G30S, Terlibatkah Soeharto?

Tulisan oleh James Luhulima ini dimuat di Kompas, pada 27 Oktober, 2004

Kompas, 27 Oktober 2004 - SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi.

Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.

Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain.

Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red).

Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu.
Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.

Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.

Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama".

Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan "perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat dalam peristiwa G30S.

Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September 1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis pertama", Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan "gerakannya".

Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief, sampai Sjam Karuzzaman. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.

Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas peristiwa G30S.

Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu, Panglima Kostrad).

Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S.

Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional, Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan" diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru berada di wilayah Angkatan Darat.

PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro.

Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke Markas Kostrad. Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil (toilet).

Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan, Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi.

Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.

Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.

Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang penembakan tersebut.
Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek kebenaran berita tersebut."

Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum diketahui dengan jelas…"Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Merdeka Utara.

Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional. Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.

Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00, Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto untuk menghubungi secara langsung. Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa Soekarno ke sana.

Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V.

Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu Soeharto siang harinya.

Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya. Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S.

Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS.

Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965.
Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat, mengada-ada.

Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel (CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol disebut Bambang. http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/

Kisah Dua Prajurit

Soeharto membenci sekaligus menyayangi Benny Moerdani. Lama terputus, hubungan keduanya pulih setelah lengsernya sang Presiden.
****
"Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inkostitusional akan saya gebug!" Kata-kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan 1989. Ketika itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.

Soeharto tak menyebut nama tapi publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak lagi menjadi presiden serta menentang anak-anaknya.

Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad, malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988.

Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang pernah melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya," katanya kepada Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.

Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi "LB Moerdani Pengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: "Soeharto adalah guru saya. Dia yang membesarkan saya."

Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang ketika itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto.

Hubungan mereka kian dekat. Setelah berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Tapi Benny sering meninggalkan posnya karena punya tugas "sampingan": mengawal Soeharto dalam berbagai lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.

Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun kemudian, dia ditugaskan memimpin pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa mendongkrak pangkat Benny.

Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya ketika Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988). Tapi, laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan "memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal.

Mantan dokter tentara dalam dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos "menjauhkan" anak-anaknya dari kekuasaan. Itu dia sampaikan ketika keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana. Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar Benny kepada Ben.

Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. Ketika munyusun kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan keamanan. Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana (Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.

Padahal ketika bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet, Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu karena Benny mengusulkan penguasa Orde Baru untuk mundur dari pentas politik setelah 1993. Benny kuatir, kalau diteruskan nasib Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa.

Soeharto akhirnya diturunkan setelah huru-hara pada 1997. Tapi itu justru berkah bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto pertama setelah lengser—8 Juni 1998— Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004.
Sumber : Majalah TEMPO, edisi 4- 10 Februari 2008

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto

Menjadi seorang Presiden mungkin “tidak terlalu sulit,” tetapi menjadi seorang pemimpin negeri sangatlah tidak mudah. Meraih jabatan sebagai Presiden banyak ditopang oleh kematangan strategi politik, tetapi menjadi pemimpin sebuah negeri sangat membutuhkan kekuatan mental serta kesediaan sakit dan berkorban demi negeri serta rakyat yang dipimpinnya.

Konsep sebagai seorang pemimpin besar telah ditunjukkan secara nyata oleh Presiden Soekarno dalam menyikapi langkah-langkah kudeta Jenderal Soeharto dan kroninya.

TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.

Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.

Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.

Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.

Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.

Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”

“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.

Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.

Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.

Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.

“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”

Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.

Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.

Menghindari perang saudara inilah sebagai wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini. Pantang bagi Bung Karno meneteskan darah diatas negeri ini, apabila hanya akan ditukar dengan sebuah kekuasaan.

Sumber: http://penasoekarno.wordpress.com/

Detik-detik Menjelang Kematian Soekarno

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.


Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.

Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.

Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk
Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan
Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.
Sumber: http://www.edo.web.id/

Dalam Labirin Oktober 1965

Dalam Labirin Oktober 1965 (1)
”Tanpa ‘disadari’, upaya pencarian keberadaan para jenderal yang diculik, terabaikan. Upaya ke arah itu, untuk sementara hanya menjadi perhatian Kolonel Sarwo Edhie, setelah mendapat laporan dua perwira ajudan Letnan Jenderal Ahmad Yani 1 Oktober pagi-pagi. Pangkostrad Mayjen Soeharto, baru pada 2 Oktober petang, hampir 40 jam setelah penculikan terjadi, ‘teringat’ dan memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie untuk melakukan pencarian”.

KOMANDAN RPKAD –Resimen Para Komando Angkatan Darat– Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, pagi hari pukul 05.30 Jumat 1 Oktober 1965, dibangunkan dari tidurnya oleh isterinya, karena kedatangan dua perwira yang mengaku membawa berita penting yang bersifat amat darurat. Masih mengenakan piyama dan mata agak kemerahan karena tidur agak larut pada malam Jumat itu, komandan pasukan khusus itu keluar kamar menuju ke ruang tamu menemui dua orang tamu di pagi hari itu. Kolonel Sarwo Edhie yang mempunyai kedekatan pribadi dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani segera mengenali kedua perwira itu sebagai ajudan Panglima Angkatan Darat. Mereka adalah Mayor Subardi dan Mayor Sudarto. Keduanya, betul-betul membawa berita penting, bahwa atasan mereka pada dinihari itu, tak lebih dari dua jam yang lalu, didatangi sepasukan bersenjata yang belum jelas, kecuali bahwa di antaranya berseragam Tjakrabirawa, lalu ditembak dan tubuhnya dibawa pergi dengan truk entah ke mana.

Mayor Subardi menerima kabar itu 04.30 dari Mbok Milah pembantu rumah tangga sang Panglima Angkatan Darat, yang datang ke rumahnya yang letaknya tak jauh dari kediaman sang jenderal. Setibanya di kediaman Ahmad Yani, dan mendengar cerita anak-anak Yani tentang kejadian dinihari itu, Subardi sejenak sempat sedikit panik. Namun, tak lama setelah Nyonya Yayu Ruliah Ahmad Yani tiba dari rumah tempatnya tirakatan menjelang pukul 05.00, Mayor Subardi menghubungi Mayor Sudarto lalu bersama-sama menuju kediaman Asisten Intelijen Panglima AD, Mayor Jenderal Soewondo Parman. Maksud mereka semula adalah melapor dan mendapatkan petunjuk untuk tindak lanjut dari asisten intellijen itu. Ternyata, mereka justru mendengar kabar buruk kedua di pagi hari itu di rumah Soewondo Parman, bahwa sang jenderal juga diculik dinihari itu dari kediamannya. Segera keduanya meluncur ke rumah Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah dan tiba di sana 05.00. Ternyata Umar pun belum memperoleh sesuatu informasi yang berarti. Mayor Subardi yang belum mengetahui nasib Letnan Jenderal Ahmad Yani yang sebenarnya, menyarankan kepada Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah meminta bantuan RPKAD untuk memblokir seluruh jalan penting di ibukota dan jalan keluar dari Jakarta. Sang Panglima Kodam menyetujui usul tersebut dan menyuruh mereka berdua pergi menemui Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Dan itulah sebabnya, mereka pagi itu berada di ruang tamu Sarwo Edhie di Cijantung.

Dengan keterangan ringkas dari kedua perwira itu, Kolonel Sarwo Edhie secara cepat menyimpulkan bahwa Letnan Jenderal Ahmad Yani lebih dari sekedar ‘dalam bahaya’ dan menganalisa bahwa apa yang terjadi dengan atasannya itu ada hubungannya dengan PKI. Dari Letnan Jenderal Ahmad Yani sendiri sejak beberapa waktu sebelumnya ia mendapat gambaran tentang sikap bermusuhan PKI terhadap Angkatan Darat yang dibarengi rangkaian sepak terjang yang agresif. Dan meskipun Sarwo pagi itu belum punya petunjuk apapun tentang keterkaitan PKI, ia mengambil kesimpulan ke arah itu dan justru itulah yang pagi itu mendorongnya untuk mengambil tindakan. Tanpa membuang waktu lagi, melalui telepon ia menghubungi Komandan Batalion I, Mayor Chalimi Imam Santosa, yang tinggal beberapa blok dari kediamannya di kompleks tersebut. Kolonel Sarwo Edhie yang telah memakai seragam ‘tempur’, tiba dalam beberapa menit kemudian di kediaman Mayor CI Santosa dan menanyakan posisi pasukannya. Ternyata pasukan Santosa berada di Parkir Timur Stadion Senayan, karena akan mengikuti gladi resik dalam rangka persiapan Hari ABRI 5 Oktober 1965.

Pasukan tersebut, meski bersenjata lengkap, namun tak dibekali peluru. Kolonel Sarwo Edhie memerintahkan Mayor Santosa segera menarik pasukannya kembali ke Cijantung. Saat itu, personil RPKAD yang berada di Cijantung terbatas, terutama karena sebagian berada di daerah perbatasan dengan Malaysia atau ditempatkan di daerah lainnya. Santosa segera meluncur ke Senayan dan tiba di sana tepat pukul 06.00. Ia mengumpulkan seluruh anggota Batalion I, memerintahkan mereka naik truk untuk segera berangkat kembali ke Cijantung. Seorang Laksamana Muda Angkatan Laut yang menjadi koordinator pasukan-pasukan yang dipersiapkan untuk acara di Senayan itu, muncul dan mempertanyakan ada apa dan hendak ke mana pasukan itu pagi-pagi begini, tapi Mayor Santosa menghindar dengan sopan lalu meninggalkan tempat itu dengan cepat. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan sebuah truk perbekalan yang dikirim Sarwo Edhie, berisi amunisi. Mayor CI Santosa segera membagi-bagikan peluru kepada pasukannya, sehingga sejak saat itu, pasukan yang berkekuatan beberapa kompi tersebut sudah dalam keadaan siap tempur.

Di Markas RPKAD Cijantung Batalion 1 ini berkumpul di lapangan, bergabung dengan kompi dari Batalion 3 yang berasal dari Jawa Tengah yang tiba beberapa waktu sebelumnya dan disiapkan untuk berangkat ke daerah perbatasan konfrontasi di Kalimantan Barat namun terhambat keberangkatannya belasan jam karena masalah angkutan udara yang terkendala. Terdapat pula sejumlah personil yang terdiri dari instruktur dari Batujajar yang akan ikut dalam kegiatan Hari ABRI. Mayor CI Santosa memberikan briefing ringkas, bahwa tak ada satu pun anggota pasukan yang boleh bergerak tanpa perintah darinya, dan “saya akan menembak mereka yang melanggar perintah”. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang tampil berbicara sesudah itu, membentangkan dengan singkat tentang adanya sejumlah jenderal Angkatan Darat yang diculik dinihari tersebut dan belum diketahui dengan jelas oleh siapa atas perintah siapa, dibawa ke mana dan bagaimana nasibnya saat itu. Sarwo juga memperingatkan agar waspada, karena saat itu belum bisa ditentukan dengan jelas siapa saja yang menjadi kawan dan siapa yang menjadi lawan.

Batalion I RPKAD praktis adalah sisa terakhir personil yang ada di Cijantung, sementara yang lain umumnya sudah berada di wilayah-wilayah perbatasan konfrontasi Malaysia. Sebenarnya, batalion ini bahkan hampir saja dikirim ke perbatasan Kalimantan atas permintaan Pangkopur II Kalimantan Brigadir Jenderal Soepardjo. Beberapa saat setelah kunjungan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dalam kedudukannya selaku Wakil Panglima Kolaga, ke wilayah komando Brigjen Soepardjo di Kalimantan pada bulan Agustus 1965, Panglima Komando Tempur II ini mengirim suatu radiogram kepada Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie. Radiogram di akhir Agustus itu sebenarnya agak tak lazim menurut prosedur yang ada. Isinya pun cukup menimbulkan tanda tanya, setidaknya bagi Kolonel Sarwo Edhie. Apalagi secara pribadi Letnan Jenderal Ahmad Yani belum lama sebelumnya pernah berpesan supaya Cijantung jangan sampai kosong. Dalam radiogram itu Brigjen Soepardjo meminta agar sisa pasukan RPKAD, yakni Batalion I, dikirim ke Kalimantan Barat untuk memperkuat wilayah perbatasan. Menerima permintaan tersebut, Kolonel Sarwo Edhie lalu mengirim Komandan Batalion I Mayor CI Santosa ke Kalimantan Barat untuk melakukan peninjauan di bulan September.

Dengan cermat Mayor Santosa memeriksa situasi dan menyimpulkan bahwa jumlah personil yang sudah ada di sana telah memadai, apalagi Kompi 1 Batalion 3 RPKAD dari Jawa Tengah akan segera tiba sebagai tambahan perkuatan. Mayor Santosa lalu melaporkan kesimpulannya itu kepada Brigjen Soepardjo 27 September. Dengan demikian, Santosa telah menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Jakarta dengan pesawat. Santosa agak tercengang bahwa ia ternyata bertemu Brigjen Soepardjo berada dalam penerbangan yang sama. Kepadanya, Soepardjo mengatakan dirinya mendapat panggilan penting dari Jakarta, namun CI Santosa tak melihat ada siapa pun yang menemui atau menjemput Pangkopur II itu di tempat tujuan. Andaikan Kolonel Sarwo Edhie memenuhi permintaan Brigjen Soepardjo, praktis pada 1 Oktober pagi itu RPKAD tidak punya kekuatan tersisa di Cijantung yang bisa diandalkan.

Tatkala telah berada kembali di kediamannya bersama sejumlah staf, sekitar 10.30, Sarwo Edhie mendengar derum panser menuju ke tempatnya. Ia bersikap waspada. Seorang Letnan Kolonel yang tak dikenal Sarwo meloncat turun dari panser. Tetapi salah seorang stafnya yang mengenal perwira pendatang itu, memberi tahu Sarwo Edhie bahwa sang perwira adalah Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro, seorang perwira yang menangani logistik tempur dan penempatannya dilakukan atas perintah Letnan Jenderal Ahmad Yani sendiri. Herman Sarens mengaku kepada Kolonel Sarwo bahwa ia diutus Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto, dan untuk itu ia dibekali sepucuk surat, menjemputnya untuk bertemu dengan sang Panglima Kostrad di Merdeka Timur. Belakang hari, Herman Sarens juga mengakui bahwa ia masuk ke wilayah RPKAD kala itu dengan waspada karena sepengetahuannya sewaktu berkunjung ke Batujajar, terdapat sejumlah instruktur RPKAD yang merupakan simpatisan PKI. Dan sebelum ke Cijantung, pagi itu bersama Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah ia bertemu Mayor Jenderal Soeharto, setelah ia mengetahui bahwa atasannya, Asisten Logistik AD Brigjen DI Pandjaitan diculik dinihari tersebut. Di Markas Kostrad Herman Sarens mendapat informasi perkiraan dari Soeharto bahwa pelaku penculikan ada kaitannya dengan PKI. Sekitar pukul 10.00 ia kemudian ditugaskan membawa surat Mayor Jenderal Soeharto kepada Kolonel Sarwo Edhie.

Agak lama Sarwo Edhie membaca surat Soeharto. Komandan RPKAD itu mempertimbangkan, apakah ia memenuhi panggilan Soeharto atau tidak. Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto bukan atasan langsungnya, dan RPKAD pun tidak berada di bawah komando Kostrad. Ia tidak mengenal Soeharto dengan baik. Namun, ketidakjelasan keberadaan dan nasib atasan langsungnya, Letnan Jenderal Ahmad Yani, mendorongnya untuk bersedia bertemu dan menghitung bahwa suatu kerjasama dengan Soeharto dalam situasi serba tidak jelas saat itu mungkin ada gunanya. Lalu, ia berkata kepada Letnan Kolonel Herman Sarens Sudiro, “Saya akan ke sana”. Herman Sarens balik bertanya, dengan kendaraan sendiri atau ikut panser? Kolonel Sarwo Edhie menjawab, sambil tertawa, “Dengan panser”. Pukul 11.00 Sarwo Edhie sudah berada di Markas Kostrad dan bertemu Mayor Jenderal Soeharto. Keputusan Mayor Jenderal Soeharto mengajak Kolonel Sarwo Edhie bergabung, dilakukan dengan memperhitungkan kedekatan Komandan Pasukan Khusus itu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Takkan mungkin Sarwo Edhie menolak, bila itu menyangkut nasib Ahmad Yani.

Bergabungnya Kolonel Sarwo Edhie –dengan setidaknya satu batalion pasukan khusus yang sudah terkonsolidasi dan siap tempur– pagi itu, menjadi salah satu kunci penting bagi gerakan militer selanjutnya yang akan terjadi dalam satu labirin peristiwa yang penuh liku sejak dinihari 1 Oktober 1965. Kolonel Sarwo Edhie, untuk tingkat keadaan saat itu, takkan bisa dibelokkan ke arah lain di luar tujuan mencari siapa pelaku penculikan atas diri atasannya, Letnan Jenderal Ahmad Yani. Secara luas, ini berarti harus dilakukan operasi pembersihan terhadap para pelaku Gerakan 30 September. Dengan mengajak Kolonel Sarwo Edhie dan pasukannya bergabung, maka Soeharto pun dengan sendirinya ‘terkunci’ pada tujuan objektif dan pragmatis tersebut. Namun pada sisi lain, dalam konteks ‘pembersihan’, ia mendapat satu pasukan yang tangguh sebagai pamungkas dan akan terbukti kemudian menjadi tulang punggung keberhasilan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto dalam babak berikut dalam rangkaian peristiwa.

Nasib para jenderal yang diculik hampir terabaikan. Secara faktual, pembersihan ini, prioritasnya melebihi tujuan ‘menyelamatkan’ Panglima Tertinggi yang hari itu berkali-kali dinyatakan Soeharto. Tetapi, pernyataan-pernyataan menyelamatkan Panglima Tertinggi adalah kebutuhan taktis dan praktis, yang penting bagi Soeharto –maupun bagi Gerakan 30 September– dalam pergulatan opini dan psikologi massa terkait pengaruh dan posisi sentral Soekarno secara faktual dalam peta kekuasaan kala itu. Tanpa ‘disadari’, upaya pencarian keberadaan para jenderal yang diculik, terabaikan. Upaya ke arah itu, untuk sementara hanya menjadi perhatian Kolonel Sarwo Edhie, setelah mendapat laporan dua perwira ajudan Letnan Jenderal Ahmad Yani 1 Oktober pagi-pagi. Pangkostrad Mayjen Soeharto, baru pada 2 Oktober petang, hampir 40 jam setelah penculikan terjadi, ‘teringat’ dan memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie untuk melakukan pencarian.
Berlanjut ke Bagian 2 Sumber: sociopolitica.


Dalam Labirin Oktober 1965 (2)
”Keputusan Soekarno untuk tidak meneruskan perjalanannya pagi itu menuju istana, setelah mendengar lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, adalah indikasi bahwa memang ia menyebutkan nama Nasution dalam perintah penindakan yang diberikannya kepada Letnan Kolonel Untung. Namun pada sisi lain, bahwa Soekarno masih ‘menunggu’ para jenderal itu diperhadapkan kepadanya, berarti pula bahwa Soekarno tidak ‘memikirkan’ para jenderal itu akan dibunuh”. ”Sabur baru tiba pagi-pagi dari Bandung, karena agaknya ia sengaja menghindar dari Jakarta, saat Letnan Kolonel Untung, bawahannya di Resimen Tjakrabirawa, melancarkan gerakan”.

Mayor Jenderal Soeharto, sepanjang yang dituturkannya sendiri dalam otobiografinya, terbangun 04.30 dinihari Jumat 1 Oktober 1965, karena kedatangan juru kamera TVRI, Hamid, yang baru melakukan shooting film. “Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat. Saya belum berpikir panjang waktu itu. Setengah jam kemudian tetangga kami, Mashuri, datang memberi tahu bahwa tadi ia mendengar banyak tembakan. Mulailah saya berpikir agak panjang”, tutur Soeharto. “Setengah jam kemudian datanglah Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar yang mengagetkan, mengenai penculikan atas beberapa Pati Angkatan Darat”.


Soeharto menuturkan lebih jauh apa yang kemudian dialami dan dilakukannya pagi itu. “Pukul 6 pagi, Letnan Kolonel Sadjiman, atas perintah pak Umar Wirahadikusumah melaporkan, bahwa di sekitar Monas dan Istana banyak pasukan yang tidak dikenalnya”. Sebaliknya, kepada Kolonel itu, Soeharto sempat memberitahukan bahwa ia sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani serta beberapa perwira tinggi lainnya. Faktanya, Soeharto memang lebih tahu dari mereka yang melapor pagi itu. Termasuk mengenai adanya pasukan ‘tidak dikenal’ di sekitar Monas dan Istana. “Segera kembali sajalah, dan laporkan kepada pak Umar, saya akan cepat datang di Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat”, ujar Soeharto kepada sang perwira. Kemudian Mayor Jenderal Soeharto mengendarai jip ‘sendirian’ ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur.

Tanggal 1 Oktober 1965, pukul 07.20. Pagi itu, rakyat Indonesia dikejutkan oleh sebuah ‘komunike’ berasal dari yang disebutkan sebagai Bagian Penerangan ‘Gerakan 30 September’, yang disiarkan melalui Radio Republik Indonesia. Komunike tertulis itu dibacakan oleh seorang penyiar RRI. “Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di ibukota Republik Indonesia Jakarta telah terjadi gerakan militer dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan-angkatan bersenjata lainnya. Gerakan 30 September yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Tjakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini, ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menamakan dirinya Dewan Jenderal. Sejumlah jenderal telah ditangkap dan alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30 September, sedangkan Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September. Juga sejumlah tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menjadi sasaran tindakan Dewan Jenderal berada dalam lindungan Gerakan 30 September”.

Komunike itu lebih jauh menuduh bahwa Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA, “dan waktu belakangan ini sangat aktif, terutama dimulai ketika Presiden Soekarno menderita sakit yang serius pada minggu pertama bulan Agustus yang lalu”. Harapan mereka, “bahwa Presiden Soekarno akan meninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul”. Komunike itu menggambarkan pula bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan pada Hari Angkatan Bersenjata RI, 5 Oktober 1965, dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. “Dengan sudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan untuk mengadakan coup kontra-revolusioner. Letnan Kolonel Untung mengadakan Gerakan 30 September yang ternyata telah berhasil dengan baik”. Komunike itu lalu mengutip penegasan Letnan Kolonel Untung, bahwa “gerakan ini semata-mata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan Jenderal yang telah berbuat mencemarkan nama Angkatan Darat, bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Soekarno”.

Setelah menghadiri Musyawarah Nasional Teknik di Senayan, 30 September 1965 malam, Soekarno pulang ke kediaman salah satu isterinya, Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso di Jalan Gatot Soebroto, arah Timur jembatan Semanggi. Menurut Sogul, salah seorang pembantu pribadi di rumah itu, Soekarno sudah bangun sejak 05.00, dan tampak gelisah. Sogul menyebut tanda-tandanya, yakni Soekarno “mengisap rokok” dan berjalan mundar-mandir (Menurut Lambert Giebels, dalam Antonie CA Dake, Sukarno File, Kronologi Suatu Keruntuhan, Aksara Karunia, 2006). Tepat satu jam kemudian dengan berkendara mobil VW kombi yang dikemudikan seorang kolonel, diiringi Komisaris Polisi Mangil yang menggunakan kendaraan lain bersama sejumlah pengawal, Soekarno berangkat menuju Istana Merdeka. Rombongan yang tidak menyolok itu, karena Soekarno tak mengendarai mobil khusus Presiden, melewati Semanggi, Jalan Sudirman ke arah Jalan MH Thamrin.

Tatkala sudah mendekati istana, dan baru melewati bundaran Bank Indonesia, Komisaris Mangil mendapat laporan dari seorang perwira Tjakrabirawa yang berasal dari kepolisian yang yang pagi itu melakukan pengecekan di rumah Jenderal Nasution. Perwira itu melaporkan bahwa Menko Kasab yang pada dinihari itu mengalami percobaan penculikan oleh sepasukan bersenjata, lolos dan belum diketahui keberadaannya. Mangil lalu melaporkannya kepada Presiden Soekarno. Mendengar laporan itu, Soekarno memerintahkan membatalkan perjalanan ke istana. Padahal ‘rencana’nya, Soekarno pagi itu akan menerima sejumlah jenderal yang akan ‘diperhadapkan’ kepadanya pukul 07.00 pagi itu, di antaranya Jenderal Abdul Harris Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani. Akan diperhadapkannya para jenderal tersebut, sesuai ‘jadwal rencana’ yang disampaikan Letnan Kolonel Untung melalui memo yang diterima Soekarno di Senayan pada malam hari 30 September. Sedang menurut agenda acara resmi yang telah diatur ajudan Presiden sejak beberapa hari sebelumnya, pagi itu Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani akan menghadap pada pukul 07.00.

Sementara itu, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan, yang sejak pagi-pagi sudah berusaha mencari tahu keberadaan Presiden Soekarno, karena mendapat laporan tentang adanya pasukan-pasukan ‘tak dikenal’ di sekitar Monas yang berarti amat dekat ke istana, akhirnya berhasil melakukan kontak dengan Mangil. Maulwi Saelan menyarankan Presiden dibawa ke rumah Nyonya Haryati, isteri Soekarno lainnya, di daerah Grogol. Maulwi Saelan sendiri sudah berada di sana sekitar pukul 06.30, mencari Soekarno, karena menurut ‘jadwal’ pagi itu Soekarno semestinya berada di situ. Soekarno tiba di rumah Haryati pada pukul 06.30.

Soekarno tak ’memikirkan’ para jenderal akan dibunuh. Keputusan Soekarno untuk tidak meneruskan perjalanannya pagi itu menuju istana, setelah mendengar lolosnya Jenderal Nasution dari penyergapan, adalah indikasi bahwa memang ia menyebutkan nama Nasution dalam perintah penindakan yang diberikannya kepada Letnan Kolonel Untung. Namun pada sisi lain, bahwa Soekarno masih ‘menunggu’ para jenderal itu diperhadapkan kepadanya, berarti pula bahwa Soekarno tidak ‘memikirkan’ para jenderal itu akan dibunuh. Bertemu Soekarno di rumah Haryati, Kolonel Maulwi Saelan mengusulkan kepada sang Presiden untuk menuju Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah, sesuai prosedur baku pengamanan Kepala Negara dalam suatu keadaan darurat.

Lolosnya Jenderal Abdul Harris Nasution dari penyergapan dinihari itu, telah pula menimbulkan semacam ‘kepanikan’ di Gedung Penas yang dijadikan Senko 1 oleh Gerakan 30 September. Hal ini digambarkan oleh Letnan Kolonel Heru Atmodjo yang tiba di sana pagi itu, pukul 05.00, untuk menemui Brigjen Soepardjo sesuai perintah Laksamana Madya Omar Dhani. Kepada Brigjen Soepardjo, perwira intelijen AURI itu, menyampaikan bahwa atas perintah Menteri Panglima Angkatan Udara, “saya diminta untuk menanyakan apa sesungguhnya yang terjadi dan apa tujuan dari gerakan ini”. Heru juga menanyakan tentang keselamatan Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI. Keselamatan Soekarno ini lah, menurut Omar Dhani, yang menjadi concern utamanya saat itu (Wawancara dengan Rum Aly, 2006). Saat berada di Penas itulah menurut Heru Atmodjo, “saya menangkap kesan tengah berlangsungnya semacam kepanikan, sungguh pun mereka berusaha tampil wajar”. Kenapa ? “Saya mendengar salah seorang dari mereka, tidak jelas siapa yang bicara, mengatakan bahwa Nasution lolos, sedangkan yang lainnya tertangkap semua”. Di Penas itu, Heru diperkenalkan oleh Mayor Sujono kepada Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan dua orang sipil yang belakangan dia ketahui adalah Sjam Kamaruzzaman dan Pono alias Supono Marsudidjojo. “Sebagai seorang perwira , saya menganggap orang-orang ini sungguh kurang simpatik dan kurang sopan. Dalam perkenalan pun nama tidak mereka sebutkan dengan jelas. Yang satu badannya lebih besar dari rekannya. Rupanya agak gelap, mukanya kotor, tidak menunjukkan keramahan pada orang lain”. Orang bermuka ‘gelap’ tersebut tak lain adalah Sjam Kamaruzzaman, pemimpin Biro Chusus PKI.

Brigadir Jenderal Soepardjo mengatakan kepada Heru akan melaporkan sendiri segala sesuatunya kepada Menteri Panglima Angkatan Udara, atasannya di Kolaga, tetapi terlebih dahulu ia ingin melapor kepada Pangti ABRI. Untuk itu ia minta Heru Atmodjo ikut, dan nanti dari istana baru ke Halim Perdanakusumah untuk menemui Laksamana Madya Omar Dhani. Mereka tiba di Istana Merdeka sekitar 06.00. Seorang kapten dari Tjakrabirawa menjemput Soepardjo di depan pos penjagaan dan mengantarnya masuk ke istana, sementara yang lain, termasuk Heru, diminta menunggu di pos penjagaan tersebut. Salah seorang penjaga pos menginformasikan bahwa Presiden Soekarno tak ada di istana. Beberapa lama kemudian, Brigjen Soepardjo keluar bersama seorang jenderal –yang ternyata adalah Brigjen Sabur– yang mengantarnya ke pekarangan istana. Sabur baru tiba pagi-pagi dari Bandung, karena agaknya ia sengaja menghindar dari Jakarta, saat Letnan Kolonel Untung, bawahannya di Resimen Tjakrabirawa, melancarkan gerakan.

Belum berhasil bertemu Soekarno, Soepardjo memutuskan tetap tinggal di istana, sehingga Heru Atmodjo sendirian berangkat menuju Markas Besar Angkatan Udara di Tanah Abang Bukit sebelum ke Halim Perdanakusumah. Pukul 08.30 barulah perwira intelijen itu bertemu Omar Dhani dan melaporkan pertemuannya dengan Brigjen Soepardjo dan bahwa Soepardjo berada di istana menunggu kedatangan Presiden. Tapi, Omar Dhani menyuruh Heru menjemput Soepardjo dengan helikopter, karena Soekarno justru segera akan tiba di Halim sebelum jam sepuluh. Setiba di Halim, Brigjen Soepardjo menemui Omar Dhani dan menyampaikan informasi situasi yang ingin diketahui Panglima Angkatan Udara itu. Usai bertemu Soepardjo, Omar Dhani memerintahkan Heru mengantarkan Soepardjo menemui rekan-rekannya yang tadi berada di Penas. Kini, ternyata para pelaku Gerakan 30 September itu telah berpindah ke Senko 2 yang adalah rumah Sersan Udara Anis Sujatno. Brigjen Soepardjo yang tadinya berseragam upacara –ketika menuju istana pagi itu– sekarang telah berganti pakaian memakai seragam lapangan, dan menjelang pukul 10.00 berangkat bersama Heru kembali ke Halim Perdanakusumah untuk menemui Presiden Soekarno.

Sejak setengah jam sebelumnya, di Halim Perdanakusumah terjadi peningkatan kesibukan, terutama setelah tibanya Soekarno. Setelah bertemu Omar Dhani di kantor Panglima Komando Operasi, Sang Presiden ditempatkan di rumah Komodor Susanto. Kepada Presiden Soekarno, Laksamana Madya Omar Dhani melaporkan bahwa ia telah mengeluarkan suatu pernyataan –yang berisi ‘dukungan’ kepada gerakan yang terjadi dinihari tersebut. Soekarno tidak menunjukkan sikap mempersalahkan tindakan Omar Dhani. Begitu pula ketika Soekarno membaca stensilan pengumuman Gerakan 30 September yang telah disiarkan RRI pada pukul 07.20. Brigjen Soepardjo tiba di Halim Perdanakusumah jam 10.00 dan langsung bertemu dengan Soekarno. Presiden Soekarno tampaknya mengapresiasi dengan baik laporan Soepardjo, kendati sempat menunjukkan semacam kekecewaan mengenai ‘lolos’nya Jenderal Nasution. Beberapa kesaksian menyebutkan, Soekarno sempat menepuk-nepuk bahu Soepardjo dan dalam bahasa Belanda mengatakan bahwa Soepardjo telah menjalankan tugas dengan baik.

Sewaktu Soepardjo mengadakan pertemuan dengan Presiden, Brigjen Sabur sempat keluar ruangan dan mengetik sesuatu. Sabur mempersiapkan suatu pernyataan bahwa Presiden berada dalam keadaan selamat. Pernyataan itu kemudian dibacakan oleh seorang perwira Tjakrabirawa atas nama Brigjen Sabur dalam suatu pertemuan pers pada pukul 11.00. Tetapi ketika pernyataan itu akan dibacakan di RRI, pasukan yang bertugas di sana melarangnya berdasarkan perintah Letnan Kolonel Untung. Barulah pada pukul 13.10 pengumuman itu bisa dibacakan.
Berlanjut ke Bagian 3 Sumber: sociopolitica.


Dalam Labirin Oktober 1965 (3)
“Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah juga disuruh panggil oleh Soekarno, namun tak muncul. Ia terlebih dahulu sudah berada Markas Kostrad dan memutuskan untuk ‘bergabung’ dengan Mayjen Soeharto dan jelas tidak diperkenankan ke Halim bertemu Soekarno. Larangan Soeharto kepada Umar Wirahadikusumah untuk ke Halim, membuat Soekarno marah kepada sikap melawan dan kepala batu Jenderal Soeharto itu. Dan inilah untuk pertama kalinya nama Mayjen Soeharto muncul di ‘hadapan’ Soekarno dalam rangkaian peristiwa ini”.

TERKESAN bahwa sampai dengan tengah hari di tanggal 1 Oktober itu, Soekarno ‘sejalan’ dengan para pimpinan Gerakan 30 September. Namun mundar mandirnya Brigjen Soepardjo antara Senko 2 Gerakan 30 September –di rumah Sersan Anis Sujatno yang masih terletak dalam kompleks perumahan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah– dan rumah Komodor Susanto tempat beradanya Presiden Soekarno, menunjukkan pula berlangsungnya suatu proses negosiasi antara kedua pihak itu, dan Soepardjo berperan sebagai perantara. Artinya, ada masalah atau perbedaan terjadi antara Soekarno dengan pelaku gerakan, namun coba diselesaikan melalui semacam perundingan. Ini cara khas politik keseimbangan yang selalu dijalankan Soekarno dalam memelihara kekuasaannya, menengahi para pihak yang terlibat konflik. Hanya saja terhadap Nasution yang dianggapnya pencipta negara dalam negara, Soekarno punya ‘policy’ berbeda, yakni harus disisihkan karena selama ini secara empiris menganggu politik kekuasaan Soekarno.

Sementara itu, hingga menjelang tengah hari, bagi Soekarno, Panglima Kostrad belum merupakan faktor yang perlu diperhitungkan meskipun kemudian nama Soeharto sempat diajukan sebagai salah satu calon pengganti sementara Letnan Jenderal Ahmad Yani. Soekarno dengan jelas saat itu telah mengetahui nasib Ahmad Yani dan kawan-kawan berdasarkan laporan Brigjen Soepardjo. Dalam pertemuan Soekarno dengan Soepardjo, mulanya Soekarno mengikuti saran untuk segera menetapkan pengganti bagi Letnan Jenderal Ahmad Yani. Soekarno menyetujui nama Mayjen Pranoto Reksosamodra, nama yang diusulkan oleh kawan-kawan Soepardjo di Senko. Padahal, menurut Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya RE Martadinata yang dipanggil menghadap Soekarno di Halim –bersama Menteri Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio, Wakil Jaksa Agung Brigjen Sunarjo, Waperdam II dr Leimena– ada beberapa nama lain yang diusulkan, namun Soekarno bersikukuh memilih Pranoto.

Laksamana Madya Martadinata menyebutkan nama Mayjen Soeharto sebagai calon berdasarkan ‘kebiasaan’ bahwa bila Panglima AD berhalangan ia diwakili Pangkostrad. Nama lainnya adalah Mayjen Ibrahim Adjie dan Mayjen Mursjid. Nama Mursjid ini sebelum peristiwa, sebenarnya telah ada di ‘saku’ Soekarno sebagai calon pengganti Yani, dan akan disampaikan kepada Yani bila ia ini menghadap 1 Oktober 1965 pagi di istana yang sebelum peristiwa telah merupakan agenda resmi.

Setelah menetapkan nama Mayjen Pranoto sebagai pilihannya, Soekarno mengeluarkan pengumuman bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara berada di tangannya dan tugas sehari-harinya dilaksanakan Mayjen Pranoto. Soekarno memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata mempertinggi kesiapsiagaan, namun tak boleh bergerak tanpa perintah. Ia menyampaikan pula bahwa dirinya berada dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusi. Pengumuman ini tidak disampaikan melalui RRI yang hingga saat itu masih dikuasai oleh pasukan Gerakan 30 September, namun disiarkan melalui Radio Angkatan Udara. Hanya beberapa jam sebelumnya, Letnan Kolonel Untung menyiarkan melalui RRI pengumuman mengenai pembentukan Dewan Revolusi.

Percobaan Konsolidasi dan Negosiasi Soekarno. Perlu untuk mengetahui apa sebenarnya yang berkembang di Senko 1 dan kemudian di Senko 2 Gerakan 30 September, sejak selesainya penyergapan dan penculikan enam jenderal pimpinan Angkatan Darat dan satu perwira pertama, pada dinihari 1 Oktober itu, hingga pukul 13.00, menjelang Soekarno mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dan menetapkan Pranoto selaku pelaksana sehari-hari.

Lolosnya Jenderal Nasution seperti kesan yang ditangkap Heru Atmodjo sewaktu menemui Brigjen Soepardjo pagi itu di Senko 1 Penas, memang telah menimbulkan semacam kepanikan di kalangan pelaksana gerakan itu. Bahkan, kepanikan itu menjurus kepada sikap putus asa, bahwa pada akhirnya gerakan akan kandas. Karena menurut perkiraan, Nasution pasti bisa mengkonsolidasi kekuatan untuk memukul balik. Meskipun Nasution tidak lagi memiliki akses komando langsung terhadap pasukan, tetapi pengaruhnya di kalangan perwira –bukan hanya di Angkatan Darat, tetapi juga pada angkatan-angkatan lain– masih harus diperhitungkan. Satu-satunya harapan bagi mereka, ialah bagaimana sikap Presiden Soekarno. Namun lolosnya Jenderal Nasution berarti hilangnya kartu truf untuk melakukan fait accompli terhadap sang Presiden, karena mereka tahu dari Letnan Kolonel Untung, concern utama Soekarno adalah ‘penangkapan’ Nasution. Kepentingan Soekarno hanyalah memperhadapkan kepadanya para jenderal yang dianggap tidak loyal, terutama Nasution, sedangkan Gerakan 30 September telah dikembangkan oleh Letnan Kolonel Untung dan Sjam dengan sejumlah tujuan yang lebih luas.

Ketika selewat pukul 11.00 Senko 2 mendengar dari Brigjen Soepardjo tentang konsolidasi yang dilakukan Presiden Soekarno di Halim Perdanakusumah terhadap para perwira AURI terutama dengan Laksamana Omar Dhani, dan mengetahui adanya pernyataan Presiden yang disampaikan oleh Brigjen Saboer, mereka semua menyadari bahwa Soekarno tak bisa mereka kendalikan seperti yang diperkirakan semula. Letnan Kolonel Untung, atas suruhan Sjam, menyampaikan kepada pasukan yang menduduki RRI, agar mencegah pernyataan Presiden disiarkan RRI. Yang paling memukul bagi mereka adalah perintah yang disampaikan kepada Soepardjo, untuk diteruskan kepada para pelaksana Gerakan 30 September, agar Gerakan 30 September dihentikan dan jangan sampai ada pertumpahan darah lagi. Dan Soekarno juga menyatakan mengambil alih seluruh persoalan. Brigjen Soepardjo menyanggupi akan melaksanakan perintah Soekarno. Itulah sebabnya, Soekarno menepuk-nepuk bahu Soepardjo. Bahkan dalam penuturan mengenai adegan ini, Antonie C.A. Dake yang memegang teori Soekarno sebagai dalang peristiwa, mengutip Harold Crouch, Soekarno berkata kepada Soepardjo “Awas kalau tidak bisa menghentikan gerakan, akan saya peuncit”. Dalam bahasa Sunda, peuncit berarti ‘potong leher’. Maka, Brigjen Soepardjo kemudian menyarankan kepada rekan-rekannya di Senko 2 agar perintah Presiden Soekarno itu dituruti.

Setelah penyampaian Soepardjo ini, terjadi perkembangan menarik di Senko 2. Aidit yang tadinya seakan-akan tidak berperan, karena kendali strategi sepenuhnya dijalankan oleh Sjam sejak awal dan kendali operasi militer sepenuhnya di tangan Letnan Kolonel Untung, diminta oleh para perwira Gerakan 30 September –Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief dan lain-lain, kecuali Brigjen Soepardjo– untuk mengambilalih peran dari Sjam. Catatan tentang situasi baru ini didasarkan pada pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam suatu wawancara ringkas (dengan Rum Aly) Pebruari 1968. Kesempatan wawancara dilakukan secara kebetulan atas izin seorang perwira menengah dalam jedah persidangan Mahmillub atas diri Sjam di Gedung Merdeka, Bandung. Wawancara berlangsung beberapa menit, dan terputus karena kehadiran seorang perwira menengah lainnya yang melarang wawancara dilanjutkan. Dalam wawancara ringkas itu, Sjam juga menyampaikan kurang lebih bahwa “peristiwa (maksudnya G30S) sebenarnya tidaklah seperti yang disangka….. banyak soal dibaliknya yang tidak disangka-sangka”. Saat ditanyakan apa yang tidak disangka-sangka itu, ketika itulah wawancara terputus karena kehadiran seorang perwira yang lalu melarang wawancara.

Sebelum ini, ada suatu situasi yang cukup aneh, bahwa sayap militer dari Gerakan 30 September ini lebih ‘patuh’ kepada Sjam, sementara Aidit sama sekali diabaikan. Bahkan kehadiran Aidit di Halim sejak 30 September 1965 malam, adalah karena dijemput oleh perwira Tjakrabirawa atas perintah Letnan Kolonel Untung karena desakan Sjam. (Lebih jauh mengenai hal ini, bisa dilihat dalam Bagian Ketiga buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966). Setibanya di Halim, Aidit hanya ditempatkan di rumah Sersan Mayor Suwardi di kompleks perumahan Halim Perdanakusumah dan ternyata tak pernah dihubungi oleh Senko Penas. Apakah kehadiran peran Aidit kemudian di siang hari itu akan merubah situasi? Sepertinya, angin telah terlanjur mati bagi para pelaksana gerakan itu. Tetapi secara mendadak, pukul 13.00 lewat beberapa menit, Letnan Kolonel Heru Atmodjo muncul di Senko 2 dengan pesan bahwa Brigjen Soepardjo diminta ikut untuk menemui Laksamana Omar Dhani, yang segera diterjemahkan sebagai panggilan dari Presiden Soekarno. Pintu perundingan ternyata membuka mendadak, dan itulah sebabnya bahwa pada jam-jam berikutnya, Brigjen Soepardjo harus mundar-mandir dari Senko ke rumah Komodor Susanto di mana Soekarno berada.

Sewaktu Soepardjo tiba di rumah Komodor Susanto untuk menemui Soekarno, di tempat itu telah hadir Panglima Angkatan Laut RE Martadinata dan Panglima Angkatan Kepolisian Soetjipto Judodihardjo yang baru saja beberapa menit sampai di tempat itu. Telah hadir pula Waperdam II Leimena, Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung. Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusumah juga disuruh panggil oleh Soekarno, namun tak muncul. Ia terlebih dahulu sudah berada Markas Kostrad dan memutuskan untuk ‘bergabung’ dengan Mayjen Soeharto dan jelas tidak diperkenankan ke Halim bertemu Soekarno. Larangan Soeharto kepada Umar Wirahadikusumah untuk ke Halim, membuat Soekarno marah kepada sikap melawan dan kepala batu Jenderal Soeharto itu. Dan inilah untuk pertama kalinya nama Mayjen Soeharto muncul di ‘hadapan’ Soekarno dalam rangkaian peristiwa ini.
Berlanjut ke Bagian 4 Sumber: sociopolitical


Dalam Labirin Oktober 1965 (4)
”Usaha penempatan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade di garnisun ibukota mulanya ditolak Mayjen Umar Wirahadikusumah. Akan tetapi kemudian dari Markas Besar AD ada seorang jenderal yang ‘mendesak’ Panglima Kodam Jaya itu untuk menerimanya. Jenderal itu, tak lain adalah Mayjen Soeprapto, salah satu Deputi Panglima AD. Dalam rangkaian Peristiwa 30 September, semua nama tersebut –Soekarno, Aidit, Soepardjo, Latief, Ahmad Yani, Soeprapto, Soeharto dan Abdul Harris Nasution– bertemu kembali, bersama dalam satu peristiwa, akan tetapi dalam posisi-posisi dan situasi yang berbeda”.

SEWAKTU mengetahui bahwa penggantian Jenderal Ahmad Yani akan dibahas, sebenarnya dr Leimena menyarankan agar Pangkostrad Mayjen Soeharto dipanggil, tetapi Soekarno menolak. Begitu pula, ketika Laksamana Martadinata menyebutkan nama Mayjen Soeharto sebagai calon pengganti Jenderal Yani, Soekarno memilih orang lain. Penolakan Soekarno terhadap Soeharto disertai komentar khusus, “Soeharto itu kepala batu”.

Persentuhan berikutnya, antara Soekarno dan Soeharto, terjadi tatkala Soeharto menolak mengizinkan Mayjen Pranoto menghadap Soekarno di Halim Perdanakusumah. Petang itu, ‘beberapa’ jam setelah keputusan pengangkatan Pranoto diambil, Kolonel KKO Bambang Widjanarko datang mencari dan menjemput Pranoto di Markas Kostrad. Namun gagal. Di kemudian hari Mayjen Pranoto Reksosamodra menuturkan mengenai apa yang dialaminya terkait dengan pengangkatan dirinya itu. Cukup menarik bahwa perembugan antara Soekarno dengan Waperdam II dan para Panglima Angkatan, mengenai pengangkatan Pranoto baru ‘final’ pada siang hari, tetapi sejak pagi sudah tiga kali utusan Soekarno datang menyampaikan pemberitahuan tentang pengangkatan tersebut. Artinya, Soekarno telah mengambil keputusan itu sendiri lebih dini. Mayjen Pranoto mengaku, bahwa pada pagi hari pukul 09.30 Soekarno telah mengutus Letnan Kolonel Ali Ebram, kepala intelijen Tjakrabirawa untuk maksud tersebut. Utusan kedua, Jaksa Agung Brigjen Sutardhio bersama Brigjen Soenarjo, tiba setengah jam kemudian untuk maksud yang sama. Yang ketiga kali, datang Kolonel Bambang Widjanarko, pada pukul 12.00 yang kemudian diulangi lagi pada petang harinya sekitar 19.00 di Markas Kostrad.

Menurut Pranoto, “oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen Soeharto, maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan tanpa seizin Mayor Jenderal Soeharto”. Selain itu, “Mayjen Soeharto selalu melarang saya menghadap Presiden/Pangti”. Soeharto mengisyaratkan tak dapat menjamin, bertambahnya korban jenderal lagi, bilamana dalam keadaan sekalut itu Pranoto pergi menghadap Presiden. Pranoto menafsirkan ucapan Soeharto sebagai larangan yang bila tak ditaati akan membawa risiko bagi keselamatan dirinya. “Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD”.

Mayjen Pranoto juga memaparkan bahwa 1 Oktober 19.00 ia dipanggil KSAB Jenderal Abdul Harris Nasution untuk menghadiri rapat di Markas Kostrad. Kecuali Jenderal Nasution sendiri, hadir pula Mayjen Soeharto, Mayjen Moersjid, Mayjen Satari dan Mayjen Umar Wirahadikusumah. “Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai hari ini ditunjuk oleh Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai caretaker Menteri Pangad, dan selanjutnya menanyakan kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi”. Pranoto menjawab, bahwa sampai saat itu dirinya belumlah menerima pengangkatan secara resmi hitam di atas putih. “Maka saya berpendapat agar sementara waktu sebelum dikeluarkannya pengangkatan resmi dari Presiden/Pangti, entah kepada siapa nantinya di antara kita, lebih baik menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan darurat pada saat itu, yang ditangani langsung oleh Pangkostrad yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD”. Pranoto mengungkapkan pula saran Nasution agar Pranoto berbicara dalam suatu konperensi pers keesokan harinya sehubungan adanya kecenderungan suara-suara yang menentang pengangkatan dirinya sebagai caretaker Menteri Pangad. Pranoto yang berada dalam keadaan serba sulit di Markas Kostrad itu, menyetujui saran tersebut. Namun keesokan harinya konperensi pers itu urung, karena ia dan Mayjen Soeharto secara mendadak dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor.

Tatkala bertemu Soeharto pada kesempatan yang sama di Kostrad petang itu, Bambang Widjanarko ‘melaporkan’ kepada Soeharto bahwa Soekarno berada di Halim Perdanakusumah dalam keadaan sehat. “Tepatnya di mana?”, tanya Soeharto dan mendapat jawaban terperinci dari Bambang Widjanarko. Soeharto lalu menitip pesan untuk disampaikan kepada Soekarno, bahwa sang Presiden berada di tempat yang salah. Dan Soeharto menandaskan agar Presiden Soekarno meninggalkan Halim sebelum tengah malam. Tentang hal tersebut, Soeharto menuturkan dalam memoarnya, “Kemudian saya mengetahui bahwa setelah sampai di Halim, Kolonel Widjanarko menyampaikan pesan saya itu kepada dr Leimena. Dan dr Leimena cepat mengerti apa terselubung di balik pesan saya kepada Widjanarko. Dr Leimena paham rupanya bahwa isyarat saya itu menyebutkan Halim akan kami serbu”. Lebih jauh digambarkan, “Rupanya setelah mendengar pesan saya itu dari Widjanarko, dr Leimena menemui Bung Karno dan membujuk Bung Karno agar bersedia ke Istana Bogor, demi keamanan Presiden sendiri. Dan malam hari itu juga Bung Karno berangkat ke Istana Bogor dengan mobil”. Iring-iringan mobil dilakukan terbatas agar tidak menyolok dan menarik perhatian.

Dengan demikian, sebenarnya sejak lewat tengah hari, telah mulai terjadi suasana saling menjajagi dan tawar menawar segitiga, antara Gerakan 30 September yang kemudian digantikan oleh Dipa Nusantara Aidit di satu pihak dengan Soekarno di lain pihak yang didampingi oleh Waperdam II Leimena –tanpa kehadiran Waperdam I Soebandrio yang sedang berada di Sumatera Utara– serta tiga Panglima Angkatan, yakni Laksamana Madya Udara Omar Dhani, Laksamana Madya Laut RE Martadinata, Inspektur Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo serta Jaksa Agung Sutardhio dan Wakil Jaksa Agung Sunarjo.

Tawar menawar lainnya yang kemudian terjadi adalah antara Soekarno dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto serta sejumlah perwira pendampingnya, serta Jenderal Abdul Harris Nasution. Namun dapat dicatat, bahwa meskipun Soeharto cukup banyak memanfaatkan nasehat-nasehat Jenderal Nasution yang hadir di Markas Kostrad, Menko Kasab ini pada dasarnya tak mendapat ‘kesempatan’ mengambil satu peranan penting, karena peran itu sepenuhnya dipegang oleh Mayjen Soeharto sebagai ‘tuan rumah’. Ada banyak momen yang menunjukkan betapa Jenderal yang mengalami cedera kaki itu, lebih banyak duduk di bangku ‘cadangan’ sebagai penonton. Sejumlah perwira sekeliling Soeharto kala itu agaknya memang menginginkan demikian dan menciptakan situasi untuk itu. Pada sisi lain cukup menarik pula bahwa pada ketiga kutub dalam peristiwa politik ini terdapat beberapa tokoh dengan peran abu-abu dan bahkan kemudian menjadi tanda tanya dalam catatan sejarah.

Brigjen Soepardjo adalah ‘kenalan’ lama bagi Aidit, sementara bagi Soekarno, Brigjen Soepardjo pun bukanlah orang asing. Pertengahan tahun 1964, PKI mengadakan riset di bidang agraria di berbagai wilayah pedesaan, antara lain untuk menemukan ‘bukti’ tentang peran ‘setan-setan desa’ dan kepincangan sosial ekonomi di pedesaan. Ketika dalam rangka riset itu Aidit berada di Garut, Komandan Korem Garut Letnan Kolonel Soepardjo telah memberikan bantuan dan fasilitas bagi pemimpin PKI itu. Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie yang marah atas tindakan Soepardjo, ‘mengeluarkan’ sang perwira dari Siliwangi. Tetapi Letnan Jenderal Ahmad Yani malah menampung Soepardjo di Markas Besar Angkatan Darat, memperbantukannya pada salah satu deputi, dan kemudian perwira itu bahkan diangkat menjadi Panglima Komando Tempur (Pangkopur) II di Kalimantan Barat yang berada di bawah komando taktis Pangkostrad Mayjen Soeharto. Letnan Jenderal Ahmad Yani menempatkan Soepardjo di Mabes AD atas permintaan yang disampaikan sendiri oleh Presiden Soekarno. Dari Mayjen Umar Wirahadikusumah, sementara itu, Jenderal Nasution mendengar bahwa Soepardjo pernah pula menghadap padanya, dan meminta agar diangkat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya, namun Umar menolak keinginan itu.

Demikianlah perjalanan karir Soepardjo dalam tempo kurang dari dua tahun, ‘keluar’ dari Siliwangi sebagai perwira yang tak diinginkan lagi, dan akhirnya menjadi Brigadir Jenderal di daerah perbatasan konfrontasi. Pola ‘pertolongan’ di kala terjepit seperti dialami Soepardjo ini banyak ditemukan di Angkatan Darat, terutama dilakukan Soekarno, sehingga menambah barisan perwira loyal secara pribadi. PKI, dengan cerdik juga banyak melakukan pendekatan kepada sejumlah perwira barisan ‘sakit hati’ dan atau yang sedang ‘menderita’, untuk menambah simpatisan di tubuh Angkatan Darat. Hampir sama dengan yang dialami Soepardjo, adalah apa yang terjadi dengan Kolonel Latief. Usaha penempatan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade di garnisun ibukota mulanya ditolak Mayjen Umar Wirahadikusumah. Akan tetapi kemudian dari Markas Besar AD ada seorang jenderal yang ‘mendesak’ Panglima Kodam Jaya itu untuk menerimanya. Jenderal itu, tak lain adalah Mayjen Soeprapto, salah satu Deputi Panglima AD. Dalam rangkaian Peristiwa 30 September, semua nama tersebut –Soekarno, Aidit, Soepardjo, Latief, Ahmad Yani, Soeprapto, Soeharto dan Abdul Harris Nasution– bertemu kembali, bersama dalam satu peristiwa, akan tetapi dalam posisi-posisi dan situasi yang berbeda.
Berlanjut ke Bagian 5 Sumber: Sociopolitica.


Dalam Labirin Oktober 1965 (5)
”Dari penekanan kata-kata tertentu dan bahasa tubuh Soeharto, Presiden Soekarno segera memahami adanya nada ancaman dalam pernyataan Soeharto itu. Maka segera Soekarno menukas bahwa soal keamanan dan ketertiban umum tetap diserahkannya kepada Soeharto. Soeharto kemudian berhasil memperoleh suatu rekaman pidato radio dari Soekarno yang menyatakan bahwa Soeharto mendapat tugas pemulihan keamanan dan ketertiban”. ”Petang itu, Soeharto meninggalkan Istana Bogor dengan satu poin keunggulan. Dengan demikian, Soeharto telah berhasil melampaui kerumitan lika-liku labirin peristiwa di awal Oktober 1965 itu. Rekaman pidato Soekarno itu kemudian disiarkan 3 Oktober pukul 01.30 dinihari melalui RRI”.

‘TAWAR menawar’ kekuasaan yang berlangsung antara Soekarno dengan Aidit, melalui Brigjen Soepardjo, adalah mengenai susunan Dewan Revolusi serta kehendak Soekarno untuk tetap mengendalikan kekuasaan negara dengan beberapa konsesi bagi Gerakan 30 September. Soekarno menghendaki dimasukkannya beberapa nama dari kabinetnya serta beberapa jenderal yang dianggapnya setia kepadanya ke dalam Dewan Revolusi yang susunan awalnya disampaikan kepadanya oleh Brigjen Soepardjo. Dan yang terpenting segala sesuatunya kembali ke dalam pengendaliannya, dan Gerakan 30 September menghentikan gerakannya cukup sampai di situ.


Aidit melihat bahwa bila kehendak Soekarno itu diturutinya, maka peranannya akan berakhir dan nasibnya serta nasib partainya akan menjadi tidak jelas. Bagi Aidit kini, terlepas dari ada tidak adanya fait accompli Sjam atas dirinya sebelum ini, masalahnya berubah menjadi ya atau tidak samasekali, masalah hidup dan mati. Maka, terhadap kehendak Soekarno, Aidit hanya bersedia kompromistis dalam hal susunan Dewan Revolusi. Dalam perubahan susunan Dewan Revolusi ia memasukkan beberapa nama yang dikehendaki Soekarno. Di antara nama-nama yang tadinya tidak ada, kemudian terdapat dalam daftar, menurut seorang perwira tinggi purnawirawan, antara lain adalah dr Johannes Leimena, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Brigjen Solichin GP, Brigjen Andi Rivai, Nyonya Supeni. Sebaliknya, nama-nama dari kalangan Angkatan Darat yang dari semula sudah ada dalam daftar, adalah Brigjen Ryacudu, Brigjen Amirmahmud dan Mayjen Basoeki Rachmat.

Sementara itu dalam hal kendali kekuasaan, Aidit menurut Sjam Kamaruzzaman, malah menyuruh siarkan Dekrit No.1 Dewan Revolusi, melalui RRI pada pukul 14.00 yang menegaskan bahwa sumber dari segala kekuasaan dalam negeri Republik Indonesia saat itu adalah Dewan Revolusi –tanpa menyebutkan posisi Presiden– dan bahwa sejak saat itu Kabinet Dwikora berstatus demisioner. Berselang lima menit dibacakan pula Surat Keputusan No. 1 Dewan Revolusi tentang Susunan Dewan Revolusi yang isinya mengakomodir beberapa nama yang diinginkan Soekarno, namun tak seluruh kehendak Soekarno ‘dipenuhi’. Dengan Dekrit ini, jelas bahwa Aidit telah memilih jalan berbeda dengan keinginan Soekarno, namun mengharapkan Soekarno terpaksa mengikutinya. Soekarno kemudian ternyata menjalankan sendiri apa yang menjadi keinginannya tanpa merasa perlu suatu tawar menawar lebih lanjut dengan Gerakan 30 September maupun Aidit. Sejak itu, peran Aidit yang muncul sejenak pun segera berakhir. Apalagi kemudian, Soekarno lebih terkuras perhatiannya dengan mulai munculnya ‘tekanan-tekanan’ dari Soeharto, yang dimulai dengan larangan terhadap Umar Wirahadikusumah untuk menghadap, lalu larangan yang sama terhadap Mayjen Pranoto Reksosamodra, disusul pesan yang bernada ultimatum agar meninggalkan Halim Perdanakusumah sebelum tengah malam itu.

Pukul 18.00 RRI diserbu oleh dua kompi pasukan RPKAD. Praktis tak ada perlawanan, dan prosesnya hanya berlangsung sekitar 20 menit, karena pasukan Gerakan 30 September yang dipimpin Kapten Suradi yang tadinya menguasai RRI telah terlebih dahulu meninggalkan tempat itu. Ini cukup menarik. Sama menariknya bahwa Soeharto kemudian berhasil mengajak Batalion 530 bergabung ke Kostrad, bahkan kemudian bisa menggunakan kesatuan itu untuk mengamankan Kantor Telkom dan sekitarnya di Jalan Medan Merdeka Selatan serta melucuti senjata sukarelawan-sukarelawan yang ikut dikerahkan Gerakan 30 September. Ketika pasukan RPKAD menyerbu RRI, yang tersisa di sana hanyalah sejumlah sukarelawan hasil pelatihan singkat Mayor Udara Sujono, dan itu dengan mudah dilucuti. Kolonel Sarwo Edhie sendiri bersama pasukannya sudah tiba sejak lepas tengah hari di Markas Kostrad Medan Merdeka Timur.

Dengan menguasai RRI, Soeharto bisa dengan bebas mengeluarkan sejumlah pengumuman kepada masyarakat. Yang pertama adalah rekaman pidatonya, yang disiarkan petang itu, segera setelah RRI dan Telkom diduduki. Soeharto menyampaikan bahwa tanggal 1 Oktober 1965 hari itu “telah terjadi di Jakarta suatu peristiwa yang dilakukan oleh suatu gerakan kontra revolusioner, yang menamakan dirinya Gerakan 30 September”. Bahwa mereka juga telah melakukan penculikan atas beberapa perwira tinggi Angkatan Darat. Setelah menyampaikan bahwa Presiden Soekarno ada dalam keadaan aman dan sehat walafiat, Soeharto menyatakan “Kini situasi telah dapat kita kuasai, baik di pusat maupun di daerah. Dan seluruh slagorde Angkatan Darat ada dalam keadaan kompak bersatu”. Ia lalu menegaskan bahwa “untuk sementara Pimpinan Angkatan Darat kami pegang”. Ia pun menyebutkan bahwa antara tiga pimpinan Angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian terdapat saling pengertian dan bekerjasama. Angkatan Udara tidak disebutkan dalam konteks saling pengertian dan kerjasama tersebut.

Tugas berikut bagi pasukan RPKAD adalah menguasai Halim Perdanakusumah yang dijaga oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Selain itu, beberapa kompi Bn 454 ‘berkemah’ di sekitar Halim. Pelaksanaan tugas merebut Halim ini terjadi pada 02.00 dinihari 2 Oktober, tanpa melepaskan satu pun tembakan, karena PGT yang menjaga pangkalan tersebut mendapat perintah untuk tidak melawan. Sementara itu sebagian anggota Bn 454 menyerahkan diri dan yang lainnya terlebih dahulu meninggalkan tempat itu entah ke mana.

Setengah jam sebelum Halim diduduki, sebuah pesawat C47 mengudara ke Yogya membawa Menko Wakil Ketua MPRS Dipa Nusantara Aidit. “Ada permintaan, sedangkan dia adalah seorang Menteri Negara, Wakil Ketua MPRS, jadi apa salahnya saya penuhi”, Omar Dhani menjelaskan kemudian kenapa ia memberi Aidit fasilitas pesawat khusus ke Yogya itu. Dalam wawancara dengan Rum Aly untuk buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Omar Dhani menekankan kembali alasan tersebut, karena saat itu Aidit secara formal adalah seorang Menteri/Wakil Ketua MPRS dan mengenyampingkan adanya faktor konspirasi sebagai latar belakang pemberian fasilitas tersebut kepada Aidit. Dengan penguasaan Halim Perdanakusumah, bargaining position Mayjen Soeharto menguat, khususnya terhadap Soekarno yang saat itu di mata Soeharto dan Nasution sebenarnya ada di pihak seberang. Terbukti kemudian bahwa pada keesokan harinya sekitar 11.00 Presiden Soekarno meminta Soeharto datang ke Istana Bogor. Tawar menawar kekuasaan, kini berlangsung antara Soekarno dengan Soeharto, sementara Aidit dan Gerakan 30 September telah tersisih dari percaturan.

Satu poin keunggulan di Istana Bogor. Mayjen Soeharto berangkat ke Istana Bogor dengan pengawalan sebuah panser Saladin. “Sampai di Istana Bogor kira-kira pukul dua. Saya langsung masuk ke ruangan. Nampak di sana sudah ada dr Leimena, Chairul Saleh, Pranoto, Leo Wattimena, Omar Dhani. Sabur kelihatan berjalan. Maka suasana tegang meliputi kami, maklum di sana ada Omar Dhani yang sudah sangat saya curigai”. Menurut Pranoto Reksosamodra, yang datang ke Bogor bersama Brigjen Soedirgo, selain nama-nama yang disebut Soeharto itu, sebenarnya hadir pula Brigjen Muhammad Jusuf, Mayjen Moersjid, Laksamana Madya RE Martadinata, Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo dan beberapa orang lainnya lagi.

Mayor Jenderal Soeharto tampil cukup agresif dalam pertemuan itu. Ia menolak pembelaan Soekarno terhadap keterlibatan Omar Dhani dalam Gerakan 30 September, dan menunjukkan bukti sepucuk senjata yang dirampas dari sukarelawan di sekitar Halim dan bahwa itu adalah milik AURI. Komodor Wattimena mengakui senjata itu sebagai inventaris AURI dan mengatakan “Mungkin mereka mencurinya dari gudang”. Ketika Soekarno menyampaikan tentang keputusannya mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Pranoto sebagai pelaksana harian, dengan bahasa tubuh dan gaya bicaranya yang khas Soeharto menunjukkan penolakan, “Supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya serahkan tanggungjawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru”. Dari penekanan kata-kata tertentu dan bahasa tubuh Soeharto, Presiden Soekarno segera memahami adanya nada ancaman dalam pernyataan Soeharto itu. Maka segera Soekarno menukas bahwa soal keamanan dan ketertiban umum tetap diserahkannya kepada Soeharto. Soeharto kemudian berhasil memperoleh suatu rekaman pidato radio dari Soekarno yang menyatakan bahwa Soeharto mendapat tugas pemulihan keamanan dan ketertiban.

Petang itu, Soeharto meninggalkan Istana Bogor dengan satu poin keunggulan. Dengan demikian, Soeharto telah berhasil melampaui kerumitan lika-liku labirin peristiwa di awal Oktober 1965 itu. Rekaman pidato Soekarno itu kemudian disiarkan 3 Oktober pukul 01.30 dinihari melalui RRI.

Berpapasan di perbatasan Jakarta dengan Kolonel Sarwo Edhie yang siangnya juga sempat dipanggil menghadap Soekarno di Istana Bogor, Soeharto menyuruh untuk menarik pasukan RPKAD dari Halim Perdanakusumah. Dan barulah pada petang itu pula Soeharto secara khusus memerintahkan kepada Kolonel Sarwo Edhie untuk melakukan pencarian terhadap para jenderal yang diculik. Muncul suatu kebetulan, bahwa seorang anggota polisi bernama Sukitman yang mengaku ditawan oleh pasukan Gerakan 30 September, dekat rumah Brigjen DI Pandjaitan, melapor pada tanggal 3 Oktober, bahwa ia mengetahui bagaimana nasib para jenderal dan di mana tubuh mereka disembunyikan. Tanggal 4 Oktober, penggalian yang dilakukan di Lubang Buaya pada sebuah sumur tua, menemukan jenazah para jenderal dan satu perwira pertama yang ditumpuk dalam lobang itu.

Sumber: sociopolitica.