Setelah menanti 11 tahun

Setelah menanti 11 tahun
Agustus 20, 2008
Setelah menanti kurang lebih sebelas tahun, akhirnya aku kemarin bisa menonton kembali Film sejarah Indonesia, Pemberantasan G 30 S/PKI. Terima kasih aku ucapkan untuk mas Fakhrudi Daharianto yang telah meminjamiku film favoritku itu. Seingatku setelah 1997 film itu sudah tidak diputar lagi di TVRI. Perubahan yang sangat mencolok, karena sebelum meledak reformasi film itu diputer setia tanggal 30 September. Rupanya pergeseran platform politik di Indonesia membawa dampak yang begitu massif hingga film-film sejarah pun semakin dikesampingkan dari penyiaran.

Aku prihatin dengan negeri ini. Terus terang selama bulan Agustus tahun ini aku menunggu film-film sejarah perjuangan Indonesia. Tapi aku tak menjumpainya di televisi. Rindu aku dengan flm-film perjuangan negeri ini. Film-film yang membangun semangat juang. Bukan sinetron-sinetron kejar tayang. Film-film yang menyuntikkan pendidikan melalui sinema yang bermutu. Bukan film horor penuh tahayul dan hantu blau.

Kasihan sekali film-film perjuangan itu. Termakan gelombang poitik praktis yang terlalu deras. Itu pun jika tak keberatan untuk disebut kebablasan. Aku semakin tidak mengerti dengan politik di negeri ini. Apalagi ditambah kasus-kasus politisi papan atas yang terjerat korupsi. Seolah-olah politik itu kotor. Seakan-akan politik itu hanya sekedar partai dan kekuasaan.

Padahal menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah, politik itu bersih, politik itu suci, politik itu setu level di bawah kenabian. Ini lah kacamata pandang politik yang lebih bijak. Bukan sebatas kekuasaan menjabat. Tapi lebih memikirkan kemaslahatan umat. Bukan sekedar membesarkan partai. Tapi lebih untuk memajukan negeri. Politik adalah mengelola publik. Memikirkan politik adalah memikirkan masalah umat. Untuk umat, bukan untk kekuasaan.

Kembali ke film G 30 S/PKI. Dulu setiap tahun aku menonton film ini, maka setiap kali mennton itu pula meletup-letup semangat perjuangan. Walau saat itu hanya sebatas impian anak-anak. Dan ketika aku menikmatinya kembali kemarin, letupan-letupan semangat itu masih dapat aku rasakan. Termasuk perjuangan para perempuan. Istri-istri jenderal yang dihasut sebagai Dewan Jenderal. Mungkin kondisiku saat ini yang paling berpengaruh untuk mengetahui bagimana perempuan. Aku tak tahu banyak dengan perempuan. Karena itulah aku berusaha mencari tahu seperti apa makhluk yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok itu.

Coba simak apa yang dilakukan istri Jenderal Nasution ketika pasukan Cakrabirawa mengobrak-abrik rumahnya. Ia menahan pintu kamar dengan tubuhnya padahal dari balik pintu pasukan Cakrabirawa memberondong dengan peluru. Dengan kondisi mempertaruhkan nyawanya, ia masih sempat meminta suaminya, Jenderal Nasution, untuk segera melarikan diri. Dan ketika Jenderal Nasution berhasil melompati pagar rumah, ia setia menjaga dan memeluk buah hatinya tercinta, Ade Irma Suryani, yang tengah tertembak peluru Cakrabirawa. Ini adalah naluri ibu. Demi sang anak, dalam kondisi apapun, ia tetap memeluk dengan penuh kasih sayang. Dengan tangan bersimbah darah anaknya ia berusaha menyelamatkan buah hatinya di tengah ancaman pasukan Cakrabirawa.

Hatiku luluh lantak ketika menyimak dialognya dengan pasukan Cakrabirawa pada saat ia perusaha meraih telepon untuk mencari bantuan. Di depan todongan senjata pasukan Cakrabirawa yang menghentikan tindakannya, ia menjawab pertanyaan pasukan Cakrabirawa dengan tegas, “Pak Nasution pergi ke Bandung. Sudah tiga hari beliau di Bandung. Kalian kesini hanya untuk membunuh anak saya!”. Tangannya masih menyangga tubuh Ade Irma dan berusaha menutup aliran darah yang mengalir. Walaupun tetap saja darah Ade Irma bersimbah ke lantai. Ia tidak bicara lagi dengan pasukan Cakrabirawa. Tapi cukuplah kakinya yang berbicara dengan menunjukkan darah Ade Irma yang bercucuran di lantai di depan pasukan Cakrabirawa.

Seperti inikah ibu idaman anak-anaknya? Seperti inikah istri yang menjadikan suami tak akan berpaling cintanya?
http://pembawacerita.wordpress.com/