Sayidiman
Suryohadiprojo
Hubungan
saya dengan Jenderal Anumerta Achmad Yani bermula dengan perkenalan saya dengan
beliau pada tahun 1956. Waktu itu Pak Yani yang baru selesai mengikuti
pendidikan di Command & General Staff College di Fort Leavonworth (AS)
ditetapkan sebagai Assisten 2 Operasi di Staf Umum AD (SUAD) di Jakarta. Jenderal
A.H. Nasution yang waktu itu menjadi Kepapa Staf AD (KASAD) telah menarik Pak
Yani dari komando Tentara & Territorium III (TT 3) Jawa Tengah untuk
dikirimkan ke pendidikan di AS itu. Pak Nas melihat kwalitas Pak Yani yang
tinggi sebagai Perwira yang ketika itu dibuktikan oleh Pak Yani sebagai
Komandan Resimen. Sebagai Dan Men Pak Yani telah berhasil mengatasi masalah
Darul Islam (DI/TII) yang terjadi di Jawa Tengah bagian barat. Pak Yani
membentuk pasukan yang diberi nama Banteng
Raiders, satu pasukan yang diberi
latihan khusus seperti yang kemudian ada pada Pasukan Komando. Dengan pasukan
itu diselesaikan masalah DI/TII tersebut dengan sukses.
Maka
setelah Pak Yani kembali dari pendidikan di AS, Pak Nas menetapkan beliau
menjadi Assisten Operasi SUAD. Bersama dengan itu teman saya Alwin Nurdin yang
menjabat komandan batalyon (Dan Yon) 306 juga ditarik ke SUAD 2 untuk membantu
Pak Yani dalam pengurusan Operasi TNI-AD. Alwin Nurdin yang berpangkat mayor
telah menyelesaikan pendidikan staf di Hogere Krijgschool (HKS) di negeri
Belanda pada tahun 1954. Pak Nas juga yang pada tahun 1952 mengirimkan Alwin ke
Belanda setelah ia menjadi peserta yang lulus terbaik dari pendidikan Kursus
Persiapan HKS yang diselenggarakan SUAD pada tahun 1951 di Jakarta. Saya juga
menjadi peserta kursus itu dan sebenarnya lulus kedua. Akan tetapi saya masih
berpangkat letnan satu dan Belanda menetapkan pangkat kapten atau lebih tinggi
untuk masuk HKS. Maka karena disediakan dua tempat oleh Belanda, yang berangkat
bersama kapten Alwin Nurdin adalah kapten Gerungan.
Setelah
kembali dari pendidikannya di Belanda, Alwin Nurdin ditetapkan menjadi Dan Yon
306 Siliwangi. Pada tahun 1956 saya diangkat menjadi Dan Yon 309 Siliwangi,
yang dalam tugas di Priangan Timur bertetangga dengan Yon 306. Selain itu saya
sudah kenal baik dengan Alwin Nurdin sejak bersama-sama menjadi peserta Kursus
Persiapan HKS. Satu saat saya ada kesempatan cuti yang saya gunakan untuk pergi
ke Jakarta. Di Jakarta antara lain saya menengok kawan saya Alwin di SUAD 2 ,
melihat apa sudah senang dengan tugas baru. Ketika sedang omong-omong dengan
Alwin tiba-tiba Pak Yani yang atasan Alwin masuk di ruangannya. Saya berdiri
dan menghormat Pak Yani yang berpangkat kolonel, sedang saya berpangkat kapten.
Alwin memperkenalkan saya kepada Pak Yani yang rupanya sudah pernah mendengar
tentang saya. Mungkin karena dalam bertugas di Siliwangi pasukan saya pernah
bertetangga dengan pasukan Diponegoro (Jawa Tengah) yang menjadi bagian komando
Pak Yani. Atau mungkin juga mendengar bahwa pada tahun 1952 saya ditugaskan Pak
Nas mengikuti pendidikan di AS karena tak dapat mengikuti pendidikan di HKS
Belanda. Ketika berkenalan dengan Pak Yani saya sedang memimpin Yon 309 di
Priangan Timur dengan Pos Komando Batalyon di Malangbong. Pak Yani sebagai
Assisten Operasi AD dan dengan banyak pengalaman menghadapi DI, menanyakan
berbagai hal kepada saya tentang kondisi operasi. Maka pembicaraan kita cukup
lama di kamar Alwin Nurdin. Itulah perkenalan saya dengan Pak Yani.
Akan
tetapi setelah itu kita tak pernah ketemu lagi karena memang beda tugas dan
daerah. Ketika Pak Yani memimpin operasi menghadapi PRRI di Sumatra Barat, saya
dengan Yon 309 bertugas di Tapanuli dalam Resimen Tim Pertempuran Siliwangi
(RTP Slw) di bawah pimpinan letnan colonel UmarWirahadikusumah. Jadi beda
daerah sekalipun sama-sama menghadapi PRRI.
Saya
baru bertemu Pak Yani lagi pada akhir tahun 1962 ketika saya sebagai Komandan
Resimen Taruna Atekad ditetapkan oleh kolonel Surono, Gubernur Akademi Militer,
untuk menjadi Komandan Upacara pada Wisuda Taruna AMN tahun 1962 yang dilakukan
di Magelang. Sejak tahun 1960 Akademi Teknik AD (Atekad) menjadi bagian AMN.
Karena itu Wisuda Taruna akan terdiri dari Taruna AMN Magelang yang
menghasilkan Perwira AD untuk cabang Infanteri, Artilleri dan Kavaleri, dan
Taruna Atekad Bandung yang menghasilkan Perwira AD untuk cabang Zeni, Peralatan
dan Perhubungan.
Yang
menjadi Inspektur Upacara pada Wisuda Taruna itu adalah Presiden Sukarno.
Beliau didampingi Menteri Pertahanan dan beberapa menteri lain, dan juga KASAD
sebagai pimpinan atas AMN. Ketika itu sebutan KASAD telah berubah menjadi
Menteri Panglima TNI-AD dan yang menjabat adalah letnan jenderal Achmad Yani.
Setelah upacara selesai, saya didekati brigjen J. Muskita, wakil Assisten 2
SUAD, yang turut dalam rombongan Presiden dan Pangad. Ia bilang bahwa Pak Yani
mau ketemu saya dan saya diminta datang di Ruang Andrawina nanti setelah
rombongan selesai santap siang.
Saya
jalankan instruksi Pak Muskita dan kemudian ketemu Pak Yani. Setelah bicara
tentang hal-hal umum, Pak Yani mengatakan : Sayidiman kamu pindah ke SUAD bulan
depan untuk menjabat Paban Organisasi di SUAD 2. Bulan depan berarti Januari
1963. dan sejak itu saya ada di lingkungan yang dekat dengan Pak Yani. Sebagai
Paban Organisasi saya berfungsi mengurus Organisasi TNI-AD dengan aneka
persoalannya, baik di Pusat maupun Daerah. Maka mau tidak mau saya cukup sering
bertemu Pak Yani. Sekalipun ada Deputi Operasi, mayor jenderal Mursyid, dan
Deputi Administrasi, mayor jenderal Suprapto, dan ada pejabat di atas saya,
yaitu Assisten 2 Operasi, mayor jenderal Djamin Gintings, dan Wakil Assisten 2,
brigjen Muskita, toh tidak jarang saya dipanggil Pak Yani untuk membicarakan
hal-hal tertentu. Juga terjadi dalam Rapat Mingguan SUAD yang dipimpin Pangad
Ahmad Yani, saya cukup sering harus mewakili Assisten 2 dan Wakil Ass karena
kedua pejabat berhalangan. Sekalipun saya hanya jabatan Paban dan berpangkat
letnan kolonel, para Deputi dan Assisten Pangad serta Pangad sendiri selalu
memperhatikan dengan serieus hal-hal yang saya kemukakan.
Itulah
terutama yang mengesankan dari Pak Yani pada saya seumur hidup. Beliau seorang
pemimpin yang efektif, baik di lapangan maupun di staf, dan selalu secara
“demokratis” memperhatikan kondisi dan pendapat bawahan. Buat saya Rapat SUAD
yang dipimpin Pak Yani merupakan Rapat Staf yang paling bermutu yang pernah
saya alami. Tidak pernah ada masalah yang “bergantung” karena tak ada keputusan
pimpinan, dan tak pernah ada pembicaraan bertele-tele. Sebab mau tidak mau
semua peserta rapat menyesuaikan diri dengan sifat Pak Yani yang lugas-tegas
tapi fleksibel. Serta keputusan-keputusan yang cerdas sebagai hasil
pembicaraan.
Pada
tahun 1963 ada ujian masuk Seskoad. Sebagai lulusan Kupalda Infanteri saya
harus ikut ujian masuk itu sesuai dengan pembinaan karier Perwira TNI-AD.
Kebetulan saya lulus terbaik dalam ujian masuk itu. Atas hasil itu Pak Yani
memberikan kesempatan saya mengikuti pendidikan staf di luar negeri. Pilihannya
adalah di AS, Perancis, Jerman dan Inggeris. Karena saya telah cukup banyak
mengetahui system militer AS, saya tidak berminat masuk Command & Staff
College Ft Leavonworth. Saya juga kurang berminat ke Inggeris karena lebih
tertarik untuk mendalami Perancis atau Jerman. Akhirnya saya memilih masuk
Fuehrungs Akademie der Bundeswehr di Republik Federasi Jerman di Hamburg. Pak
Yani setuju pilihan saya. Malahan beliau secara pribadi membantu ketika timbul
kesulitan birokrasi di tingkat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) sehingga hampir
rencana berangkat saya batal atau tertunda. Pak Yani memanggil saya dan
memberikan surat yang harus saya sampaikan secara pribadi kepada Dr. Leimena.
Beliau pesan agar saya ketemu dan bicara sendiri dengan Pak Leimena dan bilang
bahwa Pak Yani yang minta saya menyerahkan surat itu. Untung saya berhasil
bertemu Pak Leimena cukup cepat. Hasil pertemuan itu adalah keluarnya keputusan
Pemerintah untuk pemberangkatan saya. Saya pikir, tanpa intervensi atau bantuan
Pak Yani besar kemungkian saya tak jadi berangkat. Bantuan beliau itu juga
indikasi bagi saya bahwa Pak Yani percaya kepada saya. Setelah
berangkat ke Jerman hanya sekali lagi saya ketemu Pak Yani pribadi. Pak Yani
sedang mengadakan perjalanan dinas di Eropa, termasuk ke Paris tetapi tidak ke
Jerman. Waktu itu saya sedang mengikuti pendidikan di Hamburg ketika mendapat
telpon dari Attache Pertahanan kita di Bonn, kolonel Wadli. Ia menyampaikan
bahwa ada perintah Pangad saya harus menemui beliau di Paris. Ketika saya lapor
kepada pimpinan pendidikan saya Perwira Jerman itu mengatakan : “Wah rupanya
pimpinan AD Indonesia kenal benar kepada Anda !” Saya dapat idzin pergi dan
bertemu Pak Yani di Paris. Di sana sambil minum kopi di pinggir Champs-Elysees
Pak Yani menanyakan berbagai hal. Mulai tentang perkembangan NATO sampai
pakaian malam Perwira (evening dress). Selama 3 hari berada di lingkungan Pak
Yani tumbuh kepercayaan saya bahwa TNI-AD sedang dan akan berada di tangan
pimpinan yang benar dan penuh harapan. Saya tak pernah mengira bahwa itu
pertemuan saya terakhir dengan Pak Yani.
Saya
kembali ke Jakarta dari Jerman pada tanggal 15 September 1965. Saya hendak
langsung melaporkan diri kembali kepada Pak Yani. Akan tetapi melalui Adjudan
beliau memerintahkan saya agar ambil cuti dulu 15 hari dan baru lapor, karena
beliau sedang sibuk. Terjadi peristiwa yang amat mendadak ketika saya sedang
ada di Bandung menjalankan cuti tiba-tiba G30S/PKI memukul. Dan yang menjadi
sasaran adalah pimpinan TNI-AD. Pak Yani, Pak Suprapto Deputi Administrasi AD,
Mas Haryono Irjen AD, Pak Suparman Assisten 1/Intel AD, Pak Pandjaitan Assisten
4/Logistik AD dan Mas Sutoyo Direktur Hukum AD menjadi korban pembunuhan
gerakan PKI itu. Kemudian juga Kapten Czi Pierre Tendean mantan Taruna saya di
Atekad lulusan tahun 1961 juga dibunuh ketika dengan gagah berani menyatakan
bahwa ia jenderal Nasution yang mereka cari. Para pembunuh yang tidak kenal dan
tidak tahu Pak Nas percaya dan Pierre ditawan untuk dibunuh di Lubang Buaya.
Dengan begitu Pak Nas selamat, sekalipun juga harus kehilangan puteri beliau
Ade Irma Suryani yang menjadi korban rentetan tembakan para pembunuh.
Saya
amat terkejut dan merasa sedih sekali kehilangan Pak Yani serta sangat menyesal
tidak sempat melaporkan hasil tugas pendidikan saya di Jerman. Sebab di Paris
beliau mengatakan agar saya sekembali dari Jerman memberikan laporan lengkap
tentang RF Jerman dan Bundeswehr-nya serta tentang perkembangan NATO. Pada usia
yang muda, baru berumur 43 tahun, Pak Yani sudah direnggut dari kehidupan yang
produktif dan penuh harapan untuk masa depan. Sebenarnya
hubungan saya dengan Pak Yani tidak lama, Berkenalan baru pada tahun 1956,
tetapi yang benar ada hubungan dekat baru sejak 1963 ketika saya ada di SUAD.
Dan pada tahun 1965 beliau wafat, jadi hanya 3 tahun hubungan saya dengan Pak
Yani. Akan tetapi dalam 3 tahun itu terjadi hubungan yang erat. Pada tahun 1965
saya merasa Pak Yani tidak hanya sebagai atasan tetapi juga seperti kakak saya.
Sebab itu saya benar-benar merasa kehilangan. Saya hanya dapat mengantarkan
beliau ke tempat peristirahatan terakhir ketika dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Saya doakan semoga Tuhan memaafkan segala kesalahan dan
kekurangan Pak Yani selama hidup beliau, diterima semua amal ibadahnya dan Pak
Yani mendapat tempat yang mulia di sisiNya.Sesudah
Pak Yani tidak ada saya lanjutkan hubungan saya dengan keluarga beliau, dengan
Ibu Yani dan puteri-puteri beliau. Saya dapat rasakan betapa berat pukulan itu
bagi mereka. Setelah kemudian Ibu Yani juga dipanggil Tuhan maka hubungan saya
dengan keluarga Yani hanya terbatas dengan puteri-puteri beliau yang masih ada.
Mereka boleh bangga mempunyai seorang Ayah yang sepanjang hidupnya menjadi
tauladan bagi anak buahnya dan bagi kaum muda Indonesia umumnya.
Jakarta,
1 Juni 2012
Source,
http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1585