Satu hari setelah tragedi berdarah

24 September 1988
PAGI itu, 1 Oktober 1965, sekitar pukul 06.00, Letnan Kolonel Soeparto, sopir pribadi Presiden RI, tiba di rumah kediaman Nyonya Ratna Sari Dewi istri ke-3 Presiden Soekarno, di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di tempat yang kini bernama Museum Satria Mandala, telah menunggu Ajun Komisaris Besar Polisi (kini Letkol. Pol.) Mangil, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas keselamatan Bung Karno kala itu memberitahukan kepada Soeparto bahwa ia menerima laporan dari anak buahnya: rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II dr. Leimena dan Jenderal A.H. Nasution ditembaki oleh 50-an pasukan tak dikenal. Mangil segera mengecek kebenaran laporan yang ia terima dari anak buahnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Ternyata, pada dinihari 1 Oktober itu, tepatnya antara pukul 03.30 dan 04.00, meledak suatu peristiwa berdarah yang kemudian mengubah wajah negeri ini: enam jenderal diculik dari rumahnya, diangkut dengan truk militer ke Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede, tak begitu jauh dari Pangkalan Udara AURI Halim Perdanakusuma.

Tiga di antara enam jenderal itu telah mereka habisi sebelum dilempar ke dalam truk: Menteri Pangad Ahmad Yani, Asisten Intel Mayjen. S. Parman, dan Asisten IV Brigjen. D.I. Panjaitan. Sementara itu, Asisten II Pangad Mayjen. Soeprapto, Asisten III Pangad Haryono M.T., dan Oditur Jenderal/Kepala Kehakiman AD Brigjen. Soetojo Siswomihardjo telah mereka bunuh secara kejam di tengah sorak sorai kaum pemberontak, di Lubang Buaya. Alkisah, adalah Jenderal A.H. Nasution yang luput dari sergapan pemberontak, yang antara lain mengenakan seragam Cakrabirawa, pasukan elite Presiden RI. Menko/Kastaf Angkatan Bersenjata (KSAB) itu, atas desakan istrinya, sempat melompat pagar rumahnya, lalu bersembunyi di balik drum di pekarangan Kedubes Irak, di Jalan Teuku Umar 38, sesaat setelah gerombolan bersenjata menggedor pintu rumahnya seraya melepaskan tembakan. Nasution selamat, tapi Ade Irma Suryani, putri kedua Pak Nas yang masih bocah, kemudian meninggal karena ditembus peluru di punggungnya. Pasukan Cakrabirawa yang mengganas di pagi buta itu, sehabis melucuti para penjaga, kemudian membawa Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution, ke Lubang Buaya. Pierre kemudian dibunuh, lalu dipendam di dalam sumur yang dalam bersama enam jenderal. Para penculik mungkin mengira, laki-laki ganteng itulah Nasution. Di saat bersembunyi di Kedubes Irak seperti dituturkan dalam bukunya, Nasution bertanya-tanya, mengapa justru Pasukan Kehormatan Pengawal Istana/Presiden yang mau membunuhnya. "... apa sebab Istana/Presiden sudah kena fitnah, dan memerintahkan pasukan Cakrabirawa menembak mati saya, di rumah saya sendiri, zonder vorm van proses?" (tanpa proses yang jelas -- Red.). Suasana yang penuh tanda tanya itu agaknya juga memenuhi benak Presiden. Pagi itu, sekitar pukul 06.30, setelah selesainya peristiwa berdarah, Soeparto baru melapor kepada Presiden tentang pengepungan rumah Nasution dan Leimena.

Panglima tertinggi ABRI itu pun kontan memanggil Mangil dan minta laporan selengkapnya. Tapi jawaban Mangil, yang rupanya masih menunggu hasil pengecekan anak buahnya, tidak memuaskan Presiden. "Mengapa kejadian pukul empat pagi sampai sekarang kamu belum tahu," demikian hardik Presiden, seperti dituturkan Mangil kepada TEMPO akhir pekan lalu. Hatta, menurut yang empunya cerita, Bung Karno saat itu juga memerintahkan sopir Soeparto untuk membawanya ke Istana Merdeka, di bawah pengawalan Mangil dan anak buahnya. Ketika iring-iringan mobil sampai di Jalan Thamrin, persis di depan gedung Bank Indonesia, Mangil memerintahkan agar berbelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan. Menurut Mangil, saat itu masuk laporan melalui radio mobil, ada sepasukan tentara yang "mencurigakan" di sekitar Istana Merdeka. Baru kemudian diketahui, yang dicurigai tadi adalah pasukan Diponegoro dan Brawijaya.

Mereka ditempatkan di dekat Istana menjelang hari ABRI 5 Oktober, yang menurut rencana, kabarnya, akan berlangsung besar-besaran. Maka, sebelum Mangil memerintahkan agar membawa Presiden ke istana kediamannya, masuk panggilan radio dari Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa. Saelan ketika itu ada di rumah Ny. Harjati, istri ke-4 Bung Karno, di daerah Grogol, Jakarta Barat. Dia pun menginstruksikan agar Mangil membawa Presiden ke rumah Harjati. Betapa terkejutnya Bung Karno ketika Saelan dan beberapa perwira Cakrabirawa yang ada di situ memberitahukan bahwa para jenderal telah dibunuh, tapi Nasution sempat selamat. Lalu keluarlah ucapan Bung Karno dalam bahasa Belanda: "Ik ben overrompeld. Het is een absolue overrompeling." (Saya telah dijungkirbalikkan. Ini jelas suatu penjungkirbalikan. -- Red.). Merasa gundah dan tak tahu apa yang harus dia lakukan, Presiden pun bertanya kepada Saelan dan perwira-perwira pasukan elitenya: "Wat willen jullie met mij doen?" (Apa yang akan kalian lakukan dengan saya). Jam ketika itu menunjukkan pukul 07.30. Kolonel Saelan lalu meminta agar Bung Karno segera menyingkir dari rumah Harjati. "Kita tidak bisa terlalu lama di sini," katanya. Maka, Bung Karno, atas permintaan Saelan, setuju untuk dibawa ke Halim Perdanakusuma, daripada harus berlindung di sebuah rumah di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru. Ia memerintahkan Soeparto agar segera mencari Panglima AU Omar Dhani di rumahnya, di Kebayoran I Baru.

Namun, Omar Dhani sejak 30 September malam sudah menyingkir ke Halim. Lewat pukul 10.0 pada 1 Oktober itu, Presiden selamat sampai di Halim. Orang pun bertanya-tanya, mengapa Soekarno memilih untuk berlindung di Halim, yang dikenal sebagai basis gerakan makar. Menurut Saelan, keputusan tersebut sesuai dengan prosedur upaya penyelamatan Kepala Negara di saat yang dipandang genting. Menurut orang nomor dua Resimen Cakrabirawa itu, kalau jalan darat yang dipilih, maka Presiden harus diselamatkan dengan kendaraan panser. Sedang melalui laut, Kapal RI Varuna selalu siap untuk membawa Presiden. Tapi bila jalan udara yang akan ditempuh, sebuah pesawat Jet Star selalu stand by di Halim. Bisa dimengerti jika sebagian masyarakat sulit untuk begitu saja menerima keterangan orang-orang Cakrabirawa. Bahkan tak sedikit yang menuduh Presiden RI pertama itu sedikit banyak telah terlibat peristiwa G-30S/PKI. Kedatangan Bung Karno di Pangkalan AU Halim, yang disambut oleh Omar Dhani dan Brigjen. Soepardjo, kiranya telah menimbulkan kecurigaan bahwa beliau agaknya sudah mengetahui sebelumnya akan adanya gerakan Dewan Revolusi. Brigjen. Soepardjo, ketika itu Pangkopur Kalimantan Barat, tercatat sebagai salah seorang wakil ketua Dewan Revolusi. Dipimpin Letkol. Untung, Komandan Batalyon I Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa, dewan yang mendukung Gerakan 30 September itu terdiri atas 45 orang: sejumlah menteri, panglima militer, dan tokoh politik. Benar bahwa beberapa nama anggota dewan itu kemudian terbukti dimasukkan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Namun, figur Soepardjo tergolong cukup penting dalam gerakan makar tersebut.

Bung Karno, demikian menurut beberapa terdakwa dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), beberapa kali bertemu dengan Brigjen. Soepardjo. Itu terjadi di rumah kediaman Komodor Susanto di kompleks Halim, yang merupakan tempat berlindung Bung Karno. Sebelumnya, pertemuan sering diadakan di kantor Komando Operasi di kompleks AU Halim. Soepardjo, misalnya, disebutkan telah bertugas pula sebagai penghubung antara Presiden dan beberapa tokoh gerakan makar itu. Soepardjo-lah yang dikatakan telah memberitahukan kepada Bung Karno bahwa D.N. Aidit, Ketua CC PKI, juga beriindung di kompleks perumahan Halim. Sesuai dengan rencana, beberapa hari sebelum meletusnya G-30-S/PKI, Gedung Penas, milik AURI, di Jakarta By Pass (kini Jalan D.I. Panjaitan), dua kilometer dari Halim, dipilih sebagai markas besar gerakan itu. Tapi sejak 1 Oktober siang markas ini dipindahkan ke rumah Sersan (U) Anis Suyatno, masih di kompleks Halim. Di situ ada Syam Kamaruzzaman, Ketua Biro Khusus PKI, dan salah satu tokoh gerakan ini. Sedang Aidit tinggal di rumah Sersan (U) Suwardi. Kantor Aerial Survey AURI dijadikan Sentral Komando (Senko) gerakan. Di sana terlihat tokoh-tokoh G-30-S/PKI seperti Letkol. Untung, Brigjen. Soepardjo, Letkol. Heru Atmodjo dari bagian intelijen AURI, dan Kolonel Latief, Komandan Brigif I Kodam V Jaya, yang juga banyak berperan dalam gerakan ini. Adalah Brigjen. Sabur, Komandan Resimen Cakrabirawa, yang kemudian datang ke Halim, dan melaporkan pada Presiden tentang tewasnya para jenderal, termasuk A. Yani. Presiden pun memanggil para panglima angkatan untuk hadir di Halim. Maka siang itu datanglah Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) Sutjipto Judodihardjo, Panglima AL Laksamana Martadinata, selain Pangau Omar Dhani. Hanya pimpinan AD, yang ketika itu dipegang Mayjen. Soeharto, tak datang melapor. Bung Karno diberi stensilan susunan Dewan Revolusi oleh Soepardjo. Stensilan itu lalu diumumkan RRI 1 Oktober, jam 11.00. Dan Soekarno mendengarkan lewat transistor. Sesungguhnya kekuasaan Presiden telah berpindah ke tangan Dewan Revolusi. Kabinet dinyatakan demisioner. Tapi Bung Karno tak berbuat banyak. Dia tak mencari tahu nasib para jenderalnya, termasuk Nasution yang masih hidup. Yang tampaknya penting disegerakan adalah menunjuk pengganti Jenderal Yani.

Dari Bambang Widjanarko, Bung Karno diberi tahu bahwa Pangkostrad Mayjen. Soeharto telah bergerak, menumpas G-30S/PKI. Kaum pemberontak tampaknya tak memperhitungkan peran Soeharto, yang ketika itu paling senior setelah Yani. Sudah menjadi ketentuan di tubuh AD, adalah Mayjen. Soeharto yang menjabat Pangad bila atasannya tidak di tempat. Tapi Bung Karno merasa lebih cocok menunjuk Mayjen. Pranoto Reksosamudro salah seorang Asisten Pangad yang dikenai beraliran "kiri", untuk mengisi kekosongan jabatan Pangad. Ada beberapa nama diusulkan beberapa perwira tinggi yang hadir dalam pertemuan di Halim. Ketika ada yang menyebut nama Soeharto, Bung Karno menolak. Karena orangnya dianggap keras kepala. Kabarnya, Soepardjo-lah yang datang dengan nama Pranoto. Sore itu, atas perintah BK, pengangkatan Pranoto akan diumumkan lewat RRI. Namun, pasukan Kostrad dan RPKAD (kini Kopassus), yang dalam waktu amat singkat berhasil merebut gedung RRI, menolaknya. Akhirnya, pengumuman itu disiarkan hanya melalui radio AURI. Menurut Teperpu, Pranoto pernah hadir dalam pertemuan rahasia dengan beberapa tokoh PKI menjelang kudeta. Pranoto sendiri tak bisa menemui Presiden di Halim, karena "diamankan" di Kostrad.

Sementara itu, pasukan RPKAD sudah menduduki tempat strategis seperti RRI dan Postel. Esoknya, 2 Oktober, RPKAD tanpa perlawanan berarti telah menguasai Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 10.00 malam, 1 Oktober, Bung Karno boyong dari Halim ke Istana Bogor. Naik mobil. Maka, orang pun semakin curiga akan teori pengamanan kepala negara seperti diceritakan oleh Saelan. Tudingan bahwa Bung Karno terlibat, atau paling tidak sudah tahu akan gerakan itu, semakin santer. Salah satu adalah surat Bung Karno kepada Dewi di awal Oktober itu. Bung Karno berpesan agar Dewi menasihati Martono -- Menteri Transmigrasi Kabinet Pembangunan IV agar jangan mau membantu Soeharto menumpas G-30-S/ PKI. Martono, ketika itu, salah satu pimpman eks tentara pelajar TRIP. Bung Karno mengatakan agar Dewi jangan khawatir, karena dia berada di tengah "anak-anak" yang tengah berevolusi, yang ingin mengamankannya, bukan menentangnya. Pada 1 Oktober malam, dalam suatu pertemuan empat mata antara Dewi dan suaminya di Halim, Presiden menceritakan jenderal-jenderal yang mau kudeta. Rencana itu bocor, lalu timbul aksi untuk mendahuluinya. Para jenderal terbunuh, karena melawan. Toh banyak juga yang merasa tak perlu mengutak-atik masa lalu.

Apalagi menyangkut peran sang proklamator kemerdekaan republik ini. Maka, boleh disimak keterangan Achmad Durmawel, oditur perkara G-30-S yang mengadili Menlu Subandrio waktu itu. "Kalau disebut BK terlibat G-30-S, perlu ditanya: terlibat secara hukum atau politis ? Kalau secara hukum mesti dilihat keputusan pengadilan. Tapi keputusan itu tak pernah ada." Maka, kesimpulan Durmawel, Bung Karno sudah tiada, dan secara hukum perkaranya pun sudah ditutup. "Kalau secara politik 'kan bisa saja, hari ini dibilang si A jelek, besok lain lagi," katanya kepada TEMPO. Bekas oditur itu berpendapat, tak adil kalau kasus Bung Karno mau "dipreteli". Sebab, "Bung Karno itu 'kan pernah Presiden RI," katanya. Amran Nasution
http://majalah.tempointeraktif.com