Oleh : Ismail Al Habib, Soekamso dan Istamar
I. PENDAHULUAN
Boyolali merupakan daerah kabupaten dengan geografis yang strategis untuk
perencanaan secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan pertahanan. Dengan
letaknya yang strategis tersebut sejak lepasnya penjajahan Belanda dan di
kumandangkannya Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi perebutan yang
manarik bagi kekuatan – kekuatan politik yang ada pada saat itu. Selain itu
berbagai Trah keturunan kerajaan Surakarta yang tinggal di berbagai daerah
Boyolali juga ikut mewarnai kehidupan masyarakatnya. Yang tidak luput dari
penglihatan kita bersama yaitu dua gunung yang menyimpan berbagai peristiwa
nasional dan misteri yang menjadi simbol dan keyakinan masyarakat Jawa pada
umumnya khususnya di wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dari peristiwa
Misteri Gunung Merapi, penjajahan Belanda, Rasionalisasi di tubuh tentara, MMC
(Merapi Merbabu Complek), Grayak dan PKI. Tidak kalah pentingnya yaitu tentang
peristiwa Kedung Ombo yang masih meninggalkan berbagai kenangan pahit dan
belum terselesaikan sampai sekarang. Peristiwa yang pernah terjadi tersebut selalu
dihubung – hubungkan antara satu dengan yang lainnya.
Misteri Gunung Merapi yang menjadi kepercayaan orang Jawa selalu dikaitkan
dengan mistis/atheisme, yang berimbas pada kenapa PKI di Boyolali menjadi partai
yang terbesar dan pemenang pemilu 1955 dan mendapat 21 kursi dari 35 kursi
yang ada pada saat itu. Misteri Gunung Merapi menjadi kepercayaan yang kuat
bagi masyarakat Jawa khususnya Surakarta dan sekitarnya berkaitan dengan
peristiwa - peristiwa alam yang sudah ada sejak zaman Pangeran Diponegoro
Kerajaan Mataram Islam.
Dengan adanya Rasionalisasi di tubuh tentara yang berimplikasi pada MMC
menjadikan Boyolali sebagai kota yang berbasis kaum Merah. MMC (Merapi
Merbabu Complek) adalah orang – oarang yang sakit hati karena adanya
rasionalisasi di tubuh tentara. Dalam rasionalisasi di tubuh tentara adalah tentara
yang bisa masuk untuk menjadi Tentara negara adalah tentara yang sudah dilatih
oleh KNIL dan PETA. Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan
tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. Lewat kolonel Soejono
menolak diadakannya rasionalisasi tersebut. Batalyon yang mengadakan penolakan
yaitu Batalyon Panembahan Pasopati. Dalam penolakannya mereka mengasingkan
diri ke Lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Setelah Soekarno menghimbau
kepada pasukan yang mengasingkan diri tersebut supaya kembali, ada beberapa
orang yang rela untuk menyerahkan diri dan mengembalikan senjatanya kepada
negara. Ada juga yang bertahan dalam pengasingannya sehingga mereka
bergabung dengan kelompok Garong dan dimanfaatkan kelompok garong tersebut
untuk melakukan perampokan yang terkenal dengan sebutan Grayak --Gerakan
Rakyat Kelaparan-- (Mbah Narno dan Suhardi).
Grayak yang menjadi momok masyarakata Boyolali dan sekitarnya meninggalkan
kenangan tersendiri bagi sejarah kota susu tersebut. Gerombolan yang terkenal
dengan kesadisannya, penjarahan dianggap biang kerok mulobukane kekuatan PKI
di Boyolali. Sehingga pasca terjadinya isu pemberontakan PKI gerakan yang
selama ini hanya dianggap sebagai gerakan kelompok garong yang suka
merampas ternak, harta warga ini dicap sebagai gerakan orang – orang PKI.
Padahal kalau dicermati secara jeli tidak hanya milik orang NU atau PNI yang
menjadi korban, harta orang BTIpun juga banyak yang menjadi incaran
gerombolan tersebut.
Kedung Ombo yang menyisakan peristiwa Internasional yang belum terselesaikan
dalam setiap gerakan pembebasan untuk menuntut Haknya selalu dicap sebagai
orang PKI. Karena berbagai peristiwa tersebut, sehingga Boyolali menjadi kota
yang penuh dengan koota misteri kemanusiaan berskala Nasional.
II. KONDISI UMUM PRA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965
Kondisi masyarakat Boyolali relatif tenang, hubungan antar partai yang ada juga
baik. Bahkan dalam menjalankan roda pemerintahan yang notabene di dominasi
oleh orang – orang merah tidak pernah terjadi konflik. Pada kesempatan tertentu
antar partai disatukan dalam berbagai forum. Forum yang berfungsi untuk
menentukan pembangunan arah ke depan Boyolali. Selain itu program yang
dilontarkan oleh Presiden Soekarno dengan Nasakom-nya harus dapat mewarnai
kehidupan masyarakat. Bahkan dapat disosialisasikan sampai masyarakat tingkat
basis. Selain itu ada juga relasi antar partai besar pemenang pemilu 1955 antara
lain PKI, PNI, NU dan Masyumi disatukan dalam Front Nasional.
Forum atau front yang berfungsi sebagai media duduk sejajar bersama untuk
menentukan kebijakan pembangunan Boyolali dapat diterapkan sampai ke tingkat
desa meskipun namanya tidak sama. Dalam setiap pembicaraan yang diadakan
sangat demokratis meskipun ada perbedaan tetapi argumentasi logis yang di
kedepankan bukan adu otot yang dipakai. Di Desapun tradisi demokrasi sudah
berjalan dengan baik karena dalam setiap penentuan pembangunan desa tidak
langsung ditangani dan diputuskan kepala desa sendiri tetapi harus mendapat
kesepakan dari Front Nasional tersebut. Selain dari front juga harus mendapat
kesepakatan dari orang – orang yang terlibat dalam pemerintahan desa tersebut
seperti Bamusdes, RT, RK dan DPDes (Dewan Pertmbangan Desa). Dalam
penentuan kebijakan desa kebanyakan lurah juga selalu melibatkan forum yang
beranggotakan dari berbagai partai yang ada dan keputusan tersebut menjadi
acuan dalam melakukan pemerintahan desa (Mbah Harto &Suhardi)
Dalam menjalan roda pemerintahan bagaimana dapat mensosialisasikan program
yang di canangkan oleh Bung Karno. Program yang dicanangkan Bung Karno
misalnya Manipol USDEK (Manivestasi Politik UUD1945 Sosialis Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Resopim
(Revolusi sosialis terpimpin), Nasakaomisasi untuk di jadikan penyangga negara.
Selain program itu sebagai acuan juga harus di sosialisasikan kepada masyarakat
luas. Tidak jarang orang-orang yang terlibat dalam partai tokoh pemuda di desa-desa
saling tukar pikiran dan sambang meskipun yang dibicarakan hanya persoalan
sepele. Gotong royong yang menjadi tradisi di desa juga masih marak dengan
melibatkan berbagai elemen kepemudaan. Dalam memperingati selametan bayipun
orang-orang dari unsur NU, BTI maupun Muhammadiyah juga tetap di undang
untuk ikut mendoakannya.
Konflik kecil yang terjadi juga relatif tidak begitu ideologis, wajar karena dalam
masing – masing partai juga memiliki program yang harus disosialisasikan
terhadap anggota. Selain untuk disosialisasikan program yang ditawarkan untuk
penggalangan masa agar dalam pemilu ke depan mendapat suara banyak.
Pertarungan partai yang besar di Boyolali terjadi antara PNI dan PKI karena di
berbagai daerah yang ikut dalam kompetisi perebutan jabatan pamong desa adalah
orang – orang PKI dan PNI. Sedangkan NU selalu mendapatkan jatah jabatan
pamong pada posisi Modin /penghulu. Perebutan posisi pamong inilah yang harus
disadari ada yang kalah dan menang sebenarnya. Ternyata yang kalah tidak
menerima kekalahannya dan berimbas pada persoalan partai yang sebenarnya
adalah persolan individu. Konflik individu yang berkepanjangan ini berimplikasi
pada kebencian yang berlarut- larut yang akhirnya peristiwa G30. S dijadikan
momentum untuk balas dendam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut yang
tadinya antar anggota masyarakat desa rukun, damai menjadi saling curiga
dengan ditambah isu yang meresahkan masyarakat tidak tahu siapa yang
menghembuskan isu tersebut.
Pemberlakuan UU PA dan UU.BH 1963/1964 yang terjadi di beberapa daerah
sebagai uji coba Pilot Project, juga memicu konflik antara PKI dan PNI. Karena di
beberapa desa di Boyolali yang menjadi 7 setan desa adalah orang PNI. Pada bulan
Februari 1964 di daerah Ketaon menjadi peristiwa nasional yang menewaskan
seorang Pemuda rakyat (Jumeri). Peristiwa tersebut merupakan aksi sepihak yang
dilakukan oleh pemuda rakyat dalam memperjuangkan UUPA dan UUBH terhadap
orang – orang PNI. Orang PNI memakai kekuatan Polisi untuk menghalau orang –
orang buruh yang kebanyakan PR, berimbas tertembaknya Jumeri. Selain itu juga
isu tentang Land Refform dan pemberantasan Nekolim yang di lontarkan oleh
orang PKI.(Bantu,marno &Tamam). Selain itu di Desa Butuh orang – orang PKI
juga melakukan aksi sepihak dengan melakukan pematokan terhadap tanah –
tanah orang PNI setelah diberlakukannya UUPA. Selain mengadakan pematokan
juga mengejek orang – orang PNI (saling ejek antar kader partai). (Suyitno 02-02)
III. KONDISI MASYARAKAT PASCA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965
Terjadinya Pembunuhan terhadap 6 Jenderal dan 1 Sersan di Jakarta masyarakat
Boyolali pada umumnya tidak begitu mengetahui. Hanya beberapa orang yang
tahu informasi dan merekapun tahu dari radio yang baru beberapa orang yang
memilikinya. Dari informasi tersebut masyarakat juga tenang – tenang tidak ada
indikasi gerakan apapun, begitu juga antara masyarakat yang berbasis PKI dengan
PNI atau NU dan sebaliknya. Baru setelah satu minggu ada himbauan dari pihak
Muspida (Bupati Boyolali, Dandim dan Kapolres) supaya masyarakat tetap tenang.
Pada bulan Oktober di daerah Ampel yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas
pertemuan antar Kepala Desa seKecamatan ditunda karena diganti pertemuan di
kecamatan Cepogo yang dikuti oleh tiga kecamatan yaitu Ampel, Cepogo dan Selo.
Pada hari Sabtunya Carik dan Lurah berkumpul di Kecamatan Cepogo karena ada
pertemuan dengan Muspida. Dalam pertemuan dengan Muspida tersebut
diterangkan bahwa di Jakarta ada pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan
Cakrabirawa dan mengharapkan masyarakat tenang.(Hardi)
Setelah ada himbauan dari Muspida di beberapa daerah supaya masyarakat
tenang, baru di masyarakat terjadi isu yang simpang-siur membuat kondisi
masyarakat resah. Keresahan yang terjadi di masyarakat ini mengakibatkan
beberapa provokasi masuk dan dimanfaatkan orang – orang yang sebelumnya
memiliki konflik individu. Suka dan tidak suka yang mendominasi terjadinya konflik
di masyarakat. Selain konflik individu ada konflik yang berangkat dari partai
masing – masing. Informasi yang diterima oleh masyarakat yang satu dengan yang
lain beragam seperti di beberapa daerah yang berbasis PKI misalnya isu yang
muncul adalah orang – orang partai lain akan membunuh kelompok PKI, sehingga
masyarakat harus bersembunyi, demkian juga sebaliknya di daerah yang berbasis
NU atau PNI isu yang dihembuskan adalah orang PKI akan membunuh masyarakat
NU dan PNI.
Perkembangan isu yang beragam tersebut dari pihak Muspida juga tidak
melakukan pengamanan apapun. Semakin lama kondisi tersebut semakin
memprihatinkan yang mengancam stabilitas masyarakat. Selain itu ada juga
konspirasi beberapa kelompok yang memanfaatkan situasi tersebut. Konspirasi ini
terbukti dengan informasi yang dilakukan oleh Muspida ada kelompok yang
meragukan informasi dan tidak percaya lalu mengadakan pertemuan tertutup
merencanakan gerakan tertentu. Dalam hal ini misalnya PNI melakukan pertemuan
tertutup dengan pihak tentara Kodim Boyolali. Dalam pertemuan tersebut
menginginkan untuk melakukan gerakan secepatnya karena informasi yang
disampaikan Bupati adalah tidak benar. Satu minggu setelah tragedi di Jakarta
dalam tubuh Kodim sendiri diadakan pembekuan yang mengidentifikasi antara
tentara yang terlibat PKI dan tidak dengan melibatkan Pemuda Marhein.(Bantu 2-
02) Yang melakukan pembersihan tidak lagi dari Kodim sendiri tetapi sudah
melibatkan RPKAD dari Solo. Pertemuan antara PNI dan kelompok tentara ini atas
informasi yang diberikan oleh pengurus pusat PNI.
Ketidak percayaan PNI atas informasi tersebut karena dari pihak PNI sendiri
mendapat informasi kalau orang PKI akan merencanakan pemberontakan. Isu
pemberontakan itu didapat dari orang –orang yang mengatas namakan diri sebagai
kader Pemuda rakyat (identitas tidak jelas) tidak sepaham dengan gerakan PKI.
Mereka datang ke tokoh PNI dan menyampaikan bahwa PR sedang mengadakan
penggalangan masa besar –besaran untuk melakukan pemberontakan.(Bantu)
Selain itu dari pihak yang mengatas namakan diri Slamet tokoh PKI Ampel lewat
surat yang disampaikan kepada Kapolres R.Suyoto lewat istrinya yang isinya
bahwa PKI akan melakukan pemberontakan dan sudah direncanakan. Dari
informasi itu maka Kapolres mengadakan pertemuan tertutup yang di ikuti oleh
Ansor, Kokam dan Pemuda Marhen.(Shaleh. M)
Isu yang berkembang dan membuat kecurigaan besar antar tokoh partai yaitu
ketika ada isu akan dibunuhya tokoh NU dan PNI oleh orang PKI. Bahkan dalam
rencana pembunuhan itu sudah disiapkan rencana yang matang oleh orang –
orang PKI. Rencana tersebut akan diundangnya tokoh partai – partai selain PKI,
dalam acara Wayangan yang di adakan di Pendopo Kabupaten. Isu yang
berkembang yaitu ketika tokoh partai yang datang akan di bunuh dan di masukkan
dalam lubang sumur – sumur yang sudah disiapkan. Ditambah dengan di
adakannya patroli yang merekrut dari pemuda – pemuda partai keculai dari
Pemuda Rakyat.
Patroli yang berfungsi untuk mengamankan stabilitas masyarakat beralih fungsi
menjadi patroli penangkapan terhadap orang –orang terlibat PKI. Patroli ini
sebenarnya bertujuan untuk mengamankan kota dari serangan orang – orang PKI
yang dianggap telah memberontak. Kalau hanya menjaga kota dan mengamankan
ternyata tidak membuahkan hasil, karena yang ditungu –tunggu tidak datang
maka ada inisiatif untuk melakukan gerakan penangkapan dan operasi
pembersihan. Penangkapan terhadap orang yang terlibat PKI ini berjalan lama
karena harus mengidentifikasi sampai ke desa – desa.(Shaleh.M)
Saat operasi berjalan sampai ke daerah kantong – kantong PKI tidak ada
perlawanan sama sekali dari pihak PKI. Mereka yang ditangkap langsung
diserahkan kepada tentara dalam hal ini adalah RPKAD sebagai koordinator
operasi. Ada beberapa daerah yang mengadakan perlawanan dengan melakukan
penebangan pohon – pohon. Penebangan pohon itu terjadi didaerah Mojosongo
arah ke Solo sampai di Banyudono/ Ngangkruk (Shaleh & Maskkyuri). Terjadinya
penebangan pohon dan pembakaran yang dilakukan oleh orang – orang PKI
tersebut untuk menghalang gerakan RPKAD dalam melakukan operasi terhadap
orang PKI. Dalam operasinya Patroli ini tidak pernah menemukan orang yang
melakukan aksi penebangan tersebut dan ketika bertanya kepada masyarakat
sekitar jawabnya tidak tahu. Aksi pembakaran dan penebangan pohon tersebut
pada hari Jumat pahing.(Pomo)
Didesa Randusari kecamatan Teras basis BTI terjadi Pembakaran rumah – rumah
penduduk yang dilakukan oleh Operasi yang terdiri dari Marhen gadungan dan
aparat tantara. Selain pembakaran juga melakukan sweeping terhadap tokoh
masyarakat baik itu kepala desa maupun yang lainnya. Pembakaran tersebut
terjadi pertengahan Oktober 1965 setelah Tragedi di Jakarta.(Harto) Pembakaran
juga terjadi di desa Galsari tepatnya di selatan Desa Randusari. Kalau pembakaran
di Randusari dilakukan oleh Operasi dan Marhen Gadungan, tetapi di Galsari isunya
dilakukan oleh orang – orang PKI. Selain isu pembakaran juga terdengar isu akan
adanya penangkapan dan pembantaian terhadap orang PNI.(Suyit)
Selain terjadinya perlawanan PR terhadap operasi di daerah Mojosongo dan
sekitarnya, juga terjadi perlawanan dari arah utara. Penyerangan dari arah utara
tersebut tepatnya di daerah Sunggingan. Penyerangan itu terjadi pada hari Jumat
Pahing yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan Pemerintah yang setia.(Bantu)
Namun menurut pendapat Pak Diono, peristiwa yang terjadi pada hari Jumat
Pahing merupakan operasi yang dilakukan oleh barisan KAMMI/KAPPI dan tentara.
Operasi tersebut di lakukan di daerah Karanggeneng karena di daerah tersebut
sebagai basis PKI. Dalam operasi tersebut melakukan pembakaran terhadap rumah
tokoh dan penangkapan terhadap tokoh PKI tersebut. Karena sebelum adanya
peristiwa tersebut sudah ada beberapa Panser yang diparkirkan di beberapa pojok
kota Boyolali. (Diono & Makno)
Jumat Pahing Oktober 1965 operasi juga dilakukan oleh pihak tentara di daerah
Selo. Dalam operasi tersebut pihak tentara menangkap tokoh BTI pak Priyo pada
saat itu masih dalam perayaan jagong bayen. Ketika itu Pak Priyo yang
menyatakan diri langsung dibawa oleh tentara dan diajak keluar, namun tidak lama
kemudian terdengan suara tembakan. Setelah terjadi penembakan tersebut
selang beberapa menit ada surat panggilan dari kecamatan kepada pemuda–
pemuda muslim. Ternyata dalam panggilan itu tidak hanya pemuda Muslim saja
tetapi juga dari Pemuda Marhen untuk dijadikan relawan dalam operasi. Di
kecamatan ternyata sudah kumpul dari pasukan YON E dan Polisi dan memberikan
pengarahan bahwa PKI telah melakukan pemberontakan.
Meskipun didaerah Boyolali kota sudah terjadi operasi yang besar – besaran
terhadap PKI, namun di daerah Selo baru mengetahui setelah adanya panggilan
terhadap pemuda muslim yang mau dijadiklan relawan dan dilatih perang –
perangan oleh pihak kecamatan. Relawan tersebut dilatih selama 21 hari dan
jumlahnya 42 oarang. Suasana masyarakat menjadi panik dan mereka banyak
yang bersembunyi di lereng – lereng jurang. Dalam persembunyian ini yang
menjadikan keunikan, karena ternyata orang – orang yang berasal dari desa
Surodadi yang berbasis PKI sebelah utaranya --desa Tompak berbasis Muslim--
juga sedang sembunyi di lereng Jurang. Dari situ baru terdengar ternyata isu yang
berkembang di desa Surodadi tersebut akan diadakannya penyerangan yang akan
dilakukan oleh orang – orang agama/ Muslim.(Nasafi)
Orang – orang yang menjadi relawan dalam Operasi pada dasarnya tidak
mengetahui sebenarnya dan hanya berpedoman pada daftar yang diberikan oleh
tentara. Dalam daftar tersebut nama – nama yang tercantum diberi tanda
lingkaran merah, hijau dan kuning. Lingkaran merah target di bunuh, hijau di
tahan dan kuning harus diawasi aktifitas sehari – harinya.(Nasafi) Tanda itupun
berlaku di daerah lain meskipun model tanda tidak sama, namun targetnya sama
yaitu bunuh, penjara dan diwaspadai. Hal itu dialami juga oleh Suhardi, pada saat
isu pembunuhan yang simpang siur di masyarakat semakin santer, maka Suhardi
yang saat itu menjadi kepala desa dipanggil oleh Camat untuk menghadap
Kapolsek. Setelah sesampainya di Polsek dia disodori kertas yang berisi daftar
nama – nama dengan tanda tiga macam denang warna merah, silang panah, silang
dan dilingkari. Silang panah merupakan target bunuh karena tidak tahu maka dia
menanyakan kenapa itu terjadi pada dirinya. Dalam penjelasan polisi karena dia
dianggap memutuskan hubungan dengan negara karena tidak hadir dalam
pertemuan yang diadakan di Kecamatan pasca pertemuan di Kecamatan
Cepogo.(Suhardi)
Operasi dan Penangkapan
Proses penangkapan terhadap orang – orang yang dianggap PKI tidak melalui
proses yang jelas. Target penangkapan ini juga tidak jelas klasifikasinya mana
yang disebut tokoh PKI dan siapa sebagai simpatisan yang harus diwaspadai.
Karena dalam proses tersebut juga ada unsur suka tidak suka, unsur dendam
pribadi. Prose penangkapan seperti itu terjadi di beberapa daerah dan modus
operandingnya hampir sama. Seperti yang dialami oleh Pak Suhardi setelah dia
mengikuti pertemuan yang diadakan oleh pihak Muspida di kecamatan Cepogo ada
pertemuan yang diadakan pihak Kecamatan Ampel. Pertemuan yang diadakn di
kecamatan Ampel pada hari Sabtu Kliwon Oktober 1965. Pada kesempatan itu
ternyata informasi tidak sampi ketempat Pak Suhardi, karena undangan ada di
tempat Bayan I. Bayan I adalah rival pak Suhardi dalam Pilkades sebelumnya dan
ternyata kalah dan pernah membuat gerakan boikot kerja terhadap pamong yang
lain. Dengan alasan apapun yang akan di utarakan Pak Suhardi terhadap pihak
Pemerintah Kecamatan tetap tidak bisa di terima. Ketidak hadirannya dalam
pertemuan kepala desa yang diadakan pihak kecamatan maka dianggap telah
memutuskan hubungan dengan negara.
Pada hari Jumat Pahing 22 Oktober 1965 di daerah Selo penangkapan terhadap
anggota BTI juga terjadi. Kondisi keamanan di Selo tersebut masih baik belum ada
isu PKI memberontak. Kondisi ini di tunjuuk dengan adanya jagong bayen yang
diadakan oleh salah satu warga desa. Pada saat itu masyarakat melakukan hajatan
pada malam hari dan di hadir siapapun. Di pertengahan acara hajatan tersebut tiba
– tiba datang tentara yang mencari salah seorang warga. Nama saah seorang
warga tersebut adalah Pak Priyo dia adalah anggota BTI. Pada waktu itu Pak Priyo
dipanggil kerena ada sesuatu yang penting harus di selasaikan. Karena dianggap
dimintai bantuan oleh pihak tentara dan tidak merasa curiga apapun maka Pak
Priyo keluar dan mengikuti. Masyarakat yang menyaksikan juga tidak curiga atas
kejadian tersebut. Namun setelah beberapa menit kemudian terdengar tembakan.
Baru beberapa hari kemudian di ketahui bahwa Pak Priyo telah mati tertembak di
dadanya.
Pada tanggal 5 Oktober 1965 kecamatan Teras masih belum ada isu
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Baru tanggal pertengahan Oktober 1965
terjadi pembakaran dan penangkapan terhadap orang– orang PKI. Pembakaran
tersebut terjadi di desa Randusari yang merupakan basis BTI. Pengalaman yang
dialami oleh Mbah Suharto (lurah Randusari), pada tanggal 5 Oktober istrinya
melahirkan anaknya yang terakhir. Karena itu dia selama sepasar tidak berangkat
ke kantor sampai upacara sepasaran selesai. Setelah upacara sepasaran selesai
maka dia berangkat ke kantor. Pada siang harinya ternyata di daerah Randusari
bagian utara telah terjadi pembakaran rumah penduduk. Pembakaran itu berjalan
ke selatan, selain melakukan pembakaran mereka juga berteriak yang menyangkut
nama seseorang akan dibunuh dan kelompok. Salah satu nama yang disebut
adalah saya, maka pada saat itu Mbah Suharto dengan melepaskan seragamnya
melarikan diri tanpa pulang dulu untuk mengajak anak istrinya. Seharian dalam
persembunyiannya dia teringat anak dan istrinya. Setelah waktu malam datang dia
kembali kerumahnya dan ternyata rumahnya telah menjadi bara api.
Sebagai PNS di Jawatan Pertanian yang bertugas di Semarang pulang pergi
Boyolali Semarang sudah biasa dilakukan oleh Pak Ponco. Karena kondisi tidak
tenang maka dia memutuskan pulang kedesa Boyolali. Kondisi masyarakat juga
masih tenang – tenang, hubungan antar masyarakat relatif baik. Pada tanggal 26
November 1965 Pak Ponco mendapat panggilan dari pihak Kepolisian Sektor
Sawit. Ketika dia datang ke Polsek, ternyata dia dinyatakan terlibat PKI sehingga
dia di tahan dan keluarganya tidak di beri tahu. Setelah ditahan beberapa hari di
Polsek Sawit kemudian di pindahkan ke YON E. Boyolali.
Hari Jumat Pahing 22 Oktober 1965 di daerah Sunggingan, Boyolali terjadi
pembakaran rumah dan penangkapan yang dilakukan oleh pemuda KAMMI /KAPPI
dan Tentara. Yang menjadi korban adalah tokoh – tokoh BTI desa Karanggeneng.
Selain pembakaran Sabtu Ponnya tanggal 23 Oktober 1965 juga dilakukan
pengejaran terhadap orang – orang PKI. Kemudian hari Seninnya masih melakukan
pembakaran lagi terhadap rumah warga yang dianggap BTI. Salah satu rumah
yang terbakar adalah rumah Pak Diono (anggota PGRI Non fakcentral). Pada
tanggal 11 Februari 1966 Pak Diono ditangkap oleh operasi dan dipenjarakan
sementara di Candra Boyolali. Dalam introgasi yang dilakukan oleh tentara dia
dituduh akan membunuh orang lain/ tetangganya. Karena tidak merasa melakukan
tuduhan itu maka dia menjawab tidak namun itu semua tidak mempengaruhi
penangkapannya. Dalam penangkapan itu keluarganya tidak diberi tahu sama
sekali sampai akan dipindahkan ke Nusakambangan.
Penyiksaan, Pembantaian dan Pengasingan
Penangkapan yang dilakukan oleh pihak Operasi selama berjalan masih
meninggalkan luka yang amat dalam. Karena tidak hanya penangkapan semata
namun juga penyiksaan psikis dan fisik. Penderitaan itu tidak hanya dialami oleh
satu dua orang yang dianggap tokoh saja. Namun penderitaan itu jga dialami oleh
ribuan orang Boyolali yang menjadi korban atas tuduhan PKI.
Perlakuan tidak manusiawi merupakan pnyiksaan yang dialami oleh sebagian besar
Tapol (tahanan politik). Pak Suhardi misalnya, selama di penjara YON E. Dia
diperlakukan secara sadis pihak tentara. Selain pisik secara psikis mereka juga
diperlakukan seperti binatang. Bukan hanya di YON E di Penjara Nusakambangan
juga dialami sama, malah disana perlakuan antar Tapol dan Napi malah lebih baik
Napi. Bahkan Napi malah dijadikan sebagai penyiksaa orang – orang Tapol. Selain
itu kesejahteraan yang deberikan juga lebih baik Napi. Setelah beberapa bulan di
Nusakambangan maka dipindahkan ke Pulau Buru, dengan pemindahan ini semoga
mendapat perubahan itu yang menjadi harapan setiap Tapol. Namun apa yang
terjadi ternyata di Pulau Buru malah semakin menyakitkan dan penuh dengan
perjuangan untuk menpertahankan hidup.
Dalam penyiksaan terhadap orang yang dianggap PKI itu, antara satu dengan yang
lainnya juga tidak sama. Mbah Suharto misalnya, karena rumahnya sudah hangus
terbakar maka dia menyelamatkan diri. Dalam penyelamatannya dia sadar kalau
salah kenapa harus sembunyi, maka dia menyerahkan diri kepada pihak operasi.
Oleh operasi diserahkan kepada RPKAD dan dihajar oleh tentara sampai tidak
sadarkan diri. Sehingga mendapatkan perawat khusus dari pihak kesehatan di
dalam tahanan. Penderitaan secara mental, karena keluarga tidak di beritahu maka
dia dianggap sudah mati dan sudah diselameti ini yang membuat dia sakit secara
psikis. Setelah beberapa hari di YON E Boyolali, kemudian dipindahkan ke
Nusakambangan dipulau terpencil tersebut ternyata perlakuan juga tidak
manusiawi sama seperti yang dialami oleh Pak Suhardi. Setelah dua tahun di
Nusakambangan dia dipindahkan ke Pekalongan, perlakuan juga tetap sama tidak
manusiawi. Beberapa bulan di Pekalongan kemudian dipindah ke Nusakambangan
lagi selama 6 bulan baru kemudian di asingkan ke Pulau Buru. Dipulau tersebut
nasib juga tidak berubah.
IV. KONDISI MASYARAKAT PASCA OPERASI
Operasi penangkapan terhadap PKI menyisakan luka yang dalam bagi masyarakat
luas Boyolali yang tidak tahu apa – apa tentang PKI. Ketakutan, trauma,
kehilangan sanak saudara, kehilangan harta dan pengucilan dari masyarakat
sesuatu kondisi yang mengenaskan yang dialami oleh orang – orang eks. Tidak
hanya itu bagi mereka yang akan melakukan aktifitaspun harus mendapat surat
izin, pengawasan dan wajib lapor kepada pihak berwajib. Tidak saja mereka yang
terlibat menyandang predikat orang OT/eks, namun anak–anak mereka juga harus
mengalami nasib yang sama seperti orang tuanya. Anak mereka juga tidak
sebebas anak orang lain yang tidak terjaring operasi.
Bukan hanya harta yang hilang, namun istripun harus meninggalkannya itu yang
dialami oleh Pak Suhardi. Karena dibuang terlalu lama dalam pengungsingan dan
kabar yang tidak menentu membuat istrinya memutuskan tali keluarga yang
selama ini mereka bina dalam mengarungi suka dan duka. Selain istri yang
meninggalnya orang tuanyapun dipaksa oleh pihak pemerintah desa setempat
untuk menanda tangani sertifikat tanah yang akan dijual pemerintah desa kepada
orang lain. Sampai sekarang tanah yang sebenarnya menjadi hak miliknya menjadi
milik orang lain, tidak tahu kenapa statusnya berganti, padahal tidak merasa
menjual.
Penahanan yang tidak melalui proses yang jelas berimplikasi pada spekulasi
keluarga yang ditinggalkan. Mbah Suharto misalnya, karena penyerahan dirinya
kepada pihak Operasi dan mendapat perlakuan tidak manusiawai keluarga yang
mendapat kabar menganggap sudah meninggal. Karena keluarga yang di tinggal
juga berada dalam pengungsian. Setelah keluarga yang ditinggal pulang ketempat
orang tua maka dengan kesedihan mereka melakukan upacara peringatan tujuh
hari kematian Mbah Suharto. Tidak hanya itu ketika sudah keluar dari pengasingan
dari Pulau Buru dan dinyatakan tidak terlibat PKI, anaknya yang sudah lama
menjadi ABRI dan Bidan dipecat dengan tidak jelas alasannya. Sampai anaknya
yang lahir tanggal 5 Oktober1965 harus selalu mengalami litsus yang diadakan
sekolahnya.
Semua itu tidak hanya dialami oleh dua orang tersebut namun mereka yang
pernah terdaftar oleh pihak operasi atau desanya yang berbasis BTI akan
diperlakukan sama. Makno adalah seorang pemuda Marhaen karena desa sebagai
basis BTI dan kakaknya merupakan ketua PR maka pada tahun 1986 dicap sebagai
PKI dan harus dicurigai.
Itulah kondisi masyarakat Boyolali pasca terjadi G 30.September yang mereupakan
misteri yang belum terkuak siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang
melakukan pembantaian terhadap 6 Jenderal 1 sersan. Rakyat kecil yang tidak
tahu apa – apa juga ikut menjadi korban, padahal mereka hanya ikut – ikutan atau
malah balas jasa kepada kelompok yang selama ini memperjuangkan hak, dan
nasib mereka.
Rentang Waktu, Tempat dan Peristiwa di Boyolali
Tanggal 1 Oktober 1965
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap 7 Jenderal, dengan adanya
peristiwa tersebut masyarakat tetap tenang dan tidak ada gerakan apapun.
Meskipun ada beberapa masyarakat yang tahu informasi dari siaran RRI tersebut,
namun tetap tenang tidak ada kejadian apapun.
Tanggal 5 Oktober 1965
Dalam rangka peringatan hari TNI maka diadakan upacara bersama yang diikuti
oleh semua partai bersama satuan pemudanya, ormas, OKP. Dalam Satu minggu
ini, setelah kejadian di Jakarta Muspida Kabupaten Boyolai mengadakan
pertemuan dan koordinasi dengan beberapa ormas, Partai dan OKP Partai di
pendopo Kabupaten. Dalam koordinasi tersebut Bupati menghimbau agar
masyarakat tenang dengan adanya kejadian di Jakarta. Keran dianggap peristiwa
tersebut merupakan intern TNI. Selain mengadakan pertemuan di Pendopo,
Muspida juga mengadakan pertemuan di Kepcamatan Cepogo, yang diikuti oleh
Kepala desa dan Carik sekecamatan Selo, Ampel dan Cepogo. Dalam pertemuan
itu bupati juga menghimbau kepada masyarakat agar tenang dengan adanya
peristiwa di Jakarta karena yang melakukan pemberontakan di Jakarta adalah
Pasukan Cakrabirawa.
Sekitar tanggal 8 Oktober 1965
Ada koordinasi sepihak yang dilakukan oleh PNI dan tentara karena dalam
informasikan yang disampaikan oleh Bupati dirasa tidak benar. Selain itu dari pihak
PNI lewat ketua Cabangnya mengintruksikan supaya berkoordinasi dengan pihak
tentara karena mendapat intruksi dari pusat. Di dalam tubuh tentara kususnya
Kodim Boyolali diadakan penyeleksian terhadap tentara yang terlibat PKI
melibatkan pemuda Marhaen. Dari pihak Ansor mengadakan koordinasi tertutup
dengan pihak Kapolres, dirumah dinas Kapolres. Dengan adanya informasi dari
orang yang mengatas namakan diri sebagi orang PKI datang dari Ampel. Surat
yang di sampaikan oleh seorang perempuan mengaku sebagai istri tokoh PKI
Ampel tersebut berisi tentang rencana pemberontakan PKI.
Tanggal pertengahan Oktober 1965
Terjadi pembakan rumah warga yang dianggap sebagai orang – orang PKI di
daerah Kecamatan Teras khususnya di desa Randusari.
Hari Jumat Pahing, 22 Oktober 1965
Di daerah Mojosongo, Teras sampai ke Bangak terjadi aksi penebangan pohon
yang dilakukan oleh pihak PKI dalam rangka untuk menghadang gerakan RPKAD.
Selain itu juga ada pembakaran rumah warga dan penangkapan yang dilakukan
oleh pemuda KAMMI/ KAPPI dan tentara di daerah Karanggeneng
Di Kecamatan Selo belum ada isu operasi terhadap orang – orang PKI. Informasi
adanya pemberontakan PKI itu datang dari YONE yang mengadakan operasi sampi
di Selo. Operasi ini telah melakukan penembakan terhadap salah satu warga yang
dianggap BTI. Setelah terjadi penembakan itu baru kondisi di masyarakat mulai
panik dan kacau. Selain isu PKI mengadakan pemberontakan juga diadakannya
perekrutan masa yang di koordinir oleh pihak kecamatan dan dilatih oleh YON E
dari Boyolali.
Sabtu, 23 Oktober 1965
Terjadi pengejaran terhadap orang – orang PKI di daerah Karanggeneng oleh pihak
KAMMI/ KAPPI dan tentara.
Senin 25 Oktober 1965
Terjadi pembakaran rumah warga di daerah Karanggeneng. Rumah yang menjadi
korban pada saat itu 9 rumah.
Hari Sabtu Kliwon akhir Oktober 1965
Di daerah Kecamatan Ampel diadakan operasi, mdengan mendaftar kepla desa
yang tidak ikut dalam pertemuan. Selain itu juga penangkapan bagi tokoh
masyarakat dan BTI.
Operasi – operasi yang dilakukan oleh RPKAD itu selama tiga bulan di Boyolali,
setelah itu diserahkan kepada YON E untuk menangani keamanan di Boyolali.
Pengamanan yang dilakukan YON E tidak hanya menstabilkan situasi tetapi juga
melakukan operasi yang sama seperti dilakukan oleh RPKAD.
2002 © LKTS I Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial