Di awal perjuangan revolusi kemerdekaan pada bulan-bulan akhir tahun 1945 keadaan dalam kota Padang tidak terhindar dari pergolakan rakyat menghadapi polah tingkah pihak NICA yang berlindung dibelakang kekuatan Sekutu. Insiden-insiden ataupun tindakan-tindakan kekerasan dengan penggunaan senjata antara angkatan revolusioner Indonesia menghadapi gerakan anti revolusi makin meningkat. Culik-menculik atau saling curiga mencurigai juga tidak dapat terhindar dalam sama-sama bertugas. Dalam suasana beginilah seorang kader Polisi RI (Amir Mahmud) diculik oleh “kaum ekstremist” dan dilarikan arah ke Marapalam (waktu itu masuk Padang Luar Kota). Di Markas BKR/ TKR di Marapalam ini Amir Mahmud di “verhoor” oleh seorang yang bertindak sebagai pemimpin “ekstremisten” tadi, bernama Sidi Amir Hosen. Pertemuan yang dimulai dengan “kecurigaan” ini akhirnya diselesaikan dengan “persaudaraan” sama sama berjuang untuk menegakkan Republik Indonesia.
Letnan I Sidi Amir Hosen dan Inspektur Pol. I Amir Mahmud sama-sama memanjangkan
jenggot selama bergerilya 1948/1949 (foto koleksi/dok. Adrin Kahar)
Waktu pusat pemerintahan Sumatera Barat dipindahkan dari Padang ke Bukittinggi, maka kota Bukittinggi ini juga menjadi tempat kedudukan markas TNI Divisi IX/Banteng (kemudian menjadi Sub Teritorium Sumatera Barat) dan Markas Kepolisian Keresidenan Sumatera Barat. Menjelang terjadinya gerakan aksi polisionil militer Belanda II (19 Desember 1948) dua Amir yang berkenalan dalam “perjuangan di sekitar Padang”, masing masingnya mereka mempunyai jabatan atau kedudukan: (1) Sidi Amir Hosen, Letnan I sebagai Kepala Detasemen Staf, TNI Sub Teritorium Sumatera Barat.
Bukittinggi ternyata dalam aksi polisionil Belanda II telah menjadi sasaran dan penguasaan pendudukan militer Belanda. Tanggal 22 Desember 1948 pasukan pasukan Belanda memasuki Bukittinggi, setelah terlebih dahulu menerobos pertahanan pihak Republik Indonesia di Padang Area (Front Timur dan Front Utara). Sesuai dengan strategi dan taktik perjuangan yang digariskan masa itu, aparat-aparat pemerintah Republik Indonesia meninggalkan kota-kota dan melanjutkan perjuangan dengan jalan bergerilya dari daerah pedalaman mengadakan perlawanan terhadap kekuatan penjajah.
Konsolidasi pemerintahan beserta kesatuan angkatan bersenjata dan kekuatan rakyat semesta di keliling kota Bukittinggi, telah mewujudkan Daerah Pertempuran Agam dibawah pimpinan Letnan Kolonel Dahlan Jambek. Daerah pertempuran Agam ini terdiri dari sektor-sektor dengan pimpinannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Sektor I / DPA dikenal dengan Front Kamang dipimpin oleh Letnan I Sidi Amir Hosen
Sektor II / DPA dikenal dengan Front Palupuh dipimpin oleh Inspektur Polisi I Amir Mahmud
Sektor III / DPA dikenal Front Sungai Puar dipimpin oleh Kapten Jusuf Black Cat.
Sebagaimana juga terdapat di Daerah Pertempuran lainnya di Sumatera Barat, dalam DPA Agam pun terhimpun kekuatan kekuatan rakyat bersenjata selain dari pada TNI dalam bergerilya tercatat kesatuan kesatuan Mobiele Brigade (MOBBRIG) Polisi, Tentara Pelajar (TP), Pasukan Mobil Teras (PMT) bersama Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK).
Sehabis bergerilya dan kembali masuk kota Bukittinggi, pula sebelum Amir Mahmud dan Amir Hosen berpisah untuk menempati kedudukan dan tempat perjuangan masing-masing selanjutnya mereka telah sempat bergambar bersama di awal tahun 1950 juga sebelum mereka akan membersihkan jenggot yang sengaja dipanjangkan semasa bergerilya.
Adrin Kahar (Haluan Minggu, 20 November 1994)
Sumber, http://aswilblog.wordpress.com