Ketika Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 6 Desember 1975 pukul 08.00, hari itu merupakan hari H-1 bagi operasi serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Bahkan Hari-H bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan jam. Jam-J tinggal menunggu waktu kurang dari 24 jam. Menyingung masalah Timor Timur dalam pertemuan itu, maka tidak sulit bagi Presiden Suharto bahwa Indonesia yang telah menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis dalam tahun 1965, menyalahkan komunis atau golongan kiri yang akan menguasai Timor Portugis. Hal ini disebabkan Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya Pemerintah non-komunis di Vietnam dan Kamboja pada bulan April 1975. Pemerintah non-komunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan jika salah satu negara non-komunis jatuh, maka negara non-komunis lainnya akan jatuh juga. Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugis. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, "Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugis) atau tidak?" Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab, "Kalau tidak ada Hercules kita pakai apa?" Mendengar
jawaban itu Menteri Luar Negeri Kissinger hanya diam saja. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Brent Scowcroft Ketua US National Security Council kepada Mayjen TNI Benny Moerdani yang berada di ruang lain. Jenderal berbintang dua itu menjawab, "Kami tidak mempunyai pilihan lain". Menutup pembicaraan tentang masalah Timor Portugis, maka Presiden Ford berkata, "Timor is your problem". Perkataan Presiden Ford itu dapat difatsirkan jika Indonesia masuk ke Timor Timur, Amerika Serikat tidak akan campur tangan. Ketika Menlu Kissinger bertemu dengan Mayjen Benny Moerdani yang sedang bersama Brent Scowcroft, ia meminta agar Indonesia jangan memulai penyerbuannya ke Timor Portugis, sebelum Air Force One ke luar dari wilayah udara Indonesia. Mayjen Benny Moerdani menyanggupkan hal itu. Presiden Ford dan rombongan meninggalkan Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, menuju ke Tokyo pada pukul 11.30 WIB.
Secara geografis Timor Portugis cocok digunakan sebagai pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara bagi negara Adi Kuasa. Perairan di lepas pantai Utara Timor Portugis memiliki kedalaman sekitar 2000 meter, memungkinkan kapal selam nuklir bergerak di bawah laut melintas dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau sebaliknya lewat Selat Ombai dan perairan Maluku. Lapangan terbang Baucau sepanjang 2400 meter dapat digunakan untuk mendarat pesawat berbadan lebar sekelas dengan pesawat DC-10. Pesawat intai maupun pesawat pembom jarak jauh dapat mendarat di Baucau. Demikian pula pesawat angkut strategis, Antonov An-124 Condor yang mampu membawa peluru kendali nuklir SS-20 lengkap dengan kendaran peluncur, segala peralatan pendukung serta seluruh personil yang mengoperasikannya. Seandainya Timor Portugis digunakan sebagai pangkalan militer Sovyet, maka jangkaun pesawat pembom jarak jauh maupun peluru kendali berkepala nuklir, dapat menjangkau ke seluruh benua Australia dan Selandia Baru.
Uni Sovyet yang tidak memiliki pangkalan Angkatan Laut di air hangat di Samodra Pasifik, sangat berkepentingan untuk memiliki pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara. Wladivostok adalah satu-satunya pangkalan Angkatan Laut Uni Sovyet di pantai Timur benua Asia, tertutup salju selama enam bulan pada musim dingin. Oleh sebab itu dalam Perang Vietnam Uni Sovyet tidak segan-segan mengucurkan dana sebesar US$ 3 milyar dalam bentuk senjata, mengerahkan 3000 orang anggota militer non-tempur, 13 orang diantaranya tewas, untuk memperoleh konsesi Teluk Cam Ranh sebagai pangkalan militernya di Asia Tenggara. Jika Timor Portugis dikuasai oleh golongan komunis, maka peta pertahanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik akan mengalami ancaman besar. Kekhawatiran Amerika Serikat itu, menyebabkan Presiden Ford memberikan lampu hijau bagi Indonesia masuk ke Timor Portugis. Demikian pula bagi Indonesia, ancaman komunis dari Timor Portugis akan mengganggu keutuhan wawasan Nusantara.
Persiapan Operasi Seroja
Ketika Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan Presiden Ford di Istana Merdeka, hari itu menjadi puncak pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik maupun peralatan militer untuk serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Sejak 12 Agustus 1975 TNI-AU secara berangsur-angsur telah melakukan pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik dari Lanud Iswahyudi Madiun, ke Lanud Penfui, Kupang, sebagai pangkalan persiapan. Pergeseran pasukan terdiri dari dua satgas, yaitu Satgas-A untuk perebutan kota Dili pada Hari-H atau tanggal 7 Desember 1975 dan Satgas-B untuk perebutan kota Baucau sebagai kota terbesar kedua di Timor Timur pada hari H+3 atau tanggal 10 Desember 1975. Satgas-A dibawah pimpinan Letnan Kolonel Inf Matrodji, seorang pejuang 1945 yang menjabat sebagai Komandan Brigif-18/Linud Kostrad. Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU. Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit). Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan". Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja". Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya. Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan. Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. "Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).
Gunship
Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara. Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. "Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul. Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. "Sebagai panutan, lah." Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. "Satu pesawat memuat 100 orang," jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya. Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat. Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi. T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso serta Mayor Pnb.Murdowo. Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit. Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang. Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan. Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono. Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service. Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship. Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7Desember.
B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis direncanakan memberikan BTU di "Operasi Seroja"
Dua AC-47 direncanakan memberikan BTU di "Operasi Seroja"
Satgas-A membawahi Brigif-18, terdiri dari 285 orang anggota Yonif 501/Raiders dari Jiwan, Madiun (Komandan : Mayor Inf Ismail), 443 orang anggota Yonif 502/Raiders dari Singosari, Malang (Dan : Mayor Inf Warsito), 170 orang anggota Grup-1 Parako/Kopasandha (Dan : Letkol Inf Sugito), 400 orang anggota BTP-5/Infrantri Brigade-1/Pendarat Marinir dari Karangpilang Surabaya (Dan : Letkol Mar Achmad Sediono), dan 158 orang anggota Detasemen A Kopasgat TNI-AU dari Lanus Husein Sastranegara, Bandung (Dan : Kapten Psk Silaen). Keseluruhan pasukan pemukul ini berjumlah 8.471
orang.
Operasi Lintas Udara mengggunakan 9 pesawat Hercules C-130B dari Skudron 31/Angkut Berat dengan flight leader Letkol Pnb Suakadirul. Penerjunan dilakukan dalam 3 sortie. Jika sortie-1 menggunakan 9 pesawat, sortie-2 hanya menggunakan 5 pesawat akibat adanya pesawat yang mengalami kerusakan akibat tembakan Fretilin. Sementara penerjunan sortie-3 dibatalkan sesaat sebelum pesawat taxi.
Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan. Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing. Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. "Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro," protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. "Saya tidak mengerti soal itu," jawab Suakadirul. Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. "Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized," cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. "Saya berada pada ketinggian 900 kaki," ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki. Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, "2 menit ahead." Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. "Kerongkongan saya mendadak kering," ujar Suakadirul. Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. "Penerjun siap?" Dilanjutkannya dengan perintah, "Sedia di pintu!" Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. "Go!" Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.
Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur. Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, "terpaksa" menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.
Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan. Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. "Ternyata cuma kopi." Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.
Salah tembak
Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan "Merah Putih". Untung lagi, tidak ada korban. Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.
Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia. Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. "Ditembak sniper," ungkap Hendro.
Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul "Drop Zone Dili", 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan.(ben)
Suatu malam, pada tanggal 9 Desember 1975, di bawah sinar lapu petromak di Pangkalan udara Penfui, Letkol Sugiarto sebagai Komandan Satgas Linud mengelar peta hitam putih buatan Portugis. Briefing penyampaian Perintah Operasi dimulai, diikuti oleh para Komandan satuan dan perwira Operasi. Masing-masing dari Brigade 17 Linud Kostrad, Kopassus dan Kopasgat (saat ini disebut Paskhas). Lembar peta itu berjudul “Vila Salazar” nama Portugis sebutan lain dari kota baucau. Cila Salazar terletak di pantai utara di sebuah dataran tinggi pulau Timor bagian Timur. Selintas terbayang cantiknya bangunan klasik, tebing karang, buih putih dan laut biru. Bayangan indah itu pun lenyapseketika dan jantung pun berdebar ketika Letkol Sugiarto mengakhiri Perintah Operasinya dengan “Ada pertanyaan?” beberapa saat hening mencekam, tidak ada satupun pertanyaan. Yang pasti, besok pagi buta, tangal 10 Desember 1975, serbuan vertical dari udara akan dilaksanakan oleh prajurit-prajurit pasukan paying untuk memerbut sebuah lapangan terbang di Vila Salazar. Semua sudah jelas, sebuah lingkaran hitam dan garis-garis pembagi berikut lingkaran-lingkaran kecil diatas peta, itu adalah lukisan apa yang disebut ground tactical planning atau rencana taktis darat dari suatu operasi serbuan Linud yang menggambarkan air head atau tumpuan udara, berisi pembagian sector, dropping zone (DZ), sasaran- sasaran yang akan direbut dan titik-titik kumpul bagi pasukan paying. Rencana taktis darat merupakan bagian penting dari Perintah operasi penerjunan. Pada tanggal 10 Desember 1975, 8 pesawat C-130 Hercules mengangkut pasukan Brigade 17/Linud Kostrad, Kopassus, dan Kopasgat dari Pangkalan Udara Penfui Kupang. Pesawat-pesawat angkut C-130 Hercules mendapat perlindungan dari pesawat B-26 Infader yang diterbangkan oleh Mayor Pnb Sumarsono. Pilot leader adalah Letkol Pnb Suaka Diro dengan sandi penerbangan “Rajawali Flight”. Pesawat pertama terbang dengan ketinggian 1200 kaki, perbedaan ketinggian 50 kaki dengan pesawat beriutnya. Untuk menuju titik penerjunan, pesawat mendekati sasaran dari laut dengan arah penerbangan 170 derajat sebelum melintas tepat diatas daerah penerjunan. Untuk melakukan koordinasi antara pesawat angkut dan pesawat yang akan melakukan serangan udara, “Rajaawli Flight” selalu mengadakan kontak radio dengan pesawat B-26 Infader. Penerjunan sorti pertama yang dimulai pukul 07.20 waktu setempat, sangat mengagetkan Antonio Reisda Silva Nunes, Komandan asrama Baucau. Ia tidak sempat melakukan konsolidasi dengn pasukannya, sehingga segera meninggalkan Baucau. Setelah mednarat, tim pengendali tempur (Dalpur) Detasemen B Kopasgat segera berkomunikasi lewat radio dengn pesawat Pembom B-26 Infasder. Komunikasi ini bertujuan agar pesawat B-26, apabila diperlukan,. Apabila diperlukan, dapat memberikan bantuan tembakan udara yang tepat sasaran. Karena pasukan telah berhasil menguasiai keadaan, maka Mayr Pnb Sumarsono melaporkan bahwa saat ini pasukan darat belum memerlukan bantuan tembakan. Gugus tugas Kopasgat saat itu tersusun dalam Detasemen B berkekuatan 156 orang yang dipimpin oleh Kapten Psk Afendi. Kapten Psk Jack Hidayat sebagai wakil, kapten Psk Budhy Santoso (Dankorpaskhas 1996 – 1998, dan sesmil Presiden RI 1998) sebagai Kasi Intelijen dan Operasi, apten Psk Edison siagian sebagai Kasi Personel dan Logistik, Kapten Lek Rudolf Malo sebagai Komandan Tim Pengendali Pangkalan (Dallan) dan Perwira Kopasgat yang lain dalam Detasemen tersebut adalah Kapten Psk Wahyu Wijoyo (Wadan Korpaskhas 1996-1998_ serta Letda Psk Daromi (Dandepodiklat 1998-20..). Setelah mendarat, segera diketahui bahwa lapangan Terbang baucau tidaj memiliki fasilitas dukungan operasi penerbagnan yang cukup lengkap. Selain itu, di pangkalan yang berlanda pacu 2.600 meter dan mampu didaratai Pesawat berbadan lebar sejenis DC-10 itu, ternyata tidak terdapat pesawat peninggalan Portugis, kecuali dua buah ciontainer berisi mesin helicopter jenis Aluete. Tim Dalpur dan Tim Dallan Kopasgat segera melakukan penelitian terhadap fasilitas pangkalan agar segera dapat dipergunakan sebagai Pangkalan Udara Operasi. Kekurangan peralatan dilaporkan ke Home base, untuk mendapat dukungan susulan. Setelah pendaratan, pasukan Brigade 17/ Linud Kostrad segera bergerak menuju Manatuto dan Ossu. Ketika pasukan bergerak ke Pusat Latihan Militer Bukole, ternyata Fretelin sudah melarikann diri. Sementara itu, Lapangan Terbang Baucau telah dapat difungsikan sebagai Pangkalan Udara Depan Operasi dengan menggunakan peralatan Dallan Portable yang dibawa terjun, sehingga pada hari H+1 dengan dipandu tim Dallan, mendaratlah pesawarC-130 Hercules yang diterbangkan Letkol Pnb Suakadirul sebagai Komandan gugus Linud. Dengan pesawat itu, didaratkan kendaraan ringan TNI AD dan peralatan lain untuk merehabilitasi fasilitas dukungan operasi penerbangan termasuk senjata Triple Gun jenis Canon Orlikon kaliber 20 mm untuk memperkuat pertahanan Pangkalan Udara Baucau. Triple Gun tersebut ditempatkan di ujung landasan 17 dengan kekuatan 1 peleton Kopasgat. Dengan demikian, Kopasgat di Lapangan Terbang Baucau menjadi 186 orang. Tugas Kopasgat di sini terutama untuk merebut sasaran sasaran teknis, berupa fasilitas dukungan operasi penerbangan di lapangan terbang yang diduduki musuh agar dapat dioperasikan kembali sebagai pangkalan udara depan di mandala operasi. Tugas yang lain adalah mempertahankan dan mengamankan pangkalan udara depan tersebut, berikut fasilitas dukungan operasi penerbangan yang ada didalamnya demikian pula tugas-tugas pencarian dan pertolongan atau SAR Tempur.
Pangkalan udara baucau di Vila Salazar telah berhasil diduduki. Dua hari berturut-turut setelah itu, satu sorti C-130 Hercules dan dua sorti C-47 Dakota mendarat. Perkuatan pasukan, senjata bantuan dan bekal ulang telah diturunkan. Letkol Pnb Suakadirul dengan Hercules dan dua Dakota kembali ke Jakarta, masing-masing dipenuhi prajurit-prajurit yang terluka untuk dievakuasi ke garis belakang. Beberapa hari berlalu, suasana tegang masih terus mencekam, mengantisipasi kemunginan-kemungkinan datangya serangan balas dari pihak lawan. Musuh tercerai berai belum jelas di mana titik-titik persembunyian mereka. Sementara kegiatan penerbangan semakin banyak antara lain mendaratkan Brigjen TNI Suweno, Brigjen TNI Sanif, dan Kolonel Pnb Susetyo (Komandan Satgas Udara). Kini menjadi kenyataan bahwa tumpuan udara berupa sebuah lapangan terbang telah berhasil dibentuk serta dikembangkan menjadi pangkalan udara depan yang siap digunakan untuk mendukung rangkaian kampanye lebih lanjut. Terbersit rasa syukur kala itu, ketika teringat pula kisah Pasukan Payung yang mengagumkan yaitu Penyerbuan Normandia sekitar tahun 1944 dalam PD II. Serbuan Normandia menggunakan ratusan pesawat Dakota C-47, merupakan operasi penerjunan terbesar dalam sejarah manusia. Bangga, memang membanggakan. Betapa tidak, pelajaran doktrin “Airborne Assault” yang selama ini hanya cukup terbaca dalam sejarah dan teori, telah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Rasa beruntung menyusupi para pelaku operasi kala itu, suatu kesempatan yang teramat langka dan merupakan bagian dari fakta sejarah. Bukan saja pelajaran operasi Linud yang telah dapat dipraktekkan oleh unsur-unsur pasukan gabungan TNI pada waktu itu. Tetapi doktrin operasi udara tentang “Air Head Operation” atau Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD) dalam strategi Bare Base Concept pun telah terimplementasikan dengan baik oleh unsure-unsur Satuan Tugas Udara, justru di suatu mandala operasi yang sebenarnya, suatu scenario operasi gabungan linud yang nyaris sempurna. Beberapa hari telah berlalu, ketika Kolonel Dading Kalbuadi disaksikan Mayor Yusman saling berpelukan dengan Letkol Sugiarto di ruang Operasi Satgas (kini ruang ini di base Operation Pangkalan Udara Baucau): “Tok’Panggil Dading kepada Sugiarto, “Kita baru saja melaksanakan satu tahapan yang sangat sulit dari pelajaran operasi gabungan linud, yaitu Link-up Operation (penggabungan)”, di pipi kedua Kolonel tersebut menetes butir-butir ari mata, “.. dan kita berhasil, Tok !” Kapten Psk Budhy Santoso yang menyaksikan waktu itu dengan serta merta meninggalkan ruangan, ia tak ingin ikut meneteskan air mata walaupun merasakan getaran-getaran yang sama. Dading Kalbuadi adalah Komandan Pendaratan Amfibi di pantai Laga 20 km timur kota Baucau, bersama Tim Kopassus dan Marinir. Sebuah episode penggabungan Pasukan Linud dan Pasukan Amfibi segera berakhir, kesibukan di pangkalan udara depan yang baru saja dibentuk di Vila Salajar terus berlanjut. Unsur Kopasgat yan tergabung dalam Satgas udara dalam kisah Vila Salazar, saat itu terdiri dari 186 prajurit dan diorganisasikan dalam satu Detasemen yang terdiri dari Tim Pengendali Tempur, Tim Pengendali Pangkalan, Tim Sar Tempur, dan Tim Pertahanan Pangkalan, baik pertahanan terhadap serangan dari darat maupun dari udara.dalam ukuran Detasemen, saat itu unsure-unsur Kopasgat telah terwakili dengan kekuatan yang relatif kecil, Detasemen tersebut berhasil mewujudkan doktrin tertinggi pada tataran Kopasgat yaitu OP3UD atau “Air head Operation” menurut istilah RAF Regiment Tentara Inggris. OP3UD akan menjamin keberlanjutan operasional pesawat terbang dalam rangka kelangsungan kampanye secara keseluruhan. Sepanjang sejarah, Airfil (lapangan terbang) selalu menjadi ajang perebutan. Vila Salazar adalh sebuah pusat gravitasi strategis atau Strategic Center Of Graviti (SCOG) dikawasan pulau timor bagian timur.SCOG adalah bagian yang menjadi tumpuan pusat gerak dan kekuatan, sehingga menentukan dominasi kawasan. Oleh karena itu, dilakukannya OP3UD seperti apa yang telah terjadi adalah merupakan implementasi strategi yang sangat tepat, dimana didalamnya bersama satuan-
satuan lain, telah berperan prajurit-prajurit Kopasgat dari bumi cimariuk, Margahayu, bandung selatan. Mereka jualah yang turut serta memberikan andil di Palagan dwikora tahun 1964, Trikora tahun 1962, dan “Blitzkrig” Linud untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta di Pekanbaru, Riau, Medan, Sumatera Utara, Tabing di Padang sumatera Barat, serta di Morotai dan Mapanget, sulawesi Utara tahun 1958.
Selain di Vila Salazar, sebagai kelanjutan proses integrasi di Timor-Timur kedalam wilayah RI, Kopasgat yang tergabung dalam operasi-operasi gabungan ABRI juga melaksanakan operasinya didaerah-daerah lain termasuk didaerah Dili dan Atauro. Dili juga mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan operasi di Timor-Timur karena disini terdapat pangkalan udara yang cukup besar dan mempunyai nilai strategis sebagai Center Of Graviti di propinsi tersebut. Detasemen A Kopasgat yang mengoperasikan lapangan terbang Dili waktu itu di pimpin oleh Kapten Psk P.Silaen dengan beberapa perwira antara lain Kapten Psk Djoko Budiman dan Kapten Psk Nanok Suratno ( dankorpaskhas 1998-). Sementara itu, dalam peristiwa penyerahan atauro,beberapa anggota Kopasgat Dili yang tergabung dalam Tim Dallan dan Tim Dalpur, yaitu Serka Suherman (meteo) dan Sertu Jarwanto (PLLU), serta beberapa anggota lain berangkat ke Atauro untuk memandu pendaratan dan pengamanan pesawat yang membawa Benny Moerdani, Kol Inf Subiyakto, dan Letkol Kav Alex Dinuth. Operasi yang dilaksanakan dalam rangka intregasi Timor Timur ke wilayah RI terus berlanjut, antara lain dengan pelaksanaan Operasi Parikesit I, Operasi Parikesit II dan Operasi Saber Kikis Baratayudha. Operasi Parikesit I Dilaksanakan oleh gabunagn pasukan Komando ABRI terdiri dari Kopasandha, Marinir dan Kopasgat yang diberangkatkan dari Pangkalan Udara Husein Sastranegara menuju Pangkalan Udara Komoro Dili tanggal 2 Desember 1978 dengan pesawat C-130 Hercules. Satuan tugas (satgas) dalam operasi ini dipimpin oleh Maayor Inf Sitorus (Kopassus) sebagai Komandan dan mayor Mar Tatang S. (Marinir) sebagai Wakil. Kasi-kasi masing- masing dijabat oleh Kapten Psk Chairuddin M. (Kopasgat), Kapten Inf Yudomo S (Kopassus) dan Kapten Inf Adeng (Kopassus). Satgas dibagi dalam 3 kompi, yaitu Kompi Banteng (Kopassus), Kompi Baruna (Marinir) dan Kompi Bronco (Kopasgat). Anggota kopasgat yang tergabung dalam kompi bronco dipimpin oleh lettu psk suyitno dan komandan komandan pletonnya masing masing ialah letda psk john ferry Rumawantin,Capa man Erawan dan Capa Budi Waloya.
Mereka semula mendapat tugas untuk menghancurkan GPK di daerah peguungan Matabean. Namun,karena daerah tersebut sudah dapat dikuasai terlebih dahulu oleh satuan TNI yang lain,maka tugas dialihkan untuk mengejar para tokoh GPK yaitu Nicolau lobato,Antonio Korvarino dan lain lain.Akhirnya, bersama sama satuan lain,para tokoh GPK tersebut dapat dihancurkan. Operasi ini dilaksanakan sampai tanggal 26 Maret 1979.Anggota yang trgabung dalam stgas ini kemudaian dikembalikan ke satuan masing masing. Kopasgat kembali dari pangkalan Baucau ke husein sastranegara bandung. Operasi selanjutnya adalah operasi Parikesit II yang merupakan kelanjutan dari operasi Parikesit I dan diberangkatkan dari pangalan Udara Husein Sastranegara ke Baucau.operasi ini juga dilaksanakan oleh Satgas gabungan pasuan komando yag terdiri dari Kopasandha, marinir, dan Kopasgat.Satgas dipimpin oleh Mayor Inf Sunarto (Kopassus) sebagai komadan dan Mayor inf mar boy Malonda (marinir) sebagai Wakil Komandan.Saat itu, Kpten Psk Siagian (Kopasgat) menjabat sebagai kasi Personel danLettu Psk Hasibuan (Kopasgat) menjabat sebagai Komandan kompi Bronco. Seperti pada operasi operasi parikesut I, Satgas dalam operasi ini juga dibagi dalam tiga kompi, yitu kompi Banteng (Kopasandha), kompi Baruna (marinir), dan kompi Bronco (Kopasgat).Kompi Banteng bertugas di sektor Barat sedangkan Kompi Baruna dan Kompi Bronco bertugas di sektor Timur. Anggota Kopasgat yang tergabung dalam Kompi Bronco berasal dari Batalyon 461 dan 465 Jakarta.
Modus operasi ini sama dengan operasi Parikesit I, yaitu mengadakan pengejaran dan penghancuran terhadap GPK yang masih bersembunyi di gunung dan di hutan. Setelah melaksanakan manuver selama dua bulan,Kompi Banteng yang berada di Sektor Barat ditarik untuk bergabung kembali dengan kompi Baruna dan Kompi Bronco yang berada disektor Timur,sebab di Sektor Barat sudah dianggap aman. Selanjutnya, mereka terus bergerak sehingga banyak GPK yang berhasil ditangkap dan ditembak mati,Prajuri prajurit
berusaha semaksimal mungkin dan tabah dalam menghadapi keadaan cuaca, medan yang berat, GPK yang sulit diketahui tempat persembunyiaannya. Melihat usaha tersebut, Kapten Psk siagan selaku Kasi Personel melalui Komandan Satgas mengajukan permohonan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) terutama bagi prajurit-prajurit yang berpangkat Kopral agar dapat menjadi sersan kepada Menhankam/Pangab Jendral TNI M.Yusuf. Ternyata permohonan disetujui dan dikabulkan, sehingga para prajurit yang berpangkat Kopral menjadi Sersan. Operasi dilaksanakan selama empat setengah bulan, yaitu sejak bulan Maret 1979 sampai dengan pertengahan bulan juli 1979. setelah selesai melaksanakan tugas, anggota kopasgat yang tergabung dalam operasi ini dikembalikan ke Jakarta dan sebagian ke Bogor serta ke Husein Sastra Negara.
Opersi operasi dalam rangka integrasi Timor Timur kedalam wilayah RI terus berlanjut. Bahkan dilaksanakan juga latihan gabungan (latgab) TNI di daerah Kupang, Viqueque, Los Palos, dan sekitarnya. Latihan terebut dilaksanakan dalam rangkaian persiapan operasi operasi selanjutnya, Seteah Latgab TNI, Selanjutnya diadakan operasi Saber Kikis Baratayudha yang dilaksanakan oleh gabungan 12 batalyon TNI. Melalui permohonan Mayor Psk Pakki Malik (sekarang, Marsda TNI) selaku Komandan dan dikabulkan oleh Menhankam/ Pangab jendral TNI M. Yusuf, akhirnya Kopasgat terlibat penuh dalam operasi tersebut bersama satuan lain. Personel Kopasgat yang tergabung dalam operasi ini berjumlah 590 orang dibagi dalam 1 Markas Batalyon, 1 kompi markas, dan 4 Kompi tempur. Wakil Komandan saat itu dijabat oleh Mayor Psk Herman Tjokro, Kasi Opersi dijabat oleh Kapten Psk Muyanto, Komandan Kompi markas dijabat oleh Kapten Psk Yassin Mamora. Sedangkan empat Kompi Tempur yaitu Kompi Alpa dipimpin oleh Lettu Psk Hendarto, Kompi Beta dipimpin Lettu Psk Torar, Kompi Charli dipimpin Lettu Psk Jumiran, dan Kompi Delta dipimpin oleh Lettu Psk Harry Budiono. Pada bulan bulan pertama, Mereka bergerak dengan Perbekalan yang ada karena belum mendapat dukungan dari Mabes TNI. Walau dalam kondisi demikian. Mereka terus bergarak dibawah pimpinan Mayor Psk Pakki Malik.tetapi pada bulan bulan berikutnya, pimpinam digantikan oleh Mayor Psk Herman Tjokro karena kondisi kesehatan Mayor Psk Pakki Malik tidak memungkinkan. Mayor Psk Herman Tjokro menggantikan jabatan komandan Batalyon sedangkan jabatan Wakil Ko\Mandan dijabat oleh Kapten Psk John F. Pangau yang menyusul dari Batalyon 464 Malang beserta 21 anggotanya. Untuk meningkatkan efektifitas dari efisiensi, selanjutnya pasukan bergerak bukan dalam hubungan Kompi, Melainkan dalam hubungan Tim. Para perwira yang ikut manuver dalam tugas ini yaitu Letda Psk Makruf, Letda Psk Tedy SP,l Letda Psk Sunaryo, Letda Psk Kateno, Letda Psk Edi, dan lain lain. Disamping operasi Tempur, Operasi Teritorial dinilai berhasil. Hal ini terbukti, Rakyat Timor Timur yang berjumlah kurang lebih 33.000 orang mau bergabung dan membantu TNI saat itu. Rakyat bersama sama TNI menumpas GPK dengan cara membentuk formasi berjajar seperti pagar betis untuk menggiring GPK dari 2 arah yang berlawanan agar GPK masuk killing Ground (daerah penghancuran). Saat itu, Kopasgat yangf semula bergerak dala hubungan kecil diubah lagi menjadi hubungan besar bersama sama 5 batalyon satuan lain dan sekitarnya 5.000 rakyat bergerak mengguring GPK dari daerah Dirimurni ke Killing ground. Sementara itu,6 Batalyon dari satuan lainnya bersama sama rakyat, bergerak dari daerah Dili ke Killing Ground. Bagaika gelombang lautan, mereka bergerk menghancurkan setiap GPK yang ditemui.
Akhinya, sebagian besar GPK dapat digiring ke daerah penghancuran yaitu didaerah Aitana Kompleks.daerah ini berupa lembah temoat persembunyian para GPK. Karena strategi yang digunakan dengan cara berjajar seperti pagar betis dan bergerak maju serentak, maka cara dikenal juga dengan operasi Pagar Betis. Setelah itu, operasi masih dilanjutkan karenaternyata masih ada GPK yang sempat lolos dan diduga masuk ke daerah Outo Karboa dan pegunungan Matabean. Maka, Kopasgat yang tergabung dalm Kompi bentukan baru yaitu Kompi belang pimpinan Lettu Psk Harry budiono bergerak lagi ke daerah daerah tersebut dengan cara Airlift. Operasi dilaksanakan 11 bulan, yaitu sejak akhir Maret 1981 sampai dengan akhir Pebruari 1982. Setelah operasi selesai, anggota Kopagat dari Batalyon 464 dikembalikan ke Malang dan 1 Peton dari Batalyon 463 dikembalikan ke Madiun. Mereka bertolak dari laga enuju Surabaya dengan kapal Laut, selanjutnya ditampung di Ksatrian AL selama 4 hari. Setelah itu, baru mereka dikembalikan ke Satuan masing masing. Pada tahun 1998 Korp Paskhas mengirim kompi Pemburu ke Timor Timur bersama satuan satuan lain yaitu Kopassus, Marinir, Kostrad, Brimob, kodam kodam yang tergabung dalam Rajawali !V/Garuda I. Kompi dari Paskhas berjumlah 127 personel dan dipimpin olh Kapten Psk Roland Waha.Pra Tugas selama 3 bulan di group 3 Kopassus (Mei – Juli 1998), Selnjutnya mmereka melanjutkan tugas Operasi selama 11 bulan (Agustus 1998 – Juni 1999). Selama bertugas di Timor Timur, Kopasgat juga melksanakan kegiatan Teritorial yang sangat menunjang keberhasilan Operasi. Kehadiran Kopasgat selama berlangasungnya Operasi di Timor Timur telah dapat menjalin tali batin sehingga mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat setempat.
Dari buku Baret Jingga Edisi Pertama
Sumber :