“Putih Kata Bung Karno, Putih Kata KKO…. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO”
Letjen KKO Hartono
Letjen KKO Hartono, adalah Perwira tinggi yang berani terang- terangan mendukung Bung Karno. Ucapannya yang terkenal adalah “Putih Kata Bung Karno, Putih Kata KKO…. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata KKO” ini adalah ucapan kesetiaan prajurit komando pada
pimpinan. Tak lama setelah itu ada demo di jalan yang dilakukan prajurit KKO di Surabaya. Slogan terkenal Demo itu adalah “Pejah Gesang Melu Bung Karno” Hidup Mati Ikut Bung Karno. Kejadian itu di tahun 1966.
Sumitro dilantik Suharto
Hal ini jelas membuat khawatir Suharto, maka Suharto memerintahkan Jenderal Sumitro untuk ke Surabaya yang tujuan utamanya adalah memapankan kekuasaan Suharto. Di Surabaya Soemitro mengumpulkan semua mantan Panglima Brawijaya, kecuali Panglima Brawijaya yang pertama Imam Soedja’i yang emang udah meninggal di tahun 1953.
Sumitro
Disana Sumitro juga mengeliminir perbedaan antara Resimen Ronggolawe dengan Resimen Narotama yang selalu menjadi rivaal di dalam tubuh Brawijaya. Sumitro juga melancarkan serangan ke Jenderal Hartono, yang kemudian akhirnya Jenderal KKO Hartono di dubeskan ke Pyongyang tahun 1968.
Saat menjadi Dubes Korea di Pyongyang ia dipanggil di Jakarta pada tahun 1971 dan kemudian dikabarkan bunuh diri. Tapi apa benar kabar Letjen KKO Bunuh diri? banyak yang meragukan termasuk Ali Sadikin. banyak berita yang mengabarkan hal ini, dan sepertinya pernah juga diangkat sebagai berita selidik kasus di Stasiun Televisi Swasta. Ini salah satu kabar tentang keraguan Letjen KKO bunuh diri.
KEMATIAN LETJEN KKO HARTONO MASIH MISTERI
Seandainya Pemerintah Orde Baru mau berterus terang lewat berbagai argumentasi ilmiah, mungkin kematian Letnan Jenderal KKo (sekarang Marinir) Hartono yang sudah terjadi 28 tahun lalu tidak lagi menjadi bahan pembicaraan Negatif di kalangan rekan sejawatnya.
Korban yang dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan pada tanggal 7 Januari 1971 diduga meninggal di kediamannya jalan Prof Dr Soepomo akibat pembunuhan oleh orang tak dikenal.
Bukan seperti yang dijelaskan secara tersembunyi oleh rezim Orde Baru sebagai bunuh diri dengan menggunakan senjata api pistol miliknya sendiri.
Beberapa sahabat korban yang sampai saat ini belum yakin benar rekannya itu meninggal akibat bunuh diri adalah Letjen KKo (Pur) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jaya dan Laksamana Madya Rachmat Sumengkar, mantan Wakil KSAL.
Kedua tokoh TNI AL ini menyebutkan, sulit untuk mengatakan Letjen KKo Hartono bunuh diri hanya dengan data yang ditemukan di kediaman korban pada waktu itu.
Ditambah lagi dengan data yang menyebutkan, korban tidak divisum oleh dokter Rumah Sakit Angkatan Laut ataupun RSCM yang waktu itu dinilai netral setelah ditemukan meninggal di rumahnya sekitar pukul 05.30. Tapi oleh petugas rezim Orde Baru, mayat korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat.
Baru setelah itu mayatnya disemayamkan di rumahnya untuk kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk dimakamkan secara militer dengan inspektur upacara KSAL Laksamana Madya Soedomo.
Disebutkan, dari data yang mereka miliki terlihat korban bukan tipe manusia yang mudah putus asa. Apalagi mau bunuh diri hanya karena ada dugaan ia putus asa atas hasil pekerjaannya yang tidak berhasil sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Korea Utara. ” Saya masih ragu jika Letjen Hartono disebut sebagai bunuh diri”, ujar Rachmat Sumengkar yang saat ini berwiraswasta pada Pembaruan, Rabu lalu.
Pendapat kedua tokoh TNI AL ini ditepis oleh Komandan Korps Marinir TNI AL Mayor Jenderal (Mar) Soeharto di Surabaya Rabu lalu yang menyebutkan, Letjen KKo Hartono, salah seorang tokoh pendiri Marinir, benar meninggal akibat bunuh diri.
Semua data tentang peristiwa kematian Letjen KKO Hartono menguatkan jika mantan komandannya itu bunuh diri dan tidak perlu dijadikan sebagai polemik di masyarakat.
Perlu Ditelusuri
Keterangan ini membuat beberapa rekan korban tetap berkeinginan agar peristiwa kematian Letjen KKO Hartono ditelusuri kembali oleh pemerintah agar masalahnya bisa jelas dan tidak menjadi bahan pertanyaan generasi muda dimasa mendatang. Jika kasus kematian korban tetap dinyatakan sebagai bunuh diri hanya dengan data yang ada dari rezim Orde Baru dikhawatirkan pertanyaan terus berlangsung. Dan generasi muda mendatang mendapatkan sejarah bahwa seorang tokoh Marinir pernah membuat kesalahan dengan bunuh diri.
Disebutkan, apakah kematian korban ada kaitannya dengan ucapannya yang pernah menggegerkan masyarakat yang menyebutkan, “Putih kata Presiden Sukarno, putih pula kata KKO. Hitam kata Presiden Sukarno, hitam pula kata KKo”. Jika hal ini ada kaitannya, perlu ada penelusuran agar sejarahnya bisa diluruskan.Demikian pula bila bila sebaliknya perlu dijelaskan kepada masyarakat.
Sementara itu dalam berita harian Sinar Harapan tertanggal 7 Januari 1971disebutkan, kematian Letjen KKO Hartono diliputi misteri. Sebelum ditemukan meninggal di rumahnya, korban yang menjabat sebagai Dubes di Korea Utara dipanggil ke Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan beberapa pejabat penting di Departemen Luar Negeri dan Kopkamtib. Ia berada di Jakarta sejak 19 Desember 1970 dan merencanakan kembali ke Pos tugasnya di Pyongyang pada hari ia ditemukan meninggal.
Selama berada di Jakarta selain bertemu dengan Menlu Adam Malik dan Presiden Soeharto yang bersangkutan juga berkunjung ke Kopkamtib pada tanggal 29 Desember 1970. Tidak diketahui apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu.
Korban ditemukan tergeletak di lantai kamarnya oleh ibu kandungnya yang sudah tua dalam keadaan berlumuran darah akibat tembakan peluru pistol di bagian belakang kepala. Pistol yang menyebabkan kematian korban ditemukan tergeletak dekat mayat korban.
Karena korban adalah warga KKo AL, pihak pertama yang segera dihubungi adalah Komandan KKo Mayjen Mukiyat yang segera datang ke lokasi kejadian.
Kemudian datang juga KASAL Soedomo dan Kolonel CPM NICHLANY. Mayat korban kemudian dibawa ke RSPAD untuk mendapatkan visum dokter. Almarhum yang lahir di Solo 1 Oktober 1927 memulai kariernya sebagai anggota marinir pada tahun 1945 dengan pangkat Letnan Muda. Dan puncak kariernya di TNI AL adalah Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut pada tahun 1966. Sesudah itu tanggal 8 November 1968 ia diangkat menjadi Dubes RI di Korea Utara.