.” katanya. Meski begitu, Salomo membatasi kebenciannya hanya kepada Aidit, ”Bukan kepada anak atau keluarganya.”
Rianto Nurhadi Harjono
”Saya trauma bahkan masuk rumah sakit selama empat hari setelah peristiwa itu,” kenang Rianto Nurhadi, yang kini pengusaha. Saat itu Rianto Nurhadi, dipanggil Riri, baru sembilan tahun. Ia terbangun ketika mendengar tembakan menghantam kamar ayahnya. Ia sempat mendatangi ayahnya, tapi sang ayah memberi kode agar ia berlindung bersama ibu dan saudaranya di kamar lain. Selang beberapa menit, ayahnya telah terkapar bersimbah darah dan diseret ke atas truk. Riri putra ketiga Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono. Walau orang tuanya menjadi korban, Riri tidak bisa memastikan apakah PKI satu-satunya dalang pembunuhan itu. Namun Riri mengakui peran politik PKI pada 1965 cukup besar, sehingga kelompok lain, di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir. Apalagi saat itu PKI hendak memaksakan sistem komunis di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu perseteruan antara PKI dan TNI Angkatan Darat.
Namun PKI di bawah pimpinan Aidit saat itu sangat kuat. Ia dekat dengan Presiden Soekarno, sehingga tidak mudah dilumpuhkan. ”Aidit sosok yang berambisi besar untuk berkuasa,” ujar Riri. Karena itu, Aidit berhasil menjalankan rencananya, membunuh para jenderal, agar bisa berkuasa. Sampai saat ini, ”Kebencian kepada Aidit dan PKI tetap ada,” kata Riri. Namun ia tidak mau memendam kebencian itu, apalagi menyalahkan anak-anak dan keluarga Aidit. ”Kami tidak mau benci dan dendam itu berlarut-larut. Kami keluarga Pahlawan Revolusi dan keluarga PKI sama-sama jadi korban,” ujarnya.
Agus Widjojo
Agus Widjojo sedang lelap tidur saat peristiwa berdarah itu terjadi. Ia terbangun setelah mendengar derap sepatu lars dan kegaduhan di rumahnya. Tidak ada suara tembakan, tapi beberapa menit kemudian ia melihat ayahnya dibawa segerombolan orang berbaret merah. Itulah terakhir kali ia melihat sang ayah.
Di kemudian hari, ia baru tahu bahwa ayahnya diculik dan dibunuh PKI. Agus putra pertama Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo. ”Saat itu saya tidak tahu jelas perseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI dan kenapa ayah saya dibunuh,” ujar Agus. Lama ia baru menyadari bahwa ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI karena dianggap sebagai batu penghalang PKI untuk berkuasa.
”Saya tahu Aidit dalang pembunuhan itu setelah mencari tahu,” kata pensiunan jenderal ini. Selama ini, ia memandang Aidit sebagai orang yang yakin betul pada ideologi yang diperjuangkannya.
Menurut Agus, kini 60 tahun, perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI bermula dari tersiarnya kabar bahwa Presiden Soekarno sakit keras. ”PKI berambisi ingin berkuasa, namun dihalangi Angkatan Darat,” kata Agus. Walau merasa kehilangan setelah peristiwa itu, Agus tidak dendam kepada PKI, apalagi kepada anak-anak D.N. Aidit. ”Kita kan harus tetap berjalan ke masa depan, tidak hanya terpuruk dengan masa lalu,” katanya. Untuk menghindari rasa dendam antara keluarga Pahlawan Revolusi dan keluarga Aidit, ia bahkan memprakarsai pembentukan Forum Silaturahmi Anak Bangsa. ”Kami mencoba mengambil pelajaran dan berusaha mengungkap kebenaran, apa yang sebenarnya terjadi,” ujarnya—walaupun, kata Agus, hal itu tidak mudah dilakukan. Agus menilai pembunuhan terhadap ayahnya lebih karena alasan politik, sehingga dia tidak merasa trauma.
Ratna Purwati Soeprapto
Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, Mayor Jenderal R. Soeprapto, terjadi. Saat penculikan itu, rumahnya tidak dijaga oleh seorang prajurit pun, sehingga pasukan Cakrabirawa bisa leluasa membawa ayahnya. ”Baru setelah Pak Umar Wirahadikusumah (Panglima Kodam V/Jaya waktu itu) datang ke rumah, kami tahu Ayah diculik gerombolan PKI,” kata Ratna, pensiunan Pertamina. Meski tidak mengetahui pasti apakah PKI pelaku tunggal penculikan itu, Ratna, kini 60 tahun, melihat PKI dan Aidit tidak lebih dari sosok pengecut. ”Dia tidak berani datang sendiri, tapi menggunakan dan memperalat orang-orang bawah untuk mencapai tujuannya,” kata Ratna. Dia tidak bisa menyimpulkan PKI sebagai pelaku utamanya, ”Karena saat itu Aidit sangat dekat dengan Presiden Soekarno.” Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping Soekarno. Tidak hanya itu, Soekarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan dengan mengembangkan sistem Nasakom: Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Karena sejak awal mengetahui bahwa paham komunis tidak mengenal agama, Ratna tidak terlalu peduli dengan pertumbuhan pesat partai pimpinan Aidit itu. Apalagi melihat Aidit sebagai sosok yang heroik. ”Yang menyakitkan para jenderal dibunuh oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa lain,” ujarnya.
Sumber : Laporan Utama Edisi. Majalah Tempo Edisi 32/XXXVI/01 – 7 Oktober 2007